Plan 18

Sehari sebelum Enola operasi, aku dan Ndaru menjenguknya. Hasna menangis tersedu-sedu sambil memelukku. Aku menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali sampai tangisnya berhenti. Itulah hebatnya ibu, di ujung ruangan menangis, tapi dalam seper sekian detik, senyum kembali di wajah saat berbalik ke sisi tempat tidur sang putri.

"Enola, gimana rasanya? Deg-degan nggak?" tanyaku seraya membelai rambutnya.

"Takut dikit," jawab gadis berambut ikal sebahu, dengan mata beli dan bibir pucat. Wajahnya sedikit bengkak, tapi overall, Enola terlihat baik.

"Nggak apa-apa. Tante juga takut kalau mau disuntik."

"Kenapa takut? Tante kan udah gede .... " Enola menggumam.

"Tante Lula emang penakut," sahut Ndaru yang berdiri di sebelahku. "Makanya kalau ke mana-mana Om temenin."

Aku memberi lirikan tajam pada lelaki itu. Bisa-bisanya dia meluncurkan gombalan tak bermutu di situasi seperti ini.

"Tante berdoa aja kalau takut," tutur Enola. "Soalnya kata mama sama papa, kalau berdoa, nanti Tuhan nemenin kita."

Senyumku mengembang. "Nah, betul. Jadi, Enola besok nggak boleh takut, ya .... Operasinya sebentar doang, kayak tidur siang aja. Terus, waktu bangun, udah ada mama sama papa lagi. Di ruang operasi, ada dokter yang nemenin, dan pasti dijagain sama Tuhan, biar Enola pulas tidurnya."

"Kata mama, habis ini aku mau dibeliin rumah Barbie yang ada kolam renangnya itu loh, Tante." Enola cekikikan memandang ke arah Hasna. "Iya kan, Ma?"

Hasna mengangguk. "Iya. Kapan sih, Mama bohong?"

Aku dan Ndaru ikut terkekeh kecil. "Eh, Om sama Tante pulang dulu, ya ... mau mandi dulu. Besok kalau udah sembuh, Om ke sini lagi." Ndaru mengacak rambut Enola.

"Oke. Tante Lulanya ikut juga nggak, besok waktu aku sembuh? Takutnya kalau ditinggal Om Ndaru, jadi nggak berani ke kamar mandi. Soalnya suka ada monster di kloset."

Ndaru terbahak. "Oh pasti, dong. Nanti Tante Lula bawa boneka Barbie banyak buat Enola, yang warna-warni."

"Emang ada Barbie warna-warni?" Kening Enola mengernyit, bibirnya sedikit mengerucut.

"Ada, Tante Lula punya."

Enola bersorak, matanya yang berbinar penuh kebahagiaan menatapku lekat. "Bawa ya, Tante Lula! Aku mau warna oranye sama ungu sama hijau!"

Aku mendesis pelan sambil menyenggol bahu Ndaru. "Ah, itu ... iya." Di mana aku harus cari Barbie warna-warni yang Enola cari, coba? Dasar Ndaru!

Aku kembali memeluk Hasna di depan pintu. Untuk beberapa saat, tanpa suara aku menepuk-nepuk punggungnya. Kami saling melempar senyum sebelum aku menyalami Vano dan pamit pulang. Ndaru yang memang tidak dekat dengan Hasna, tersenyum simpul sembari bersalaman dengan sepasang suami istri itu.

Hasna dan Vano butuh dukungan besar dari keluarga mereka. Terutama Hasna, karena operasi ini tidak hanya mempertaruhkan nyawa putrinya juga nyawa sang suami. Pendonor ginjal Enola adalah Vano. Di Indonesia sendiri, untuk saat ini hanya bisa menerima transplantasi ginjal dari keluarga yang masih hidup.

"Gue kok sedih, ya ... anak sekecil itu bisa kena penyakit ginjal," ujar Ndaru saat kami sudah menapaki lorong rumah sakit.

"Bisa lah. Namanya penyakit bawaan. Kelainan gen," jawabku.

