Plan 27
Olivia memboyongku dan Ndaru ke villa pribadi Zac yang juga memiliki pemandangan fantastis. Meskipun jarak dari villa ke tempat kerja Ndaru jadi lebih jauh, lelaki itu tak mempermasalahkannya. Villa sebesar ini hanya ditinggali kami berempat dan pelayan-pelayan di sini. Untuk pertama kalinya, aku merasa jadi orang kaya. Literally orang kaya.
Ada driver yang siap mengantarmu ke mana saja. Koki pribadi yang akan memasakkan makanan yang kamu mau. Layanan spa dan pijat and so much more. Satu hal terpenting yang harus digaris bawahi adalah aku dan Ndaru tidak perlu membayar sepeser pun, karena Zac menolak keras. Meskipun girang bukan main, aku tak ingin menunjukkannya. Di antara kami berempat, kurasa yang tak memiliki fasilitas seperti ini di rumah, hanya aku. Aku tak ingin terlihat kampungan dan udik di mata tiga orang tajir dari lahir itu.
"Jadi, jadwal hari ini kita mau ke mana?" tanya Olivia penuh antusias saat kami sedang menikmati sarapan di pinggir kolam renang, dengan pemandangan laut yang berada di bawahnya.
"Gimana kalau stay di vila aja? Serius, gue capek dari kemarin keliling mulu!" jawabku sambil memukuli punggung yang terasa pegal.
Ndaru yang duduk di sebelahku, tanpa disuruh, memijit bahuku. Kulihat piringnya sudah kosong. Nafsu makan lelaki itu memang luar biasa besar.
"Ye, dasar jompo!" cibir Olivia. "Katanya mau kayak gue? Jadi Youtuber yang suka jalan-jalan?"
"Lagian, emang dari awal pindah ke sini, kita belum santai-santai di sini, loh, Liv." Ndaru bersuara. "Pemandangannya juga bagus. Mau ke pantai, tinggal ke bawah."
Olivia pun mengangguk. "Iya, deh. Gue setuju. Tapi ... " perempuan itu menatapku dan Ndaru bergantian, "Gue bikin vlog, ya?"
Aku dan Ndaru berpandangan sejenak, lalu mengangguk. Aku berpikir itu bukan masalah besar. Lagian, kami di sini juga cuma menumpang. Sedetik kemudian, Olivia sudah lari ke dalam dan kembali sambil membawa kamera dan peralatannya. Ndaru berdecak kagum. Sedangkan aku, sudah biasa. Beberapa kali aku pernah ikut Olivia berlibur, yang otomatis itu jadi konten vlognya.
"Itu lo pegang sendiri kameranya?" tanya Ndaru.
"Iya, karena nggak bawa staf. Jadi pakai tongsis."
"Kalau nggak, gue yang jadi kameramen dadakan," sahut Zac dari dalam, hanya pakai celana pendek dengan handuk di terkalung di leher.
Aku tergelak. "Ya, gue juga pernah. Tapi, abis itu Olivia marah-marah, karena videonya nggak steady. Bayar gue aja nggak, berani protes."
"Emang mau bikin vlog apa?" tanya Ndaru lagi. Sepertinya lelaki itu cukup penasaran dan antusias. Aku bisa melihat pupilnya melebar.
"Bikin vlog pacaran!"
Aku mendengkus. "Tidak bermutu sekali."
"Terus, apa? Kita berempat kan, emang lagi pacaran?" Olivia mencebik. "Ya, daily vlog aja, sama interview lo tipis-tipis."
"Lah, kenapa jadi gue?"
"Subscriber gue tuh, penasaran sama lo juga kali! Lo sering nongol di Instagram gue, vlog gue. Pansos lo itu berhasil. Berbahagialah, Kalula!"
Ndaru dan Zac terbahak. Zac, menceburkan diri ke kolam renang. Ndaru sepertinya juga tertarik. Ia menepuk bahuku, dan meminta izin ke kamar untuk mengambil jubah mandi.
