Plan 22
Tanpa kuduga, Ndaru menarik tengkukku dengan tangan besarnya, dan mendaratkan bibirnya pada bibirku. Dia menangkup leherku, dan merangkul pinggangku kuat dengan tangan yang lain.
Harusnya aku mendorong lelaki itu segera, tapi tubuhku membeku. Otakku sepertinya juga berhenti bekerja untuk mencerna apa yang barusan terjadi. Jemari raksasa Ndaru mengelus-elus leher dan pipiku selagi bibirnya terus bergerak lembut. Menghisap, mengulum, menyecap. Oh, dear ... lelaki itu sepertinya ahli membuat gila dengan ciuman.
Lututku lemas, persendianku sepertinya berubah menjadi selembek jeli. Aku melingkarkan tangan ke tengkuk leher Ndaru, mencari pegangan. Tangan lelaki itu menarik pinggangku merapat padanya, menahan tubuhku agar tidak meleleh ke lantai.
Damn! Perasaan aneh, yang sudah lama tidak aku rasakan, tiba-tiba muncul menyebar di perut dan pangkal paha.
Untungnya, sebelum aku benar-benar pingsan, Ndaru melepaskan pagutan kami, dan menempelkan keningnya pada keningku. "Kalau yang lo maksud temenan bisa begini, I have no problem at all."
Aku mendorong dadanya dan bersandar di tembok. Astaga! Ciuman panas ini terjadi di lorong depan apartemen! Bagaimana jika ada orang lewat? Gila memang!
"I really want to take care of you, Lula. I want to do something more, tanpa takut, ada cowok lain yang juga berusaha sekeras gue."
Mama! Aku harus gimana?
"G-gue ... " Think, Kalula! Think! "Mending, lo balik, deh! Sikat gigi! Mulut lo bau kambing sama bawang!"
Aku bisa melihat matanya membelalak lebar. Tanpa membuang waktu, aku membuka pintu apartemen, memanfaatkan waktu selagi lelaki itu terdiam karena terkejut.
"Kalula!" Ndaru menahan pintu agar tidak tertutup rapat.
"Gue nggak mau ciuman lagi!" teriakku dari dalam, sambil mendorong pintu.
"Mulut lo juga bau kambing sama bawang! Enak aja! Bukan cuma gue yang makan sate kambing tadi!" protes Ndaru.
"N-nah, makanya ... kita bahas ini lain kali, waktu nggak bau kambing," balasku dengan kepala menyembul.
Untungnya Ndaru tidak tersinggung dan malah terbahak. "Lula, you know what? Lo lucu kalau lagi salah tingkah."
"Idih! Apaan? Gue nggak salah tingkah," elakku mendengkus.
"Awas aja besok kalau nggak mau gue cium! Gue culik lo nanti!" ancam Ndaru dengan kekehan.
***
To: Olivia
EMERGENCY 🆘🆘🆘
Pesan darurat tersebut langsung kukirim begitu pintu apartemen tertutup dan suara Ndaru tidak terdengar lagi. Aku mendaratkan bokong ke sofa, menghela napas panjang. Kepanikan melandaku bagaikan banjir. Baru kemarin rasanya aku meyakinkan mama jika hubunganku dan Ndaru tidak lebih dari teman. Tapi ternyata, lelaki itu ... sial! Bagaimana dia bisa dengan kurang ajar menciumku tanpa permisi.
Lelaki itu menciumku tanpa paksaan. Aku masih mengingat jelas bagaimana aku malah menarik tengkuknya turun. Tapi jelas, dia sangat sembrono karena melakukan hal itu tanpa izin, membuatku sadar jika aku sudah terlalu lama hidup tanpa sentuhan pria.
From: Olivia
Wassup girl?
To: Olivia
Ndaru just kissed me!
From: Olivia
Lo di apartemen?
To: Olivia
Iya
From: Olivia
Wait me, I'm on my way!
Oke, tarik napas, keluarkan .... Aku tiba-tiba merasa gugup. Tubuhku, bibirku, bahkan hatiku sepertinya tadi sangat menerima pagutan lembut lelaki itu. Tapi, otakku, logikaku, tidak membiarkanku menikmatinya sekarang. Kenapa aku tidak bisa langsung menolaknya dan bilang jika aku sama sekali tidak tertarik dengannya? Dammit! Tentu saja karena aku sendiri tidak yakin akan perasaanku. Bagaimana aku menghadapi Ndaru nanti, Tuhan? Everything will be fine, Kalula. Tunggu Olivia saja. Otakku tidak bisa diajak berpikir saat ini.
Olivia sampai setengah jam kemudian. Perempuan itu langsung memborbardirku dengan berbagai pertanyaan.
"Satu-satu tanyanya, biarin gue napas dulu, Liv .... " tukasku ketika mulut gadis itu tak berhenti mengoceh.
"Udah setengah jam dari lo nge-chat gue. Harusnya lo udah persiapan presentasi di depan gue tentang gimana Ndaru cium lo," Olivia menghela napas.
"Enak, Liv."
