Bab Dua: Kencan?

DAN terjadi lagi. Aku memaafkan Reza semudah aku memaafkan semua orang yang mem-bully aku selama ini. Aku mah begini orangnya. Daripada sendirian di dunia ini, jadi lebih baik aku saja yang mengalah. Nggak apa-apa di-bully, dikata-katain banci, asal mereka masih ada di dekat aku. Sebenarnya aku kepingin marah dan membalas orang-orang yang bully aku, tapi kalau aku melakukannya, nanti mereka meninggalkanku, dan kemudian aku sendirian. Dan aku nggak suka sendirian.

"Kali ini beneran," kata Reza di mobil ketika pagi itu dia nganterin aku ke kantor, "aku nggak akan chatting-an sama siapa pun lagi."

Sebelumnya juga dia ngomong begini, walaupun nggak sama persis. "Aku nggak pernah ngelarang kamu temenan sama siapa pun, yang penting bener temenan. Bukan chat sayang-sayangan kayak kamu ke anak kemarin itu."

"Dia duluan yang mulai loh, Sayang," rajuknya.

"Tapi kamu ngeladenin," cibirku.

Reza nggak menjawab, dia cuma menatapku.

"Aku harus masuk," kataku.

"Cium dulu," pintanya, manja.

Aku menciumnya di pipi.

"Di bibir!" katanya, cemberut.

Aku mendengus geli. Dulu aku dibuat tergila-gila dengan sikapnya yang sok manja ini, tapi sekarang yang kurasakan biasa-biasa aja. Kucium dia di bibir. Awalnya cuma mau ciuman singkat, tapi Reza membuatnya jadi lebih lama. Aku ereksi, dan sialan, jam sudah menunjuk ke angka delapan. Terpaksa kulepas bibirku dari bibirnya.

"Aku harus pergi."

Reza tersenyum puas. "Kabarin kalau udah pulang."

Aku turun dari mobil, dan ketika melangkah masuk ke dalam kantor, aku tersenyum sambil menggigit bibir.

Tiara sudah menungguku di ruangan.

"Hebat!" katanya. "Entah lu kena guna-guna apa sampe nggak bisa banget lepas dari si Reza anjing!"

"Jangan mulai, deh. Masih pagi," kataku.

Tiara mendengus jengkel, lalu duduk di kursinya. Seharian dia nggak menegurku setelahnya, dan ini sudah biasa. Aku maklum sih dia kesal, siapa pun pasti bakalan kesal kalau ada di posisinya, tapi ya mau gimana lagi? Aku sayang banget sama Reza, dan membayangkan aku tanpa Reza ... rasanya menakutkan. Reza yang selama setahun belakangan ini membantuku bangkit dari depresiku, bukan Tiara. Reza yang selama setahun ini menemaniku cari makan ketika aku lapar, menemaniku kondangan, mengajakku jalan-jalan ke tempat jauh. Aku belum siap kehilangan Reza-ku yang itu. Mungkin psikologku benar, Reza hanya mudah bosan. Mungkin ini salahku. Kalau aku bisa membuat hubungan kami nggak membosankan, Reza mungkin nggak akan chatting-an dengan cowok lain. Ya, kan?

Ketika jam makan siang dan aku lagi santai sambil main Instagram, ada DM masuk dari username @putraaaxxx. Isi pesannya:

Lung, bagi wa lu

Kulihat profilnya, ternyata si gemesh Putra! Nggak lama setelah DM, ada notif si Putra nge-follow aku. Aku kegirangan kayak anak kecil dikasih es krim. Cepat-cepat ku-followback dia, dan aku baru berniat membalas DM-nya ketika sebuah pesan WA dari nomor tak dikenal masuk ke notifikasi.

0812-6554-xxx, 12:14 PM / Lung, makan siang bareng yuk

Kulihat foto profilnya, ternyata si Putra gemesh! Lah, aku bahkan belum ngasih nomorku di DM, tapi dia udah chat duluan. Dapet dari mana, ya? Tebakanku pasti dari grup kantor, dan salut juga dia berhasil menemukanku di antara 120 orang yang ada di dalam grup.

