Plan 24

Di antara banyaknya mall di Jakarta, kenapa Tuhan harus mempertemukanku dengan Azka dan Diandra di Pondok Indah Mall. Kenapa? Kenapa juga mereka berdua harus ke Jakarta bagian selatan? Kenapa tidak ke Jakarta Utara saja? Atau Jakarta Barat? Di akhir pekan seperti ini, kenapa pasangan itu memilih Jakarta untuk berlibur? Toh, tidak ada yang bisa dilihat di sini. Suasana hatiku seketika memburuk.

"Pindah makan aja yuk, pesenannya di-cancel," kataku pada Ndaru.

"Mana bisa? Pesenan kita udah masuk sepuluh menit yang lalu. Pasti udah mulai dimasak."

Aku melirik ke arah meja Azka dan Diandra, bersama kedua orang tua lelaki itu yang berjarak tiga meja di belakang Ndaru. "Ada temenmu, tuh. Malesin."

Ndaru menoleh ke belakang lalu ber-oh ria. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi sambil bersedekap. "Kenapa? Mau disamperin?"

Aku mendelik. "Jangan, lah! Males!"

"Mereka juga udah hampir kelar kayaknya. Piringnya udah pada kosong," tutur Ndaru. "Kamu baru lihat?"

Aku mengedikkan bahu. "Tadi ketutupan orang di belakangmu kayaknya. Jadi nggak lihat."

"By the way, La ... bulan depan aku mau ke Bali. Ada proyek di sana."

"Berapa lama?"

"Sebulan? Nggak tahu, sih."

"Kamu mau pergi sebulan ke Bali?" Aku memekik. Sepertinya suaraku terlalu keras, hingga membuat beberapa pasang mata mengarah ke mejaku. Termasuk Diandra. Pandangan kami sempat bertubrukan untuk beberapa detik. "Lama banget, Ru .... "

"Ada proyek villa, dari seleb terkenal, nih. Maia Estianti," jelas Ndaru. "Jadi aku harus survei dulu, terus diskusi untuk bikin desainnya, bikin rancangan anggaran, bahan baku. Kebetulan aku ketua proyek ini yang ditunjuk Santoso's Architect."

"Kenapa harus sebulan? Survei seminggu juga kelar."

"Klien tinggal di sana soalnya mau observasi. Lebih enak diskusinya kalau ketemu langsung. Lagian, biaya akomodasi semua ditanggung sana."

Aku berdecak. "Tajir amat. Kamu cari kesampatan, ya? Liburan gratis."

"Kenapa? Takut kangen, ya?" Ndaru memicingkan mata, seringai jahil muncul di bibirnya.

"Enak aja!"

"Bilang aja nggak mau pisah sama aku!"

"Terse---" Bibirku langsung mengatup kembali saat Azka dan Diandra berjalan ke arah kami. Bukan, maksudku ke arah pintu keluar yang mengharuskan mereka melewati meja kami.

Untungnya, mereka berdua cuma melirikku dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tak lama setelahnya, pelayan datang mengantarkan pesanan. Kami kembali berdebat tentang Bali. Entahlah, padahal hubunganku dan Ndaru baru seumur jagung. Tapi, aku sudah sangat terbiasa dengan kehadiran lelaki itu. Membayangkan 30 hari dilewati tanpanya, terasa membosankan.

"Makanya kamu atur skedul mulai sekarang. Biar bulan depan bisa ikut aku ke Bali."

"Kamu kerja, males lah! Nanti aku ditinggal-tinggal."

"Ya, kan nggak 24 jam, Lula. Begonya jangan keluar, dong." Dia mencebikkan bibir.

Sialan! Beraninya memanggilku bego. "Oh, jadi tetep bisa liburan bareng?" Lelaki itu mengangguk. "Oke, deh. Nanti aku obrolin sama Mbak Jum. Aku mau kabur dua minggu ke Bali."

"Kok nggak sebulan aja?"

