Plan 23

"Eits, mau ke mana lo? Kabur lagi?"

Aku menarik napas panjang, berusaha menetralkan degupan jantungku yang mulai meliar. Bukan di kantor melainkan di depan apartemen, Ndaru menghadangku. Kalau begitu bagaimana bisa aku kabur? Mau ke mana? Gila memang!

"Ru, please ... gue nggak mau ribut. Gue cuma mau masuk, mandi terus istirahat."

"La, gue nggak ajak ribut. Gue cuma minta jawaban." Ndaru perlahan menghampiriku.

"Tapi, lo cuma mau jawaban iya." Aku mencebik.

Dia mengembuskan napas. "Okelah, alasan lo nolak gue apa? Gue kenapa?"

Aku mulai tidak nyaman. "Ya, karena gue emang nggak mau. Gimana kalau kita putus? Sayang, kita udah temenan deket gini. Pasti bakal awkward."

"Kenapa lo udah negatif sih, pikirannya?" Lelaki itu menarik tanganku dan menggenggam jemariku. "Gimana kalau ternyata hubungan kita langgeng, sampai tua, sampai mati?"

Aku tercekat. "Lo seserius itu sama gue?"

"Serius. Nggak ada alasan gue nggak serius sama lo, Kalula." Ndaru mengangkat daguku membuat pandanganku terkunci pada sorot tajam matanya. "Give us chance, will you?"

Aku menelengkan wajah, mengindari tatapannya yang seakan bisa menembus ketakutan dan rahasia yang kusimpan rapat.

"Kita ngobrol di dalam aja. Nggak enak kalau ada yang lihat," putusku akhirnya.

Ndaru melepaskan tangan dan daguku. Dia mundur memberiku ruang untuk melangkah menuju pintu. Lelaki itu membuntutiku ke apartemen. Sementara Ndaru duduk di sofa, aku sengaja berlama-lama di kamar mandi, sambil berpikir. Lelaki itu pasti akan menyerangku dengan pertanyaan dan kalimat-kalimat yang menohok.

Aku berdiri di depan cermin sambil mengeringkan wajah dengan handuk dan menghela napas. Cuma Ndaru, bukan setan, jangan takut, Kalula .... Toh, aku juga pernah pacaran sama yang lebih jahat dari setan. Setelah berpakaian aku menuju ruang tamu dan menempatkan diri di hadapan lelaki itu.

"Udah siap ngobrol? Nggak kabur-kabur lagi?"

Aku mendecih sambil melengos. "Siapa yang kabur, sih?"

Dia tersenyum. "Kalula, Kalula ... lo tuh lucu kalau lagi salting begini. Gue bakal lebih mudah ninggalin lo, waktu lo nolak gue, kalau wajah lo nggak merah-merah begini."

"Gue emang kalau baru mandi wajahnya merah!" Kekehan meluncur dari mulut lelaki itu membuatku semakin gugup. "Nggak ada yang lucu ya, Ru!"

"Oke, oke ... gue serius sekarang." Dia mengitari meja dan berpindah duduk di sebelahku.

Astaga, apa yang akan lelaki itu lakukan? Dan, kenapa jantungku melompat-lompat begini, sih? Aku takut Ndaru dapat mendengar degupan di dadaku yang tak terkendali ini. Deruan napasku semakin cepat.

"Apa yang bikin lo nggak yakin? Gue butuh alasan jelas kenapa harus ninggalin lo dan mundur buat perjuangin lo, perjuangin hubungan ini."

"Ru, bahkan kita belum mulai ... " Aku mendesah pelan, menatapnya sendu.

"It doesn't matter." Ndaru menggeleng. "Kenapa? Apa lo seeing someone else right now? Iqbal mungkin?"

Aku tertawa. "Nggak, nggak."

"So, you don't like me?"