"Mau diambilin sekalian nggak?"
"Apa?"
"Jubah mandimu. Siapa tahu kamu mau nyebur."
Aku menunjuk kaus oblong dan hot pant yang kukenakan. "Renang pakai ini?"
Dia mengedikkan bahu. "Nggak masalah. Apa kamu bawa bikini?"
"Nanti aku ambil sendiri aja, deh. Belum minat main air. Masih terlalu pagi."
Seperginya Ndaru, aku menghabiskan jus alpukat yang masih tersisa, lalu berpindah ke tempat duduk sebelah Olivia. Gadis itu sedang memakai lipstik nude. Aku mendengkus, karena tahu dia pasti akan mengaku baru bangun, belum sempat mandi dan dandan. Kemampuan make up Olivia memang cukup baik. Ya, walaupun tak sebagus diriku.
"Siap, belum?" tanya Olivia begitu selesai merias wajahnya.
"Gue mah siap dari tadi. Nggak perlu dandan. Nggak kayak lo, pakai make up tapi, ngakunya wajah natural," sindirku. Aku memang tidak pakai make up, tapi pakai skin care sebelum sarapan di bawah. Pelembab, sun screen, dan lipbalm.
Dia memukul kepalaku sambil mencebikkan bibir. Olivia lalu memasang kamera di tongsisnya dan mengarahkan pada kami. Wajah kami berdua muncul di kamera. Kulihat kening perempuan itu mengernyit.
"Lo kucel banget! Ini, pakai bedak dulu!"
Aku tergelak, tapi tetap menuruti permintaan Olivia. Aku mengaplikasikan cushion Olivia dan pensil alis yang dibawanya. Aku sengaja tidak memakai lipstik, karena sayang dengan lipbalm-ku yang memiliki warna tak kalah cantik.
"Udah, nih!"
Kedua sudut bibir Olivia menukik naik. "Nah, gitu, dong!" Ia lalu meletakkan mikrofon di meja depan kami dan mengatur posisi kameranya. "Gue mulai, nih."
Perempuan itu lalu merapalkan kalimat pembuka vlognya dan mulai mengoceh sendiri. Sedangkan aku berusaha keras untuk menahan tawaku agar tak tersembur. Mataku lalu teralih dengan sendirinya karena kedatangan Ndaru yang berjalan gagah menuju kolam renang. Lelaki itu bertelanjang dada dengan celana sepaha. Mulutku menganga disuguhi pemandangan berharga itu. Otot bisepnya terlihat kencang. Sedangkan otot perutnya? Ya Tuhan ... aku meneguk ludah. Cokelat, indah, dan, keras. Absnya terpahat sempurna. Rambut tipis tumbuh di area dada dan bawah pusar yang terhubung ke area tertutup itu.
Mataku terus terarah padanya sampai tak sadar jika lelaki itu tiba-tiba sudah ada di depanku. Aku mendongak ketika merasakan kepalaku di tepuk. Rasa panas langsung menyergap pipiku.
"Do you like what you see, Babe?" Ndaru menunduk dengan seringai jail yang super seksi itu menempel di bibirnya.
Aku mengalihkan pandangan, menahan rasa malu yang menyelimuti.
Kekehan rendah yang menggelitik telingaku terdengar. "Nggak apa-apa loh, menikmati ciptaan Tuhan."
Selama seminggu di Bali, percaya atau tidak, ini pertama kalinya aku melihat lelaki itu bertelanjang dada. Meskipun ke pantai, ia tetap memakai kaus. Kaus tanpa lengan yang membiarkan bulu ketiaknya melambai-lambai. Entah apa yang merasukinya. Apa karena terpancing Zac, jadi Ndaru ikut-ikutan? Tapi, aku bersyukur untuk alasan apa pun itu, sehingga kubisa menikmati perut ratanya yang mirip cokelat batangan dan sangat hot.
