Plan 30

"Kamu nggak ada hak buat masuk ke kamar itu!" teriakku keras dan menghempaskan tangannya.

Ndaru mematung di tempat. Dia berkedip beberapa kali. "Apa maksud kamar itu, Lula?" tanyanya dengan suara lirih.

Aku memalingkan wajah. "Pergi! Aku pengin kamu pergi dari sini!"

Ndaru tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan, saat kuseret tangannya. Ia menghentakkan tangannya ke udara, membuat tanganku terhempas. Aku menatapnya murka. Apa yang lelaki itu inginkan?

"Apa kamu nggak paham omonganku barusan?" desisku. "Keluar Ndaru! Aku mau kamu keluar dari sini!"

"Itu kamar apa, La? Kenapa ada foto bayi di sana? Ada fotomu juga." Kening Ndaru bak kertas yang baru dilipat. Kusut. Beberapa kali ia kembali melirik ke arah kamar Kalya.

Aku menggeleng dan berusaha mendorong badan Ndaru. "Please, you need to leave!"

Lelaki itu mencengkeram kedua bahuku, terlalu erat, sampai tulang-tulangku linu. "Kamu selalu bilang kamar ini gudang. But, it does not look like one. Apa yang coba kamu sembunyikan?" Ndaru menekuk lututnya, menyejajarkan pandangannya denganku. Kedua alis tebalnya menyatu di tengah.

Aku mengalihkan pandangan ketika rasa sesak tiba-tiba memenuhi tenggorokan dan rongga dada.

"Apa yang aku lihat tadi sesuai yang aku pikirin, La?" Ndaru mengguncang bahuku keras, membuat badanku terayun. "Jawab!"

Suaranya yang meninggi menyayat hatiku. "Iya! Sekarang kamu udah tahu, kan? Gimana busuknya aku! So, just leave me alone! Nggak mungkin kan, kamu mau stay sama perempuan menjijikkan kayak aku?"

Cengkeramannya di pundakku terlepas. Mulutnya menganga. Tampak beberapa kali, ia menarik napas. Matanya memejam lama dan ketika membuka kembali, aku bisa melihat pelupuknya penuh dengan air mata.

"D-di mana sekarang?" Suaranya tercekat. "The baby?"

"Gone," jawabku yang lebih mirip bisikan.

"Siapa?" Ndaru kembali bersuara, kali ini dengan sorot mata yang tajam. "Is she Azka's daughter?"

Aku memalingkan wajah darinya. Tak ingin Ndaru menyaksikan bagaimana piasnya wajahku. Bagaimana hancurnya diaku. Bagaimana lemahnya diriku. Bagaimana kotornya aku.

Aku menggigit bibir bawahku, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, karena lidahku kelu. Tak ada suara, selain tarikan napas yang terdengar berat dari kami berdua. Dia mundur beberapa langkah dariku. Benar, memang harusnya begitu. Tak akan ada yang sudi bersamaku.

"Can you just go home, Ndaru? I am tired." Sebisa mungkin aku menahan emosi yang membuncah. Menahan agar suaraku tak goyah.

Meskipun kebenaran sudah di depan mata, rasanya aku belum sanggup menceritakan semuanya pada lelaki itu. Aku juga tak mampu membaca untuk siapa reaksinya ia tujukan. Kekecewaan, amarah, tidak percaya tercetak jelas di wajahnya. Dan, akan sangat menyakitkan jika, semua emosi yang begitu besar itu, ia tujukan padaku. Tak ingin menambah luka yang telanjur tertoreh, lebih baik aku tak mendengarkan penjelasan dari mulutnya. Lebih baik aku mengusirnya pergi dan menumpahkan segala kepedihan sendirian. Seperti biasa.

Ndaru malah mendengkus, sambil berkacak pinggang. "Kamu nggak bisa usir aku seenaknya sebelum ceritain semuanya," tukasnya dengan suara rendah dan tatapan mengintimidasi.

Lelaki itu kembali mendekat. Rahang Ndaru mengetat, bibirnya menipis. Dadanya terlihat naik turun. Aku terus berjalan mundur hingga punggungku menabrak tembok. Dia meletakkan satu tangannya di sisi kanan kepalaku. "Kenapa kamu nggak pernah cerita ini ke aku? Kenapa kamu harus nyembunyiin rahasia sebesar ini? Kenapa, Lula?" Gigi Ndaru bergemeletuk dibarengi dengan embusan napas berat.

