Plan 20

Sejak pagi, papa sudah sibuk dengan bonsai-bonsainya di teras rumah. Bibirnya menyenandungkan beberapa lagu. Sedangkan mama, berjibaku di dapur membuat beberapa camilan. Sedangkan aku, mendapat titah untuk membersihkan rumah. Hanya Krishna yang terbebas dari pekerjaan Minggu pagi dan masih terlelap di kamarnya.

Menggunakan kemoceng dan kanebo di kedua tangan, aku berusaha menyulap perabotan di rumah berkilau. Jujur, untuk ukuran mama yang belum menerima Ndaru, tindakannya pagi ini perlu dipertanyakan. Dia sengaja berbelanja di pasar pagi sekali, membeli bahan-bahan untuk membuat berbagai hidangan. Mama juga memintaku membersihkan rumah, hanya untuk menyambut kedatangan lelaki itu. Maksudku, kalau mama belum menerima Ndaru saja sikapnya sudah semanis ini, apalagi kalau mama menerimanya? Bisa-bisa statusku digeser Ndaru dan diturunkan jadi anak pungut.

"Ma, masih jam sembilan loh ini, goreng-gorengnya nanti aja. Makan siang masih lama," celetukku melenggang ke dapur.

"Ini bukan buat makan siang," jawab mama sambil membalik bakwan jagung di wajan. "Ini buat cemilannya."

"Ndaru doang yang dateng ke rumah kita. Dikasih air putih aja cukup!" Aku berdecak.

Ucapan barusan membuatku dihadiahi pelototan tajam. "Jangan ngarang! Tamu kalau dateng harus dimuliakan. Apalagi nanti dia bakal bantu kita bikin kos-kosan."

"Bantu? Bayar, Ma ... bayar! Mama tahu nggak firma arsitek Ndaru itu apa? Salah satu firma arsitek terbesar di Indonesia. Yang bikin stadion megah di Bali itu loh, Ma!"

"Kalau pun nanti bayar, tetap dia bantu papa kamu. Gini lho, Teh ... kalau Teteh sakit ke dokter, bayar kan? Tapi dokter itu tetep yang bantu Teteh buat sembuh," jelas mama. "Udah sana, bersih-bersih lagi. Kenapa malah nonton Mama masak?"

Aku memutar mata. "Teteh jadi curiga nih, Mama baik-baik begini ke Ndaru biar digratisin, ya?" selidikku.

"Astaghfirullah! Nggak dong, Teh! Tapi, kalau Ndaru nggak mau dibayar, ya udah. Itu rezeki kita."

Ya sudah lah, terserah mama. Langkahku terayun menuju kamar. Badanku lengket, gerah juga setelah bersih-bersih. Aku menarik kaus cokelat dan celana jeans selutut dari lemari sebelum ke kamar mandi.
Dengan rambut basah yang terlilit handuk, aku keluar kamar mandi, menuju ke dapur bermaksud untuk mengambil sarapan. Namun, suara tawa rendah papa menarik perhatianku. Aku menyembulkan kepala mengintip ruang tamu. Sudah ada Ndaru di sana sedang mengobrol dengan mama dan papa.

"Pagi amat, mau numpang sarapan lo?"

"Boleh?"

Bukan Ndaru namanya kalau ditawari sesuatu menolak.

Aku meringis. "Cuma basa-basi doang!"

"Teteh!" tegur papa. "Belum sarapan Ndaru?"

"Udah, Om. Bercanda aja tadi. Kalau di Bandung kan, tinggal sama orangtua, nggak ngekos sendirian."

Kekehan kecil meluncur dari mulut papa. Pa, Ndaru lucu banget, ya? Apa pun yang keluar dari mulut dia bikin papa ketawa? Sepertinya papa tidak pernah terlihat sebahagia itu jika bersamaku.

Aku mengambil dua lembar roti tawar yang kemudian kuolesi dengan selai cokelat dan kacang. Aku ke ruang tamu membawa segelas susu dingin dan roti tawar tersebut. Sengaja, karena kuingin tahu bagaimana rencana kos-kosan papa.

"Emang total luas tanahnya berapa, Pa?" tanyaku di sela-sela aktivitas mengunyah.

"Dihabisin dulu Lula, baru ngomong." Bukan papa atau mama yang menegurku barusan, melainkan Ndaru. "Luas tanahnya 300 m², di pinggir jalan raya."

"Jadi, gimana A Ndaru? Enaknya dibuat satu lantai apa dua lantai?" tanya mama. "Tapi kan tanahnya udah gede ya, satu lantai aja udah dapat banyak kamar, kan?"

"Ya, antara 10 sampai 15 kamar bisa, Tante. Tergantung ukuran kamarnya. Tapi, kalau bisa, saran saya sih, walaupun dibangun satu lantai, tapi tetap dikasih pondasi buat lantai dua. Siapa tahu, Tante sama Om ada rezeki buat bangun lantai dua. Jadi, nggak perlu repot tinggal nerusin aja bangunnya."