"Itu ... "

"See? Lo bahkan nggak bisa ngomong kalau lo nggak suka gue, La. Gimana gue bisa mundur?" Ndaru menarik tanganku dan mengaitkan jemari kami. "Apa yang bikin lo ragu? Apa yang lo takutin? Kalau lo nggak jujur, gue nggak akan paham."

"Gue takut ini bakal jadi gerbang kehancuran gue yang kedua kali, Ru," bisikku sambil menyelami kedua manik gelap Ndaru yang tak mengalihkan tatapannya dariku. "Lo nggak tahu apa yang udah gue lalui karena Azka, Ru. You have no idea how broken I was, back then."

"Tapi, gue bukan Azka, La. Gue nggak akan berubah jadi Azka, I promise you."

Aku menggeleng, bibirku tersenyum miring. "Azka pun dulu baik-baik aja, Ru. Nggak ada yang tahu gimana orang akan berubah."

Ndaru membawa punggung tanganku ke bibirnya dan mengecupnya lama. "Maaf karena gue nggak paham rasa sakit yang lo derita. Tapi, kalau lo terlalu lama terjebak masa lalu, lo nggak akan bisa bahagia. Jangan jadiin masa lalu penghalang lo buat melangkah, Lula. Azka nggak punya hak bikin lo menderita selamanya. Lo lebih kuat dari yang lo bayangkan. You deserve all the happiness in the world."

"Gue tahu Azka yang bikin gue begini. Gue sadar, gue harus bisa move on dari masa lalu, tapi susah, Ru .... Itu nggak segampang yang lo pikirin."

"Tapi, lo nyaman sama apa yang kita punya?" Ndaru bersuara. "We doing things together. Keluar, dinner, ngobrol, berdua. Do you enjoying our moment?"

Aku mengangguk.

"Gue nggak masalah sama label hubungan kita, Kalula. Pacaran, komitmen, anything, I have no problem at all. Tapi, gue pengin lo aware kalau gue serius. Gue pengin punya masa depan sama lo lewat hubungan ini," jelasnya. "Lo nggak perlu mikirin apa nama hubungan kita, asal lo berusaha untuk menerima gue di hidup lo. Gue nggak masalah nunggu lo siap ke jenjang yang lebih serius. Tapi, gue butuh lo berani buat mencoba kasih kita kesempatan."

"Gimana kalau gue ngacauin ini semua? Gimana kalau gue terlalu takut dan akhirnya malah nyakitin lo, Ru?"

"Nggak ada orang belajar langsung bisa, Kalula. Semuanya butuh proses. Gue bakal ada di samping lo, jangan takut. Pelan-pelan, oke? Tapi, gue juga manusia, gue butuh kepastian kalau lo juga mau berusaha buat bangun hubungan ini. Karena kalau gue gerak sendiri, percuma. Itu malah bakal nyakitin kita berdua." Ia menelusupkan rambutku yang terurai ke belakang kuping. Senyum terpahat di bibirnya. "Gimana, mau belajar bareng-bareng untuk saling mengerti, memahami, menerima satu sama lain, dan diri kita sendiri?"

Aku bisa merasakan keteduhan dari binar mata Ndaru yang beradu denganku. Senyum yang tersemat pada bibir lelaki itu mengirimkan kehangatan tepat ke relung hati. Betapa lucunya kejutan alam semesta. Lelaki yang dulu kukira seorang trouble maker banyak tingkah dan suka tebar pesona ternyata berhasil menjadi sosok yang membuatku nyaman dan merasakan getaran yang lama terlupa di dada.

Keraguan untuk menapaki kisah baru selalu ada. Perasaan itu belum hilang. Namun, mau sampai kapan aku terjebak dalam ketakutan tidak berujung itu? Selalu ada kemungkinan untuk kembali tersakiti. Bahkan, bersama Ndaru. Akan tetapi, dia ... dia bukan Azka, kan? Dia akan bersama menemaniku menyusuri hubungan ini, kan?

