Bab Empat Belas: Minta Maaf!
SETELAHNYA kami kembali ke hotel, tapi aku nggak masuk ke kamar karena malas berduaan dengan Putra di dalam.
"Lo mau ke mana?" tanyanya.
"Nyari angin," jawabku, lalu masuk ke lift dan turun ke lobby.
Seingatku di dekat hotel sini ada taman, dan lagipula ini masih jam setengah sepuluh malam. Jalan-jalan sebentar atau sekadar berdiam diri di taman itu nggak ada salahnya. Aku memang nggak suka kesepian, tapi malam ini aku lagi butuh sendirian banget.
Taman itu ternyata nggak terlalu ramai dan cukup terang juga sehingga aku nggak perlu takut bakal diperkosa atau apalah di sini. Ada beberapa pedagang kaki lima di dekat taman yang menjual berbagai jajanan ala-ala korea dan gorengan, tapi aku lagi nggak nafsu ngemil jadi aku memilih duduk di salah satu kursi panjang yang ada di taman itu, tepat di bawah sebuah pohon yang daunnya cukup rindang. Di depanku ada empat remaja yang sedang ngobrol sambil makan jajanan mereka.
Karena nggak tahu harus ngapain, aku menengadahkan kepala ke langit malam, menatap bulan sabit yang seolah tersenyum kepadaku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku membenci bulan. Karena saat ini aku merasa sangat kotor dan terhina, dan ketika kita sedang merasa kotor dan terhina lalu ada yang tersenyum, kan kesel. Rasanya kayak aku sedang diolok-olok. Aku homo yang dilecehkan oleh orang yang aku sayang, dan ditolak oleh orang yang kukira adalah penyelamatku. Aku merasa nggak layak. Aku mungkin memang nggak layak. Tawa remaja di depanku bahkan terdengar seperti ikutan mengolok-olokku. Malam ini, dunia serasa kayak sedang menertawakan kebodohanku.
Aku baru sadar air mataku mengalir ketika kurasakan hangat di pipi dan buru-buru aku menghapusnya karena nggak mau terlihat cengeng, walaupun aku nggak yakin ada yang cukup peduli untuk melihatku. Maksudku, aku ini nggak ganteng. Cowok jelek dengan wajah banyak bopeng bekas jerawat duduk di kursi taman sendirian, ngapain peduli sama dia? Paling juga dia nangisin hidupnya yang menyedihkan. Ini malah membuat air mataku mengalir lebih deras, dan rasanya aku mau marah, tapi nggak tahu harus melampiaskan amarah ini ke mana. Dan kenapa pula aku marah? Karena Putra menolakku? Karena nggak ada yang peduli pada cowok jelek kayak aku?
Aku ingin marah ke Reza, tapi dia jauh di sana, dan kalaupun aku sudah marah ke dia, memangnya itu bisa mengembalikan harga diriku yang sudah diinjak-injaknya? Memangnya dengan marah bisa membuat semuanya jadi lebih baik? Kepalaku rasanya mau pecah, dan mendadak sengatan rasa sakit menyerang kepala dan juga dadaku. Air mata mengalir lebih deras tanpa bisa kucegah.
Tiba-tiba aku menginginkan vodka. Rasa panas minuman itu memang nggak enak, tapi sensasi yang kurasakan setelahnya cukup menenangkan. Efeknya bisa menumpulkan semua kesedihanku, kegalauanku. Tapi di mana aku bisa mendapatkan minuman itu? Di Indomaret kayaknya nggak ada, kan? Iseng-iseng aku cari di Google tempat jual minuman keras di dekat sini, dan ternyata ada sebuah bar yang letaknya nggak jauh dari hotel kami. Tanpa pikir panjang, aku berencana pesan Gojek ke sana.
Belum juga sempat pesan Gojek, Putra menelepon. Aku reject. Dia nelepon lagi, tapi aku reject lagi. Lima kali dia nelepon, lima kali juga aku reject dan aku pingin banget mematikan ponsel, tapi kan aku mau pesan Gojek. Putra gigih meneleponku tanpa henti, sehingga pada panggilan ke sepuluh kali, aku pun menjawabnya.
