Plan 26
"Beach, leha-leha, berjemur, shopping, I am coming!"
Aku langsung menghambur ke kamar yang berbentuk gazebo, yang berjejer satu sama lain melingkari kolam renang. Satu gazebo diisi satu kamar. Pemandangan yang kudapat dari sini sangat luar biasa. Ada kolam renang dan laut lepas yang memanjakan mata, begitu pintu dan jendela dibuka. Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur, yang dipenuhi kelopak bunga mawar sambil tertawa lepas.
Suara decakan terdengar dari arah pintu masuk. Aku melirik Ndaru yang berdiri di ambang pintu. Lelaki itu melipat tangan di depan dada sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa wajahnya ditekuk gitu?"
"Agak nyesel pesen dua kamar," jawabnya melangkah ke tempat tidur dan duduk di sisi kasur. "Ini tuh pas banget buat spending night in a romantic way."
Aku terbahak. Astaga ... wajahnya terlihat memelas. "Masih bisa dinner romantis, kan?"
"Untungnya!" Dia menarik tanganku membuatku beranjak. Kami sekarang duduk saling berhadapan. "Aku jadi ingat, aku ke sini karena mau kerja. Nggak kayak kamu yang tanpa beban. Setelah kupikir-pikir, kayaknya bener, ya? Lelaki kerja keras biar ceweknya bisa foya-foya."
Kekehan kembali lolos dari bibirku. Suasana hatiku sangat baik sejak mendarat di Pulau Dewata. "Bukan prinsip yang salah, sih. I love it!" Aku menangkup kedua pipi lelaki itu, meremasnya.
Dia memajukan wajahnya dan mencuri kecupan cepat dari bibirku. Untuk beberapa saat kami cuma berpandangan, dengan saling senyum. Aku terkikik lalu giliran mencuri ciuman darinya. Entah karena terlalu bahagia atau memang dimabuk asmara, aku dan Ndaru tertawa bersama.
"Udah ah, aku mau naruh baju ke lemari. Biar nanti bisa langsung jalan-jalan." Aku beranjak dari tempat tidur ke ujung pintu tempat koperku teronggok di sana. "You should doing the same thing!"
Ndaru menggeleng. Dia malah membaringkan diri di kasur dan memejamkan mata. Sudahlah, biarkan saja. Siang-siang begini, memangnya lelaki itu bisa apa? Apalagi dengan pintu dan jendela yang terbuka lebar. Aku melanjutkan kegiatanku, menata baju di almari, lalu berganti dengan pakaian yang lebih santai. Masih ada waktu beberapa menit sampai jam makan siang. Selepas itu, baru memulai petualangan. Tidak akan kusia-siakan waktu di sini dengan berdiam diri di kamar.
***
Memilih untuk menikmati late lunch di Amok Sunset adalah pilihan sempurna. Setelah beres-beres tadi, aku ketiduran bersama Ndaru. Kami berangkat dari penginapan pukul dua siang menuju Amok Sunset, dengan perjalanan tak sampai satu jam. Lagi-lagi aku terpana melihat pemandangan dan suasana yang disuguhkan restauran pinggir pantai itu. Otak bisnisku langsung memikirkan ide-ide menggelar pesta di tempat seperti ini. Luar biasa.
"Kamu pesen apa, Babe?" Aku menyerahkan buku menu pada Ndaru.
Harusnya kutak perlu menanyakan itu, karena selama ada steik, sudah pasti menu lain tidak akan dilirik.
"Rib eye steak."
"Harusnya aku aja yang pilih tadi." Aku lalu memanggil waiters selesai memesan menu.
"Hadap sini, La ... " Ndaru mengarahkan pocket kamera yang ia bawa kepadaku. Aku tersenyum lebar ke arah kamera dan mengganti pose beberapa kali.
"Aku lupa bawa kamera polaroid!" gerutuku kesal. "Coba sini, kita selfie!"
Aku pun mengambil foto beberapa kali. Bersama Ndaru, foto pemandangan, dan menu-menu yang tersaji dengan cantik. Lelaki itu juga beberapa kali mengambil fotoku dengan ponselnya. Aku memilih foto-foto terbaik untuk diunggah ke Instagram. Aku ingin tahu bagaimana reaksi anak-anak Kalula's Organizer. Ada fotoku seorang diri duduk menyerong, ada foto pemandangan laut lepas di depan meja, dan tentu saja selfie bersama Ndaru. Dia melingkarkan tangannya di bahuku, aku bersandar di dadanya, dengan senyum lebar menempel di wajah kami.
@kalularmadini: holiday 🌊🍹
Foto dengan caption satu kata itu ternyata berhasil menarik perhatian banyak orang. Baru lima belas menit, kolom komentarku sudah penuh dengan kekepoan netizen. Aku terbahak kencang membaca komentar mereka satu per satu, tanpa niat membalasnya.
@jumarohaisyah azab orang suka pamer liburan tp ga ngajak-ngajak, nanti matinya kesedak tiket pesawat.
