Plan 21
To: Azka
Azka, bisa ketemu ga? Ada yg mau aku omongin.
Pesan yang kukirim dua hari lalu pada Azka belum juga dibalas. Padahal, setiap jam yang kulalui terasa seperti berhari-hari. Beberapa kali aku mencoba meneleponnya, tapi tak ada satu pun panggilan yang ia terima. Apa dia benar-benar sudah membuangku? Aku meraih ponselku, kembali mengetikkan pesan untuk Azka, berharap lelaki itu masih peduli padaku.
To: Azka
Ka, please .... ketemu sekali ini aja. Ada sesuatu yg mau ku omongin. Pliss...
Rupanya pesan keduaku ini membuahkan hasil. Tiga jam kemudian, ia meneleponku. Dengan tangan bergetar, aku menekan tombol bersimbol telepon hijau, dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Halo .... "
"Halo, Ka .... " Tanpa bisa kucegah suaraku bergetar.
"Iya, kamu mau ngomongin apa, La? Kalau kamu cuma mau minta balikan, maaf aku nggak bisa. Aku serius, aku mau kita udahan."
Aku tertohok, seakan ada panah yang menghujam jantungku dengan cepat dan keras. "Ka, apa lima tahun yang kita jalani, bisa langsung kamu hapus gitu aja?"
"Lula, kalau nggak ada yang mau diomongin lagi, aku tu---"
"Aku hamil, Ka!" Aku memejamkan mata, setetes air mata lolos dari balik kelopak, bergulir bebas ke bawah.
Hening seketika menyelimuti kamu berdua. Bahkan, aku tidak dapat mendengar deru napas dari seberang sana.
"J-jangan tinggalin aku, Ka .... " bisikku pilu. "Aku nggak a-akan b-bisa jalanin ini sendiri, Ka."
Suaraku tersengal-sengal, karena tangisan sialan ini tidak bisa berhenti. Dan, lelaki itu belum juga membuka mulutnya lagi. "Ka ... "
"Besok kita ketemu, La. Di tempat kemarin."
Aku mengangguk cepat. "Iya, Ka. Iya." Jalan buntu yang gelap gulita, kini terlihat lebih terang. Aku menghela napas lega, bersamaan dengan senyum kecil terbit pada bibirku.
***
Kedatangan Ndaru ke Kalula's Organizer kali ini menimbulkan kericuhan. Aku tidak tahu siapa yang memulai lebih dulu. Ndaru dan Iqbal terlihat sedang adu mulut, saat aku memasuki lobi setelah menyurvei lokasi salah satu venue tempat diadakan pesta pernikahan besok.
"Just say what you want to say," tukas Ndaru sebelum berjalan ke arahku.
"Lo mau bawa pizza satu lusin ke sini juga nggak akan bikin Lula mau sama lo," cibir Iqbal.
"Ih, apaan sih lo, Bal? Kalau lo nggak mau pizza-nya ya nggak apa-apa. Kita suka-suka aja kok," balas Hani. "Jangan bosen mampir sini Bang Ndaru, kita seneng kok. Bang Ndaru sama Mbak Lula serasi banget, kok!"
"Penjilat lo pada!" Lelaki berkacamata bulat itu mendesis.
"Udah gede, masih main ledek-ledekan aja," cibirku mengarahkan tatapan tajam pada Ndaru dan Iqbal. "Kalau masih pada mau berantem, keluar dari kantor gue, lo berdua!"
"Gue ke sini mau ngajakin lo dinner, Kalula. I don't have any bussiness with him," dengkus Ndaru yang berdiri di sampingku.
"Enak aja ngatain gue bocil!" Iqbal bersungut-sungut. "Lo nggak kreatif amat, pedekatenya pakai makanan mulu!"
"Well, gue kira nggak ada salahnya kasih makanan ke orang-orang yang emang suka makan. Am I wrong? Teman-teman Kalula juga nggak protes. Misal gue ngelakuin sesuatu yang lain ke dia, lo juga nggak perlu tahu." Ndaru menyeringai. "Gue tahu lo suka Lula dan masih coba deketin dia. Walaupun lo ngatain cara gue salah, tapi kayaknya cara gue masih lebih efektif ya, daripada punya lo?"