"Emangnya Papa mau bangun kos-kosan model gimana?" tanyaku setelah meneguk susu.

"Model kekinian yang disukai mahasiswa gitu."

"Sasaran kosnya untuk mahasiswa tingkat ekonomi ke bawah, menengah, atau atas, Om?"

Papa dan mama saling pandang. "Enaknya gimana ya, Nak Ndaru?" sahut papa.

"Buat menengah aja, Pa. Kalau mahal-mahal nanti nggak laku," tukasku. "Ada fasilitas ruang tamu, dapur bersama, tempat cuci jemur. Tapi, desain kos-kosannya dibikin cozy gitu, biar lucu. Banyak yang suka."

"Ya maksud Papa begitu. Gimana Nak Ndaru? Udah ada bayangan?"

Lelaki itu mengangguk. "Nanti biar disurvei dulu, untuk lihat samping kanan-kirinya, biar bisa menentukan desain, lihat kondisi tanah."

"Kalau biayanya kira-kira berapa?"

"Saya belum bisa jawab, Tante. Nanti kan dilihat dulu, dari desain bangunan, sama material yang akan digunakan. Mau pakai semen apa, pasir apa, gitu. Bulan depan, insya Allah saya bisa kirim rincian biaya sekalian desain bangunan."

"Lo nggak sibuk, Ru?"

"Gampang, lah. Mau gaya kosan yang cozy-cozy gitu biasanya Scandinavian."

"Gaya apa itu?" Kening papa mengernyit.

"Style ala daerah Nordic, Om. Jadi banyak ornamen kayu, warnanya netral kalem, terang. Kayak putih, krem, cokelat muda. Biasanya juga banyak jendela, karena salah satu ciri khasnya memaksimalkan pencahayaan alami," jelas Ndaru lalu mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana. Ia menyerahkan ponselnya pada papa, menunjukkan foto rumah bergaya Scandinavian.

Mama yang duduk di sebelah papa ikut mendekatkan tubuh, untuk mengintip gambar di ponsel Ndaru. "Bagus tuh, Pa. Mama suka warnanya. Bisa irit listrik juga kalau banyak jendela. Jadi, pakai lampunya pas malam aja."

"Kayaknya kalau model kos begitu, harganya di range tujuh ratus ribuan ke atas, ya?" imbuhku.

"Iya lah. Nggak akan bisa under itu. Balik modalnya nanti lama," balas Ndaru.

"A Ndaru, itu bakwan sama chiffon kejunya dimakan .... "

Ndaru mengangguk dengan memamerkan senyum. "Tenang, Tante ... nanti saya habisin."

"Ya udah, Tante sama Lula pamit ke belakang dulu, mau bikin sayur asem sama pecak panggang. Kata Lula, masih pengin itu, kan?"

Ndaru cengengesan. "Aduh, saya kok jadi enak Tante, kalau ke sini dimasakin."

Aku mencebikkan bibir. Dasar, Ndaru.

"Nggak apa-apa. Belajar, anggap aja rumah sendiri. Siapa tahu nanti jadi rumah Nak Ndaru betulan," ucap papa.

Astaga, papa ... please! Malu banget! Kenapa hari ini Ndaru seolah dinobatkan menjadi 'mantu' incaran mereka, sih? Dia bukan pacarku, jelas. Perasaanku padanya juga tidak pasti. Apa aku menyukai Ndaru? Tidak, sepertinya tidak. Apa aku pernah berdebar-debar karena lelaki itu? Ehm, kurasa iya. Untuk apa juga aku bohong pada diri sendiri? Apa aku baik-baik saja jika hubunganku dan Ndaru tetap seperti ini? Absolutely, yes! Aku tidak masalah dengan itu.

"Ayo, Teh ... bantuin Mama di dapur." Mama bangkit dari kursi melangkah menuju dapur.

"Eh, tapi Ma---"

"Ayo, katanya kamu mau belajar masak sayur asem. Nggak tahu bumbunya, kan? Gimana mau masakin suami nanti, kalau masak sayur asem aja nggak bisa."

***

Pukul satu, setelah menandaskan makan siang, sampai nambah, Ndaru pun pamit. Aku diminta papa mengantar lelaki itu sampai gerbang. Jujur, kalau aku jadi dia pasti bosan dan keki setengah mati berjam-jam mengobrol dengan orang yang tidak benar-benar dikenal.

Ndaru ngobrol dengan papa selagi aku dan mama memasak. Setelah, itu Krishna ikut nimbrung. Mau tidak mau, dia pasti dituntut untuk 'berkenalan' dengan karakter lawan bicara baru. Para lelaki sudah terlalu asyik mengobrol, jadi aku memilih kembali ke kamar dan bergabung dengan mereka sejam kemudian menjelang makan siang.

"Kapok kan lo, main ke rumah gue. Diajak papa ngobrol bonsai terus pasti, ya?"

