Plan 12

"Wuih, cantik banget .... "

Mbak Jumaroh mengacungkan jempolnya padaku. Sedangkan, tangan satunya menenteng kantong makanan yang baru ia terima dari Go-Food.

Aku mendengkus, tidak tersipu sama sekali dengan pujian asistenku itu. Dipenuhi rasa bosan menunggu Ndaru di ruang tamu, aku mencoba menghibur diri memainkan satu-satunya game yang ada di ponsel. Permainan ular yang sempat viral itu. Setengah jam lalu, katanya lelaki itu sudah di jalan, menuju kantorku. Tapi, mana? Suara deru mesin mobilnya pun belum terdengar. Meskipun aku sudah berulang kali meyakinkannya akan pergi sendiri, bersama Tim Kalula, Ndaru tidak menggubris permintaanku. Sedangkan para stafku sudah berada di Hotel Mulia---tempat acara diadakan---sejak sore hari.

"Nanti foto-foto ya, La ... " tutur Mbak Jum, ikut duduk di sebelahku, "gue penasaran sama dekorasinya. Lihat seragam lo cantik begini, pasti yang lain juga cantik-cantik."

"Apalagi konsepnya emang lilac theme, kan?" sahut Hani. "Tajir abis, nggak kaleng-kaleng. Acara tunangan aja di Hotel Mulia. Padahal, selebriti aja, pakai Hotel Mulia, kalau nikahan."

Alih-alih menanggapi Hani, aku malah sibuk mencari nama Ndaru di ponsel, untuk meneleponnya. Namun, sebelum sempat menghubungi lelaki itu, dari pintu kaca ruang tamu kantor, aku melihat Range Rover putih memasuki pelataran parkir. Aku mendesah kecewa, karena bukan mobil gantengku yang datang.

Ndaru, berjalan dengan gagah menaiki undak-undakan menuju pintu masuk. Bak adegan slow motion di film, lelaki itu menyugar rambutnya yang ditata rapi dengan pomade, lalu mengancingkan jas slim fit hitam yang memeluk badan kekarnya. Untuk beberapa saat, aku menatapnya tanpa berkedip. Oh my ... he looks so damn good and yummy.

Salah satu sudut bibirnya terangkat naik, membentuk seringaian yang tampak berbahaya di mataku. Dia berhenti tepat di depanku, masih dengan senyum maut yang menempel di bibir.

"Ready, Babe?" Gawat, bahkan suaranya tiba-tiba terdengar seksi di telingaku.

Aku meraup oksigen sebanyak mungkin, setelah sadar, dari tadi aku menahan napas sejak kedatangan lelaki itu.

"Ayo, buruan! Suruh gue siap-siap cepet, datengnya telat!" Aku mencebik, berjalan mendahului Ndaru, mengabaikan uluran tangannya.

***

"Pacarnya digandeng, dong ... " Suara tengil Ndaru memasuki gendang telingaku, begitu kami berada di depan pintu ballroom acara.

Aku meliriknya sekilas, tapi tetap melingkarkan tanganku pada lengannya.

"Lo tahu, kenapa gue ajak lo ke acara ini?"

"Akal-akalan lo aja, mau manfaatin gue."

"Ada orangtuanya Azka nanti."

Aku mendongak, terkejut mendengar fakta barusan. "Mereka diundang?"

"Orangtua gue, kenal dekat sama mereka. Jadi, walaupun acaranya di Jakarta, bukan di Bandung, tetap diundang. Tapi, nggak tahu dateng atau nggak."

Kedatanganku dan Ndaru, menyedot perhatian keluarga lelaki itu. Aku bisa melihat banyak wanita yang memakai kebaya mirip denganku. Tidak ada satu pun yang kukenal. Ndaru menggiringku menuju round table yang diduduki sepasang pria dan wanita berusia lanjut.

"Bunda, Ayah ... "

Wanita dengan gaun brokat ungu yang menjuntai sampai mata kaki, dengan jilbab warna senada, menoleh. Senyum merekah pada wajah wanita itu, dibarengi dengan sudut matanya yang menyipit.

"Abang .... " Ibu Ndaru bangkit dari kursi, yang disusul ayahnya kemudian. Ndaru melepaskan tangannya dari gandenganku untuk memeluk orangtuanya dan mencium pipi mereka.

Bunda? Ayah? Aku menahan senyum yang menyembul dari bibir, karena tak menduga jika Ndaru bisa semanis ini, pada kedua orangtuanya.

