Plan 15
Aku melahap permen kopi untuk yang ketiga kali pagi ini, sambil sesekali menampar pipi, agar terus terjaga. Semalam, aku tidak bisa terlelap sama sekali. Rasanya badanku lemas setengah mati, kelopak mata berat seperti diduduki gajah. Tidur, aku butuh tidur! Namun sayangnya, aku lebih butuh uang.
Ini pertama kalinya aku diberi tugas utama dalam projek. Jika di pesta besar, biasanya, aku diminta membantu mendekor venue pesta. Meskipun aku melamar di sini sebagai make up artist. Ya, sesekali aku diminta mendampingi sang make up artist atau membantu mengaplikasikan foundation di wajah klien. Akan tetapi, setelahnya, MUA profesional yang akan mengambil alih.
Namun hari ini, Bu Enggar---owner Delima Organizer---memerintahkanku membantu Kak Qonita---MUA profesional---untuk merias sanak saudara klien utama.
Aku tidak boleh mengacaukan ini, jika masih ingin terus bekerja di sini. Sebagai mahasiswa, pekerjaan ini lebih dari cukup. Aku tidak perlu berangkat setiap hari, tapi uang yang kudapat cukup banyak. Tentu, penghasilanku di Delima Organizer belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, di sela waktu luangku, aku menjadi tutor les privat untuk anak SD-SMP, dan bekerja di sebuah toko kelontong. Well, if you wonder why I got three job at once, because I need money. BIG AMOUNT OF MONEY.
"Begadang ya, lo? Lemes banget," ujar Kak Sasi, hair stylist.
"Grogi, Kak." Aku cuma meringis.
"Ngapain grogi? Make up lo, cakep kok. Paling, nanti lo disuruh Qonita make up-in orangtuanya si klien."
Aku manggut-manggut. "Semoga tangan gue nggak tremor."
Pukul sepuluh pagi, aku menapaki hotel mewah di kawasan Jakarta Selatan. Aku berdecak kagum, bertanya-tanya pasangan mana yang bisa seberuntung ini? Melakukan acara lamaran di hotel bintang lima.
"La, gue biar dibantu Bintang aja, lo make up-in sepupunya Ghia---perempuan yang akan dilamar hari ini---aja. Total ada tiga orang. Nanti lo sama Aqila, ya .... " Kak Qonita yang menumpang mobil berbeda, baru saja sampai di lobi.
"Siap, Kak Qonita."
Aku langsung menuju kamar yang disewa khusus untuk merias sanak saudara Ghia. Sedangkan Kak Qonita, Bintang, Kak Sasi, memasuki kamar sebelah. Aqila sudah stand by di sana, menata lampu dan peralatan make up.
"Bang Aqil, ini kita make up aja apa sama hair do?"
"Apose Kalulah? Udah akikah kasih tempe juga, jangan panggil akikah Bang! Emangnya akikah keluar duit banyak?! Udah cantik begindang juga! Panggilnya Madam Aqila!" sahut Aqila sewot.
Aku terkekeh kecil. Bukannya aku tak tahu lelaki bernama asli Aqil itu selalu jengkel jika kupanggil nama aslinya. Hanya saja, aku terlalu suka mendengar omelan lelaki yang suka berkamuflase jadi perempuan itu.
"Sorry, Madam Aqila ... blush on-nya kurang nyala, sih. Jadi lupa," balasku.
"Akikah mau garap neng cantik manjalita ini, you make up-in nanti yang dateng sapose." Aqila menepuk kursi di hadapannya dan meminta seorang wanita yang kutaksir dua atau tiga tahun di atasku untuk duduk di sana. "Mau gaya apa nih, Neng?"
"Terserah Madam aja. Yang penting cantik paripurna."
"Siap, manjalitah, ah!" Aqila tertawa girang sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
Aku bergidik ngeri mendengar suara Aqila yang melengking tinggi. Apalagi, lelaki itu sengaja menambahkan efek desahan yang berlebihan. Ih!
