Plan 16

To: Ndaru
Gue masak rendang.

From: Ndaru
Otw

To: Ndaru
Sapa bilang lo bisa ke sini? Gue cuma pamer.

From: Ndaru
Udah dijalan. 10 menit lg sampe. Bukain, ato gue dobrak.

To: Ndaru
Idih. Anarkis

From: Ndaru
Demi rendang apasih yg ga bakal gue lakuin.

Aku tergelak membaca balasan lelaki itu yang datang secepat kilat. Setelah minggu lalu aku jadi koki dadakan di rumah Ndaru, dia memintaku memasak untuknya lagi. Tapi, aku belum sempat ke rumahnya kembali. Entah kesambet setan apa, tiba-tiba aku ingin memamerinya dengan rendang yang baru saja kuangkat dari wajan.

Tidak, aku tidak mendadak punya keahlian memasak. Berbekal resep YouTube dan bumbu instant yang tersebar di seluruh pusat perbelanjaan, sepertinya keahlianku sudah setara Chef Juna. Aku terkikik dengan pikiran konyolku. Tentu saja kemampuanku tidak sebanding dengan koki galak dan ganteng itu. Tapi, berkhayal sekali-kali tidak dosa, kan?

Mataku bergerak liar memeriksa setiap sudut ruangan tempat tinggalku. Sebenarnya aku tidak terlalu siap dengan fakta Ndaru akan menapakkan kaki di apartemenku, my safe place, dalam beberapa menit. Aku kira Ndaru akan memintaku memasak di rumahnya, atau membawakan rendang itu besok. Tapi, lelaki itu memilih bertandang kemari.

Dengan gerakan secepat cahaya, aku memunguti gelas kotor yang berserakan di ruang tamu, bekas minumku pagi tadi. Aku menata bantal-bantal sofa, menyemprotkan parfum di sana. Perlu diingat, aku tidak melakukan ini untuk membuat Ndaru terkesan. Aku hanya tidak ingin lelaki itu mengira, aku perempuan jorok. Not big deal.

"Apa lagi, ya?" Aku berdiri di ujung ruang tamu, mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjukku. "Oh!"

Aku lalu berlari ke lorong antar kamar dan mengunci satu-satunya ruangan berpintu putih itu. Aku memutar handle beberapa kali, memastikan benar-benar terkunci. "Oke, aman."

Sesudahnya, aku mengistirahatkan pantatku di sofa, menunggu kedatangan Ndaru. Kenapa aku jadi seperti seorang istri yang menunggu kepulangan suaminya? Gila! Gila!Aku mendengkus keras mengenyahkan pikiran aneh yang mendadak muncul di kepala.

Pembicaraan dengan Olivia beberapa hari lalu memang sempat menggangguku. Bagaimana jika Ndaru betulan menyukaiku? Apalagi kalau mengingat sikapnya padaku yang super perhatian, lembut, dan peka. Tapi, Ndaru itu playboy, menyenangkan hati perempuan itu keahliannya. Aku menghela napas dan mengangguk membetulkan suara yang menggema di kepala. Jangan terjebak dengan tipu daya lelaki itu, lagi pula dia hanya menjalankan perannya sebagai pacar pura-pura.

Untungnya, sembrawutnya pikiranku berakhir ketika suara bel terdengar. Aku beranjak untuk membukakan pintu. Ndaru berdiri sambil menenteng satu tas kain belanja di tangannya. Kemeja biru muda yang melekat di tubuhnya terlihat kusut. Sepertinya lelaki itu belum sempat pulang ke rumah.

"Bawa apaan itu?" Aku membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan ia masuk.

"Buah."

Dengan satu tangan masuk ke saku celana, ia menyusuri lorong yang menghubungkan ke ruang tamu. Aku memutar mata, mengikuti Ndaru dari belakang. Sebenarnya siapa pemilik rumahnya? Lelaki itu berdiri di tengah ruang tamu, sambil mengedarkan tatapannya ke sudut-sudut ruangan.

"Nice apartment. Clean and warm." Lagi-lagi, dengan lancang, Ndaru menuju pantri untuk meletakkan belanjaannya di meja.

"Thanks to Kalula's Organizer, I can afford this unit." Aku menghampirinya dan berdiri di hadapan lelaki itu. "Udah nggak sabar banget makan rendang, sampai nyelonong masuk gitu aja?

"Gue nggak nyelonong kok. Lo udah bukain pintu tadi," elaknya. "Kecuali kalau gue masuk ke kamar lo, baru itu namanya nyelonong."

Aku mendengkus kecil, sembari membuka tudung saji yang menyembunyikan semangkuk rendang. "Sama nasi, kan?"

"Ya iya lah, Kalula. Nggak ada sejarahnya makan rendang tanpa nasi. Makan rendang tanpa nasi namanya pelecehan."

Aku mengambil dua porsi nasi putih dari magic com, ke meja pantri yang merangkap jadi meja makan. Tak lupa mengeluarkan setoples kerupuk udang dari lemari.