Untung saja aku bersikeras meminta kamar terpisah darinya. Kalau tidak, bisa bahaya. Aku tidak akan mampu menolaknya. Good kisser, has good body, lalu apa? Sudah pasti dia good on bed.
"Nice view, not gonna lie," balasku setelah membasahi tenggorokan dengan liur.
Dia agak membungkuk di depanku, menyejajarkan wajah kami. "Makasih. Aku suka cewek jujur." Dia menangkup wajahku dan mendaratkan ciuman dalam dan memabukkan.
"Pertahankan ya, Ru ... " Aku menepuk dada dan perutnya, dengan terengah-engah, "siapa tahu itu bisa bikin aku jatuh cinta."
Dia tergelak. "Akhirnya ketahuan juga kan, nggak cuma cowok yang mandang fisik." Ndaru lalu meletakkan handuk di kursi sebelahku dan melompat ke kolam.
Suara dehaman mengagetkanku. Olivia bersiul, alisnya naik turun. "Gimana? Enak kan, punya pacar?"
Holy shit! "Tadi nggak lo rekam kan, Liv?" Aku sampai lupa kalau Olivia sudah mulai merekam video.
"Yah, kalau pun kerekam bisa di-cut. Bukan live juga. Jangan panik, sister!" Dia kembali menghadapkan kamera ke wajahnya. "Ini lazy vlog, ya ... please bear with me, fellas. Guess where am I?"
Olivia mengangkat tongsisnya dan merekam pemandangan menakjubkan villa ini. Sekaligus menunjukkan aktivitas kedua lelaki yang sedang berpacu di kolam renang. Ia menarik tanganku agar mendekat, wajah kami lalu memenuhi kamera.
"Gue lagi berlibur, sama Zac, sama Lula. Tapi, yang spesial dari liburan kali ini adalah Lula nggak jadi obat nyamuk lagi!" Perempuan itu berseru kencang, sedangkan aku mendengkus pelan. Sialan, aku dipermalukan. "Kita lagi double date di Bali kawan-kawanku."
Aku melambaikan tangan. "Halo guys ... akhirnya gue udah nggak jomlo."
"Gimana rasanya pacaran, La?"
Aku membelalakkan mata. "Harus banget gue jawab?"
"Jadi ya guys, pacar Lula itu dulu musuhnya pas SMA. Terus, sekarang ketemu lagi dan malah klop. Mana tajir banget! Ganteng juga. Tipe-tipe gue, lah," beber Olivia semangat, "Kayak FTV banget nggak, tuh?"
Aku terpingkal. "Tipe cowok lo itu tajir sama ganteng?"
"Iya, lah." Dia menoleh ke arah kolam renang. "Kayak Zac contohnya."
Aku tertawa pelan. Soal selera lelaki, Olivia memang nomor satu.
"Kalau Ndaru diajak main truth or dare, kira-kira mau nggak, ya?" tanya Olivia sambil menatap pacarku dan pacarnya yang tengah asyik berbincang di tepi kolam renang.
***
"Evandaru Damaresh, lo pilih truth atau dare?" Olivia langsung menodong Ndaru dengan pertanyaan begitu botol yang diputar berhenti mengarah padanya.
"Truth aja. Dare-nya ngeri."
Aku terkekeh pelan, wajar sih, dia ketakutan. Dare dalam permainan ini adalah memakan bumbu dapur dan rempah-rempah mentah. Ada cabai setan, bawang putih, lengkuas, kencur, terasi, dan lemon. Membayangkan benda-benda itu ada di mulutku saja membuatku bergidik ngeri.
"Oke, truth!" Olivia bersorak. "Siapa yang mau nanya? La, buruan gih, nanya!"
Aku melirik Ndaru yang berada di sebelahku. Sedangkan Olivia dan Zac bergelung di love seat depan kami.
"Ehm ... " Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke dagu, sambil berpikir, pertanyaan apa yang harus kulontarkan. Tak ada yang ingin kuketahui dari lelaki itu. "Kapan terakhir berak di celana?"