Langsung kubalas pesannya. Kami janjian di parkiran motor. Kubilang padanya aku nggak bawa helm. Dia jawab nggak apa-apa nggak pakai helm, cuma makan di warung seberang. Aku sampai di parkiran ketika Putra juga sampai. Dia menenteng helm full face warna hijau terang merk KYT. Helmnya gede banget, kayak badannya. Setelah memakai jaket dan helmnya, dia naik ke motor Ninja-nya.

Sebenarnya aku benci naik motor Ninja, karena jok belakangnya terlalu ke atas, membuatku jadi nungging. Dulu mantanku punya motor begini dan tiap kali naik aku harus pelukan ke perutnya. Sekarang, karena Putra straight dan aku nggak mungkin memeluk dia, aku bingung harus bagaimana. Jadi aku duduknya sok tegar gitu, punggungku tegak lurus kayak tiang bendera. Nggak enak banget. Aku berharap Putra menyuruhku memeluknya, tapi ketika dia tancap gas, nggak ada omongan semacam itu. Sebal.

Kami makan di warung Mak Nyak. Aku disuruh cari tempat duduk karena Mak Nyak ketika jam makan siang ramenya minta ampun, sementara Putra memesan. Aku duduk di bagian pojok bukan karena mau mojok atau modusin Putra, tapi karena memang cuma tempat ini yang tersisa. Kuperhatikan Putra yang lagi ngantri memesan dan hatiku tersanjung, ya ampun dia baik banget ngambilin makan siang aku. Tapi ketika dia selesai mengantri, ternyata dia cuma memesan untuk dirinya sendiri. Hatiku yang tersanjung tadi langsung pupus.

"Kok nggak sekalian pesenin gue," kataku, cemberut.

"Manja amat kayak gadis. Pesen sendiri," jawabnya, sambil mengambil sendok dan garpu.

Aku bangun dengan kesal, lalu mengantri. Putra sialan. Kalau tahu makan siangku nggak dipesanin, aku nggak mau nempatin kursi duluan. Aku kan laper, harus ngantri di belakang 7 orang pula. Pasti lama. Ada mungkin sepuluh menit kemudian aku baru dapat makan siangku. Ketika aku kembali duduk, makan siang Putra sudah habis. Bahkan es teh manisnya pun sisa setengah. Sialan. Ngajak makan siang bareng tapi malah habis duluan. Aku mau marah, tapi aku lapar.

Makanku acak-acakan karena aku makannya sambil ngedumel. Putra memperhatikanku dan dia mengerutkan kening, tapi nggak nanya apa-apa. Setelah makan siangku habis, kuhabiskan es teh manisku dalam satu kali sedot. Kulihat Putra melotot kaget.

"Santai, cuy," katanya.

"Palak lu santai!"

"Lah, kok marah?"

"Bodo amat!"

Aku masih ngedumel nggak jelas dan pasang muka jutek ketika kami selesai dan mengantri untuk bayar. Ketika tiba giliran kami dan aku sudah akan mengambil uang dari dompet, si Putra tiba-tiba mencegahku. "Nggak usah, biar gue aja yang bayar," katanya.

Karena lagi kesal sama dia, dengan ketus kujawab, "Jangan sok baik."

"Kan gue yang ngajak makan siang bareng, nggak apa-apa biar gue yang traktir," balasnya.

Dia lalu menyerahkan selembar uang 100 ribu ke kasir, dan setelah Putra mengantongi kembalian, kami bergegas ke parkiran. Ketika naik ke atas motornya, kekesalanku tadi mendadak lenyap karena si Putra tiba-tiba mengatakan, "Kalo duduknya nggak nyaman, pegangan aja nggak apa-apa, Lung."