@oliviacasandra omg ... thats look so yummy... wait me dear, besok nyusulin kesana.
@hanibaniswiti nyicil honeymoon dulu nih? Asekkk.. ponakan baru😝😝😝🥳
@daniarputri ih mbak, kalo berduaan terus nanti ketiganya setan. Makanya ngajak gue aja, drpd ajak setan.
@hasnasafitri liburan berdua ini, udah mau disahin apa gimana nih ceritanyaaaa🧐
@hanibaniswiti ada yang kebakaran nih @iqbalsenior
"Kenapa sih, ngakak mulu?" Ndaru mencondongkan kepalanya, mengintip layar ponselku. "Udah bisa pamer nih, ceritanya?"
Aku menutup ponsel, tidak ingin terganggu dengan notifikasi-notifikasi tak penting, lalu memasukkannya ke hand bag yang kubawa. "Nggak pamer, cuma berbagi kebahagiaan," jawabku lalu meneguk minuman bernama rising sun yang terasa menyegarkan ini.
Sambil mengunyah daging, Ndaru kembali menanggapi. "Berbagi kebahagiaan mah, kalau kamu bagi oleh-oleh ke mereka."
Aku mencebik kesal. "Kenapa kamu yang protes, sih?" Kini beralih melahap barramundi yang tersaji di hadapanku.
"Dua hari ini, mau ke mana aja? Mumpung aku belum mulai kerja, nih."
"Nanti deh, tanya Olivia. Besok dia mau ke sini soalnya."
Ndaru menoleh, "Serius? Bukannya masih foto pre wedding di Bunaken?"
"Besok kelar. Makanya mau nyusulin."
"Aku ngikut aja." Dia meneguk air mineral.
Seperti kata Ndaru tadi, dia berangkat lebih awal, agar bisa menghabiskan waktu denganku. Penginapan yang kami gunakan pun, bukan tempat yang kliennya pesan. Jadi, Ndaru 100% membayar sendiri selama di Reynten Hills bersamaku. Saat kutanya kemarin, apa dia dapat pengganti uang tunai karena tidak menggunakan fasilitas yang sudah disiapkan, dia menggeleng.
"Sayang banget, ya ... belum dapat bayaran, eh malah udah harus keluar duit."
"Toh, cuma dua minggu. Habis kamu balik ke Jakarta aku pindah ke villa yang udah klien pesan," jawabnya. "Lagian, kesempatan langka ini, bisa liburan bareng kamu."
Tentu saja, uang tidak akan pernah jadi masalah lelaki itu. Omong-omong soal ketajirannya, awalnya Ndaru memaksa untuk membayar tiket pesawat dan hotelku juga. Namun, kutolak mentah-mentah. Aku bukan orang yang suka menghabiskan uang untuk liburan, karena kulebih memilih mengubur diri dengan kesibukan kerja. Jadi, walaupun tidak sebanyak Ndaru, aku punya tabungan yang cukup untuk membiayai liburanku sendiri. Meski pakai jalur curang--meminta nomor rekening Ndaru dari Fani---aku berhasil membayar kembali tiket pesawat dan hotel yang sudah ia pesan lebih dulu.
Beda cerita jika nanti di sini, dia ingin membelikanku sesuatu, membayarkanku makan, atau membayar tiket masuk tempat wisata. Tentu akan kuterima, dengan syarat aku boleh melakukan hal sama. Aku tidak terlalu kaku soal begitu. Tergantung situasi di tempat nanti bagaimana.
Pukul empat sore, aku dan Ndaru pun beranjak, karena ingin menikmati sunset di pantai dekat penginapan. Ternyata rasanya menyenangkan, kabur sejenak dari segudang kesibukan di ibukota, menikmati embusan semilir angin, aroma laut, dan hangatnya sinar mentari sore. Pantai dan rentetan pohon kelapa menggantikan gedung-gedung pencakar langit yang biasa kulihat.
"Ru ... aku pengin pindah ke sini, deh."
"Yakin?" Aku mengangguk, tanpa mengalihkan pandanganku dari kaca samping tempat dudukku persis. "Jauh dari orang tuamu, loh."
"Iya, sih ... " Helaan napas meluncur dari mulutku. Omong-omong soal mama, aku belum mengabarinya soal liburan ini atau pun hubunganku dengan Ndaru. "Kapan mau ke Bandung lagi? Mama katanya mau ketemu."
"Oh, ya?" Ndaru melirikku sekilas. "Mama bilang apa?"
"Bilang kalau aku udah punya pacar, harus dikenalin ke Mama. Mau diinterogasi."
Ia mengerlingkan mata. "Jangankan diinterogasi, dimintain mahar pun, bisa!" Kepercayaan diri Ndaru memang tidak ada duanya.
"Habis urusanmu di Bali kelar, baru kita omongin kapan mau ke Bandung," pungkasku pada akhirnya. Tak perlu terburu-buru untuk saat ini, yang terpenting mama tidak tahu aku dan Ndaru liburan berdua ke Bali.