Menurut penuturan Hasna, Enola terkena polycystic kidney disease. Penyakit ini terjadi karena kelainan gen yang diturunkan oleh kedua orangtua. Gejala ginjal polikistik bisa terlihat dari dalam kandungan, tapi lebih sering saat usia anak sudah cukup besar. Penyakit ginjal polikistik ini menyebabkan kumpulan kista tumbuh pada ginjal. Enola mengalami gagal ginjal sejak usia empat tahun, karena komplikasi ginjal polikistik. Hampir dua tahun gadis cilik itu menjalani cuci darah setiap minggu. Sampai akhirnya dokter menyarankan untuk melakukan transplantasi ginjal.

Nah, karena Hasna dan Vano tidak menderita polikistik, jadi kondisi Enola cukup mengagetkan mereka. Namun, setelah ditelusuri ternyata kakek Hasna, mengalami hal serupa.

"The hardest part tentang penyakit bawaan, kelainan dari lahir, selain kebanyakan belum ada obatnya, kita nggak bisa cegah biar nggak terjadi sama anak kita. It just happened right before our eyes. And, the cruelest part is the transplant does not guarantee Enola's condition would be normal, would be better. It can be worse. Dan itu bikin kita jadi serba salah, bingung, hopeless, frustasi.

"Kenapa mereka harus dilahirkan ke dunia, kalau cuma untuk merasakan rasa sakit? Kadang itu yang gue pikirin. Bahkan, mereka belum tahu, ya meskipun life suck, tapi tetap ada satu dua hal yang menyenangkan. Anak-anak itu belum ngerasain kesenangan itu. Tapi udah harus menderita. Sebenarnya mereka menderita karena apa? Menebus kesalahan mereka? They are just baby, they have no sin. Apa untuk menebus kesalahan orangtuanya? Gue nggak ngerti .... " Aku menghela napas panjang.

Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu sering mampir di kepala membuatku pening setengah mati. Katanya kita tidak boleh mempertanyakan takdir Tuhan? Tapi, itu sulit, apalagi jika sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang kita cintai, tanpa sebab. Bukan berarti tidak bisa menerima. Hanya saja butuh waktu lama.

"La?" Ndaru menepuk bahuku, membuatku terkesiap.

"Eh, iya?"

"Lo deket banget sama Hasna, ya? Kelihatan sedih banget," ucap Ndaru. "Enola pasti sembuh kok. Jangan khawatir."

Aku mengangguk kecil. Tersadar, sedari tadi mengoceh panjang lebar sampai lupa keberadaan lelaki itu. Ya, semoga saja Enola bernasib baik.

***

Justus Steak House PVJ Mall jadi tempat berlabuh kami untuk mengisi perut. Beberapa bulan mengenal Ndaru, membuatku mengerti kecintaan lelaki itu pada daging, luar biasa. Sudah beberapa kali makan di luar dengannya, kalau tidak salah hanya dua kali Ndaru tidak mengajakku makan daging. Yang pertama itu ke Sushi Tei dan yang kedua, persis seminggu lalu ke Solaria, dia pesan nasi goreng.

Untungnya, badan lelaki itu masih terlihat kekar dan bugar, yang menandakan ia cukup rajin berolahraga.

"Lo nggak takut kolestrol, Ru?" celetukku.

"Nggak. Enjoy life aja, Kalula," tandasnya sambil memasukkan sepotong daging ke mulut.

"Enjoy mah sekarang pas muda. Besok pas tua gimana?"

"Gue makan daging nggak setiap hari juga, La," balasnya. "Gue juga nggak makan malam tiap hari."

"Really?" tukasku tak percaya sambil mengiris-iris steikku.

"Yap. Dalam seminggu gue makan malam tiga kali doang. Tapi, kalau ada occassion tertentu, bisa lebih. Misal ada dinner bareng klien, keluar sama temen kantor, ketemu sama lo. Ya, mau nggak mau harus makan. Nggak masalah sih. Toh, olahraga gue tetep jalan."

"Kalau sarapan gimana?"

"Ehm, salad, buah, toast, seadanya, or just coffee. Gue kuat sih sampai siang. Kalau laper ya, tinggal order makan. Sore baru makan lagi. Biasanya kalau gitu, gue nggak makan malam."