Aku seneng dong disuruh pegangan ke badannya Putra yang gemuk gemesh kayak boneka. Dengan agak malu, kulingkarkan lenganku ke perutnya. Empuk banget ya ampun. Tapi kemudian Putra menampar tanganku.

"Jangan meluk, Setan!"

"Lah, tadi disuruh pegangan?" kataku, sambil melepas pelukan.

"Pegangan, bukan pelukan! Lo pegang pinggang gue, bahu gue, tapi jangan meluk gue! Risih gue anjay dipeluk cowok!"

Sialan. Kami kembali ke kantor dengan posisi dudukku sama kayak tadi ketika datang: tiang bendera style. Setelah sampai parkiran kantor, aku langsung turun. Tanpa mengucapkan apa-apa, aku langsung pergi gitu aja dari hadapan Putra, yang tentunya membuat dia kebingungan. Tapi, bodo amat. Salah dia karena membuat hatiku berbunga-bunga, dan kemudian menghancurkannya.

Di kantor, Tiara masih nggak mau bicara denganku. Biasanya aku selalu godain dia kalau lagi ngambek gitu, tapi karena suasana hatiku juga saat ini lagi kesal gara-gara Putra tadi, jadi aku ikut ngediemin dia. Mungkin lusa kami akhirnya akan bicara lagi, dan besok orang-orang kantor pasti bakalan heboh dan kepo melihat aku dan Tiara nggak setegoran. Dan, ya sudahlah, sekarang aku fokus ke kerjaan saja dan buang semua kekesalan terhadap Putra dan Tiara.

Sorenya, setelah mengirim laporan harian ke Pak Trimo dan aku sedang beres-beres meja kerja, si Putra gemesh datang menghampiri. Aku melihatnya sekilas, lalu pura-pura sibuk dengan meja kerjaku, padahal semuanya sudah beres dan aku tinggal pulang, tapi mendadak aku jadi nggak mau pulang karena betah lama-lama ada di dekat Putra gemesh.

"Kenapa?" tanyaku.

"Minum, yuk. Haus," katanya.

"Minum apa?"

"Chatime? Starbucks? Kopi hitam?" katanya, menaikkan alis. "Alkohol?"

Aku tersenyum kecil. "Gue lelaki dewasa, oke? Dan lelaki dewasa nggak minum alkohol."

"Lelaki dewasa mental pengecut nggak minum alkohol," cibirnya. "Chatime deh kalau gitu."

"Kenapa nggak ke Starbucks?" kataku.

"Mahal, cuy. Dedek ini baru join kerja seminggu, Kak. Nggak mampu beli Starbucks," jawabnya, sok manja gitu.

Tapi aku suka dengan sok manjanya. "Money on me, deh."

"No. Chatime aja, biar gue yang bayar."

"Lah, tadi siang kan lo udah traktir gue makan," kataku.

"Dan gue belum traktir lu minum, kan? Makan tanpa minum, bisa-bisa lo keselek, hehe."

Caranya hehe di ujung kalimat membuatku tak bisa menahan diri untuk melebarkan senyum. "Oke kalau gitu, Chatime."

"Oke. Setengah jam lagi ketemu di parkiran, ya?" katanya, mundur dari hadapanku. Lalu dia kembali menghadapku, "Dan kalau bisa pinjam helm, ya. Chatime nggak sedeket Mak Nyak." Senyum manisnya ketinggalan ketika dia balik badan dan pergi dari hadapanku. Senyumku jadi lebih lebar karena senyumannya.

Ternyata Tiara menyaksikan, mendengarkan, dan menyimak semua obrolanku dengan Putra tadi. "Dia kayaknya lebih baik daripada Reza," katanya.

Aku putar bola mata, lalu duduk di kursi. Omong-omong soal Reza, aku baru ingat dia mau jemput aku sepulang kerja nanti. Buru-buru aku WA dia, minta maaf karena aku ada acara minum-minum bareng orang kantor, dan Reza membalas WA-ku dengan marah. Katanya, Kenapa nggak bilang dari tadi? Aku udah di jalan ini mau jemput kamu!

