Plan 28
Beberapa hari lalu, aku memesan rak dinding dari IKEA, untuk kupasang di perpustakaan kini yang tergabung dengan ruang kerja. Well, salah satu keuntungan punya pacar arsitek, Ndaru membantuku untuk merenovasi apartemen. Bukan renovasi besar, lebih ke memperbaiki tatanan interior. Namun sayangnya, akhir-akhir ini kesibukanku terlalu menggila. Untungnya, Ndaru punya banyak waktu luang setelah proyeknya di Bali selesai. Jadi, aku meminta lelaki itu ke kantor, untuk memberikan key card apartemenku padanya.
"Raknya mau aku pasang di mini office di dekat balkon. Nanti kamu arahin mas-mas IKEA-nya, ya .... Terserah kamu mau pasang di dinding sebelah mana. I trust your taste," kataku sambil mengangsurkan key card apartemen. "Pegang kamu dulu."
"Ini rak yang kamu beli, sama kayak pas didiskusiin sama aku, kan?"
Aku mengangguk. "Sama."
"Oke, Babe. Rak mau diantar jam berapa?"
"Jam 11 siang, rencananya. Kamu ke sana dulu aja," jawabku, "Eh, Babe ... minta tolong beli jajan buat yang anter, ya? Mau donat, pizza, atau nasi uduk, kek. Terserah."
"Siap, Sayang." Ndaru mengusap puncak kepalaku lalu melenggang keluar dari kantor.
Ndaru terlihat manis dengan kaus polo biru muda dan celana krem selutut bersaku banyak. Dia terlihat lebih manusiawi dan mudah digapai. Aku merasa satu level dengannya. Tapi, kalau sudah pakai setelan jas formal, oh man ... aku jadi ingat dia seorang penerus dari Santoso's Architect. Kadang, aku masih tak menyangka dan kaget sendiri, ketika menyadari fakta aku berkencan dengan Evandaru Damaresh. Like, Kalula you catch the biggest fish out there, girl!
Alasan mengapa aku terburu-buru menyelesaikan penataan apartemen karena, kami berdua tidak jadi bertolak ke Bandung, dan sebagai gantinya mama, papa akan berkunjung ke sini, minggu depan.
***
"Wah! Party, party!" Aku bersorak kesenangan saat Ndaru datang dengan membawa sekotak ayam goreng, pizza, dan sebotol coca-cola. Jarang-jarang, dia mau menyantap makanan seperti ini.
Ndaru meletakkan makanan itu di meja ruang tamu. Sedangkan aku ke dapur untuk mengambil piring dan gelas.
"Nyalain teve, Ru. Aku mau nonton drama Korea." Aku menempatkan bokong di sofa panjang, sebelah Ndaru.
Lelaki itu mendengkus. "Tapi, jangan yang cinta-cintaan!" Dia membuka botol soda dan menuangkannya pada gelas.
"Iya, iya! Ini bagus, loh. Judulnya Taxi Driver." Aku menyomot sepotong pizza dan melahapnya.
"Ini terakhir kalinya kita party pakai makanan begini," tukas Ndaru sambil memakan paham ayam yang sudah dicocol saus.
Aku langsung melayangkan sorot tatapan tajam, tak terima. "Kenapa?"
"Ya, lebih enak party bikin barbeque, atau sate, sama steak nggak, sih? Kalau niat sekalian bikin rendang, sama lontong opor. Jadi, lebaran party."
Aku mengembuskan napas, bahuku merosot. "Kamu serius kalau nggak sama aku nggak makan banyak, kan?"
"Iya. Aku tuh kalau nggak sama kamu makannya normal, banyak sayur. Biar pas ketemu kamu bisa makan banyak," jelas Ndaru mengambil sepotong pizza.
"Tapi kan, sekarang kita hampir tiap hari ketemu," selorohku. "Aku tuh beneran khawatir kamu kena kolestrol loh, Ru."
Dia mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibirku kilat. Astaga! Aku memekik lalu mengusap bibirku dengan tisu. Minyak dari bibirnya berpindah ke bibirku. "Sialan kamu!"
Ndaru tergelak, lalu meneguk colanya. "Kenapa? Bau ayam?" Satu sudut bibirnya menukik ke atas. Aku tahu dia meledekku sekarang. "Biar bervariasi, kemarin udah rasa kambing."
Aku mencebikkan bibir dan mengalihkan pandangan ke layar televisi, tak menghiraukannya. Semakin antik saja kelakuan lelaki di sebelahku. Untuk beberapa saat, perhatianku benar-benar tersedot dengan jalan cerita serial Taxi Driver.