"Sayur asem, doyan nggak?"

"Doyan lah, gila lo!" Dia menoyor keningku.

"Ya, gue kira lo nggak suka sayur sama makanan sederhana begitu. Lagian kemarin minta masakinnya daging mulu."

Ndaru terkekeh. "Waktu itu kan lagi pengin. Besok ya, lo masak sayur asem sama sambal pecak panggang. Bisa nggak?"

"Bisa lah! Tinggal masuk-masukin sayur aja." Aku menjentikkan jari.

"Langsung pulang atau ... "

"Cari lipstik dulu ya," balasku sambil menyampaikan tas ke pundak. Aku dan Ndaru beranjak meninggalkan restauran steik itu. "Ehm ... cari tas juga boleh, sih."

"Mau cari lipstik apa tas sebenernya?"

"Cari apa aja yang gue seneng." Aku meringis.

"La, for your information ... gue sama kayak kebanyakan laki-lain lain."

"Apa?"

"Males kalau disuruh nemenin cewek belanja lama-lama," gerutunya.

Aku berdecih dan mendorong badannya. "Ya udah, sono lo balik!"

Tiba-tiba, dari belakang Ndaru mendaratkan lengannya di bahuku. "Ya elah, ngambek."

"Apaan, sih?" Aku berusaha menyingkirkan tangannya, tapi Ndaru malah merapatkan tubuh kami.

"Ini aku temenin loh, Babe ... " katanya dengan nada gemas. Sialan, dia pasti menggodaku. "Mau beli lipstik berapa? Selusin? Sekodi? Aku tungguin."

Aku menghentikan langkah, lalu menoleh untuk menghadapnya. "Nggak jelas banget lo."

"Nggak jelas gimana? Kurang perhatian apa lagi sih pacar kamu ini? Mau nungguin kamu nyoba lipstik sekodi ... aku nggak apa-apa beneran." Wajah Ndaru terlihat menyebalkan karena lelaki itu terang-terangan menahan tawa.

"Kalau lo ngomong kayak tadi lagi, gue---"

"Teteh!"

Mataku membelalak ketika mama dan Krishna berada tiga meter di depanku. Keduanya sama-sama terlihat terpaku. Oh! Aku langsung menjauhkan diri dari Ndaru. Mama pasti berpikir tidak-tidak melihat kedekatanku dengan lelaki itu. Berbeda denganku yang salah tingkah, Ndaru malah melenggang mendekati mama dan Krishna lebih dulu. Crap!

"Malam Tante ... gimana kabarnya?" sapa Ndaru ramah, mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Kok kalian bisa di sini?" tanya mama penuh selidik sambil menunjukku dan Ndaru.

"Jenguk anak temen Ma, di rumah sakit," jawabku.

"Kenapa nggak kasih kabar Mama, Teh?"

Aku meringis. "Lupa, Ma. Lagian ini udah mau pulang. Eh, tahunya malah ketemu Mama di sini."

"Pacaran mulu sih, jadi lupa." Krishna mencibir.

Aku menyipitkan mata ke arah adik lelaki itu. "Ini Mama sama Krishna ngapain di sini? Mau belanja apa?"

"Cari kursi taman sama cari kemejanya Krishna," jawab mama tapi arah pandangnya menuju pada Ndaru.

Aku yang menyadari itu langsung menggandeng tangan mama. "Ru, gue balik sama Mama. Lo pulang dulu aja."

Dia tersenyum kecil, tapi untungnya mengangguk. "Oke, besok kamu WA aja mau pergi jam berapa, Babe. Salam buat Om Emir, Tante. Permisi Tan, Krish .... " Lelaki itu mengacak rambutku dan memutar tumit meninggalkan kami bertiga membeku di tempat.

Sial, apa-apaan tadi ... kenapa harus melakukan itu di depan mama dan Krishna?

Seperginya Ndaru, mama menghadiahiku tatapan tajam. "Teteh harus cerita sama Mama nanti di rumah."

***

Yang mau baca duluan bisa di karya-karya. Ekstra partnya ada 11 part. Tamat di part 43. Puas deh pokoknya.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top