Daripada ribut di chat, jadi aku telepon dia. Kami bertengkar selama sepuluh menit kemudian. Awalnya aku nggak mau ikutan kepancing amarah ketika Reza membentak-bentak dan mengataiku nggak konsisten, nggak menghargai waktu orang lain, tapi mengingat dia yang mau jemput aku dan bukan aku yang minta, membuatku kesal juga. Setelah sepuluh menit yang penuh emosi dan diakhiri dengan ucapannya, Terserah kamu aja, Alung, terserah!, panggilan kami terputus dan aku cuma bisa menyumpah serapah dalam hati memandangi layar hape. Reza anjing.

"Berantem lagi?" kata Tiara yang mejanya seberangan dengan mejaku. Dia terlihat puas.

Aku nggak menjawabnya.

"Nggak usah diurusin lagi si Reza itu, biarin aja." Dia lalu mendekati mejaku sambil menenteng helm dan tas jinjingnya. Helmnya dia letakkan di atas mejaku. "Pakek aja helm gue."

Aku menatapnya kebingungan.

"Buat kencan sama Putra," bisiknya, sambil mengedipkan sebelah mata.

Aku tersenyum kecil. Kencan sama Putra. Boleh juga. Aku suka gagasan itu walaupun nyatanya bukan begitu. Amarahku perlahan-lahan padam.

"Terus lo pulang nggak pakek helm?"

"Santai aja. Kosan gue cuma lima menit dari kantor, kan?"

Aku mengangguk.

"Gue duluan, ya. And, good luck," kata Tiara sambil berlalu pergi.

Sambil menenteng helm Tiara, aku pergi ke parkiran. Putra sudah menungguku di dekat motornya. Ketika melihatku, dia tersenyum. Sialan, aku ikutan senyum.

"Ngapa senyum-senyum?" katanya.

"Ngapa nanya-nanya?" balasku.

"Ya udah, nggak bakal nanya lagi."

Dia lalu naik ke atas motor dan menghidupkan mesinnya. Setelah dia memundurkan motor, aku langsung naik. Kali ini aku bertekad nggak akan duduk style tiang bendera lagi, tapi agak menungging dikit dengan pegangan pinggang Putra. Kan dia sendiri tadi siang yang nyuruh aku pegangan, tapi jangan meluk. Jadilah aku pegangan ke pinggangnya—pegangan ke jaketnya sih sebenarnya—dan Putra nggak komen apa-apa. Kami pun meluncur ke jalan raya.

Dalam perjalanan, aku mencium wangi parfum yang menguar dari jaketnya Putra. Wanginya manis maskulin gitu, khas lelaki banget. Dan rasanya pingin banget meletakkan kepalaku di punggungnya, melingkarkan lenganku di perut gembulnya, tapi ah ... dia straight. Dia risih dipeluk cowok.

Kami sampai di Chatime dua puluh menit kemudian—agak jauh memang, dan sepanjang jalan Putra nggak ngomong apa-apa, jadi aku juga nggak ngucap apa-apa. Kami masuk ke dalam dan duduk di dekat jendela. Aku kira Putra yang akan memesan ke konter, tapi dia malah duduk juga di kursi. Jadi aku nih yang pesenin?

"Mau yang rasa apa?" tanyaku.

"Brown Sugar Milk Tea," jawabnya. "Less sugar, ya." Dia membuka dompet, menyerahkan selembar uang 100 ribu.

Tapi aku tolak uangnya. "Nggak usah, biar gue aja." Aku balik badan hendak menuju konter, tapi tiba-tiba tanganku dipegang oleh tangan Putra, dan aku kaget banget. Aku balik badan, menatap matanya, lalu menatap tangan kami yang berpegangan. Sesaat situasinya kayak di drama-drama Korea gitu, sebelum akhirnya Putra buru-buru melepaskan tangannya.

"Kan gue yang mau traktir," katanya.

"Lo yang mau traktir, tapi kenapa gue yang disuruh mesen?"