"Siapa ini? Cantik banget," kata ayah Ndaru diselingi senyum ramah.

"Kenalin, namanya Kalula, teman Abang."

Satu alis ibunya terangkat. "Teman doang nih, Bang?"

"Doakan semoga jadi teman hidup, Bun," sahut lelaki itu terkekeh.

Aku tersenyum seraya menahan diri untuk tidak mencubit bibir lelaki itu, yang selalu berbicara seenaknya.

"Kalula, Tante ... " Aku menyalami wanita itu. Entah kenapa, aku merasa sedikit gugup.

"Panggil aja, Tante Lasmi. Bunda juga boleh," tutur wanita itu tertawa renyah.

"Bunda ini, gugup tuh kayaknya, Kalula." Ayah Ndaru menimpali sambil terkekeh. Aku pun giliran menjabat tangan beliau. "Terserah Kalula mau panggil Om apa. Nama Om, Salman."

"Siap, Om," balasku.

Sekarang aku tahu, dari mana sifat super ramah Ndaru. Lihat saja, bagaimana Tante Lasmi dan Om Salman mengajakku bicara tanpa kekakuan. Dari obrolan singkat ini, aku jadi tahu, jika Ndaru bukan orang Jawa Barat asli. Keluarganya tinggal di Bandung, karena Om Salman ditempatkan di kantor cabang Santoso's Architects yang berada di sana. Meskipun begitu, sekarang mereka memilih menetap di sana.

"Terus, kenapa acara pertunangan Fani di Jakarta? Bukan di Bandung?" tanyaku.

"Fani nggak bisa cuti panjang. Jadi malas pulang ke Bandung," jawab Tante Lasmi. "Untungnya masih punya rumah di Jakarta juga."

Aku manggut-manggut. "Jadi, Fani sama Ndaru tinggal bareng, ya?"

"Iya. Daripada rumahnya kosong. Lega juga, ada yang jagain Fani," jawab wanita itu lagi.

Namun, belum lama kami mengobrol, Om Salman dan Tante Lasmi berpindah ke tempat duduk yang ditata berjajar, bersama Fani.

Icha---staf Kalula's Organizer yang menjemput kedua orangtua Ndaru dari round table---membelalakkan mata, ketika tatapan kami bertemu. "Loh, Mbak Lula?"

"Udah sana, balik kerja lagi!" usirku, tak ingin membuat kegaduhan.

Lima belas menit kemudian, acara dimulai. Beberapa tamu yang telah hadir, diantar ke meja masing-masing, sesuai dengan nomor meja di undangan. Warna lilac dan putih mendominasi ballroom ini. Bunga lili ungu dan putih, bunga poeny, tampak manis di tata di panggung, kursi-kursi, serta sudut ruangan.

Fani tampak anggun dengan kebaya dengan warna senada seperti yang kukenakan, tapi dengan model lebih mewah. Tentu, perancang busananya adalah Ibu Anne Avanti. Dia duduk diapit Tante Lasmi dan Om Salman. Di seberang tempat duduk mereka, ada keluarga dari pihak calon suami Fani.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh .... " Acara pertunangan pun dimulai dengan syahdu.

***

"Kata Bunda, EO-nya bagus banget. Gercep," kata Ndaru sambil menyesap segelas koktail non alkohol.

"Ya, pasti, dong! EO gue mengutamakan kepuasaan pelanggan." Aku ikut meneguk pink lemonade koktail non alkohol, yang diantar pelayan ke meja.

"Nanti kalau gue kasih tahu founder-nya lo, pasti makin ngebet jadiin lo mantunya." Ndaru mengedipkan sebelah matanya, sambil terkekeh.

Makanan pembuka diantar pelayan ke meja-meja tamu, saat prosesi pertunangan berjalan. Setelah Fani dan Kenan saling memasangkan cincin, acara formal selesai, dan suara band dengan alunan jaz langsung menggema memenuhi ruangan.

"Lo nggak laper apa? Ayo, temenin gue ambil makan." Ndaru beranjak dari kursi.

"Foto dulu sama Fani. Kalau abis makan baru foto, make up gue bisa berantakan."

"Berantakan pun ... "

"Tetap cantik?" potongku. "Iya, gue tahu kok. Nggak usah lo ingetin."

Tangan Ndaru terulur ke atas kepalaku. Namun, dengan sigap aku langsung menghindar. "Enak aja mau acak-acak rambut gue! Natanya butuh sejam lebih." Aku mendengkus.