"Cuci tangan dulu, ih!" Aku memukul tangan Ndaru yang hendak mencomot sepotong rendang daging dengan tangan kosong.

Lelaki itu menyengir, "Sorry, lupa." Ndaru buru-buru mencuci tangan di wastafel, dan kembali ke kursinya secepat kilat.

"Gue laper banget ... udah boleh makan, kan?" tanyanya dengan mata berbinar.

"Sok atu---"

Belum selesai aku berbicara, Ndaru sudah  melahap sepotong rendang ukuran besar dengan nasi. Aku terkekeh pelan melihat betapa lahapnya Ndaru makan. Sepertinya aku bisa kenyang hanya dengan menonton lelaki itu. Raut wajahnya benar-benar epik. Matanya beberapa kali memejam. Gumaman tak jelas lolos dari mulutnya.

"Gila, enak banget Lula .... " tuturnya, "Eh, kok lo nggak makan?"

Aku baru sadar, karena keasyikan memperhatikan lelaki itu, aku bahkan belum menyentuh makananku. "Kayaknya gue udah kenyang lihat lo makan. Enak beneran, kan?"

"Beneran, lah! Masa bohongan?" tukasnya. "Kalau bohongan, nggak mungkin gue minta tambah. Boleh, ya?"

"Sana, ambil nasi sendiri."

Aku baru mau menyiapkan sesendok nasi, Ndaru sudah beranjak untuk memulai ronde kedua. Gila! "Lo udah nggak makan berapa purnama sih, Ru?"

"Gue udah lama nggak makan rendang. Rendang di rumah makan Padang, kayaknya nggak seenak ini."

"Bisa aja nih modusnya." Aku mendengkus.

"Eh, serius!" Ndaru mengangkat dua jari bekas bumbu rendang membentuk huruf V ke udara. "Gue harus telepon Bunda ... Bunda harus nyicipin masakan lo!"

"Terserah lo, lah .... " Aku tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.

***

Jatah rendang yang harusnya bisa untuk bertahan hidup dua hari kedepan, lenyap dalam hitungan menit. Aku menatap monster yang baru melahap habis olahan daging itu sambil berdecak tak percaya. Si pelakunya, tentu tidak merasa bersalah sama sekali. Ia malah asyik selonjoran di karpet menyandarkan tubuhnya di sofa, seraya menepuk-nepuk perutnya.

"Lo itu definisi tamu kurang ajar pisan."

Ndaru tergelak, bertingkah seolah sedang mabuk berat. Bukan karena alkohol, tapi karena kebanyakan kolestrol. "Sekali-kali, biar pahala lo nambah."

"Gue nggak perlu subsidi pahala dari lo." Aku melengos, mendecakkan lidah.

"Lo kapan pulang ke Bandung lagi?"

"Kalau nggak sebelum Desember abis tahun baru. Gue malas macet-macetan di jalan, kalau musim liburan," jawabku mulai menerka-nerka kapan lagi aku bisa merasakan ayam bakakak bikinan mama.

"Bareng ya, kalau mau pulkam. Gue males nyetir sendiri."

Kemudian, kami berdua duduk diselimuti keheningan untuk beberapa saat. Aku naik ke sofa setelah tadi menemani Ndaru selonjoran di bawah. Aku duduk menyerong, dengan kaki lurus memenuhi sofa. Kepala Ndaru menempel betisku yang berada tepat di belakangnya.

"Cerita dong, Ru ... cewek-cewek lo pas kuliah. Gue penasaran." Aku menggerakkan kaki, menyenggol badannya, membuat ia menoleh ke arahku.

"Gue nggak punya cewek---"

"Ngibul lo! Terus, lo punyanya cowok, gitu?"

Ndaru mendesis, beranjak menepuk kakiku agar menekuk lalu duduk di sofa. Kami kembali duduk bersisihan. "Gue belum selesai ngomong, asal nyahut aja."

"Gue nggak punya cewek waktu kuliah," tuturnya. "Hang out sama temen kuliah pernah memang. Tapi emang nggak berniat untuk pacaran. Biasanya temen satu kelompok atau temen projek. Gitu aja sih. Gue kebanyakan main. Gue baru pacaran itu waktu di Kanada."

"Oh, lo betah ngejomlo, ya?"

"Menurut gue, waktu itu pilihan terbaik emang jomlo, sih. Jadi nggak banyak beban."

Aku memicingkan mata. "Menurut lo, cewek itu beban?"

Dia menyengir dan mengedikkan bahu. "Ya, gitu, deh."

"Berapa lama pacaran waktu di Kanada?"

"Lama kok. Gue pacaran tiga tahun di Kanada. Dia orang Malaysia. Namanya Eliza. Keturunan Arab gitu. Cakep and smart. Kebetulan tinggal satu apartemen, tapi beda tower."

"Dia arsitek juga?"

"Nope. Dia salah satu klien di BTB. She has villa there. Punya orangtuanya sih, dan mau direnovasi gitu."