Dia mendengus kesal. "Karena tadi kan gue bilang nggak bakal nanya-nanya lagi ke lo," jawabnya.

Ya ampun, ini bocah kenapa gemeshin banget sih? Pingin rasanya aku cubit pipi gembulnya. "Bocil banget lu! Gitu aja pakek diseriusin segala."

"Gue orangnya serius, Lung. Kalau gue bilang nggak bakal nanya, ya nggak bakal nanya."

Aku putar bola mata. "Ya ya ya, Bocil," kataku, sambil tanpa sadar mengacak rambutnya.

"Hish!" Dia marah, merapikan rambutnya, sementara aku tertawa.

Ya ampun, kenapa kami begini?

Akhirnya Putra yang mesan ke konter, aku nunggu di kursi.

Kupandangi bagian belakang tubuh Putra yang lebar, bokongnya yang besar dan gemeshin. Putra gendut banget, dan pas banget dengan kesukaanku. Sambil memandanginya, aku bertanya-tanya kenapa dia ngajak aku makan siang, ngajak aku ke Chatime, sementara cowok-cowok lain di kantor nggak ada yang mau melakukannya karena mereka takut akan dikira gay kalau ketahuan jalan berdua denganku. Dalam hati aku menjawab, Mungkin karena Putra memang baik. Toh dia sendiri waktu itu yang bilang bahwa walaupun aku gay, dia nggak peduli karena aku juga manusia. Mungkin Putra memang jenis orang yang mau berteman dengan siapa saja tanpa memandang orientasi seksual atau apa pun.

Beberapa menit kemudian Putra selesai mengantri dan membawa dua gelas Chatime ke meja kami. Aku menusuk sedotan ke gelas, tapi sebelum aku sempat menyedotnya, Putra melarang.

"Bersulang dulu," katanya.

Aku mengerutkan kening sambil tersenyum, geli.

"Seharusnya malam ini kita bersulang dengan segelas anggur merah, tapi karena lu nggak suka alkohol, Chatime juga nggak apa-apa," katanya sambil mengangkat gelas Chatime-nya.

"Perayaan apa ini?" tanyaku, masih tersenyum geli.

"Pertemanan kita," jawabnya. "Lu orang pertama di kantor yang mau gue ajak main keluar."

Aw. Entah aku harus merasa senang atau kesal karena aku orang pertama yang mau diajaknya main keluar, yang artinya aku bukan orang pertama yang diajaknya. Dia pasti sudah mengajak semua orang di kantor, terutama yang cewek-cewek. Tapi karena cewek-cewek di kantor kami rata-rata usianya seumuran denganku yang sudah siap untuk menikah, dan ketika Putra yang baru lulus kuliah dan baru pertama kali kerja ngajak mereka jalan, sudah pasti mereka menolak. Dari muka dan gaya berpakaiannya saja Putra ini kelihatan masih bocah banget di mata orang-orang seusiaku. Dan bocah-bocah seumuran Putra pastilah belum punya pikiran jauh untuk menikah, mereka pasti masih mau main-main saja.

Setelah kami bersulang, yang rasanya aneh banget, Putra langsung bertanya ke aku: "Lung, punya nomor hape Lia?"

Entah kenapa aku kesal karena pertanyaannya. Lia itu customer service di kantor kami. Cantik. Mungil. Aku yang gay saja setuju kalau dia cantik dan mungil. Dan baik hati pula. Nyaris semua lelaki di kantor menyukai Lia. Aku harusnya nggak heran kalau Putra juga naksir cewek itu. Tapi aku heran kenapa aku cemburu, ya?

"Punya," jawabku akhirnya. Kuharap suaraku nggak terlalu ketus.

"Dia rumahnya di mana, sih?"

"Loh, gue kira lo mau minta nomornya," kataku.

"Nggak, ah. Buat apa?"

"Yaaa buat chatting-an? Lu pasti suka sama dia, kan?"