"Utu ... utu ... kasihan banget tih tayangku ... "

Aku bergidik merinding, sambil mengelus dada. Suara Ndaru yang dibuat-buat seperti gaya bicara bayi, membuatku ingin muntah. "Jijik." Aku berjalan mendahului lelaki itu menghampiri Fani dan Kenan, yang sedang berfoto bersama keluarga.

"Wah, Mas Ndaru ... bawa calon ternyata," kata seorang wanita yang tidak aku kenal. Tadi sepertinya dia duduk di meja belakang kami.

"Iya, Tante ... " Tangan Ndaru berada di belakang punggungku. Panggung sandiwara pun dimulai juga. "Namanya Kalula, dia founder EO ini."

"Lula yang punya EO ini, Bang?" Itu suara Tante Lasmi. "Kok nggak bilang sama Bunda tadi?"

Aku terkekeh kecil. "Emangnya kenapa, Tante?"

"Keren pisan pelayanannya. Cekatan, detailnya juga pas." Tante Lasmi mengacungkan dua jempol padaku.

"Dipromosiin ke temen-temen Tante yang lain, ya ... biar pakai EO saya kalau ada hajatan," sahutku tak ingin kehilangan peluang.

"Siap, siap." Tante Lasmi manggut-manggut. "Udah, sekarang foto dulu sana!"

"Ya ampun, Mbak! Bagus banget dekornya! Sesuai sama yang aku bayangin." Fani memekik lalu menarikku ke pelukannya. "Makasih banyak Mbak Lula .... "

"Jangan makasih ke gue. Ke mereka yang ngerjain ini." Aku menunjuk pegawai Kalula's Organizer yang menunggui beberapa stand makanan bersama staf hotel.

Fotografer mengarahkan posisi dan gaya kami. Aku berdiri di sebelah Fani, sedangkan Ndaru di sisi Kenan. Setelah itu, Ndaru memanggil kedua orangtuanya, untuk berfoto bersama, denganku. Tentu saja awalnya aku menolak. Siapa aku? Aku tidak ingin mereka salah paham dan menganggap hubunganku dengan Ndaru serius. Namun, Fani, Tante Lasmi, bahkan Om Salman, malah memaksa. Kata mereka, untuk kenang-kenangan. Tante Lasmi dan Om Salman berdiri di sisi Fani, sedangkan aku dan Ndaru di sebelah Kenan.

"Aduh, formasinya pas banget ini," celetuk Ndaru setelah sesi foto usai membuat beberapa orang di sana tertawa kecil.

"Makanya Bang, buruan dihalalin Mbak Lulanya." Om Salman menimpali.

"Tuh, Bang ... Mbak Lulanya diyakinin dulu, biar mau sama Abang," imbuh Fani. "Image lo di mata Mbak Lula kan, jelek banget."

"Oh, ya? Kenapa, tuh?" Tante Lasmi menyahuti, pandangannya tertuju padaku.

"Ehm ... " Ya, kali aku bilang pada Tante Lasmi, anaknya itu playboy super? Sepertinya tidak akan ada yang percaya. Apalagi, melihat sikap Ndaru di tengah keluarga yang sangat manis ini.

"Bang Ndaru playboy, Bun. Suka main cewek," tutur Fani menyelamatkanku.

Ndaru tanpa belas kasih, menarik kepala Fani---yang disanggul rapi lengkap dengan riasan---ke ketiaknya. Telak, membuat perempuan itu menjerit kencang sambil mencubiti perut abangnya.

"Abang! Adiknya cantik begini, kok dianiaya!" Tante Lasmi memukul lengan Ndaru. "Kenan, tunanganmu diusili abangnya, jangan didiemin."

Kenan cengengesan sambil merangkul Fani yang baru dilepaskan Ndaru. Perempuan itu tak berhenti menggerutu sejak tadi, sambil melayangkan tatapan tajam pada sang kakak. Aku terbahak menyaksikan tingkah konyol kakak adik itu.

"Bun, aku sama Lula mau ambil makan dulu, ya ... kasihan nih, anak orang udah kelaparan," tutur Ndaru sambil menggamit lenganku dan membawa kami ke meja prasmanan.

***

"Lo keterlaluan banget sih, Ru... Fani udah cantik-cantik begitu, malah lo kekepin. Kalau sanggulnya rusak, gimana?"

"Tapi, nggak rusak, kan?" Dia melirikku sekilas. "Lo mau ambil apa?"

Aku mengedarkan pandangan, melihat stand-stand makanan yang ada di sana. Ada sate taichan, sop iga bakar, ikan kakap fillet asam manis, bakmi goreng seafood, soto ayam---

"Mau sate taichan nggak? Nggak pakai bumbu kacang."

