Bab Dua Belas: Cup!
PUTRA khawatir aku yang bakal teler karena mabuk-mabukan malam ini, ternyata malah si Habib. Cowok Timur-Tengah itu nggak sadarkan diri di sofa. Kami sudah menepuk-nepuk pipinya, memaksanya bangun, tapi dia cuma membuka mata sedikit lalu mengigau nggak jelas sebelum akhirnya jatuh tertidur lagi. Beberapa orang yang melihat Habib teler ingin membantu, termasuk om-om gendut yang kayaknya punya niat mau ngebungkus cowok itu, tapi Putra segera menolak, "Maaf Om, dia sama kami." Om-om itu malah nawarin duit ke Putra supaya dia bisa bawa Habib, tapi Putra dengan tegas menolak dan om-om itu pun akhirnya menyerah. Lagian Habib juga norak banget, udah tahu ganteng dan jadi incaran semua orang, pakai acara teler pula.
Untungnya Habib kurus, jadi dengan mudah aku dan Putra membopongnya keluar dari klub dan membawanya masuk ke mobil Grab yang sudah dipesan Putra. Di dalam mobil aku duduk di kursi tengah, kepala Habib terbaring di pahaku, sementara Putra duduk di sebelah sopir.
"Untung dia nggak muntah," kata Putra saat mobil tancap gas.
Aku mengusap rambut Habib yang halus dan memandangi wajahnya sambil bermonolog sendiri dalam kepala. Enak ya jadi ganteng, bahkan dalam keadaan nggak sadarkan diri pun masih banyak orang yang menginginkan kita. Bahkan om-om tadi rela mau ngeluarin duit demi bisa membawa Habib pulang. Kalau aku dan Putra matre, harusnya kami biarkan saja Habib dibawa om-om itu, kan lumayan uangnya. Tapi walaupun baru kali ini pergi ke klub dan tahu dunia malam kayak beginian, aku paham nggak mungkin kami membiarkan teman kami yang mabuk dibungkus orang lain.
"Kita terpaksa bawa Habib tidur di kamar kita," kata Putra ketika kami sudah dekat hotel. "Nggak mungkin kita biarin dia balik ke hotelnya sendirian. Dan nggak mungkin juga kita tidur di hotel dia."
Jadi kami berhenti di depan hotel kami.
Di lobi, Habib sudah agak sadar dikit walau jalannya masih sempoyongan sehingga kami masih harus memeganginya supaya nggak jatuh. Satpam yang jaga hotel untungnya nggak banyak tanya, mungkin dia sudah familier dengan orang mabuk. Kami masuk ke lift dan naik ke lantai kamar kami berada.
Di kamar, Habib segera kami baringkan di kasurnya Putra, lalu setelah itu aku dan Putra duduk kelelahan di kasurku.
"Huh, capek juga ngebopong Habib," kata Putra. Keringatnya muncul di kening. "Gue kira dia kuat minum, tahunya cupu."
Nggak lama kemudian Habib terbangun dan dengan sempoyongan berjalan ke kamar mandi. Dia muntah di dalam sana. Suara muntahnya kedengaran karena dia nggak menutup pintu. Putra bergegas menghampirinya, lalu aku menyusul.
Habib terduduk di lantai kamar mandi dengan dagunya bersandar ke dudukan WC. Muntahnya memenuhi lubang pembuangan, yang segera di-flush oleh Putra. Untung aku nggak jijikan, jadi aku nggak masalah dengan baunya. Ah, ganteng-ganteng ngerepotin.
"Sorry," kata Habib lemah, "gue dicekokin minum banyak banget sama cowok di meja dekat kita, yang ganteng itu." Dia mulai ngelantur. "Katanya cuma dikit aja, tahunya banyak. Gue nolak tapi dia maksa dan janji mau ngajak gue pulang bareng. Lagian, dia juga cakep. Harusnya gue sama dia malam ini, terus kenapa gue di sini? Cowok itu ke mana?"
Putra memandangku sambil geleng-geleng. Aku paham salah satu efek alkohol memang bisa membuat seseorang bicara dengan jujur. Habib secara langsung mengatakan bahwa dia gay-atau mungkin juga biseks karena di pipinya ada bekas lipstik cewek. Fakta bahwa Habib gay seharusnya membuatku kegirangan, tapi yang kurasakan malah biasa aja. Karena sejak awal aku cuma mengagumi kegantengannya aja, tapi aku nggak merasakan debaran yang kurasakan seperti ketika aku bersama Putra karena Habib kurus. Yeah, aku memang begini. Cowok seganteng apa pun kalau kurus nggak akan bisa membuatku berdebar-debar hebat.