Iqbal mencebik. "Sok tahu!"
"Kalau cara lo emang berhasil, lo nggak bakal teriak-teriak kayak gini, karena takut kesaing sama gue," tukas Ndaru santai, tersenyum miring.
Tanpa menunggu jawaban Iqbal, Ndaru menyeretku keluar menuju mobilnya. Aku menoleh ke belakang sebentar dan bertukar pandang dengan Iqbal yang sangat terlihat kesal. Lelaki itu pasti merasa jengkel dan malu. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia memilih lawan yang salah.
"Mau makan di mana?" tanyaku sambil memasang sabuk pengaman.
"Anything you want."
"Serius, nih?"
Kening Ndaru mengernyit. "Nanti kalau gue yang milih, katanya kolestrol mulu!"
Aku terkekeh pelan. "Apa, ya? Tapi kalau udah malem begini, gue penginnya yang garingan sih. Tadi siang gue udah makan makanan sehat. Pecel lele sama sayur asem."
Lelaki itu mendecakkan lidah. "Lo maunya apa?"
"Gue pengin sate kambing." Aku menyengir.
"Banyak alasan lo. Ternyata suka daging juga, kan?" Ndaru menjitak kepalaku.
"Eh, tapi tadi lo udah makan apa? Jangan deh! Pasti lo siang udah makan daging, ya?"
"Tadi siang gue makan ketoprak."
"Oh, ya udah! Ayo, gaskeun sate kambing!" seruku mengangkat tangan yang terkepal, meninju angin ke arah atas.
***
Like a gentleman should be, Ndaru mengantarku sampai ke depan pintu apartemen, walaupun aku memprotesnya. Tak dapat kupungkiri, aku menikmati malam ini. Ndaru is great company. Dia menanggapi obrolanku dengan antusias dan selalu punya topik pembicaraan yang menyenangkan.
Rasa-rasanya, aku sekarang tidak punya alasan untuk menolak ajakannya makan malam, seperti pada awal pertemuan kami.
"Apa lo selalu treat your dinner mate like this? Antar pulang sampai depan pintu?" kataku saat sampai di depan unitku.
"Kenapa emang?"
"How sweet you are." Aku menyeringai.
Dia hanya terkekeh kecil. Namun, wajahnya langsung berubah serius, dalam seper sekian detik. "La, lo nggak capek apa?"
Aku mengernyit. "Capek apa? Perasaan kita nggak ngapa-ngapain hari i---"
"Capek pura-pura pacaran." Ndaru berujar santai, dengan satu tangan berada dalam saku celananya. Rambutnya yang bergelombang, sedikit berantakan.
Aku tercenung untuk beberapa saat. "Lo, mau kita udahan?" Dia mengangguk. "Oh, ya udah. Lo bisa pergi, nggak apa-apa."
Ndaru berdecak dan menyentil keningku dengan tangannya yang lain. "Bukan begitu."
"Terus?"
"Gue mau pacaran beneran sama lo."
Oh, wow! Mulutku membuka sedikit. "Oh, itu ... " Sial! Kenapa aku tergagap?
"Gimana? Mau? Gue rasa, selama ini kita juga udah pacaran, kan? Cuma ya, telanjur dilabeli pacaran pura-pura." Ndaru mengedikkan bahu.
"Gue, gue ... " Aku menarik napas. "Harus banget ya, kita pacaran?" cicitku.
Kening Ndaru berlipat, matanya menyipit tajam. "Simply, karena kita sebenarnya udah pacaran."
Jantungku berdentum kencang. Oke, jangan panik Kalula. Ndaru terlihat menakutkan sekarang. Jadi, selama ini, dia bersikap manis dan perhatian padaku, karena serius dengan hubungan ini?
"Lo suka sama gue?"
