Plan 25
"Mbak Jum, gue titip anak-anak, ya?" kataku pada wanita berhijab merah marun itu, yang duduk menghadapku. "Lo ambil alih semua. Kalau ada klien yang rewel, lo hadapin dulu. Tapi, kalau emang mentok, telepon gue aja."
"Kenapa lo cutinya lama banget sih, La?" protes wanita itu.
"Cuma dua minggu. Nggak jadi sebulan. Tapi nggak tahu juga sih kalau nanti betah."
Mbak Jum mencebik. "Mau ke mana lo?"
"Bali, Mbak," balasku, "Lagian semua proyek dua minggu ini udah gue acc anggaran-nya. Harusnya udah nggak ada masalah, kan tinggal pantau pihak ketiga kerjaannya bener nggak sama eksekusi di lapangan."
Tentu saja aku meninggalkan Kalula's Organizer setelah memastikan semua urusan dua minggu ini kelar. Aku sudah memeriksa permintaan klien, menyesuaikan permintaan klien, biaya yang mereka bayar, dengan fasilitas yang bisa kami berikan, dan meng-acc rancangan anggaran yang sudah dibuat Mbak Jum.
Jika berjalan lancar seperti klien-klien sebelumnya, tidak ada halangan. Tim lapangan tinggal mencari venue, katering, model dekorasi sesuai dengan rancangan anggaran dan paket yang disetujui.
"Kayak nggak pernah ke Bali aja sih, lo ... sampai dua minggu segala."
"Kenapa lo kayaknya nggak rela banget gue tinggal liburan?"
Wanita itu mendengkus, mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu setengah berbisik, "Gue males ngurusin anak lapangan. Mereka jadi rewel habis tragedi Ndaru sama Iqbal labrak-labrakan itu."
Tawaku terurai setelah mendengar penjelasan Mbak Jum. Astaga! "Masa? Nanti mereka tambah hareudang lagi kalau tahu gue ini mau liburan sama Ndaru?"
Mata Mbak Jum melebar. Keterkejutan tercetak jelas di wajahnya. "Wah! Mentang-mentang udah punya pacar, holiday seenaknya!"
Aku terkekeh. "Udah ah, lo jangan panikan gitu, Mbak. Mereka nurut pasti sama lo."
Mbak Jum bangkit dari kursi, sebelum melewati pintu, ia berkata, "Gue bakal kasih tahu ini ke Hani, Daniar, sama Roy. Tim hore lo sama Ndaru. Mereka pasti jingkrak-jingkrak."
"Kayaknya mereka lebih seneng Ndaru daripada gue deh, karena dikasih sogokan mulu."
"Makanya gaji dinaikin, La .... " Mbak Jum mengedipkan sebelah mata sambil memegang gagang pintu, lalu melenggang keluar.
***
Potongan baju berserakan di tempat tidur. Terlalu banyak baju yang ingin kubawa di liburan singkat ini. Padahal satu koper sudah penuh terisi, tapi rasanya aku belum puas. Aku lalu melangkah menuju kabinet berisi bikini-bikini yang belum pernah kupakai. Helaan napas meluncur dari bibir. Kapan aku berani mengenakan pakaian seksi ini? Harusnya liburan ke Bali besok jadi kesempatan bagus untuk memakai mereka. Tapi ... aku membuka kausku dan mengusap bekas luka operasi sesar di perut.
Aku tak akan berani menunjukkan bekas luka ini pada orang lain, apalagi Ndaru.
Sejujurnya, aku merasa sangat bersalah karena menyembunyikan jejak Kalya seakan dia adalah aib yang perlu ditutupi, dosa besar yang tak ingin kuakui. Padahal, ia jauh dari itu. Dia segalanya untukku. Permata bagiku. Hadiah terindah Tuhan selama dua puluh sembilan tahun aku hidup. Tapi, mengapa sebagai seorang ibu, aku malah bersikap seperti ini?
Kalya, maafin Mama, ya ... Mama nyembunyiin Kalya terus.
Dering ponsel membuyarkan lamunan. Aku bergegas ke nakas sebelah tempat tidur untuk mengambil benda persegi panjang itu. Nama Olivia terpampang di layar. Senyum seketika merekah di wajahku, saat suara perempuan itu menyapa gendang telinga.
"Lo mau liburan berdua sama Ndaru ke Bali kenapa nggak ngomong-ngomong?"
Aku terbahak. "Ya, kenapa harus ngomong? Lo sama Zac kan juga lagi prewed di Bunaken .... "
"Nggak boleh liburan berdua doang, Kalula ... bukan muhrim!"
Giliran Olivia yang terbahak setelah aku mendengkus. "Lagian Ndaru kerja, yang liburan itu gue."