"Dasar iblis!" umpatku saat menyaksikan kejahatan yang dilakukan oleh sang antagonis. "Mati, please ... lo semua kudu mati."
"Apaan, sih, Babe?" gerutu Ndaru dengan mulut penuh.
Aku melirik ke samping dan terkejut pizza di meja hanya tersisa dua potong. Padahal, aku baru memakan sepotong. Aku langsung memicing ke arah satu-satunya tersangka di ruangan ini. "Doyan juga kamu, pizzanya langsung ludes begini."
"Loh, kata siapa aku nggak doyan?" sangkalnya. "Kamu makan dua potong sama makan ayam aja pasti kenyang."
Iya, sih. Dua potong pizza dan dua potong ayam lebih dari cukup untuk makan malam. Tanpa sadar aku mengusap perutku yang tidak rata, agak membuncit. Tanganku berpindah mengusap perut Ndaru, yang terasa sangat berbeda denganku. Keras dan datar.
"Dunia ini tidak adil."
"Olahraga, Neng." Tawa lelaki itu memenuhi ruangan, mengalahkan suara dari televisi. "Ngajakin nonton drama tapi nggak dari episode pertama. Mana nggak dijelasin lebih dulu. Gimana aku bisa nonton?"
"Jadi ... " Aku pun menjelaskan garis besar drama Taxi Driver, yang bercerita tentang sekelompok orang yang membuka jasa pembalasan dendam, lewat perusahaan taksi, "nah, tiap episode itu, ceritanya beda gitu. Sesuai sama klien taxi driver-nya. Episode ini ceritanya tentang perusahaan penyimpanan cloud yang nggak sehat. CEO-nya suka ngelakuin kekerasan ke karyawan. Terus, mereka juga share video-video porno ilegal gitu di sana. Jijik banget pokoknya."
Ndaru manggut-manggut. "Terus, kalau orang itu siapa?" Dia menunjuk pria yang barusan hampir memperkosa salah satu kru perempuan taxi driver.
"Itu cowok dulu pernah ena-ena sama kakaknya si cewek itu dan direkam pakai hidden cam. Nggak tahu gimana, videonya bisa kesebar dan kakak si cewek itu bunuh diri karena frustasi, stres," jawabku. "Emang cowok suka begitu, ya, Ru? Rekam aktivitas seks sama partner?"
Dia mengetuk-ngetuk telunjuknya ke dagu. "Ada beberapa temenku di London yang begitu. Buat pribadi aja, sih. Katanya kalau kangen bisa ditonton ulang."
"Kalau menurut kamu sendiri gimana? Is that necessary to record when you are having sex?"
Ndaru tersenyum tipis lalu mengedikkan bahu. "Jujur, La ... Aku nggak tahu. Soalnya belum pernah."
"Belum pernah rekam-rekam begitu? Bagus lah." Aku tersenyum lebar.
"Bukan." Lelaki itu menggeleng. "Ya, aku juga belum pernah ambil video when having sex, karena aku belum pernah having sex."
Bercanda? Aku tergelak sambil memukul dadanya. "Aduh, alim banget, sih ... kamu pikir aku percaya?"
Ndaru tersenyum tipis. "Kamu pikir aku bercanda?"
"Emang nggak?" Ada-ada saja pacarku itu. Dengan kemampuannya bersilat lidah di atas rata-rata, mana mungkin aku percaya. Namun, senyum di wajah Ndaru langsung lenyap sedetik kemudian.
"Nggak, La. Aku emang belum pernah having sex. What's wrong with that?" Sepasang alisnya bertautan.
Mulutku terbuka lebar. "Jadi, kamu ... p-perjaka?" Aku tergagap. Lidahku tiba-tiba kaku.
Kali ini dia terkekeh. "Bisa dibilang begitu."
Aku menggeleng keras. "Nggak mungkin ... nggak mungkin."
Kening Ndaru penuh kerutan, matanya menyipit. "Kenapa nggak mungkin?"
"Kamu jago ciuman!" protesku. "Jago banget sampai bikin aku gila!"
"Ya, karena cuma itu yang bisa aku lakuin," tukasnya, "If you forget, I just had one serious relationship, with Malaysian girl on Canada. Kebetulan, kami punya prinsip yang sama. No sex before married. Jadi, ya, paling pol grepe-grepe begitu."
Aku membeku di tempat. Holy molly, he is virgin! My boyfriend is virgin. Ndaru, lelaki super keren, tampan, seksi, mempesona ini, yang punya pekerjaan dambaan banyak orang, sudah berkeliling ke berbagai negara, tetap bisa mempertahankan prinsipnya. No sex before married. Sedangkan, aku? Bukan siapa-siapa, wajah juga biasa-biasa saja, pekerjaan? Bahkan, waktu itu aku masih mahasiswa, bisa-bisanya melupakan prinsip, melupakan orangtua, melupakan Tuhan, untuk menikmati sesuatu yang semu itu.
