The Slaughter
Eyress kembali berburu sendirian di dalam hutan. Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Nox, ia masih tidak bisa menghilangkan pertanyaan besar di dalam kepalanya tentang mata birunya.
Saat ini ia sedang duduk di salah satu batang pohon paling tinggi di Pulau. Ia bisa melihat lautan yang terhampar dengan sangat indah. Tidak pernah sekali pun, Eyress mendekati laut. Itu karena ia takut dengan apa yang ia lihat. Ia takut dengan penglihatannya sendiri. Karena, Eyress punya kemampuan yang tidak dimiliki oleh sukunya. Ia tidak berani membuat Sang Fires bertambah menolak kehadirannya.
Sebab, ia bisa melihat apa yang tersembunyi di dalam laut.
Dahi Eyress berkerut ketika melihat empat kapal yang sangat besar mengarah ke Tarota. Pulau yang ditinggali oleh sukunya. Ia mengadah ke langit, dan terheran dengan purnama yang sedikit kemerahan. Apa, bulan bisa memiliki warna seperti itu?
Eyress perlahan turun dari atas pohon dan berlari menuju tebing. Ia bisa melihat, kapal-kapal itu membawa banyak sekali orang dengan pakaian yang aneh. Gar juga tidak berada di sini, Eyress memiliki perasaan tidak enak dengan kehadiran kapal-kapal itu.
"Gar! Gar!" Eyress berlari seraya meneriaki monyet suci itu. Ia harus bisa keluar dari pulau ini dan mencari tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang berseragam aneh itu.
Gar tidak ia temukan dimana pun, Eyress semakin panik. Telinganya mendengar suara ledakan yang begitu keras. Matanya kembali berganti warna. Jika, ia menggunakan mana, maka insting nya menjadi lebih ganas dan haus darah. Ia harus bisa keluar dari pulau ini.
Eyress beruasaha menembus perbatasan pulau. Ia berteriak frustasi, sebab, pembatas itu ditutupi oleh sihir paling kuat yang dimiliki oleh Maya. Wanita tua itu benar-benar melarangnya untuk meninggalkan pulau. Tetapi ia tidak bisa berdiam diri saat suara ledakan itu semakin terdengar lagi berkali-kali.
Bulan tidak lagi menyinari cahaya terang berwana putih, melainkan cahaya merah mengerikan dan membuat kedua mata Eyress kesakitan. Mana nya menghilang, ia tidak bisa menggunakan sihir api. Ia kehilangan Instingnya. Eyress berlari dan memanjat pohon dengan cepat untuk melihat apa yang terjadi.
Kobaran api di mana-mana.
Pulau Tarota ditutupi oleh api. Bukan, sihir api. Melainkan api milik orang-orang berseragam aneh itu.
"Gaaaaarrrrr! Kau dimana?!"
Eyress menangis saat tidak merasakan sedikit pun keberadaan Gar. Mata merahnya kembali berubah menjadi biru. Jika, ia menggunakan mata birunya. Ia bisa mendengar suara-suara yang tidak ingin ia dengar.
Di sana, anggota suku tengah berteriak kesakitan. Mereka menangis, menjerit. Eyress tidak bisa menembus pembatas sihir pulau. Eyress tidak bisa membantu anggota sukunya. Ia terjebak di pulau ini.
"Maya?! Maya?!" Eyress histeris ketika mendengar jeritan maya lewat pendengarannya. Wanita tua itu seperti sedang di bunuh perlahan-lahan orang-orang itu. Eyress mengepalkan tangannya, ketika air laut perlahan-lahan mulai memerah.
"Gar! Kau dimana!!!"
Eyress berlari tanpa henti mengelilingi seluruh pulau. Gar tetap tidak ditemukan, suara yang masuk ke dalam telinganya juga tidak berhenti. Mereka dihabisi dengan cara mengerikan. Eyress berlari seraya menutup telinganya. Ia tidak sanggup mendengarnya lagi.
Ia sampai di ujung tebing.
Eyress melihat ke bawah. Tetapi di bawah sana adalah lautan. Jika, ia mencoba loncat, maka kemungkinan besar ia akan mati karena ia tidak bisa berenang. Hanya tempat ini satu-satunya yang tidak dilindungi sihir Maya. Karena, tidak ada satu pun manusia yang berani untuk loncat dari tebing dan air laut adalah satu-satu hal yang paling tidak ingin didekati oleh Suku Shanka. Karena secara alamiah, musuh terbesar api adalah air. Suku Shanka tidak dapat menggunakan sihir api jika berada di dalam air.
"Gar ... kau dimana?" lirih Eyress.