"Kenapa?" Aku mencebik. "Karena aku pengecut! Karena aku nggak tahu gimana reaksimu nanti! Karena aku egois! Karena aku pengin sama kamu lebih lama. Nggak ada yang menjamin kamu atau siapa pun itu nggak pergi setelah tahu pacarnya dulu pernah dihamilin orang, pernah jadi cewek menjijikkan. Rahasia ini, nggak seenteng yang kamu bayangin, Ndaru. Rasa takut, penyesalan, rasa bersalah itu masih menggerogotiku sampai sekarang. Kamu nggak tahu, seberapa banyak yang aku korbanin karena lelaki berengsek itu. Kamu nggak tahu, apa yang udah aku laluin karena dia!"

Dan, tangisku pun pecah. Rasa sesak yang dari tadi memenuhi dada, kutahan mati-matian, menyembur keluar. Rasa sakit, amarah, malu, tidak pantas menyeruak. Aku berjalan mendahului Ndaru menuju kamarku yang berada di sayap kanan, tapi lelaki itu menarik tanganku dan membawaku ke pelukannya.

Aku meraung keras di dadanya. Dadaku terasa nyeri, perih, seakan ada banyak pisau yang tertancap di sana. Sudah pasti aku membasahi kaus yang ia pakai dan mengotorinya dengan ingusku. Namun, Ndaru tidak melepaskan. Ia mendekapku kencang. Mengusap-usap rambutku sambil terus menciumi puncak kepalaku. Aku bisa merasakan dadanya ikut bergetar hebat. Tidak mungkin, dia ikut menangis, kan?

Ndaru kemudian membopongku menuju sofa. Aku bergelung di pangkuannya sambil terus terisak. Dadaku yang awalnya terasa penuh sesak, sekarang terasa kosong dan ringan. Sedikit lega. Mungkin, karena akhirnya aku bisa menumpahkan semua emosi yang tertahan tadi. Tak ada lagi yang bisa kusembunyikan darinya. Otakku masih memikirkan beberapa skenario yang memungkinkan terjadi setelah ini. Akankah Ndaru akan pergi? Atau dia akan tetap tinggal?

"A-apa yang udah Azka lakuin ke kamu, La?" bisiknya dengan suara bergetar.

Aku terkejut mendengar suaranya yang parau. Kedua lengan Ndaru masih memelukku erat. Dagunya bertumpu pada kepalaku. Sedangkan aku bersandar di dadanya.

"Kamu nggak pergi, Ru?" cicitku, "setelah semua yang kamu lihat hari ini, kamu nggak ninggalin aku?"

"No, Kalula. Aku nggak akan ke mana-mana." Lelaki itu menelengkan kepalanya, lalu mengangkat daguku sehingga pandangan kami bertemu. "So, tell me, what that bastard did to you?"

Aku menarik napas, perlahan. Aku berpindah duduk di sampingnya. Ndaru melingkarkan tangannya pada bahuku. Aku dapat merasakan tatapannya padaku, tapi aku terlalu pengecut untuk menatapnya. Jadi, aku memilih untuk memeluk diriku sendiri, menumpukan daguku pada lutut, dan melihat ke depan.

"I told you, right? If Azka broke me? What I mean, he literally crushed me and tear me, pieces into pieces."

***

Sederet nomor telepon yang kuhafal di luar kepala, tertampil pada layar ponselku. Helaan napas meluncur beberapa kali dari sela bibirku. Kata-kata Mpok Ana tadi, menamparku, keras. Membuat aku kembali mempertanyakan keputusan yang kuambil.

"Eh, La ... menurut gue nih, ye, lo kasih tau enyak lo aje. Ye, pasti sih, marah. Anak dikuliahin jauh-jauh, malah main-main sampai bunting. Tapi, enyak lo bakal tambah marah kalau tahu dari orang lain."

"Nggak ada yang tahu kalau gue hamil, Mpok."

"Ye, siape tahu enyak lo tiba-tiba ke Jakarte, terus lihat perut udah mblendung begitu. Menurut lo aja deh, panik nggak tuh, enyak lo?" balas Mpok Ana sambil terus memotongi kuku. "Terus, lo pikir ngurus bayi itu gampang? Gue aja nih, ogah kalau disuruh ngurus bayi lagi. Apa lagi, anak kecil kayak lo. Lo nggak akan sanggup ngurus anak lo sendirian."

Haruskah aku memberitahu mama? Tapi, aku tidak ingin membuat hatinya patah. Terlambat, Lula, terlambat. Cemooh otakku. Orang tua mana yang tidak patah saat mengetahui anak yang dijaganya melanggar banyak aturan dan norma hanya untuk menyenangkan sang pacar?

Isakan terbangun di tenggorokan. Aku mengembuskan napas perlahan, sambil menepuk-nepuk dadaku. Aku memberanikan diri, mengirim sebaris pesan pada mama, yang dibalas lima belas menit kemudian.