"Ada bonsai, ada burung, ada ikan, apa lagi, ya?"

Aku terbahak. "Makanya besok-besok nggak usah main."

"Kenapa? Gue seneng kok." Dia menyentil keningku.

"Omongan dari papa sama mama hari ini, dianggap bercanda aja pokoknya. Mereka nggak serius."

"Termasuk soal kos-kosan itu?"

"Ya, nggak, dong!" Aku melayangkan pukulan ke lengan atasnya. "Maksudnya yang tentang, lo harus main ke sini lagi. Lo tahu sendiri lah, maksud gue yang mana!" Aku berbalik, hendak menuju ke ruang tamu.

"Eits, tunggu!" Ndaru menarik ujung kaus bagian atas, membuatku tercekik.

"Apa lagi? Sana lo cepet pulang!" Aku mendengkus kesal.

"Rumah lo ada CCTV-nya nggak?"

"Kenapa emang?"

Ndaru menggeleng dengan senyum tipis tersemat di bibirnya. "Gue cuma mau ini." Dia memperapat jarak tubuh kami, membuat napasku tercekat. Kepalanya menunduk, menyebabkan jantungku bergemuruh hebat. Dia mau ngapain ya Tuhan?

"M-mau ngapain lo?" Aku memberanikan diri mendongak, untuk menatap matanya.

Tangan Ndaru melingkari bahuku, menahanku di tempat. Wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku, sehingga aku bisa merasakan embusan napasnya.

"Berengsek lo ya, Ru! Anj---" Ndaru menutup mulutku dengan telapak tangannya. Ia semakin merendahkan kepalanya, hingga bibir lelaki itu sejajar dengan bibirku.

"Ada tomat nyelip di gigi lo."

Mataku melebar, dengan jurus secepat kilat aku mendorong tubuh lelaki itu menjauh. Aku kemudian mengacungkan jari tengah padanya yang terpingkal keras sambil memegangi perut.

"Fak you!"

***

"Loh, Papa sama Mama mau ke mana?"

Meskipun sudah sebesar ini, jika melihat papa mama pakai baju rapi dikit aja, pasti penasaran. Apalagi mama memeluk bungkusan besar. Aku yang awalnya berbaring di sofa ruang tamu, pun bangun. Mama memakai gamis merah muda dan jilbab sedada dengan warna senada. Ah, cantik sekali mamaku ini.

"Mau nengok anaknya Bu Ati, baru lahiran." Papa menjawab lalu duduk di sebelahku.

"Bu Ati, temen guru Papa itu? Yang dulu rumahnya di ujung gang?"

"Iya, bener. " Papa mengangguk.

"Bukannya masih SD anaknya Tante Ati?" Aku terkesiap.

Mama memukul kepalaku dengan tasnya. "Udah SMA, kok SD aja. Emang cuma kamu doang yang tambah tua?"

"Tapi, tetap aja, belum lulus SMA, udah hamil. Kasihan orangtuanya," ucap papa. "Anak sekarang pergaulannya kelewat bebas. Emang jadi ibu, menikah itu masalah gampang."

Aku menelan ludah, sambil menahan napas. Seperti ada gumpalan di tenggorokan yang membuat aku tercekat.

"Ya, mau gimana lagi, Pa ... itu cobaan dari yang di atas. Harus sabar, ikhlas," sahut Mama sembari duduk di seberangku, dan memakai kaus kaki. Pandangan kami sempat bertemu, tapi aku buru-buru mengalihkan fokus.

"Untungnya Papa punya anak perempuan nggak aneh-aneh, sukses, pinter. Nggak apa-apa Teteh nikahnya nanti, yang penting ketemu jodoh yang cocok dunia akhirat." Papa mengusap puncak kepalaku dan tersenyum.

"Ayo, Pa ... nanti keburu sore." Mama bangkit dari kursi setelah selesai memakai kaus kaki.

"Kalau Papa sama Mama pulang malem, beli makan dulu aja. Krishna juga dibeliin, lho," tukas papa sebelum melangkah keluar.

Seperginya mama dan papa, aku berlari ke kamar mandi. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, untuk memenuhi paru-paru. Aku membasuh wajah beberapa kali lalu mendongak, menatap pantulan diri pada cermin di hadapanku.

Setetes air mata meleleh di pipi, yang segera disusul tetesan lainnya. Aku membungkam mulut menggunakan telapak tangan mencegah isakan yang mendesak keluar.

"Maafin Lula, Pa. Maafin Lula .... "

Rasa nyeri menelusup di dada membayangkan bagaimana aku harus membuka rahasia tergelapku pada papa. Aku tidak akan bisa melihat kekecewaan yang tersemburat pada wajahnya.

"Maaf Lula bukan anak baik, Pa," bisikku. "Maaf Lula belum bisa banggain Papa."

***
awas ada kang modus🤣🤣🤣  pake nanya ada cctv engga segala lagi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top