Mata Olivia membelalak, tangannya menoyor jidatku tanpa sopan santun. Kami berdua duduk bersebelahan di sofa. "Ye, gue nggak tanya gimana rasanya! Dasar lo emang, kelamaan nggak pacaran dicium aja udah keenakan."
"Rasa sate kambing soalnya, Liv. Jadinya enak," kataku sambil memutar mata ke arah Olivia, membuat dia meringis. "Lagian lo, pakai nanya gimana Ndaru cium gue! Ya, kayak ciuman pada umumnya!"
"Ya udah, buruan cerita! Gue udah jauh-jauh ke sini, masa lo sia-siain?" Olivia merajuk.
Aku mengembuskan napas. "Dia cium gue di lorong depan situ, Liv. Gila, kan?"
"Dia nggak maksa lo kan, La? Sumpah! Kalau dia lakuin itu di luar kehendak lo, gue bakal lapor polisi!" tandas Olivia serius.
"Nggak, kok! Nggak!" Aku langsung menggeleng. "Dia memang nggak izin dulu waktu mau cium gue, tapi dia nggak maksa. Gue dalam kesadaran penuh dan bisa banget tendang dia kalau gue merasa dilecehkan."
"Syukurlah .... " Olivia menghela napas. "Terus, apa masalah lo?"
"Ndaru nembak gue, Liv. Dia mau gue jadi pacarnya."
Senyum semringah langsung menghinggapi wajah Olivia. "Bagus, dong! Kenapa emergency?"
"Masalahnya gue nggak tahu harus kasih jawaban apa ke Ndaru," gumamku.
"Loh? Lo ke mana-mana udah sama Ndaru. Tadi dicium dia pun mau. Apa lagi yang masih lo raguin?" Dia memberiku tatapan dalam.
Aku---yang awalnya duduk agak menyerong menghadap Olivia---mengubah posisi tubuhku, menatap lurus ke depan, dengan badan bersandar ke belakang. Mataku terpejam. "Semuanya. Gue nggak tahu apa yang gue rasain. Gue nggak yakin Ndaru bakal jadi sosok cowok yang gue butuhin. Gue nggak tahu gimana hubungan gue sama dia ke depannya. Gue nggak tahu apa gue bisa maksimal menjalani hubungan itu."
"Kalau lo nggak mulai, lo nggak akan tahu, La. Gue lihat Ndaru serius sama lo. Dia juga baik."
Aku mendengkus, meliriknya sambil menyeringai. "Dulu juga Azka baik, Liv. Dia juga kelihatan serius sama gue. Tapi nyatanya, berengsek juga akhirnya."
Olivia mengelus bahuku. "Gue nggak akan maksa lo buat terima Ndaru. Keputusan tetap ada di tangan lo. Gue cuma pengin lo buka hati, gue pengin lo nggak terjebak sama masa lalu. Percayakan sama hati lo, La. Gue yakin hati lo tahu apa yang lo mau."
***
"Kalau ada Ndaru, bilang gue nggak di kantor. Jangan dibolehin masuk. Oke?" kataku pada Daniar.
Dahi perempuan itu mengerut, matanya agak memicing. "Mbak Lula masih marahan sama Bang Ndaru, ya?"
"Anggap aja begitu," balasku lalu melenggang masuk.
Ndaru cukup tahu diri ternyata, sejak kemarin dia belum mengirim pesan untukku. Bagus, karena aku pun tak tahu bagaimana harus membalas pesannya. Aku cukup berdoa, hari ini lelaki itu tidak mampir kemari, karena aku belum punya jawaban.
Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu merenung seorang diri di apartemen, setelah berhasil mengusir Olivia di pagi hari. Aku tidak ngantor, karena yakin seratus persen fokusku akan terpecah. Ucapan Olivia, tentu saja terus berputar di kepala membuatku pening. Pada akhirnya, aku mengaku kalah. Aku memang tertarik pada lelaki itu. Aku merasa nyaman dengannya. Tapi untuk menjalin suatu hubungan, itu dua hal yang berbeda. Aku tidak siap. Aku ingin mencoba. Sungguh! Tapi, jika teringat hatiku yang pernah terkoyak karena lelaki membuatku gemetaran ketakutan.
Aku tidak siap patah hati lagi.
Aku tidak ingin merawat luka yang tak bisa sepenuhnya sembuh lagi.
Aku tak mau berharap pada orang yang salah lagi.
Apalagi saat teringat obrolanku dengan Ndaru beberapa waktu lalu.
"Sebagai cowok, kalau lo kenal deket gue sama Diandra, lo lebih pilih siapa buat dijadiin calon istri?" Aku mengunyah potato stick, sambil memangku dagu, menatap partner menontonku hari ini.
"Kenapa lo, tanya begitu?" Pandangannya yang awalnya terarah pada layar televisi, melirik ke arahku.
"Penasaran. Apa semua cowok bakal luluh sama cewek cantik, pinter, lemah lembut, kayak dia .... "
"Iya, lah!"