Suara ledakan kembali terdengar. Eyress begitu frustasi. Ia menutup matanya dan langsung loncat ke bawah sana. Apa pun yang terjadi, ia sudah mencoba untuk menyelamatkan anggota sukunya. Mungkin, dengan begini. Sang Fires akan menerima dirinya yang berbeda.
Eyress.
Eyress.
Biarkan lautan menghapus luka mu.
Eyress tidak merasakan apapun selain tubuhnya yang seakan dipeluk oleh air. Napas nya berat, ia tidak bisa membuka matanya sendiri. Eyress hanya bisa mengasihani dirinya sendiri yang mati tenggelam. Ia tidak bisa menyelematkan Maya dan anggota sukunya yang lain, juga ia tidak dapat menemukan Gar. Mungkin, kematian adalah pilihan yang baik untuknya yang diasingkan.
Eyress!
Mata Eyress langsung terbuka. Ia terbatuk-batuk hingga memuntahkan air yang masuk ke dalam perutnya. Ia mencoba menghirup udara pelan-pelan. Ternyata, bulan sudah berganti menjadi matahari. Eyress mencoba menutup matanya, lalu, ia tersadar jika seharusnya hari masih malam.
"Gar?!"
Eyress merasa kesakitan di dadanya. Seakan ada sesuatu yang menekan jantungnya sendiri. Matanya menjelejah sekitar, Ia tersenyum getir. Akhirnya, ia berada di luar pulau. Namun, pulau yang dulu ia kira tempat paling menyenangkan dan hangat. Berganti menjadi pulau mengerikan yang dipenuhi rumah-rumah terbakar, anggota suku yang terbunuh, hingga air laut yang memerah. Eyress mencoba bangkit perlahan-lahan, ia berjalan tertarik-tatih masuk ke dalam pulau Tarota.
"Semuanya hilang. Kehangatan itu menjadi mencekam," lirih Eyress.
Kakinya melangkah lurus menuju kuil. Bangunan itu hampir roboh dan tangga-tangga dari batu sudah hancur menjadi serpihan. Setiap langkah yang ia ambil, memori itu kembali merasuk ke dalam kepalanya. Tatapan anggota suku yang ketakutan dan menghindarinya.
"Maya?" Eyress mencoba memanggil wanita tua itu. Walaupun ia tahu itu sangat mustahil. Jika, Maya masih hidup. Ia masih tidak bisa menerima ini semua.
Tangannya meraba-raba dinding kuil, Ia menemukan ukiran-ukiran mengenai Sang Fires. Manusia pertama yang diberkahi mana api oleh Yang Maha Kuasa. Manusia yang bisa merubah wujudnya menjadi Phoniex. Ksatria mulia yang dihukum oleh semesta karena mencintai perang dan darah. Dan juga, manusia yang membenci mata biru dengan alasan yang sampai saat ini tidak diketahui. Begitu lah Sang Fires yang diceritakan Maya kepadanya.
Eyress berhenti di depan ruang persalinan wanita. Ia mendorong pintu itu dan meraba meja batu dimana tempat ia dilahirkan dan ibu nya mengembuskan napas terakhirnya. Eyress menyentuh matanya. Ia menangis di samping meja itu dan memukul dadanya berkali-kali.
"Kenapa harus aku yang bermata biru, Maya? Mengapa?"
Tiba-tiba, ia mendengar suara gaduh di dekat pintu keluar kuil. Ia mengambil kayu yang ada di sana dan menggenggamnya erat. Lalu, Eyress begitu terkejut dan melempar kayu itu sembarang arah dan berlari memeluk Gar yang berada di sana.
Tubuh Gar dipenuhi luka, Ia menangis melihat kondisi teman satu-satunya. Eyress langsung membawa Gar masuk ke dalam kuil dan menutup pintu kuil. Ia meletakkan Gar di atas meja batu dan keluar untuk mencari sesuatu yang dapat menutup luka monyet suci itu. Namun, Gar menggeleng. Ia seakan berkata padanya bahwa luka ini tidak seberapa. Namun, Eyress tetap khawatir. Sangat khawatir, setelah semua ini terjadi. Hanya Gar lah satu-satunya yang ia miliki. Hanya Gar.
"Kita pulang Gar," ujar Eyress sendu.
Gar mengangguk dan begitu sangat lemas berada di pelukan Eyress.
Sihir Maya sudah menghilang. Pulau Lausia tidak lagi menjadi tempat aman untuk ditinggali. Karena, walaupun pulau itu merupakan pulau buangan. Namun, Lausia memiliki apapun untuk bertahan hidup. Besok, Eyress akan kembali lagi ke Tarota.
Ia akan mencari apapun yang dapat menunjukkannya sesuatu tentang dibalik pembantaian ini.
"Aku akan kembali lagi," lirih Eyress. Sebelum berlari amat cepat kembali ke Pulau Lausia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top