"Mbak, yang mau di-make up-in lagi udah sampai di hotel belum, ya?" tanyaku pada wanita yang sedang dirias Aqila.
"Udah kok. Kayaknya mampir ke kamar sebelah dulu. Udah gue suruh ke sini."
Selang lima menit, pintu kamar pun diketuk, aku segera beranjak untuk membukakan. Senyum yang awalnya tersemat di bibirku langsung menghilang saat bertatapan dengan wanita berambut panjang di balik pintu. Sama sepertiku, matanya juga membeliak lebar, sebelum akhirnya memelukku. Namun, tubuhku tetap membeku tidak kuasa membalas pelukannya.
"Eh, La! Lo ke mana aja? Sialan! Ngilang setahun lo, ya?!"
"O-Olivia, lo ng-ngapain di sini?" Aku tergagap hebat.
Tidak. Tidak boleh ada yang mengetahui tempat persembunyianku.
"Loh, gue mau di-make up, dong! Ghia itu sepupu gue!"
Aku menarik napas panjang, menetralkan emosi yang bergejolak. Aku lalu membuka peralatan make up yang kubawa, siap mulai bekerja. "Rambutnya boleh minta tolong dikuncir? Biar nggak nutupin wajah."
"La, serius! Kenapa lo udah nggak kuliah?" Olivia kembali bertanya. "Bang Radit sampai nyuruh anggota Provoli angkatan kita, buat nyari lo. Gue sama Joanna ke kampus lo, nanyain ke temen se-angkatan lo, dan mereka juga nggak tahu lo di mana. Kita dateng ke kosan lo, ternyata lo udah pindah.
"Kita mulai cari lo sekitar sebulan setelah lo ngilang. Nomor hape lo juga nggak aktif. Bang Radit sampai ke jurusan lo, buat nanya sama staf kemahasiswaan di sana, nanyain lo. Kata mereka, lo cuti. Setelah tahu itu, kita berhenti, tapi sebulan sekali, Bang Radit tetep nanyain 'ada kabar Kalula nggak'. Udah hampir setahun lo cuti kan, La? Lo nggak balik ngampus lagi?"
"Liv, bisa berhenti gerak nggak? Gue mau pakaiin alis lo dulu," kataku tak menggubris ocehan panjang gadis itu sama sekali.
"Bang Radit harus tahu, nih." Olivia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana. Dari sudut mataku, aku bisa melihat gadis itu sedang menghubungi Bang Radit---ketua umum Provoli, grup teater kampus waktu itu---.
Aku menyambar ponselnya dan memutus panggilan itu. "Please, jangan .... "
Sepasang mata belo Olivia memicing ke arahku, dengan kening berlipat. "Lo kenapa sih, La?"
Aku tidak suka bagaimana Olivia menatapku. Gadis itu seakan ingin mengulitiku hidup-hidup. Kami tidak dekat. Kami saling mengenal hanya karena tergabung di grup teater yang sama. Hubunganku dan Olivia jauh dari kata akrab. Kami tidak pernah mengobrol di luar tugas Provoli, kami tidak pernah bercanda, kami tidak pernah janjian untuk makan bareng. Lalu, untuk apa gadis itu peduli padaku? Hubungan kami hanya formalitas belaka.
"Liv, sekarang gue butuh lo buat diem, karena gue harus selesai make up-in lo sebelum acara mulai. Habis ini, gue masih harus make up-in yang lain. Jangan persulit pekerjaan gue."
***
"La .... "
Aku mengerang kesal saat merasakan ada sesuatu yang menyenggol punggungku. Dengan mata tertutup, aku beringsut mendekati tembok, mengeratkan selimut yang terlilit di tubuhku, menghindari gangguan apa pun itu yang mengganggu tidur nyenyakku.
"La .... "
"Hm .... " Aku menyahut dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Untuk beberapa saat aku tidak mendengar suara lagi. Aku kembali terhanyut ke alam mimpi.
"Ndaru ganteng ya, La?"
"Hm."
"Ndaru kayaknya perhatian banget sama lo, La. Lo ngerasa nggak?"
"Hm."