"Takut bosen, ketemu kamu terus-terusan!" Aku terbahak.

"Ngajak Olivia sama Zac boleh juga."

Aku menjentikkan jari. "Bener! Siapa tahu nanti dibikin video, terus kita dapat adsense."

Ndaru mengernyitkan kening. "Dasar cewek, duit mulu yang dipikirin."

***

Setengah tahun sudah aku mengenal lebih dekat sosok yang berdiri di sebelahku ini. Mulai dari hal yang dia sukai---daging dan aku tentu saja---sampai hal yang dia benci---strolling di mall atau menemaniku belanja---aku sudah hafal. Namun, anehnya selepas melahap makan siang, Ndaru mengajakku berjalan-jalan di mall. Ya, kusebut saja jalan-jalan karena dia tidak memberitahuku tempat mana yang ia tuju. Lelaki itu menarik tanganku memasuki salah satu gerai brand perhiasan papan atas.

"Mau ngapain, sih?"

"Bentar."

Jika pacarmu mengajak ke toko perhiasan, dan kamu berpikir dia akan melamarmu, apakah salah? "Ru, please! Nggak usah ke sini, lah!" Aku mulai panik. Aku belum siap untuk menuju jenjang yang lebih tinggi dari hubungan ini.

"Sebentar Kalula ... " Dia mengalihkan perhatiannya ke pelayan di sana, dan menyerahkan secarik kertas pada wanita itu, "Pesanan atas nama Evandaru, ini bukti transaksinya."

"Mohon tunggu sebentar ya, Pak."

"Ru, kamu beli apa, sih? Pakai pesen segala."

"Ya, jewelry, lah. Kita kan lagi di Cartier."

Jawabannya sangat tidak membantu. Aku mendengkus kesal. Belum hilang rasa jengkelku, mataku harus menangkap dua sosok yang kubenci lagi. Mereka memasuki gerai Cartier dan berjalan menuju rak yang memajang berbagai jenis kalung. Mereka sibuk melihat-lihat, sampai akhirnya Diandra mendatangiku.

"Are you guys getting married?"

"Not now," jawabku. "Ini cuma lagi anter Ndaru ambil pesanan."

Ndaru sudah tidak ada di sisiku, dia ke meja resepsionis, tampak berbincang dengan pelayan tadi.

"Oh, gue kira ... " Diandra manggut-manggut. "Apa yang lo tunggu sih, La? Sama-sama udah mapan juga."

Seriously? Kenapa dia jadi sok akrab begini? "Bukan urusan lo. Nikah lama juga nggak menjamin bahagia dunia akhirat."

"Di, katanya mau pilih kalung?" Suara berat Azka menyela obrolan kami.

"I choose this one." Diandra menunjuk kalung simpel dengan batu rubi sebagai hiasan.

Aku menyusul Ndaru, ingin memeriksa apa yang ia pesan.

"Coba lihat tangannya .... "

Ucapan Ndaru membuat tubuhku membeku. Apa secepat ini? Aku belum siap.

"Ru, katanya jalanin dulu pelan-pelan. Tapi, kenapa kamu tiba-tiba begini?" protesku setengah berbisik, tak ingin membuat keributan.

"Apa, sih? Aku nggak ngerti." Ndaru menarik tanganku ke atas meja. Sang pelayan lalu membuka kotak beludru yang berisi gelang dan memasangkannya ke tanganku.

"Pas ya, Pak?"

Ndaru mengangguk. "Pas. Suka?"

Oh, ternyata gelang? "G-gelang buat apa?"

"Gelang couple." Ndaru menunjukkan gelang lainnya yang berukuran lebih besar. "Cartier lagi ada projek sama WHO. Jadi setiap beli gelang couple ini, kita ikut nyumbang ke WHO buat pengobatan kanker bagi yang tidak mampu. Cute, kan?"

Aku menghela napas lega. Kukira dia nekat melamarku di sini, di tempat umum, agar aku sungkan untuk menolaknya.