"Apa?"
"Lo di mana?!" bentaknya.
Aku tambah sakit hati karena dibentak. "Nggak usah peduliin gue."
"Gue serius," suaranya lebih lembut, "lo di mana?"
"Di luar. Lagi nyari angin."
"Lo nggak ada di lobby."
"Gue nggak di hotel. Udah, ya. Gue mau pesen ojek."
Aku sudah akan memutuskan panggilan telepon ketika dia teriak, "Tunggu!" Lalu tiba-tiba sosoknya muncul di jarak pandangku. Sial. Kok dia bisa tahu aku di sini?
Aku sudah bangkit dari duduk, tapi dia mencegahku. "Mau ke mana, sih?"
"Apa sih peduli lo, Put? Gue mau ke bar."
"Bar?"
"Gue mau beli vodka."
Putra mengangkat sebelah alis. "Emang lo tahu cara pesennya gimana?"
Emang kalau pesan alkohol ada cara khusus? Nggak ada, kan? Pesennya sama kayak beli minuman biasa, kan? Ya ampun, aku amatir untuk yang satu ini, tapi aku beneran pingin mabok.
"Nggak usah minum vodka. Nggak bagus," katanya.
"Bukannya lo yang selalu bilang alkohol bagus untuk laki-laki dewasa?"
"Yah, tapi bukan untuk pelarian. Lung, ayolah, kita bisa omongin semuanya baik-baik."
Kami kayak orang pacaran yang lagi berantem, padahal nyatanya aku cuma orang yang membuatnya takut. Dia takut sama aku.
"Ayo, kita balik ke kamar." Dia memegang tanganku, tapi aku buru-buru melepaskannya. "Lung, nggak gini. Gue tahu ucapan gue mungkin bikin lo sakit, tapi gue nggak ada maksud—"
"Nggak ada maksud bikin gue kelihatan kayak sampah dan homo menjijikkan, gitu maksud lo?"
"Astaga! Lo kenapa, sih? Gue nggak pernah bilang kayak gitu. Lo nggak menjijikkan. Emang ada gue bilang lo sampah? Nggak, kan?"
"Memang. Tapi ucapan lo di kafe tadi seolah-olah menegaskan itu!" Aku benci ketika kemarahanku malah berubah jadi air mata. Kenangan buruk dilecehkan oleh Reza kembali memenuhi kepalaku. Aku nggak layak. Aku nggak layak untuk siapa pun. Aku rusak. Aku nggak berharga.
"Lo nggak bisa menyimpulkan kayak gitu. Biar gue jelasin dulu."
"Nggak ada yang perlu dijelasin lagi, Putra!" Aku membentaknya, membuat remaja yang berada di seberang sana menoleh ke arah kami. Aku menyesal sudah berteriak karena remaja-remaja itu terlihat antusias menyaksikan kami.
Putra memelototi remaja-remaja itu, lalu mencengkeram tanganku cukup kuat sehingga aku nggak bisa melepaskannya. "Ayo, kalo mau mulai ribut-ribut jangan di sini."
"Jangan pegang gue!" Kali ini aku terisak sambil berusaha melepas cengkeramannya. Aku tahu ini drama, tapi rasanya seperti aku kembali ke rumah kosong itu bersama Reza. Seakan-akan aku kembali dipaksa untuk melakukan hal menyakitkan itu. Aku ingin menolaknya. Aku ingin bisa menolak semua yang menyakitiku. Tapi nyatanya aku nggak bisa. "Gue nggak mau—"
Putra akhirnya berhenti memaksaku, dan dia cuma menatapku iba. Dengan air mata drama dan isak tangis kayak botty lemah dan cengeng, aku pasti terlihat menyedihkan di matanya. "Terus gue harus apa biar lo mau dengerin gue, Lung?"