Rasa malu, tak percaya diri, bersalah, tak pantas langsung menghinggapi. Bagaimana jika Ndaru tahu, aku tidak sesuci yang dia pikirkan? Aku pernah melakukan hubungan di luar nikah, aku pernah hamil, aku pernah melahirkan. Apa dia masih menerimaku? Bertahan pada sisiku, dan memaafkan masa laluku. Ya Tuhan ... dadaku tiba-tiba sesak. Bayangan Ndaru meninggalkanku muncul sekelibat saat aku memejamkan mata.
"Babe ... " Ndaru mengayun-ayunkan tangannya di depan wajahku, membuatku tersadar, "ngelamunin apa?"
"Aku tiba-tiba capek, ngantuk," kataku memaksakan senyum.
"Kamu nggak kenapa-napa, kan?" Ndaru mencomot tisu di meja dan mengelap tangannya.
"Tenang aja ... cuma tadi tiba-tiba bagian belakang kepala pusing banget." Aku menepuk-nepuk belakang kepalaku dan lupa akan kotornya tanganku. Yah, besok pagi harus langsung keramas.
"Apa kena kolesterol kali, ya?" gumam Ndaru. "Kamu cuci tangan sana ... biar aku yang beresin ini."
Aku menggeleng. "Nggak perlu. Aku bisa sendiri. Mending kamu pulang duluan aja. I think I really need to sleep."
"Makanya jangan banyak begadang. Percaya sama staf-staf kamu," tuturnya seraya bangkit dan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Dia lalu memeluk tubuhku dan mengusap puncak kepalaku. "Remember, you are not robot. You need to rest as well like the other human."
Aku terkekeh pelan lalu mengangguk. "Hati-hati di jalan, ya, Ru .... "
Selepas lelaki itu pergi, aku masih berdiri di tempat yang sama, memikirkan berbagai skenario yang akan terjadi padaku dan Ndaru. Pada hubungan kami. Sampai kapan aku akan mengubur rahasia gelap ini? Sampai kapan aku terus merasa malu dan menyembunyikan Kalya? Sampai berapa lama waktu yang aku punya bersama Ndaru? Kalau pun suatu saat Ndaru pergi, itu bukan kesalahannya. Tapi, kesalahanku yang tak mau terbuka sedari awal.
Aku menghela napas lalu merapikan meja dan memasukkan sisa ayam goreng ke lemari es. Setelah mencuci tangan, aku melangkah menuju kamar yang akhir-akhir ini tidak kubuka. Kamar kecil dengan penuh kenangan. Kamar kecil yang selalu bisa memberikanku kekuatan.
Pintu berwarna putih itu terbuka menampilkan bocah cilik dengan senyum paling menawan yang ada di dunia ini.
"Kalya, Mama kangen ... " Aku mendekati foto besar yang tergantung di dinding. Gadis kecilku dengan mata bulat besar tersenyum ke arahku, "Kalya di sana masih main apa? Main boneka atau petak umpet?"
Aku duduk di tepi tempat tidur kecil, yang bersebelahan dengan box bayi berwarna putih. Aku mengelus boneka pertama yang kubeli untuk Kalya. Setetes air mataku jatuh tanpa bisa kucegah.
"Kemarin Mama lihat sepeda bagus banget. Kalya mau nggak Mama beliin?" Aku terdiam sejenak, lalu kembali bersuara. "Nggak? Oh, Kalya udah punya sepeda di surga? Kalau gitu, tungguin Mama, ya ... nanti kita main sepeda bareng."
Aku membawa boneka kumal itu ke pelukan dan terisak kencang. "Kalya bakal nungguin Mama, kan? Kalya nggak akan ninggalin Mama, kan?"
Anakku, gadisku, malaikat kecilku .... Meskipun kutahu tidak akan mendengar suaranya, tidak akan ada sosoknya, tapi aku menemukan ketenangan di sini. Seolah dia tidak pernah benar-benar pergi. Seolah dia tahu, jika aku membutuhkannya.
Di saat segalanya terasa berat, aku senang menghabiskan waktu di kamar ini. Kamar rahasia yang hanya pernah dibuka olehku. Memandangi deretan fotoku dan Kalya yang berjejer di nakas, atau menulis surat untuk Kalya yang kemudian aku pasang di pohon harapan di sudut ruangan. I feel content, warm, loved, and complete di sini karena di ruang kecil ini, duniaku bertahta.
***
Double update kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top