Apa semua lelaki berpikiran sama? Apa keputusan Azka yang lebih memilih Diandra daripada aku, akan dimaklumi kebanyakan lelaki? Kalau begitu, itu artinya hatiku tidak akan benar-benar aman, kan? Mereka akan terus berpaling ke wanita lain yang lebih menarik. Tapi, ada pasangan suami istri yang langgeng sampai puluhan tahun, seperti papa mama.
Aku menghela napas pelan. Apa aku cuma tidak beruntung saja waktu bertemu Azka?
"Gue bingung, Ru .... "
***
Olivia dengan sabar mendengarkan kisah piluku. Umpatan beberapa kali meluncur dari lidahnya saat nama Azka keluar dari mulutku. Dia menarikku ke pelukan ketika aku menangis lagi. Dia, seseorang yang bahkan tak kukenal baik, tapi malah menawarkan bahu untuk aku menangis.
"Jadi, Azka nggak tahu kalau lo pertahanin anak kalian?" Aku mengangguk. "Lo nggak mau kasih tahu dia?"
"Buat apa, Liv? Dia udah nolak kehadiran bayi ini sejak awal. Buat apa gue kasih tahu? Kalau dia nolak Kalya lagi, hati gue nggak sanggup. Gue nggak akan sanggup denger penolakan dari dia lagi," bisikku tersengal sambil menatap bayi mungil yang terlelap di tengah kasur. "Apalagi sekarang Azka udah nikah."
"Berengsek emang!" Olivia mendesis pelan. "Nyokap lo kapan ke sini?"
"Minggu depan. Mama nggak bisa sering-sering ke sini. Nanti papa curiga. Kasihan Krishna juga kalau ditinggal terus."
"Tapi, lo jelas nggak bisa sendirian, La!"
"Gue nggak sendirian, Liv. Sebenarnya ada Bu Rima, yang ikut bantu jagain Kalya di sini. Tapi, hari ini izin pulang kampung karena anaknya nikah," terangku. "Bu Rima bakal balik besok sore."
"Dia tidur di sini juga?" Olivia mengedarkan pandangan ke kamar kosku yang pastinya sempit untuk ditiduri dua orang dewasa. Apalagi terlalu banyak barang Kalya menumpuk di sudut ruangan.
"Kamar sebelah. Gue sewa dua kamar."
Waktu usia kehamilanku menginjak lima bulan, aku pindah kemari. Jauh dari lingkungan kampus agar tak berpapasan dengan teman kuliah. Kamar ini berukuran 3x4 m², lebih besar dari indekosku yang lama. Namun, tetap saja jadi sempit karena tidak hanya barangku saja yang memenuhi kamar.
Setelah melahirkan, mama mencarikan aku orang yang bisa menemani dan membantuku di sini, selagi mama pulang ke Bandung. Bu Rima bertugas menjaga Kalya, memasak di dapur umur indekos jika ada waktu, dan menyetrika. Sedangkan aku, karena Kalya berada di tangan yang tepat bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Meskipun mama selalu mengirimiku uang tambahan, tapi aku tidak ingin bergantung terus padanya. Apalagi, aku tidak tahu bagaimana mama mendapat uang sebanyak itu. Aku tidak berani bertanya. Papa juga masih rutin mengirim uang, karena mengira aku masih berkuliah. Setiap kali mengambil uang papa di kantor pos, dadaku selalu sesak. Menyembunyikan rahasia gelap sebesar ini pada papa menimbulkan rasa bersalah yang besar bercokol di dada.
"Maaf, La ... gue penasaran, umur Kalya berapa, sih? Menurut cerita lo kayaknya udah lima bulan. Tapi kok badannya kecil?"
Aku tersenyum sendu.
"Nggak usah dijawab nggak apa-apa. Emang ada bayi yang kecil kan, ya ... " Olivia meringis.
"Kalya sakit, Liv. Dia nggak seberuntung bayi lainnya yang lahir normal."
Hari ini aku belajar banyak dari sosok Olivia. Seseorang yang tak pernah disangka-sangka datang ke hidupmu, malah jadi penerang di saat jalanmu gelap gulita. Dia menawarkan banyak bantuan. Bahkan, malam itu dia meninggalkan uang lima ratus ribu, mengosongkan dompetnya. Meskipun aku berusaha menolak, dia memaksaku untuk mengambilnya.
"Lo bakal balikin duit ini nanti waktu Kalya udah sehat dan lo dapat kerja bagus. Oke?"
"Tapi gue nggak tahu itu kapan, Liv ... "
"Gue nggak ke mana-mana kok. Gue bakal terus di sini, sampai lo bisa bayar uang itu lagi. Gue nggak kasih itu gratis karena gue tahu, lo mampu ngelewatin ini semua dan bangkit, La."
***
Terlalu fokus menghujat Azka sampe kalian ga sadar Ndaru udah curi start cium Lula duluan🙃
Katanya kangen Ndaru di part kemarin tapi malah dicuekin.
Jadi nanti kalo Ndaru ilang jangan dicariin ya yorobun...
Tuh, capek aku jaga rahasia. Ku spill aja nih rahasia Kalula di masa lalu. Biar kalian bisa keluarin teori-teori lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top