To: Mama
Mama, Teteh pengin ngomong sesuatu. Tp, Mama jangan cerita-cerita siapa-siapa ya...

From: Mama
Kenapa, Teh? Mama telepon ya?

Badanku berjengit ketika dering ponsel berbunyi nyaring memenuhi kamar kos mungilku ini. Telapak tanganku basah dipenuhi keringat dingin. Dadaku langsung bergemuruh tak karuan. Dengan tangan bergetar, aku menerima panggilan telepon dari mama.

"Halo, Teh. Teteh ada apa?"

Aku menggigit bibir, menahan isakan keluar. "Mama di mana?"

"Di toko."

"Sendirian?"

"Ada Teh Iis. Kenapa sih, Teh?"

"Ma, maafin Teteh ya, Ma ... " bisikku tercekat. "Maafin Teteh, Ma.... "

"Teteh kenapa, sih? Jangan bikin Mama panik."

"Mama pasti benci Teteh. Mama pasti marah sama Teteh." Tangisku pun pecah. Aku duduk bersandar tembok sambil memeluk bantal guling.

Mama terus memanggil namaku dan memintaku untuk tenang. Tapi tangisku malah semakin tak terbendung. "Teteh, Mama bisa aja marah. Mama bisa aja kecewa. Tapi, Mama bakal terus sayang sama Teteh. Bakal terus ada buat Teteh. Sekarang Teteh cerita, ada apa?"

Aku menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. "T-Teteh hamil, Ma."

Setelahnya aku tak mendengar sahutan dari sambungan seberang. Aku menahan napas, bersiap mendengar amukan dari mama.

"U-udah berapa bulan, Teh?" Meskipun dengan suara bergetar, mama menanyaiku dengan tenang.

"Enam bulan, Ma."

Kali ini, aku bisa mendengar suara mama terkesiap. Anak macam apa aku? Tidak bisa memberi kebahagiaan, malah melakukan kesalahan fatal, yang mempermalukan keluarga.

"Maafin Teteh, Ma... " Aku tersengal-sengal. "Maafin Teteh, Ma .... "

"Mama sama Papa besok ke sana, ya?"

"Jangan!"

"Sayang, Mama khawatir sama Teteh. Mama pengin lihat Teteh."

Aku tergugu. Mama terus bertutur halus. Mama mengkhawatirkanku. Suaranya tidak meninggi sama sekali. Mama tidak membentakku, mama tidak menanyakan siapa ayah si jabang bayi. "J-jangan bilang Papa, Ma ... jangan bilang Papa, Ma."

"K-kenapa, Teh?"

"Papa pasti marah besar. Teteh takut .... "

Meski humoris, papa punya watak keras. Aku teringat dulu SMA, karena pulang malam tanpa memberi kabar sebelumnya, papa memarahiku habis-habisan. Papa menggebrak meja membuatku menangis sesenggukan. Bahkan, keesokan harinya papa tidak memberi uang saku padaku.

"Ya, udah ... Mama ke sana sendiri, ya? Teteh mau apa? Nanti Mama bawain," kata mama pelan.

"Nggak, Ma. Teteh nggak minta apa-apa." Mama mau memaafkanku dan menerimaku kembali saja, itu sudah lebih dari cukup.

***

"Jadi, kamu nggak nyembunyiin ini dari Azka, tapi dia malah minta kamu gugurin kandungannya?"

Aku mengangguk. "Enam bulan kemudian dia nikah sama Diandra."

Ndaru membiarkan aku menceritakan garis besar tentang masa laluku. Dia sama sekali tak memotongku, atau menanyakan sesuatu, meski aku tahu bibirnya terlalu gatal. Beberapa kali rangkaian sumpah serapah meluncur dari bibirnya. Lelaki itu yang awalnya duduk, saat mendengar ceritaku menjadi gusar dan tidak tenang. Ia mondar-mandir di depanku. Sesekali menarik rambutnya dengan kasar. Bahkan, Ndaru sempat memukul dinding beberapa kali sambil mendesis. Dia baru membuka mulut, setelah aku terdiam cukup lama.

"Gue tahu dia berengsek, tapi gue nggak tahu kalau dia seberengsek ini." Ndaru kembali meninju tembok. "Dammit!"

"Setelah itu aku sendirian. Beneran sendirian. Aku terlalu takut buat bilang keluarga."

"So, you don't tell your parent? Kamu jagain anak kamu sendirian di Jakarta?" Lelaki itu berjongkok di depanku, menggenggam tanganku.