Tawa riang remaja di seberang sana terdengar terlalu keras, sehingga Putra melotot lebih galak ke mereka. Aku membenci remaja-remaja itu, tapi nggak bisa menyalahkan mereka juga karena Putra dan aku nggak seharusnya bertengkar di sini. Lantas, dengan kasar aku mengusap air mata di pipi dan melengos pergi meninggalkan Putra di belakangku. Remaja di seberang sana berteriak "huuu, nggak asik!" ketika aku menjauh meninggalkan mereka. Aku nggak melirik ke belakang untuk melihat apakah Putra mengikutiku?
Ternyata dia mengikutiku. Kami berada di depan hotel sekarang, dan ketika aku menoleh ke seberang hotel ternyata ada sebuah bar. Aku tahu tempat itu bar karena tulisan di dinding dekat pintu masuk gedung itu bertuliskan seperti itu.
"Jangan coba-coba buat masuk ke sana!" Putra di belakangku teriak.
"Lo nggak bisa ngatur-ngatur gue!" Aku balas teriak.
"Lung, mabok nggak bikin semuanya jadi lebih baik. Lo kenapa, sih? Aleman banget jadi orang!"
"Aleman?" Aku tersengat. Aku berbalik menghadapnya, jengkel. "Tadi di kafe lo bilang gue gampang baperan, dan sekarang lo nyebut gue aleman? Apa lagi hinaan yang mau lo kasih ke gue, hah? Ayo, sebutin semuanya."
Putra terlihat bingung dan nggak siap dengan semburan kejengkelanku. "Lo lagi dapet, ya? Dikit-dikit nangis, dikit-dikit marah-marah, padahal gue cuma pingin minta maaf kalo emang ucapan gue ada yang salah."
Aku menatapnya nggak percaya. "Lo salah dari sejak awal kita saling kenal, Put!" Entah aku dapat keberanian dari mana mengucapkan ini, yang jelas ucapanku pasti menyakitinya karena dia terlihat kaget dan nggak percaya. Seakan-akan aku nggak akan pernah bisa mengucapkannya.
Kami terdiam selama beberapa saat di trotoar depan hotel, saling tatap, sampai akhirnya Putra yang membuka omongan duluan, "Gue minta maaf."
Aku nggak tahu kenapa, tapi suaranya terdengar tulus seperti anak kecil yang merasa bersalah karena ketahuan nyolong permen.
"Gue minta maaf kalo gue udah nyakitin lo, tapi sumpah demi Tuhan gue nggak ada maksud bikin lo sakit hati dengan ucapan gue."
Sekarang, di sini, aku jadi bingung sendiri. Sebenarnya bukan salah dia juga karena dia cuma ingin memberitahu bahwa hubungan kami hanya sebatas teman dan dia berharap aku nggak kelewat batas. Masalahnya, dia memberitahu itu semua di saat yang nggak tepat karena aku sedang menikmati sore yang indah bersamanya di kafe itu, dan seharusnya kami membicarakan hal-hal yang menyenangkan di sana.
Ada mungkin lima menit lamanya kami cuma saling terdiam di trotoar depan hotel, karena Putra sepertinya menunggu responsku. Dia kayak yang udah nyerah untuk minta maaf sehingga kalau aku nggak menggubris ucapan maafnya yang terakhir tadi, mungkin dia akan pergi untuk selamanya. Aku nggak mau dia pergi. Aku memang kesal, tapi setelah kupikir-pikir lagi aku memang nggak mau dia pergi.
Aku baru akan menjawab ucapan maafnya ketika tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat ke layar dan ternyata yang menelepon adalah nomor baru Reza yang kemarin nelepon aku. Aku melirik Putra yang masih menunggu responsku, dan dia menatapku dengan tatapan penuh tanya—atau penuh harap? Aku jadi teringat dengan tatapan sama yang dia layangkan padaku di kamarnya malam itu ketika aku akan pergi bersama Reza. Sebuah tatapan peduli. Tapi malam ini aku nggak mau dia peduli denganku karena nyatanya dia memang nggak peduli, kan? Dia takut padaku. Jadi, sama dengan yang kulakukan malam itu di kamarnya, aku meninggalkan Putra untuk kembali kepada Reza.
"Halo?" sapaku kepada Reza di telepon.
Bandar Lampung, 16 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top