"Cie elah, mesra amat nemenin pacar kerja."
"Gimana tadi photoshoot prewednya? Lancar?"
"Lancar ... tapi capek banget." Dia terkekeh pelan. "Pemotretannya ada yang under water, gue ngerasa capek aja bolak-balik kapal, laut."
"Salah sendiri nekad."
"Kan sekali seumur hidup!"
"Terserah lah, terserah!"
"Gue sama Zac nanti nyusulin kalian! Abis foto pre wedding kelar! Biar bisa double date sama bikin vlog baru."
"Bagi hasil adsense pokoknya, kalau gue nongol di video lo, walaupun cuma sedetik!"
"Matre amat lo! Untung Ndaru tajir," cibir Olivia. "Nanti gue kabarin lagi, ya ... pokoknya gue mau ngikut lo, biar lo nggak hamidun lagi."
"Rese lo emang!" dengkusku. "Jangan lupa kirim foto prewednya ke gue."
"Besok aja pas di Bali gue kasih lihat! Eh, La udah dulu ... gue mau makan! Bye cinta!"
Bel pintu berbunyi tepat setelah sambungan telepon dengan Olivia terputus. Aku dengan malas melangkah ke pintu karena lagi-lagi kegiatanku menyortir baju tertunda. Padahal harus berangkat besok. Namun, betapa kagetnya diriku ketika melihat penampakkan Ndaru lewat interkom. Kenapa lelaki itu kemari?
"Ru?" Aku membuka pintu membiarkan lelaki itu melenggang masuk.
Dia terlihat santai dengan kaus oblong dan celana penuh saku selutut. Di lengan kanannya tersampir totebag polos warna hitam.
"Aku mau nginep sini."
Aku memelototkan mata. "Nggak usah banyak tingkah kamu! Nggak ada acara nginep."
"Biar cepet berangkatnya. Koperku udah siap di mobil. Jadi besok pagi kita langsung berangkat." Ndaru, tanpa kuminta sudah duduk manis di sofa.
"Nggak usah nginep kan, bisa." Aku berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. "Lagian aku belum kelar packing, Ru."
"Kamu kan packing dari tadi siang? Gimana ceritanya belum kelar?" Ndaru memekik. Lelaki itu bangkit, menuju kamarku, dan membuka pintu. Kepalanya geleng-geleng berdiri di ujung tempat tidur. "Astaga, Lula ... tinggal masukin baju aja, kan? Kenapa harus digelar di atas kasur semua?"
Dasar kaum lelaki, tak tahu betapa pentingnya outfit. Tempat biasa aja, bisa terlihat luar biasa jika didukung outfit yang tepat. Lagi pula, tujuanku ke Bali kan berlibur, yang artinya kesempatan untuk memenuhi akun Instagram dengan foto-foto estetik ala selebgram. Siapa tahu, bisa menyaingi Olivia.
"Udah kelar sekoper itu ... tinggal sekoper lagi." Aku menarik tangannya keluar dari kamar. "Udah kamu tunggu di sana, aku mau ngelarin packing."
Kehadiran Ndaru membuatku tak fokus. Aku jadi terburu-buru, sehingga memasukkan sembarang baju. Setelah dua puluh menit berlalu aku kembali ruang tamu dan mendapati lelaki itu berbaring miring di sofa dengan mata terpaku ke layar televisi.
"Kamu serius mau nginep sini?" Aku menepuk kaki Ndaru dan meminta lelaki itu untuk menekuknya, lalu duduk di ujung sofa.
"Serius, lah. Aku udah bawa sikat gigi, boxer, sama baju di tas, tuh." Ndaru bangkit dan menunjuk tote bag-nya yang tergeletak di depan sofa.
"Lagian kenapa harus nginep?"
"Emangnya kenapa nggak boleh nginep?"
Aku menyandarkan tubuh ke sofa, menghela napas. "Tapi, jangan harap bisa tidur di kamarku."
Lelaki itu malah tergelak. "Siapa juga yang ngarep tidur di kamarmu. Aku tidur di ruang televisi aja, nggak masalah. Kamu tuh yang mikirnya kejauhan." Ia mencondongkan badan dan menjitak kepalaku.
Sialan! "Kita nginep di hotel apa? Lihat coba tiketnya?"
"Nginep di Reynten Hills. Suit room."
"Pesen dua kamar, kan?"
Sepasang alis Ndaru bergabung di tengah kening. Matanya terlihat mengernyit. "Pesen dua kamar buat apa? Kan suit room."
"Ndaru!" Aku berseru panik sambil memukul lengannya. "Kita nggak bisa sekamar!"