Kami pun berjalan ke meja kasir yang hanya berjarak dua langkah. Terlihat Diandra dan Azka juga sedang melakukan pembayaran di kasir sebelah.

"Pembayarannya mau debit atau kredit, Pak?" tanya sang kasir pada Ndaru.

"Debit aja, Kak." Ndaru mengeluarkan kartu debit dari dompet dan menyerahkannya pada petugas kasir.

Wow! Kira-kira berapa banyak saldo yang ia punya? Membayar gelang couple Cartier yang kutaksir seharga dua puluh juta ke atas? Mungkin, bisa mencapai lima puluh juta. Jiwa nyinyirku tiba-tiba terbangun, aku melirik ke meja kasir sebelah, menguping percakapan Diandra Azka dengan pegawai kasir.

"Pembayarannya pakai apa, Pak?"

Meskipun tidak menjawab, tapi aku melihat Azka memberikan kartu kredit pada si kasir. Umumnya sih memang begitu, ya? Pakai kartu kredit. Aku jadi penasaran, kenapa Ndaru bayar pakai debit.

"Kenapa nggak pakai kredit aja, Ru?"

"Aku jarang pakai kartu kredit. Nggak suka utang." Dia terkekeh. "Kecuali kalau emang barangnya mahal banget, terus aku nggak mampu bayar. Tapi, kalau bisa sih, jangan."

"Kayak beli mobil gitu?"

"Nggak kredit juga."

Mataku melebar. Astaga, sultan sekali pacarku ini ternyata. "Tapi, sedan yang kamu taksir itu, pakai kredit. Ayah yang beliin. Aku bayar ke Ayah dicicil enam kali."

"Tajir sekali ya, An---"

Percakapan kami terpotong karena sang petugas kasir menyerahkan tas cantik bertuliskan Cartier yang berisi kotak beludru gelang tadi. "Terima kasih sudah berbelanja di Cartier."

Ndaru menyerahkan tas cantik itu padaku, dan menerima kartu debitnya. Lelaki itu melangkah keluar lebih dulu dengan aku mengekorinya.

"Babe, kalau dipikir-pikir, kayaknya aku mau sebulan deh di Bali, ngikut kamu," kataku sengaja saat melewati pasangan pembawa luka itu.

"Iya, kan? Ngapain di Jakarta lama-lama kalau bisa liburan tipis-tipis." Ndaru membalik badan dan menyahutinya. "Nyicil honeymoon."

Aku berdecih. "Is! Males!"

"Maksudku, biar nanti pas honeymoon nggak usah ke Bali."

"Oh, betul! Ke Dubai, Berlin, terus ... aku pengin ke Iceland."

"Sabi, lah!" Ndaru mengulurkan tangannya dan menggenggam jemariku. "Berarti setuju ya, kalau aku nikahin nanti?" ujarnya begitu melewati pintu keluar gerai Cartier.

"Nanti lah, katanya pelan-pelan?"

"Loh? Tadi udah semangat ngobrolin honeymoon?" goda Ndaru. "Udah mah, kalau udah yakin, nggak usah jual mahal."

Aku terkikik, malu sendiri. "Bayangin jalan-jalannya doang yang semangat."

Dia menjentikkan jarinya di keningku, membuatku mengaduh kesakitan. "Nggak boleh mukul kepala orang yang lebih tua! Aku lahir tiga bulan lebih awal dari kamu," cebikku kesal.

"Nggak minta dipanggil Teh Lula, sekalian?" sindirnya dengan tatapan lurus ke depan.

"Boleh, kalau mau."

"Sinting!"

***

Jangan lupa kencengin votementnya para buciners Evandaruuu🙌🙌🙌

Selamat buka puasa temen-temen bagi yang menunaikan ibadah puasa❤️

Mau ngingetin lagi kalo Exvenger udah tamat di Karya Karsa ya😙

Hayo siapa yang udah gasabar nunggu part baru Exvenger di Wattpad?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top