Mata Habib terbuka satu, "Kak Putra? Kak Putra ganteng loh, gembul, pengen peluk ..." Habib sudah mengulurkan tangan untuk memeluk Putra, tapi aku sigap menarik cowok gemuk itu dari jangkauannya. Heh, enak aja. Yang satu ini punya gue.
"Biar gue yang ngurus dia," kataku.
Putra mengangguk mengerti, atau bisa jadi dia takut juga Habib bakal nekat menciumnya, jadi Putra kembali ke kasur.
Aku membantu Habib membersihkan mulutnya yang masih tersisa sedikit muntahan, lalu kutanya dia apakah masih mau muntah? Dia menggeleng. Aku menarik kaos yang dipakai Habib sampai dia telanjang dada, dan benar dugaanku dadanya berbulu lebat. Keteknya apalagi. Duh yang punya fetish bulu ketek pasti terngaceng-ngaceng nih lihat cowok ganteng berbulu ketek lebat macam ini. Kubantu Habib berdiri dan menurunkan celana pendeknya sehingga meninggalkannya dengan celana dalam. Pahanya juga berbulu, dan kelaminnya jujur aja gede banget. Tapi niatku saat ini adalah membantunya, jadi kuabaikan rasa penasaran ingin menyentuh gundukan besar di tengah selangkangannya itu.
Aku meraih handuk kecil, membasahinya, kemudian mengelap wajah, leher, dada, paha dan kaki Habib. Dia beberapa kali mengigau nggak jelas, "Cowok ganteng tadi mana sih? Masa gue cuma dicium doang, janjinya mau dienakin malam ini?" atau "Kak Alung pacaran ya sama Kak Putra? Soalnya tadi aku lihat kalian pelukan." atau "Kak Putra mana sih, aku pengen peluk dia deh yang gembul-gembul gitu." Yaa semacam itulah, racauan nggak jelas orang mabuk. Dia juga memelukku sambil sesekali menciumi pipiku, dan aku malah geli dicium orang mabuk rasanya kayak dicium anak kecil. Nggak ada nafsunya sama sekali aku sama dia.
Setelah aku yakin Habib bersih, kubantu dia keluar dari kamar mandi. Langkahnya goyah dan lantai kamar mandi licin, tapi untungnya kami berhasil. Kubaringkan dia di kasur Putra, kututup tubuhnya yang telanjang dada cuma dibalut celana dalam dengan selimut.
Putra lagi duduk di kasurku sambil matanya menatap ke layar televisi yang dihidupkannya.
"Santapan lezat tuh," kata Putra sambil mengedikkan dagu ke Habib yang sudah mengeluarkan suara dengkuran halus. "Perlu gue tinggalin berduaan nggak?"
Aku menggeleng. "Nggak usah gila! Lo kira gue predator!"
Dia cuma tertawa.
"Jadi, lo atau gue duluan yang mandi?" tanyaku. Entah kenapa sejak kami pelukan di bar tadi, aku merasa kayak ada kecanggungan yang terasa agak aneh di antara kami.
"Gue mungkin cuma cuci muka dan langsung tidur. Lo mau mandi? Duluan aja."
Aku menggeleng. "Gue nggak pernah mandi subuh-subuh, mungkin gue juga cuma bakal cuci muka."
Akhirnya Putra yang duluan cuci muka, sementara aku menunggu di kasur. Aku menatap layar televisi yang menayangkan film Spider-Man versi Andrew Garfield. Nggak lama kemudian Putra keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan telanjang dada. Handuk terkalung di lehernya. Aku menahan diri supaya nggak memandangi perutnya yang gembul.
"Gih, sekarang lo cuci muka," katanya.
Aku masuk ke kamar mandi. Awalnya kukira aku ingin muntah karena perutku mual, tapi ketika aku menunduk di lubang WC nggak ada yang keluar dari mulutku. Kucolok-colok juga nggak ada yang keluar, cuma hoek-hoek doang. Akhirnya aku menyerah berusaha mengeluarkan alkohol dari perutku, dan cuci muka. Air dingin membuatku segar. Pusing karena efek keracunan alkohol masih kerasa, tapi sudah nggak sehebat beberapa jam yang lalu.