Dia tertawa. "Nggak, lah. Cantik, sih. Tapi nggak menarik di mata gue."

Aku mau teriak: fix gay! Putra fix gay. Tapi nggak jadi, karena selanjutnya dia berkata:

"Cewek gue bisa-bisa ngamuk kalau tahu gue chatting-an sama cewek lain."

Cemburuku makin jadi. Putra punya cewek. Dia beneran straight. Aku sedih, dan kurasakan ada cemburu di dalam hatiku, rasa nggak ikhlas dan nggak terima Putra punya pacar. Tapi lalu aku sadar, cowok segemesh Putra mana mungkin nggak punya pacar.

Aku ingin bertanya tentang pacarnya, tapi nggak jadi. Akhirnya kuseruput minumanku, dan kubiarkan Putra melakukan apa yang menjadi tujuannya mengajakku ke sini.

Dia menanyaiku banyak hal. Semuanya tentang pekerjaan. Tentang kantor. Tentang orang-orang di kantor. Watak mereka. Selama seminggu Putra di kantor, dia menyebutkan beberapa nama orang di kantor yang disukainya, dan beberapa yang nggak disukainya. Ada nama Mbak Hani di daftar orang yang nggak dia suka, karena Mbak Hani cerewet dan nggak ramah. Aku setuju dengannya. Mbak Hani itu galak, dan dia jelas manusia paling cerewet dan paling bermuka dua yang pernah aku kenal di muka bumi ini.

Aku menjawab beberapa pertanyaannya, yang kesemuanya tentang pekerjaan. Sebel. Jadi ini tujuan Putra ngajak aku minum Chatime, untuk mengorek sebanyak mungkin informasi tentang kantor dari aku. Aku seharusnya sudah tahu ini. Tapi memang dasar aku, dibaikin dikit malah langsung luluh. Kukira Putra ngajak aku minum Chatime karena dia memang kepingin mengenal aku, ditambah tadi kan dia ngajak aku bersulang merayakan pertemanan kami, tapi ternyata ada udang di balik ini semua. Dia memanfaatkanku. Tapi nggak apa-apa. Seenggaknya aku ditraktir.

Mungkin lelah ngomongin tentang kantor, dia akhirnya mulai cerita tentang kehidupannya. Bapaknya kerja di Bank Mandiri, jabatannya udah tinggi gitu, dan ibunya punya usaha toko kue yang cukup terkenal dengan pie pisangnya yang enak. Pantes saja rumahnya gede banget, ternyata orangtuanya memang banyak duit. Dia anak pertama dari empat saudara, jadi walaupun orangtuanya banyak duit dia tetap kepingin kerja dan menghasilkan uang sendiri karena dia sebagai anak sulung tahu kewajibannya harus menjaga adik-adiknya nanti.

"Kakak yang bertanggung jawab, ya," komentarku.

Dia mengangguk. "Kalo lo berapa bersaudara?"

"Tiga," jawabku. "Gue anak tengah."

"Kakak adek lo cewek?"

"Cowok semua. Tapi kakak gue udah nikah, dan adek gue masih kelas 4 SD."

"Buset, jauh banget jaraknya sama lo," katanya.

"Ya. Gue sama adek gue beda 16 tahun."

Ketika kuseruput minumanku, ternyata sudah habis. Punya Putra juga sudah habis. Duh, aku belum mau pulang. Aku masih kepingin sama Putra. Obrolan kami sudah bukan bahas tentang kerjaan lagi, yang rasanya hampir seperti kencan beneran. Putra sedang perlahan-lahan membuka dirinya untukku, begitu pun aku sebaliknya. Dan ketika aku lihat Putra, dia juga tampak nggak mau pulang.

"Ke mana lagi ya habis ini," katanya.

"Mau nonton?"

"Ah, nggak ada film bagus. Lagian kita baru pulang kerja, ngantuk, nanti malah tidur di dalem."