Kenapa suara itu muncul lagi, sih? Aku terus menggumam agar ia berhenti mengoceh. Aku malas memperdebatkan sesuatu yang tidak penting sama sekali. Kenapa sepagi ini, Olivia memilih Ndaru untuk dijadikan topik pembicaraan?
"Ham hem ham hem. Nyahut dong, La!" sentak Olivia sembari menarik selimutku.
"Ngapain ngomongin Ndaru pagi-pagi begini? Pacar lo kurang ganteng gimana lagi sih, Liv?" sahutku berbalik, menghadap Olivia, masih dengan memeluk guling.
"I have good feeling about him, La."
"Dia manusia bukan wewe gombel. Pantes."
"Gue serius, La!" Kali ini, tanpa belas kasihan, Olivia menyemprotkan misty spray-nya ke wajahku, saat mataku mulai kembali menutup perlahan.
"Pahit, bego!" Aku berteriak kesal. Mau tak mau, aku beranjak dari tempat tidur, menuju kamar mandi untuk berkumur dan mencuci muka. Sudah telanjur bangun, aku sekalian mengganti pembalut. Saat aku keluar dari kamar mandi, Olivia sudah tak ada di kamar.
"Laper, Liv. Masak sono!" kataku sambil mengusap-usap perut, ketika menemukan perempuan itu duduk di kursi pantri.
"Duduk dulu, ada yang mau gue obrolin sama lo," pintanya sambil menunjuk kursi di hadapannya.
Aku mendesah panjang. "Apa lagi? Kalau mau ngobrolin Ndaru, gue teleponin orangnya sekarang. Jangan gibahin orang, tahu!"
"Gue nggak gibahin orang, tolol!" Olivia mendengkus. "I really have good feeling about him, La. Apalagi setelah ngobrol sama Zac, gue yakin kalau Ndaru itu good boy."
"Lo sama Zac ngobrolin apa?" Aku memutar-mutar gelas berisi air dingin di atas meja.
"What he did a few days ago, is incredible, La. Nggak semua cowok bakal lakuin apa yang Ndaru lakuin. Bahkan gue sampai tanya Zac. Gimana kalau dia jalan sama temen cewek, and then temen ceweknya ini datang bulan. He said, dia nggak bakal kepikiran buat beliin pembalut dan celana dalem buat temennya," terang Olivia menggebu-gebu. "Beda cerita kalau jalannya sama gue. Walaupun malu katanya, dia bakal beliin pembalut kalau gue suruh. Denger, tuh?"
"Terus? He has a kind family. Maybe itu didikan keluarga dia." Aku mengedikkan bahu, ogah membenarkan penjelasan panjang lebar sahabatku itu secara lantang.
Meskipun otakku terus memikirkan tingkah Ndaru beberapa hari lalu. Untuk ukuran teman, dia terlalu perhatian. Apalagi, saat mengingat betapa cekatannya ia mengambil tindakan, membuat hatiku sedikit berdesir. Catat, hanya sedikit. Akan tetapi, aku terus membangun logikaku karena tak ingin terjebak dengan ilusi konyol yang terbangun. Bisa jadi, dia cuma menjalankan perannya sebagai pacar pura-puraku, kan?
"Dia juga suapin lo pakai sumpitnya! Kurang perhatian apa lagi, coba?" tukas Olivia.
"He is player, Liv. Dia udah tahu apa aja yang bikin cewek-cewek adore him dan susah move on dari dia," sangkalku.
Olivia mencebikkan bibir. "Habis denger cerita lo aja, gue merinding sendiri lo. Envy banget. Dan lo, nggak ngerasain apa pun?"
"Nope. Gue biasa aja." Liar, liar, liar. Siapa juga yang tidak kagum ketika ada cowok menawarkan membeli pembalut tanpa keraguan di saat dirimu datang bulan di tempat umum? Hanya orang gila tanpa hati yang akan menjawab tidak. Dan sialnya, bukan aku orangnya.