Aku berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi bayanganku sendiri. Wajahku bulat dan banyak bekas jerawat. Kulitku nggak se-glowing kulit Habib. Bibirku nggak semerah bibir Habib ataupun bibir Putra. Aku jelek. Aku nggak diinginkan. Lagipula, siapa yang menginginkan orang jelek? Kalau aku yang teler dan tertidur di sofa klub tadi, mungkin nggak akan ada orang yang peduli dan malah membiarkanku tidur di sana sampai pagi. Nggak akan ada yang mau suka rela menawarkan diri membantuku, apalagi nawarin duit untuk membawaku pergi. Ini membuatku cemberut. Aku bahkan menyalahkan kejelekan wajahku untuk apa yang Reza lakukan padaku selama ini. Kalau saja aku ganteng, mungkin Reza nggak akan selingkuh dan nggak akan menyakitiku ...
Buru-buru aku menggeleng karena rasa sakitnya benar-benar membuatku ingin menangis. "Karena lo jelek dan lo nggak berharga, Lung," ucapku sedih ke diri sendiri sambil memalingkan wajah dari cermin.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Putra sudah berbaring di kasurku. Ada ruang yang cukup luas di sebelahnya. Aku kebingungan harus berbaring di mana karena kasur Putra ditempati Habib dan Habib seolah-olah sudah menguasai kasur itu untuknya sendiri.
Melihat kebingunganku, Putra berucap (dengan agak canggung), "Lo tidur di sini aja," sambil menepuk bagian kasur di sebelah kirinya.
Dengan kikuk aku pun berbaring. Kasur ini nggak terlalu kecil amat, jadi Putra yang gemuk dan aku yang nggak terlalu kurus masih muat. Layar televisi masih menampilkan film Spider-Man, dan selama nyaris lima belas menit berikutnya cuma film itu yang mengisi suara di kamar ini. Aku dan Putra cuma berbaring sebelahan, kayak dua batang pohon yang disejajarkan. Nggak ada jarak di antara kami karena keterbatasan ruang, lengannya yang gembul bersentuhan dengan lenganku. Putra telanjang dada, tapi dia menutupi perutnya dengan selimut, sementara aku pakai kaos tanpa lengan, dan jantungku berdebar hebat nggak keruan. Kulitnya bersentuhan dengan kulitku.
"Lo kuat juga, untuk ukuran orang yang baru pertama kali minum vodka," komentar Putra.
Aku tersenyum. "Tubuh gue kayaknya memang tercipta untuk yang haram-haram."
Dia tertawa mendengar ucapanku. Lalu dia mematikan televisi. Mendadak kamar jadi hening. Yang terdengar cuma suara dengkur halus Habib dan dengungan AC.
"Jadi, gimana? Masih kepikiran?"
Aku bingung. "Kepikiran apa?"
"Tadi sore kan lo ribut sama cowok lo, pasti lo galau banget kalo sampe nangis begitu."
Aku diam sejenak. Kami masih sama-sama menatap ke langit-langit. "Yeah, udah nggak terlalu bikin galau lagi sih sekarang karena efek alkoholnya masih kerasa."
"Masih pusing karena alkohol?"
"Sedikit."
"Gue juga sebenarnya lagi galau," katanya tiba-tiba.
"Karena?"
"Cewek gue kayaknya selingkuh. Entah deh, memang nggak ada buktinya, cuma gue ngerasa akhir-akhir ini dia kayak berubah. Lo pasti bisa ngerasain kan ada yang salah dan ada yang beda dengan pacar lo dengan menilai sikapnya ke kita?"
Aku mengangguk. Aku paham banget karena kalau Reza selingkuh pasti dia mulai bertingkah nggak peduli sama aku.
"Itu yang gue rasain sekarang. Gue berani nebak dia selingkuh karena gue sempat baca chat-an dia sama temannya bahas cowok."
"Mungkin mereka memang cuma lagi ngobrol biasa ngomongin cowok doang?" kataku, berusaha netral.
"Mungkin. Tapi entah deh, cowok yang mereka obrolin itu adalah cowok yang belakangan ini lagi sering kerja bareng cewek gue."
"Mungkin mereka emang cuma lagi kerja bareng aja, jangan berspekulasi yang aneh-aneh sendiri," kataku.
"Ya sih, tapi nggak tahu deh, intinya gue ngerasa dia berubah aja sejak kerja bareng cowok itu. Chat-an kami kurang intens, terus juga akhir-akhir ini dia jarang bisa diajak ketemu, dia suka tidur lebih cepet, hal-hal semacam itulah."
Aku paham banget dengan apa yang dirasakannya. Kegelisahan nggak jelas dan pikiran-pikiran negatif yang mulai bermunculan karena skenario nggak jelas yang dibuat kepala sendiri. Dulu aku pernah begitu sama Reza, yang sialnya itu bukan skenarion nggak jelas, tapi memang Reza Anjing tukang selingkuh. Tapi apa yang dirasakan Putra mungkin memang cuma kecemasan biasa.