***
Ekspetasi, bangun pagi melakukan yoga di pinggir kolam renang sambil menatap luasnya lautan, lalu breakfast dengan penampan mengapung seperti yang dipamerkan para selebgram, hanya mimpi belaka. Realitanya, aku terbangun karena ponsel yang tak berhenti bergetar di nakas sebelah tempat tidur. Nama mama tertulis di layar. Ada apa ini? Segera setelah menerima panggilan itu, suara panik mama menyapa.
"Teteh liburan sama Ndaru?"
"Apa, Ma?" Aku menguap lebar, masih berbaring nyaman di tempat tidur, dengan mata setengah memejam.
"Teteh liburan berdua ke Bali sama Ndaru?"
Kantuk yang awalnya masih menggerayangi langsung menguap. Mataku membuka lebar. Aku segera duduk sambil mencengkeram ponsel yang kutempelkan di telinga dengan kuat. Ah! Mama tahu darimana aku liburan bersama Ndaru? Bagaimana jika mama memaksaku pulang? Jangan sampai!
"Mama kata siapa?" tanyaku panik.
"Nggak penting kata siapa! Sekarang Ndaru ada di mana? Mama mau ngomong sama dia!"
"Ada di kamarnya sendiri, Ma."
"Kamu nggak sekamar sama Ndaru, kan?"
"Nggak, Ma!" Aku menggeleng, padahal mama tak akan bisa melihatku.
"Nggak bohong?"
"Nggak, ngapain bohong, Ma." Aku menggigiti bibir, merasa gugup luar biasa.
"Coba, Mama mau video call!" Panggilan suara pun beralih ke panggilan video.
Aku menyalakan lampu, lalu mengarahkan kamera ke seluruh penjuru kamar, untuk membuktikan pada mama jika omonganku dapat dipercaya. Aku lalu beranjak dari tempat tidur, untuk mengambil gambar lebih jelas. "Teteh sendirian, Ma .... "
"Kamar Ndaru ada di mana?"
"Ma ... yang penting kita beda kamar, kan?"
"Di mana Teteh?"
"Di sebelah."
Mama terlihat memijat pelipisnya. "Kenapa liburan ke Bali berdua aja sih, Teh? Bali itu jauh. Ya, kalian emang beda kamar. Tapi itu nggak menjamin. Apalagi kamar Teteh sama Ndaru sebelahan."
"Mama nggak percaya Teteh?"
"Bukannya gitu, Teh ... Teteh yang paling tahu, gimana besarnya godaan orang pacaran," Mama mendesis pelan. "Mama cuma nggak mau Teteh kenapa-napa."
"Teteh bakal jaga diri. Teteh bukan anak kecil lagi, Ma .... "
"Mau berapa lama Teteh di sana? Kenapa nggak pamit dulu sih, Teh? Perjanjiannya kan, kalau Teteh sama Ndaru jalin hubungan, mau bawa Ndaru ke Mama dulu. Ini, kenapa Mama belum bilang setuju atau nggak, udah pergi berduaan?"
Aku meringis, menggaruk tengkuk kepala yang sebenarnya tak gatal. "Dua minggu, Ma."
"Teteh!" Mama menghela napas. "Ngapain liburan berdua dua minggu?" Suara mama melengking tinggi.
"Ndaru kerja di sini, Ma. Teteh cuma nemenin aja. Nanti Teteh juga bakal sering jalan sendiri, soalnya Ndaru pasti sibuk. Lagian Olivia besok nyusul. Teteh nggak bakal berduaan terus sama Ndaru, Ma. Serius!"
"Beneran kamu, Olivia bakal nyusul?" Mama memicingkan mata.
"Iya, sama Zac," jawabku. "Mama tahu dari mana sih, kalau Teteh sama Ndaru di Bali?"
"Dikasih tahu sama Krishna. Ada fotonya! Kamu kirim foto itu ke mana? Kenapa Mama nggak lihat?"
Aku mendengkus. Dasar, tukang adu! Punya adik, kenapa jadi beban hidup, sih? "Ya udah, Ma ... Teteh mau sarapan dulu, udah laper."
"Besok, pulang dari Bali, Mama tunggu kamu sama Ndaru di rumah. Awas kalau kabur."
"Iya, iya, Ma .... Teteh bisa kabur ke mana, sih?" Aku mendumal. "Mama jangan lupa sarapan. Nanti pulang Teteh beliin pie susu."
"Cuma pie susu aja Mama bisa bikin sendiri."
"Terus mau oleh-oleh apa dong, Ma?"
"Mama maunya diajak ke sana," balas mama. "Sana, Teteh sarapan! Mama juga mau bikin nasi goreng buat Papa sama Krishna."
Aku mengurut dada sambil menghela napas setelah panggilan selesai. Ya, untungnya mama tidak memaksaku pulang. Sayang tiket penginapan yang sudah telanjur dibeli. Aku harus segera memberitahu Ndaru soal serangan fajar mendadak dari mama barusan.
TBC
***
Sorry for the late update yorobunnn
Udah pada solat tarawih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top