"Wow, so basically she is like super rich in Malaysia?"

"Betul. Masih keluarga kerajaan."

"Tell me more about her." Aku sungguh penasaran dengan sosok Eliza. Dia terdengar sempurna. Cantik, cerdas, kaya. Mirip Diandra sekali rupanya.

"She is interesting woman. Kita beneran bertolak belakang. Dia ambisius, mandiri, nggak manja sama sekali. Sampai gue mikir, ini cewek cinta sama gue nggak, sih? Kenapa dia nggak pernah lean on to me, gitu." Ndaru terkekeh kecil, "Tapi ya, itu tantangannya. Lama-lama kelihatan juga sisi soft-nya, manjanya. Ya, cuma soal waktu aja. Gue merasa klik sama dia, malahan karena kita sering banget debat. Debat masalah apa pun. Masalah makanan, politik, bola, bisnis, profesi. Anything."

"Kenapa kalian putus? Kayaknya lo smitten by her banget, ya?"

"Dia minta nikah, gue nggak bisa kasih itu."

"What?" Aku melotot. "Why?"

"I loved her, I liked her, but gue baru sadar waktu dia minta menikah, gue sama sekali nggak siap untuk berkomitmen di jenjang itu," jelasnya. "Gue juga nggak tahu kenapa. So, I let her go. Tanpa gue relain dia pergi pun, Eliza udah pasti pergi. She is the type of woman who knows what she want."

"Sekarang dia udah nikah?"

"Udah. Tepatnya dua tahun lalu. Wait ... " Ndaru mencondongkan badan ke arah meja, untuk mengambil ponsel. Ia lalu mengotak-atik benda persegi itu. "Ini ada fotonya, gue dateng kok."

Dia menyodorkan ponselnya padaku. Layar Iphone-nya memperlihatkan foto seorang wanita yang memiliki aura kuat, elegan, dengan sorot mata tajam, pipi tirus, hidung mancung, mengenakan gaun putih. Wanita itu diapit Ndaru, dan suaminya yang memakai setelan kemeja abu-abu.

"She is so pretty. Lo sedih nggak dia nikah?" tanyaku hati-hati seraya menyerahkan ponselnya kembali.

"Nggak. Gue merasa lega. Gue bayangin kalau dia stay sama gue, memilih nunggu gue siap, rasanya kayak terbebani banget. Gue belum siap soalnya buat nikah. At that time."

"Jadi, lo total punya mantan berapa, sih?

"Yang serius? Cuma Eliza."

"Yang nggak serius?"

"Lo manggil adik kelas yang kasih nasi goreng ke gue aja gebetan gue. Berarti banyak banget kan, kalau dihitung dari SMA?" Ndaru terkekeh. "Pas kuliah, gue nggak beda jauh kayak SMA. Hari ini keluar sama siapa, besok sama siapa. Tergantung temen projek kampus siapa. Dan itu as a friend aja. Mereka juga tahu, dan melakukan hal yang sama kayak gue."

Ndaru ini spesies playboy yang aneh. Aku mengetuk-ngetukkan telunjuk pada dagu seraya menatapnya dalam diam. "Lo ternyata nggak se-berengsek itu ya, Ru?"

"Emang gue nggak berengsek. Masih bejatan Azka ke mana-mana, ninggalin lo buat nikah sama Diandra." Dia menepuk dadanya, sambil tersenyum mencemooh ke arahku.

Kurang ajar sekali dia!

"Gantian lo dong sekarang! Ceritain soal mantan lo!"

Aku mendesis sambil mengangkat tangan, siap mendaratkan tamparan bertenaga roket ke pipinya. "Lo minta gue timpuk, nih?"

"Lo beneran habis putus dari Azka nggak punya pacar lagi?" Ndaru menatapku lekat sampai aku harus mengalihkan wajah, agar bisa bernapas dengan benar. Dia membuatku terintimidasi dengan wajahnya yang tiba-tiba terlihat serius.

Aku menggeleng, menatap kosong ke depan. "Gimana bisa gue punya cowok lagi, di saat banyak hal yang harus gue obati, harus gue benahi, biar gue bisa berdiri lagi?"

Napas Ndaru terdengar menderu. Ia mencengkeram kedua bahuku, dan memutar tubuhku. Dengan sorot mata nanar, ia melontarkan pertanyaan, "Sebenernya ada apa lo sama Azka? Kalian putus terus tiba-tiba gue denger kabar Azka nikah sama Diandra."

Tanpa bisa kucegah, air mata mulai menggenang di pelupuk. Pandanganku menjadi buram. "He threw me away, when I need him the most," bisikku tercekat.

***

Hoho, aku lihat part kemarin berhasil membuat keributan dan kebingungan 😆😆

Jadi kalian tim mana?

A. Masih menebak-nebak itu anak siapa

B. Bingung sekarang anaknya di mana

C. Nggak percaya Kalula pernah hamil

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top