Tapi, Olivia tidak perlu tahu itu. Biar aku sendiri yang menyelesaikan perasaan konyol sesaat ini. Ini cuma glitch. Dan, membuat pipi perempuan tersipu-sipu kemerahan, kupu-kupu berterbangan di perut, sepertinya memang keahlian Ndaru sebagai playboy kelas kakap.
"Sekarang, kita udah bisa sarapan?"
Olivia bangkit dari kursi menuju lemari es mengambil daging ayam fillet. "La, mulai sekarang peka sedikit, dong .... Siapa tahu, Ndaru beneran tertarik sama lo?" tuturnya membelakangiku.
***
Ketukan yang lebih mirip gedoran pintu indekosku malam ini, cukup mengejutkanku. Selama hampir setahun menetap di sini, aku tidak pernah menerima tamu, selain mama dan ibu kos. Namun, mustahil malam-malam begini mama datang. Dia pasti mengabariku lebih dulu. Sedangkan ibu kos, alih-alih mengetuk pintu, ia memilih berteriak memanggil namaku.
Aku bergegas ke pintu, karena tak ingin seisi kosan ribut dengan suara tamuku yang tidak tahu sopan santun itu. Pintu pun terbuka dan menampakkan sosok yang tak kusangka-sangka. "Olivia?!"
"Akhirnya gue nemu kosan lo .... " desah gadis itu lalu menjatuhkan diri di teras kamar yang beralaskan keramik dingin. "Haus, La. Gue minta minum, dong."
Telapak tanganku mendadak dingin. Menemukan Olivia dan siapa pun itu, di depan pintu kamar kosku adalah mimpi buruk. Bagaimana bisa gadis itu sampai ke sini? Bagaimana jika dia memberi tahu anak-anak Provoli lainnya? Tidak, tidak ada yang boleh tahu di mana aku berada. Tidak boleh ada yang melihatku.
"Pergi, please .... "
"La, gue cuma mau minta air putih, serius. Masa lo nggak kasi---"
"Pergi sekarang!" bentakku.
Bola mata jernih Olivia melebar. "La?"
Aku menelan ludah. "Lo nggak boleh di sini. Nggak boleh ada orang yang tahu kalau gue tinggal di si---"
Oek ... oek ... oek ...
Seketika aku mematung saat tangisan bayi menggema memenuhi kamar kos mungil ini. Raut terkejut tergambar jelas pada wajah Olivia.
"I-itu suara b-bayi?"
Rengekan dari dalam terdengar semakin kencang. Aku panik, berusaha menutup pintu mengusir Olivia pergi. Akan tetap, gadis itu dengan sigap menahan daun pintu agar tidak tertutup.
"Kalula! Kenapa lo takut gue?! Gue nggak bakal ngapa-ngapain lo!" teriaknya. "Gue ke sini sendiri! Gue nggak bilang siapa-siapa udah ketemu lo! Apa yang lo takutin?!"
Tanpa kusadari air mata sudah meleleh bergulir ke pipi. Peganganku pada pintu melemah, membuat Olivia berhasil menerobos masuk. Aku ambruk, suara tangisan bayi yang memecah malam pun terabaikan. Gadis itu menarikku ke dalam pelukannya. Aku menumpahkan tangisku di pundaknya. Melepaskan semua kesakitan, penyesalan, dan semua beban yang selama ini kutahan sendirian.
***
Hai hai..
Baper mulu, sampe lupa kan sama masa lalu Kalula😖 Tuh, udah kukasih big clueeee
Gimana???
Puass??
Penasaran??
Sebelum ada yg berpikiran Radit ketua Provoli bakal dateng, jawabannya nggak! Kalo kalian masuk organisasi kampus nih, ketua umumnya emang perhatian banget. Kalian mah keluar, ngilang tanpa kabar, pasti ditahan-tahan, dicari-cari, begitulah pokoknya.
Soalnya mempertahankan personil lebih susah drpd cari member baruuu.. Hahaha
Yang ga sabar bisa baca duluan di Karyakarsa ya. Usernamenya: oktyas
Udah lengkap pokoknya sampe end + 10 ekstra part
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top