"Promise me you are not going anywhere."

"No, never. Eventho you asking for it."

"Jalanin aja dulu, kan?"

"Jalanin aja dulu, tapi beneran dijalanin, diseriusin. Lo ngerti, kan? Gue nangis nih, nanti kalau di-ghosting."

Aku tertawa kecil. "Biasanya tuh, yang takut di-ghosting cewek."

"Gue nggak punya potensi buat nge-ghosting lo, ya! Wajar dong kalau gue panik." Ndaru berseru.

Tawa kami berdua melebur jadi satu, mengisi kesunyian apartemenku. Namun, seketika bibirku terkatup, tubuhku membeku saat Ndaru menghentikan tawanya. Lelaki itu malah memberi tatapan tajam yang membuat napasku tercekat. Tangan Ndaru yang awalnya berada di atas bahuku perlahan merangkak naik. Aku bisa merasakan belaian lembut di tengkuk leher.
Wajahnya menunduk, matanya belum melepaskan pandangannya ke wajahku.

Ujung jempolnya tiba-tiba mengusap daguku dan naik ke bibirku. Napasku mulai menderu cepat dibarengi dengan detak jantungku yang mulai tak beraturan.

"Can I?" Suara berat Ndaru tidak hanya menggetarkan gendang telingaku, tapi juga pertahanan diriku. Tanpa perlu menjelaskan apa yang ia mau, aku mengerti. Bagaimana dia membelai bibir bawahku, mempertegas segalanya.

Aku melirik ke arah bibirnya. Pipiku langsung terasa panas. Aku mendongakkan pandangan, memberanikan diri menatap matanya dan mengangguk. Satu sudut bibir Ndaru terangkat ke atas membentuk seringaian, sebelum ia menunduk dan menyatukan bibir kami.

Kupejamkan mata seraya mengalungkan tangan ke lehernya. Aku merasakan sapuan lembut bibir dan lidahnya yang memabukkan. Ndaru memiringkan kepala untuk memperdalam pagutan yang awalnya lembut, tapi menuntut. Bibirku ikut bergerak membalas ciumannya. Semua keraguan dan ketakutanku tadi hilang terganti dengan perasaan mendamba yang menggebu. Dengan lembut dia mengelus puncak kepala dan pipiku. Tanganku berpindah menangkup rahangnya yang dipenuhi dengan rambut halus.

Kami terjebak, terperangkap dalam gelembung kenikmatan yang tercipta. Aku merasa aman, seolah tidak ada orang yang bisa menerobos masuk, merusak kebahagiaanku di sana.

"Gimana? Masih bau kambing nggak?"

Aku menabok bahunya, keras. Kenapa pula kalimat pertama kali yang meluncur dari bibir Ndaru setelah pergulatan bibir yang cukup panas ini, sindiran yang membuatku malu?

Lelaki itu terbahak. "Loh, kata lo kemarin kalau cium nggak boleh bau kambing?"

Aku mencebik, menggeser tubuh menjauh dari Ndaru. "Nggak usah dibahas, bisa nggak?"

"Elah, malu, nih?" Dia mengacak-acak rambutku. "Gue balik dulu, ah! Takut di sini ketagihan."

Lagi-lagi, pipiku memanas dibuatnya. "Iya, betul! Sono lo balik!" Betul, semakin lama Ndaru di sini, semakin membahayakanku. Lelaki itu tentu tahu bagaimana menyenangkan lawan mainnya bersilat lidah.

Dia mendekat, memeluk bahuku lalu mengecup puncak kepalaku lama. Untung saja, tadi pagi aku baru keramas. "Gue balik dulu, ya? Besok, chat gue jangan dianggurin lagi."

"Iya, iya."

"Oke, good night, pacar."

Aku mengangguk dan menepuk-nepuk bahunya pelan. "Hati-hati di jalan, Ru."