"Apa lo pikir, gue bakal pacaran sama orang yang nggak gue suka?" Pupil lelaki itu melebar, dengkusan keras terdengar. "Apa lo nggak punya perasaan sama ke gue?"
"Emangnya lo nggak mau, kalau kita gini aja? Temenan gitu?" Aku menggigit bibir, menahan kegugupan yang sepertinya siap meletup keluar.
"Temen?" Dia terbahak kencang. "Nope!"
"Why? Bukannya kita baik-baik aja sekarang, as a friend?" cicitku.
Lelaki itu mendengkus. Keras. "Gue nggak mau kita temenan karena temen nggak bisa lakuin ini." Tanpa kuduga, Ndaru menarik tengkukku dengan tangan besarnya, dan mendaratkan bibirnya pada bibirku. Dia menangkup leherku, dan merangkul pinggangku kuat dengan tangan yang lain.
Mataku terbuka lebar, tubuhku membeku seperti patung. Pikiranku? Melayang ke angkasa meninggalkan tubuhku, tanpa bisa kugapai lagi. A-apa yang sedang terjadi?
***
Senyumku mengembang saat melihat sosok yang kutunggu melewati pintu. Dia menarik kursi di hadapanku dan mendaratkan pantatnya di sana. Semoga harapan baru yang kupupus pagi ini, tidak hancur sia-sia.
"Ka ... " bisikku.
Azka mengembuskan napas. "Udah berapa minggu, La?"
"Nggak tahu. Belum periksa," jawabku. "Kita harus gimana, Ka? Aku nggak berani ngomong sama mama .... "
"Aku minta maaf, La," tutur Azka pelan. "Aku nggak bisa."
"K-kamu nggak mau b-bayi ini?" Suaraku bergetar.
Dia membuka tas dan mengambil sesuatu dari sana. Lelaki itu meraih tanganku, dan meletakkan amplop cokelat besar, yang cukup tebal, di atas telapak tanganku. "Maaf, Lula ... "
"Ini apa?" Dengan perasaan gusar aku membuka amplop tersebut. "Uang? Maksud kamu apa, Ka?"
"Isinya lima juta, emang nggak banyak, tapi kayaknya cukup buat kamu take care of the baby."
"Ngerawat bayi itu mahal, Ka ... belum cek up ke dokternya, susu, terus biaya lagi---" Aku menutup mulut saat menyadari maksud Azka sebenarnya. Bagaimana bisa dia tega memintaku untuk membunuh bayi ini? "Kamu gila, Ka!"
"Kita masih muda, Lula. Masih banyak yang harus kita capai. Masih banyak mimpi yang harus aku kejar. Dan bayi itu, bakal ngehalangin rencana-rencana yang udah aku susun," jelas Azka tersengal. "Kamu pun juga. Gimana kuliahmu nanti kalau kamu keep the baby? Berantakan, La. Terus, gimana reaksi orangtuamu?"
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, mengusir rasa panas yang menerjang. Ingin sekali menumpahkan segala sumpah serapah pada lelaki itu, tapi lidahku seperti terkunci. Harapan yang kupupus pagi ini, tidak hanya dijatuhkan, tapi juga diinjak tanpa belas kasih. Hancur lebur, berserakan.
Aku bangkit, dengan tangan terkepal di sisi tubuh, memandang Azka dengan penuh kekecewaan, kebencian, dan amarah yang membumbung tinggi.
"Kamu cowok paling berengsek yang pernah aku kenal!" desisku lalu mengambil tas dan segepok uang yang Azka berikan.
Tidak munafik, aku membutuhkan uang itu. Apalagi saat Azka memutuskan untuk pergi, aku tidak punya nyali untuk menghadap orangtuaku. Di saat aku meletakkan harapan begitu besar pada lelaki itu, dia menghempaskanku begitu saja. Lelaki yang kupikir belahan hidupku, lelaki yang selama ini kupikirkan akan jadi sumber kekuatanku, ternyata menjadi awal mulai kehancuranku.
***
Yang marah sama Azka angkat tangan ☝☝
Yang pengin Azka masuk sumur angkat tangan ☝☝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top