"Kok lo tahu gue nggak suka sambal kacang, sih?" Aku jadi teringat saat reuni kemarin, Ndaru membawakan aku sate ayam dengan sambal kecap, padahal ada sambal kacang juga. "Pas reuni kemarin, lo juga ngasihnya sambal kecap ke sate gue."

"Oh, itu ... ada Hasna, kan?"

Aku manggut-manggut, pantas saja. "Gue penginnya sop iga bakar sama ikan fillet asam ma---" Kalimatku terpotong karena cubitan kecil di lengan atasku. Dengan menggerutu, aku menoleh ke arah Ndaru untuk mengetahui maksud sikap usilnya tadi.

"Om Rudi, Tante Lina, apa kabar?" Lelaki itu menyapa pasangan paruh baya yang melintas di depan kami.

Untuk beberapa saat aku mematung di tempat. Otakku seakan berhenti berproses sejenak, ketika mataku memindai wajah familiar di hadapanku, untuk menggali informasi.

"Malam Ndaru ... " Suara rendah Om Rudi terdengar sama persis seperti sepuluh tahun lalu. Berat dan tidak bersahabat di telingaku. "Kalula?"

"Malam Om Rudi, Tante Lina .... " Segurat senyum terpaksa menghiasi bibirku. Aku menyalami dua orang paruh baya itu, yang harusnya jadi mertuaku.

"Wah, udah lama banget ya, nggak ketemu Lula ... " sahut Tante Lina dengan senyum semringah. Matanya sedikit berkaca-kaca, membuatku cukup terkejut. "Gimana kabarnya? Baik Teh Lula?"

"Alhamdulillah, sehat Tante."

"Ndaru sama Lula ... " Om Rudi menatapku dan Ndaru bergantian. Bibirnya sedikit mengerucut, garis-garis di keningnya terlihat jelas.

"Do'akan aja ya, Om, semoga bisa nyusul Azka," balas Ndaru sembari mendaratkan tangannya di pundakku, dengan tertawa kecil.

"Amin, amin ... " Tante Lina menyahuti, sedangkan Om Rudi memilih bungkam. "Jangan mau kalah sama adiknya ya, A Ndaru."

"Sekarang Lula kerja di EO, ya?" tanya Om Rudi membuka topik lain. Lelaki itu menampilkan wajah tanpa ekspresi, intonasi suara yang terlampau datar, dipadukan penampilannya yang mengenakan kemeja batik lengan panjang, dan celana bahan hitam, menambah kesan kaku dan menakutkan di mataku.

"Iy---"

"Bukan kerja, Om. Lula yang punya EO. Dia bosnya. Ini acara pertunangan Fani, pakai EO Lula," sambar Ndaru berapi-api.

"Ini dekorasinya yang bikin EO Lula juga?" Tante Lina mengedarkan pandangan sambil berdecak kagum. "Bagus banget, mewah."

"EO Lula kan EO besar, Tante. Kliennya dari artis sampai pejabat. Ngeladenin pesta mewah, udah makanan sehari-hari dia," balas Ndaru jumawa, melirikku sekilas. "Iya kan, Babe?"

"Hebat banget, Lula ... Tante bangga, udah lama nggak dengar kabar, sekarang jadi orang sukses." Tante Lina menarik tanganku dan mengusap-usap punggung tanganku dengan lembut.

Aku hanya manggut-manggut, seraya tersenyum canggung.

"Udah yuk, Ma ... kita belum ketemu Pak Salman sama Bu Lasmi," pungkas Om Rudi mengangguk ke arahku dan Ndaru, kemudian berlalu.

Ndaru terkekeh pelan seperginya Tante Lina dan Om Rudi. Ia menepuk punggungku beberapa kali. "Anjir, lo kaku banget!"

"Lah, tanpa aba-aba mereka udah di depan gue. Gimana gue nggak kaget?" tukasku menghela napas panjang.

"Untung lo nggak jadi nikah sama Azka. Emang mau punya mertua sekaku Om Rudi tadi?"

Aku terbahak sambil memukuli lengan lelaki itu. "Nggak boleh kurang ajar sama orang tua!

"Gue yakin, mereka pasti cerita ke Azka kalau ketemu kita di sini," ujar Ndaru sambil menggiringku menuju stand sop iga bakar. "Semakin kuat pondasi sandiwara kita."

***

Akal modusnya si Ndaru ada ajaa😬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top