***

"Cie, yang sekarang tiap malam pasti nunggu apelan!" Suara menggelegar Daniar membuat beberapa pegawai lain yang masih duduk santai di lobi ikut menggodaku.

Beberapa hari ini, aku memutuskan tidak bawa mobil. Kadang pakai taksi, kadang Ndaru sengaja menjemput, karena lelaki itu pasti ke kantor untuk mengajakku pulang bersama.

"Jadi orang tuh jangan syirik. Nanti jodohnya seret!" tukasku sambil pura-pura sibuk dengan ponsel. Padahal, hanya melihat status orang-orang di Instagram yang saling pamer kebahagiaan.

Mbak Jumaroh berdecih. "Dih, kata orang yang nggak punya pacar selama sembilan tahun!"

Aku menjulurkan lidah padanya. "Dulu emang nggak pengin pacaran. Baru penginnya sekarang." Aku lalu menatap Mbak Jum yang duduk di meja resepsionis bersama Hani, Icha di sofa tunggu bersama Daniar. Kantor Kalula's Organizer tak selalu ramai. Jika tak ada pengunjung dan staf lapangan tidak sedang bertugas keluar, lobi dan kursi-kursi di lorong menuju dapur, dan dapur biasanya jadi tempat andalan untuk istirahat dan ngerumpi manja.

Sudut bibirku terangkat, begitu sosok yang dari tadi kutunggu melewati pintu masuk. Aku langsung berdiri, menghampirinya membuat Ndaru tersenyum lebar.

"You look so cute!" gumamnya sambil terkekeh. "Kamu nungguin aku banget ya, Babe?" Sejak berpacaran, Ndaru sering menggodaku dengan memanggil Babe, atau pun berbicara dengan nada mendayu-dayu sambil berkata aku-kamu. Awalnya memang mengesalkan, tapi lama-lama aku malah ikut-ikutan.

"Iya, kan mau ditraktir nonton!" Aku menarik tubuhnya keluar setelah melambai pada pegawaiku di dalam.

Ndaru menjepit ujung hidungku. "Ayo! Aku pesen jam midnight, jadi kita bisa makan dulu." Dia membukakan pintu mobil untukku.

"Eh, kamu belinya film apa? Jangan bilang horor?" sahutku setelah kami berdua duduk manis di mobil.

Dia menyeringai, seketika aku bisa membayangkan pikiran jahat yang berputar di kepalanya. Namun, untungnya horor adalah genre film kesukaanku.

"Thanks, Babe. Aku emang lagi pengin banget nonton Tumbal Kolor Ijo!"

Ndaru mengernyit. "Serius?"

"Iya, kenapa emang?" tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Sialan! Kukira kamu nggak suka horor!"

Aku terbahak kencang. Sangat terbaca motif modusnya kali ini. Dia pasti mau grepe-grepe dengan sok jadi pahlawan, menenangkanku yang dikiranya bakal ketakutan. "Makanya jangan mesum!" Aku menoyor pelipis Ndaru membuat lelaki itu mendengkus.

"Namanya juga usaha."

Tawaku semakin kencang mengudara. "Oke, aku suka cowok jujur."

"Kamu tuh kalau ketawa cantik, La. Tapi ada yang bikin kamu lebih cantik."

Aku menoleh, mendapati Ndaru yang tersenyum sambil menghadap depan. "Apa?"

"Kalau yang bikin kamu ketawa itu aku."

TBC
***

***


Ada yang udah hepi-hepi nih karena bisa pacaran terus🤣🤣🤣

Btw, ada poin yang perlu kujelaskan:

1. Ndaru ga maksa Kalula. Dia bersikap begini, karena dia punya feeling Kalula juga punya perasaan yang sama ke Ndaru.

2. Kalau Kalula menolak Ndaru dengan tegas, bilang nggak suka Ndaru, dia bakal mundur. Ndaru bukan pemaksa.

Oke, paham, ya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top