"Cewek lo berubah mungkin karena dia capek. Positive thinking aja. Mungkin memang kerjaannya lagi seabrek-abrek."
Putra cuma diam saja karena mungkin bukan itu yang ingin dia dengar dariku. Aku yakin dia sendiri pasti sudah punya spekulasi seperti itu di dalam kepalanya. Yang dia butuhkan saat ini adalah bukti kalau ceweknya memang nggak selingkuh. Tapi aku juga nggak tahu harus memberikannya bukti apa-apa, jadi aku ikutan diam juga.
"Kok lo nggak tidur?" tanyanya.
"Nggak bisa tidur."
"Sama."
Hening lagi. Aku menahan diri supaya mataku nggak melirik-lirik ke perut Putra, karena kalau perutnya kelihatan sedikit saja di balik selimut aku yakin aku pasti bakal ngaceng hebat, dan bakal malu banget kalau ketahuan ngaceng cuma karena lihat perutnya.
"Put, thank you ya," ucapku.
"Untuk?"
"Nggak tahu. Thank you aja pokoknya. Lo orang baik."
Putra tiba-tiba banget menyibakkan selimut sehingga perutnya yang gembul dan kenyal-kenyal kelihatan, lalu tiba-tiba banget juga dia miring ke kiri. Aku menahan diri nggak memiringkan badan ke kanan supaya wajah kami nggak berhadapan. Dia kenapa sih anjir kayak gini?
"Gimana rasanya alkohol? Enak, kan?"
Aku mengangguk kikuk.
"Bakal ketagihan nggak?"
Aku menggeleng. "Nggak tahu."
Putra diam. Aku yang dari tadi fokus menatap ke langit-langit saking degg-deggannya karena nggak nyangka bakal sekasur dengan Putra, menoleh ke kanan dan wajahku berhadapan dengan wajah Putra. Jarak wajah kami cuma sejengkal jari. Buru-buru aku kembali menolehkan kepala ke langit-langit saking paniknya wajah kami sedekat itu. Jantungku rasanya mau copot. Padahal AC sudah yang paling rendah, tapi aku merasa pipiku panas.
"Lung," kata Putra.
"Ya?"
"Kenapa lo nggak mau noleh ke gue?"
Aku menggeleng.
"Santai aja. Kita kan temen. Dan lagian, gue masih agak mabuk. Mungkin besok gue bakal lupa sama apa yang kita lakuin sekarang."
"Em ... emangnya kita mau ngela ... ngelakuin apa?" tanyaku, terbata-bata. Sial, maksud lo apa sih Putra?
Putra nggak menjawab.
Penasaran, aku memberanikan diri menghadap ke kanan sehingga wajah kami benar-benar berhadapan sekarang. Mata Putra yang menyorot lembut-walau agak-agak sayu karena pengaruh alkohol-membuat jantungku berdebar makin hebat. Lalu, Putra bergeser sedikit hingga wajah kami hanya berjarak seembusan napas. Aku bisa merasakan napasnya di wajahku. Refleks aku memejamkan mata. Tuhan, kalau ini mimpi kayak yang tadi pagi, bangunkan aku sekarang juga supaya aku nggak dongkol nantinya. Tapi kayaknya ini bukan mimpi, dan hangat napas Putra terasa nyata di wajahku.
Lalu ... cup!
Putra menciumku.
Di kening.
Mataku terbuka. Dia tersenyum manis. Senyum yang selalu kusukai. Senyum yang selalu membuat orang lain ingin ikutan tersenyum. Senyum yang selalu membuat jantungku berdebar hebat, dan sekarang senyum itu membuat jantungku nyaris copot.
"Gue dengar apa yang lo ucapin di kamar mandi tadi," katanya. "Lo berharga, Lung. Lo hebat. Tetap bertahan hidup walau sekejam apa pun dunia sama lo, ya? Jangan menyerah," ucapnya, manis sekali.
Aku tersentuh. Ucapannya bagai tangan lembut yang menyelimuti tubuhku dengan rasa aman. Lalu, Putra memelukku. Dia benar-benar memelukku. Kepalaku sekarang berada di dada kirinya yang berbulu dan aku bisa mendengar degup jantungnya. Pelukan Putra terasa seaman ucapannya tadi. Aku memejamkan mata, sambil meneteskan air mata lagi karena untuk sekali ini saja aku benar-benar merasa aku berharga, aku diinginkan, aku disayang.
Malam itu aku tidur di pelukan Putra.
Bandar Lampung, 19 September 2023
Oh iya, gambar di media itu Putra! Ilustrasi dibuat oleh salah satu pembaca setia cerita ini, hihi. Dia gemoy, kaan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top