"Kenapa nggak bisa? Tempat tidurnya king size, ruangannya besar? No big deal, Babe." Ndaru melingkarkan tangannya di bahuku.
Aku mengerang kesal. It is a big deal. Bagaimana bisa lelaki dan perempuan bermalam di kamar yang sama selama dua minggu, tanpa melakukan apa pun? Aku tidak yakin bisa selamat. Serius, bukannya aku mesum. Hanya saja, di usia yang hampir menginjak kepala tiga, aku sangat memahami bagaimana gairah, bisikan setan, keinginan menggebu-gebu bisa muncul kapan saja secara tiba-tiba. Apalagi pacarku sekarang Ndaru! Aku yakin, wanita normal mana pun pasti akan bertekuk lutut padanya. Ditambah dengan kemampuan lelaki itu yang sangat lihai merayu dan mencumbu, aku yakin kami berdua tidak akan selamat jika terjebak di dalam satu ruangan.
Aku meraih ponselku yang tergeletak di atas meja depan sofa, lalu membuka aplikasi untuk memesan kamar lain di penginapan yang sama.
"Apa tadi nama hotelnya, Ru?" tanyaku sambil menyekrol nama-nama hotel yang terpampang di layar ponsel.
"Kenapa sih, Babe? Kamu takut aku bakal gangguin kamu?" Ndaru merapatkan tubuh kami. Bahu kami sekarang saling menempel. "Kalau kamu nggak mau tidur bareng, aku bisa tidur di sofa kok."
"Cepetan apa namanya?" paksaku lalu mendongak, tidak menghiraukan sama sekali rayuan lelaki itu. "Daripada ada apa-apa, mending kita nggak sekamar."
Ndaru menghela napas. Mungkin, gaya pacaran lelaki itu ketika di luar negeri, seperti ini. Aku tidak menyalahkan sih, untuk sebagian orang, menginap di kamar yang sama dengan pacar, adalah hal normal.
"Please, Babe? Belum saatnya kita sekamar. Katamu kita harus pelan-pelan?" Kali ini aku meminta dengan suara mengiba.
Kekecewaan melingkupi raut wajahnya membuatku sedikit merasa bersalah. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan terlihat sibuk dengan benda kotak tersebut untuk beberapa saat. Setelahnya ia memperlihatkan e-tiket di layar ponselnya padaku.
Aku mengernyit, bagaimana bisa? Aku memandang wajah Ndaru, lalu kembali membaca tiket itu dengan teliti.
"Ini kenapa tiba-tiba kamu udah punya tiket dua kamar?" Dilihat dari tanggal pesannya, tiket ini sudah dibayar sejak dua minggu lalu.
Ndaru mendadak terpingkal-pingkal, sambil memegangi perut. Wajahnya merah padam. "I got you!" ujar lelaki itu di sela tawanya.
"Kamu ngerjain aku?" Dia mengangguk, masih terpingkal.
Aku mencebikkan bibir dan melayangkan pukulan ke perutnya. "Kurang ajar ya, kamu!"
Ndaru mengusap ujung matanya yang berair. "Astaga ... wajahmu ... " lelaki itu menarik napas, "lucu banget!"
Aku menggerutu sambil terus memukuli dadanya. Sialan! Aku dikerjai. Lelaki itu menarik lenganku dan memerangkapnya dalam pelukan. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar karena tawa. Ia lalu membubuhkan ciuman di puncak kepala.
"Kenapa panik banget, sih?"
"Takut kamu apa-apain, lah!"
"Emangnya aku bakal ngapain?" Dia mencubit kedua pipiku kencang membuatku mengaduh. "Tolong, ini otak dicuci pakai sabun kalau bisa dicampur baiklin biar bener-bener bersih. Negatif mulu perasaan."
Aku mendorong dadanya agar menjauh. "Jangan cubit-cubit! Kusuruh pulang, tahu rasa kamu!"
Tawa Ndaru semakin keras. Ia kembali menarikku ke pelukan, dan membisikkan pertanyaan yang membuat tubuhku membeku. "La, kira-kira kamu butuh waktu berapa lama lagi buat ngeyakinin diri buat sayang sama aku?"
Aku terkesiap, berkedip beberapa kali sembari menatap wajah Ndaru yang terlihat serius. Aku berpikir keras untuk merangkai jawaban yang tepat, agar tidak menyakiti lelaki itu, dan sejujurnya juga ikut mencari kebenarannya di dalam hatiku.
"Kalau aku sayang kamu duluan, nggak apa-apa, kan? Aku sayang kamu, La." Dan, lelaki itu kembali menjatuhkan bom tanpa aba-aba, membuat jantungku jumpalitan tak terkendali.
***
Selamat berbuka puasa teman-teman🫶🏼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top