"Eh, bener! Kadang-kadang tuh, pertanyaan sepele begini, beneran kejadian," sahut Zac terbahak. "Giliran gue, nih. Kapan terakhir kali lo touch yourself?"
Mata Ndaru melebar, semburat kemerahan muncul di pipinya. Oh God! Dia malu beneran kayaknya!
"Mati lo!" kata Zac tertawa histeris.
"Sekarang gue!" tukas Olivia sambil memegangi perutnya. Ia menghela napas setelah tertawa terbahak-bahak. "Ndaru yang ganteng, kalau misal balik ke zaman SMA dulu, Diandra sama Lula sama-sama jomlo, bakal nembak yang mana?"
"Laknat kalian semua!" kata Ndaru bersungut-sungut.
"Salah siapa pilih truth." Olivia menjulurkan lidahnya. "Yuk, buruan mulai. Jawabnya urut deh, dari pertanyaan Lula."
Ndaru menarik napas dan menyandarkan badannya ke sofa. Dia merangkul tubuhku, dan berdecak. "Terakhir berak di celana pas SMP. Mules banget karena baru makan rujak super pedes malemnya. Paginya ada ujian semester, sayang banget kalau ditinggal, takut nggak bisa nyelesein. Ditahan terus, keringet dingin, sampai akhirnya kentut. Eh, keluar sama ampas-ampasnya."
Aku, Olivia, dan Zac tertawa kencang. Aku sampai memukul-mukul pahanya. Oh, perutku sakit. Rahangku juga pegal. "A-ada yang tahu nggak?"
Dia menggeleng. "Nggak, orang nggak bunyi. Tapi, abis keluar kelas, anak-anak pada ribut, karena bau busuk."
Sekali lagi, tawaku meledak. Aku memegangi perut karena tiba-tiba terasa keram. Ya Tuhan ... kenapa pacarku jorok sekali?
"Anjir lo, parah!" ejek Zac sambil memegang segelas wine di tangannya. Dia lalu meneguknya perlahan. "Sekarang jawab pertanyaan gue."
"Skip, deh. Gue makan cabe aja." Bahu Ndaru terkulai.
"Nggak bisa!" protes Olivia, dengan kerlingan jail, lalu berbisik, "Semalam, ya?"
Aku menoleh ke arahnya dan menyipitkan mata. "Serius, baru semalam?"
"Babe!" Ndaru merengek. "Kamu nggak usah ikut tanya-tanya."
"Gue tahu sih, ada pasangan yang punya prinsip nggak ngelakuin sex before married. Apa kalian begitu juga?" Zac menatapku dan Ndaru bergantian.
Lelaki itu mengangguk. "Kayaknya sih, iya. Selama ini, Lula suka panik kalau gue nyender-nyender ke dia. Apalagi yang lain-lain."
Bisa-bisanya ia membahas itu dengan mudahnya di sini? Aku memukul lengannya, merasa malu.
"Oke, jadi kita simpulkan Ndaru terakhir lakuin itu semalem," pungkas Olivia terbahak sambil menghadap kamera.
"Eh, eh ... bagian ini di-cut, loh!" pinta Ndaru, "Gue jawab beneran, tapi di-cut. Nyokap gue nanti jantungan kalau nonton ini."
Aku baru ingat, permainan ini juga direkam kamera. "Eh iya, Ndaru ini anak kesayangan bundanya, nih." Aku ikut menggodanya.
"Bukan semalam. Tapi, dua hari lalu."
Zac dan Olivia terbahak kembali. "Kasihan banget sih, lo. Ada pacar tapi tetap pakai tangan sendiri," ejek perempuan itu sambil melirikku.
"Nggak masalah, sih." Ndaru mengedikkan bahu. "Biasanya juga bisa tahan."
Olivia lalu memaksa Ndaru menjawab pertanyaan ketiga dari dirinya. Sayangnya, jawaban lelaki itu terlalu diplomatis. Tidak memuaskan rasa penasaranku sama sekali.