"Ya, sih," jawabku. Sebenarnya aku agak kecewa karena aku kepingin nonton sama Putra. Pasti menyenangkan duduk di dalam bioskop dengannya, pura-pura nggak sengaja menyentuh tangannya, padahal memang modus pingin pegangan tangan. Di awal kencan kami dulu Reza pernah begitu, dan aku menyambut modus pegangan tangannya. Tapi kalau sama Putra, aku ragu dia akan menyambut pegangan tanganku. Ya karena dia straight, kan? Ya ampun, karena saking betahnya dekat-dekat Putra aku sampai melupakan fakta paling penting dan paling jelas ini.

Akhirnya kami mampir sebentar ke Miniso. Putra mau beli kotak pensil dan wadah id card. Ketika sedang mencari, ada topeng Hulk yang dijual di salah satu rak. Putra mengambil topeng itu, memakainya, lalu pura-pura menakutiku. Aku tertawa sambil memukul kepalanya, yang membuatnya kesakitan dan melepas topeng dengan ngambek.

"Nggak asik!"

Aku tertawa lagi, lalu mengacak rambutnya.

Dia tambah kesal. "Apaan sih!" dumelnya sambil menjauhiku, mendekati rak kotak pensil.

Setelah Putra selesai membayar, kami bergegas ke parkiran karena jam sudah menunjuk ke setengah delapan, dan nggak ada lagi yang mau kami bicarakan, jadi kami pulang.

"Nggak apa-apa nganterin gue?" kataku basa basi sebelum naik ke motornya.

"Nggak apa-apa, santai aja."

Aku naik ke motor. Di jalan, aku membenci pikiranku yang terus-terusan berharap semoga Putra menginap di rumah. Semoga hujan turun dan Putra mampir sebentar di rumahku untuk menghangatkan diri, misalnya berpelukan atau berciuman denganku gitu. Aku membenci tapi juga menyukai pikiran itu.

Dan aku kecewa sendiri ketika angan-angan itu nggak jadi kenyataan. Putra menurunkanku di depan gerbang rumah. Aku menawarkannnya mampir, yang sebenarnya bukan basa basi sama sekali, tapi dia menolak dengan halus. "Udah malem, lain kali aja."

Aku memandangi motor Ninja hijaunya menghilang di belokan gang rumahku.

Ketika aku masuk ke dalam rumah dan mandi, pikiranku dipenuhi dengan Putra. Dia wangi banget, dan asik banget anaknya, dan aku sadar bahwa aku nyaman banget sama dia. Dulu waktu kencan pertama kali dengan Reza rasanya nggak begini. Nggak sekuat ini. Sama Putra rasanya kuat banget, aku nggak bisa menahannya lagi. Kulumuri sabun ke telapak tanganku, dan kubuat diriku senyaman mungkin seperti aku nyaman berada di dekat Putra tadi.

Selesai memanjakan diri, aku lekas berpakaian dan menjatuhkan tubuhku ke kasur. Ketika aku buka hape, kupikir nggak bakal ada yang nge-chat karena Reza kan masih marah denganku, tapi ternyata ada notifikasi dari Putra, dan aku memekik pelan saking senangnya di-chat cowok yang aku sukain.

Makasih Lung udh nemenin ngobrol malem ini, besok ketemu di kantor ya. Selamat tidur.

Sialan. Bisa-bisa aku baper banget kalau tiap habis ketemu ucapannya kayak begitu. Aku balas:

See you tomorrow. Selamat tidur juga.

Biasanya kalau Reza lagi marah atau ngambek, aku pasti galau karena hapeku sepi nggak ada yang chat. Tapi malam ini aku bisa bilang bye bye Reza, malam ini aku nggak perlu galauin kamu lagi karena sekarang mood-ku lagi bagus banget dan aku nggak akan biarin kamu rusak kebahagiaanku malam ini.

Tapi saat aku jatuh tertidur, dalam mimpiku aku melihat Reza ngeue dengan orang lain.



Bandar Lampung, 12 Desember 2020 -- 10.55 pm

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top