"I told my mother. Tapi udah telat. Usia kandunganku udah mau tujuh bulan waktu itu."

"Your father?" Dia menelengkan kepala, berusaha menangkap pandanganku. Aku tersenyum kecut lalu menggeleng. "Om Drajat nggak tahu? Kalau sekarang?"

"I-I was so scared," kataku tersengal.

"Oh, Baby .... " Ndaru bangkit untuk duduk di sampingku, lalu merengkuhku. "It must be very hard for you."

"Sampai sekarang pun, aku nggak tahu gimana caranya ngomong ke papa, Ru. Papa pasti kecewa sama aku, marah, dan itu karena anak perempuan kesayangannya nggak bisa jaga diri. Terlalu bodoh. Terlalu naif. Terlalu percaya sama cowok yang dia anggap nggak bakal ninggalin dia," ungkapku dengan suara tertahan. "Aku nggak bisa bayangin gimana hancurnya papa waktu tahu, aku nggak sehebat yang dia lihat. Nggak cuma gagal jadi ibu, aku juga gagal jadi anak."

"Jangan ngomong begitu, Babe." Ndaru menangkup pipiku, mengusap air mataku dengan ujung ibu jarinya. "Kamu nggak gagal. Kamu cuma melakukan kesalahan, yang sekarang kamu sesali. Kamu belajar, Sayang. Bukan gagal."

"Kamu nggak ngerti ... " Aku menggeleng, "Kalya meninggal, karena aku. Aku nggak bisa jaga diri, aku nggak rawat anakku dengan baik, nggak bisa mencukupi gizi Kalya dengan maksimal. Dia lahir prematur karena kandunganku lemah, karena aku kecapekan terus. Dan lihat akibatnya, dia punya kelainan jantung. Itu semua nggak akan terjadi kalau aku bisa rawat Kalya lebih baik. Dia pasti akan lahir sehat, nggak perlu kena kelainan yang sulit disembuhkan. Itu semua, kesalahanku, Ndaru." Aku mempertegas kalimat terakhir sambil menunjuk dadaku.

"It was not your fault," pungkas Ndaru dengan suara tegas. "Kalau ada orang yang patut disalahkan, itu Azka. Kamu kecapekan, karena apa? Karena kerja untuk cari makan, cari susu, ngumpulin biaya lahiran. Kamu keluar kuliah demi Kalya. Kamu rela pontang-panting cari kerja, buat Kalya. Kamu nggak gagal, Lula. Bukan kamu yang harus merasa bersalah, tapi si berengsek itu."

Aku mengiakan seluruh perkataan Ndaru barusan. Alasan mengapa aku sebenci itu pada Azka, bukan hanya karena dia memilih Diandra setelah meninggalkanku. Tapi karena, lelaki itu, yang membuat anakku mati. Lelaki itu yang membuat anakku menderita. Lelaki itu yang menempatkanku di masa sulit, sendirian. Jika saja Azka lebih peduli, Kalya mungkin masih ada sampai sekarang.

"Tapi, kayaknya emang lebih baik Kalya pergi duluan. Untuk apa juga dia lama-lama di dunia, dengan ibu yang nggak becus ngurus dia, sedangkan bapaknya terang-terangan nggak mau dia. Dia pasti akan lebih menderita kalau tumbuh besar dan tahu ayahnya sendiri, nggak menginginkannya," ucapku.

"Stop ngomong kamu nggak becus ngurus Kalya, please. Stop it," tandas Ndaru sekali lagi. "Kalau aja aku tahu alasanmu putus sama Azka waktu itu, I'll come to you sooner."

Yang terakhir itu, Ndaru berbicara tanpa memandangku. Dia seperti kehilangan fokus dan terjebak di dunianya sendiri. Dia menjambak rambutnya dan merapalkan umpatan sekali lagi.

"Apa yang mau kamu lakuin?"

"Save you? Kill him? Aku nggak tahu mana yang akan kulakuin duluan, tapi yang pasti aku nggak akan cuma diam dan let you suffer alone."

Aku menatapnya penuh kebingungan. Pada waktu itu, hubungan kami belum sehangat dan sedekat sekarang. Tentu saja, karena Ndaru baru meminta kesempatan untuk 'berteman' belum genap setahun lalu. Harusnya, waktu itu kami masih saling benci seperti saat SMA. Toh, kami juga tidak pernah berusaha untuk saling 'menyapa' setelah lulus dari bangku sekolah. Jadi, mengapa ia terlihat menyesal karena terlambat datang?

***

Puas?

Plong?

Gimana ... gimana...

Coba deh, kalo kalian jadi Ndaru, terus tau fakta ini, kalian bakal ngapain?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top