"Jawabannya pasti Lula, karena gue punya Lula sekarang. Pamali ngayal punya pacar orang lain, padahal udah punya pacar sendiri," tandasnya.
Seusai bermain truth or dare, makan malam pun siap. Kami berpindah ke meja makan yang ada di luar. Roasted chicken rosemary, mushroom soup, dan salad tuna sudah tertata rapi di meja. Koki villa ini punya tangan ajaib. Masakannya selalu berhasil memuaskan lidahku. Apalagi saat hari pertama kami di sini. Kami disuguhi ayam betutu dan ayam lombok ijo terenak yang pernah kurasakan. Cumi asam manis, udang saus padang, dan bahkan, tumis tempenya punya rasa yang tak masuk akal.
Santapan lezat itu ludes dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Tak ada lagi kamera pada malam yang tersisa ini. Aku menyesap teh hangat sambil sesekali bersandar pada dada Ndaru. Kami berdua menikmati langit yang jernih dari sofa halaman belakang. Sedangkan Olivia dan Zac, masuk ke dalam sejak sepuluh menit yang lalu.
"Ru ... "
"Hm ... "
"Pertanyaan Olivia tadi, jawaban asli kamu apa?"
"Jawaban asli gimana?" Ndaru melepaskan rangkulannya padaku memberi jarak di antara kami, dan menatapku dengan alis bertaut.
"Jangan peduliin aku sekarang. Kalau kamu balik ke masa SMA, siapa yang kamu pilih antara aku sama Diandra?"
Kekehan rendah lolos dari bibir seksinya. Dia membelai rambutku dengan tatapan hangat. "Kenapa, sih?"
"Jawaban kamu tadi kedengarannya kayak cari aman doang," tuturku.
"Nggak kok." Dia menggeleng. "Aku bakal pilih kamu."
"Katanya kamu suka Diandra pas SMA?" tanyaku penuh kecurigaan.
"Well, aku udah ngerasain gimana jadi pacar kamu sekarang, dan rasanya enak. Aku bahagia, aku nyaman, aku seneng. Jadi, misal ditanya siapa yang bakal kutembak kalau balik ke masa SMA, ya jawabannya kamu. Aku nggak butuh orang lain karena bahagiaku cukup di kamu."
"Bisa aja, nih!" Aku menggigit bibir menahan senyuman lebar yang siap merekah.
"Kalau mau senyum, senyum aja. Jangan ditahan." Dia mencubit kedua pipiku.
Aku memekik dan menarik tangannya menjauh dari wajahku. Namun, Ndaru malah menangkup pipiku dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku berkedip beberapa kali sebelum memejamkan mata karena jarak wajah kami yang terkikis habis. Sedetik kemudian, aku merasakan kelembutan bibirnya menyapu bibirku.
Tanganku yang awalnya mencengkeram kedua lengannya, berpindah ke leher lelaki itu. Mengalungkannya di sana. Ciuman yang diberikan Ndaru semakin dalam dan menuntut. Lidahnya menyusul keluar memagut lidahku. Selagi bibirnya sibuk mengulum, menyecap, dan menghisap bibirku, tangannya bergerak turun dari pipi menuju leher, lalu memberi usapan demi usapan yang membuatku semakin lupa daratan.
Ndaru melepaskan pagutannya dan menenggelamkan wajahnya ke ceruk leherku. Napas hangatnya yang terengah-engah terasa menggelitik tubuhku. Kondisiku tak jauh berbeda. Dadaku naik turun, dengan bibir terbuka. Lelaki itu lalu mendongak, dengan senyum seribu watt-nya dan membutuhkan kecupan hangat di antara kedua alisku.
"Kalula ... you are the best thing happen to me."
TBC
***
Ea...
Klepek klepek lagi ya sana Ndaru.. Hahaha
Hari ini bakal double update. Tungguin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top