Plan 11

Gagang telepon terjepit di antara pundak dan telingaku, ketika Mbak Jum membuka pintu ruangan dengan satu dessert box di tangan. Mataku terus terarah pada dessert box yang nampak menggiurkan. Tanpa suara, wanita itu meletakkan proposal endorsment di mejaku. Ah, fokusku pecah!

"Maaf, bisa diulangi kembali, Bu?"

"Kalau paket lengkap tapi di luar kota bagaimana, Bu? Bisa?"

"Bisa, tapi biaya akomodasi ditanggung klien. Ibu ingin melaksanakan pesta pernikahan di Banyuwangi, benar?"

"Betul, Bu... anak saya itu maunya pakai Kalula's Organizer, padahal rumah kami di Banyuwangi. Dia memang kerja di Jakarta sih, jadi tau EO, Ibu," terang sang calon klien.

"Begini, Bu ... untuk dekorasi, pemandu acara, make up artist, kami masih bisa menyanggupi. Sedangkan untuk venue dan katering, maaf sekali, bukannya kami tidak bisa, tapi biayanya akan sangat mahal sekali, karena kami belum punya partner di Banyuwangi. Jadi, mau tidak mau, harus bawa partner dari Jakarta. Membawa makanan dari Jakarta ke Banyuwangi, rasanya sangat tidak efisien. Begitu pula dengan venue. Lebih baik, Ibu mencari venue dan katering di sana, saya yakin, pasti ada yang sesuai dengan keinginan Ibu."

Aku sangat terharu dengan permintaan klien ini, tapi kasihan juga, jika membayangkan dana yang harus digelontorkan. Jadi, aku mencoba menjelaskan padanya, dan jika dia tetap bersikeras memakai paket lengkap dari Kalula's Organizer, aku bisa apa?

"Oh, gitu ya, Bu?"

"Iya. Biayanya akan berlipat-lipat. Bagaimana, Bu? Ibu mau tetap memakai jasa kami? Atau mau memakai jasa dari EO yang berada di Jawa Timur?"

"Tetap pakai EO Ibu saja. Tapi, bukan yang full paket. Gimana, Bu? Dekorasi, pemandu acara sama make up."

"Oke, Bu. Untuk kapan?"

"Februari tahun depan Bu. Tanggal 14, pas valentine."

"Oke, Bu ... kami catat, ya ... nanti bisa minta tolong dikirim nomor anaknya ya, Bu. Terima kasih."

Setelah panggilan terputus, aku langsung keluar, menghampiri Mbak Jum di mejanya. Dessert box yang tadi menggoda lidahku, tinggal separuh.

"Ini dapet dessert box darimana? Kok nggak bilang-bilang kalau mau order?"

"Ini dari Ndaru, loh ... di kulkas juga masih banyak. Masa lo nggak tahu?" Mbak Jum menyahut dengan kernyitan di kening. "Coba hapenya dibuka, siapa tahu ada chat dari dia."

Ndaru? Aku memejamkan mata menahan kesal. Apa niat lelaki itu sebenarnya? Seperti orang tolol, aku turun ke dapur---karena ruanganku berada di lantai dua bersama ruang staf kantor---, membuka lemari es, untuk memeriksa seberapa banyak dessert box yang ia kirim. Oh, kepalaku pening seketika, saat melihat bertumpuk-tumpuk kotak makanan manis itu di dalam lemari pendingin itu. Kemarin kopi, sekarang dessert box? Bukan cuma satu, tapi untuk satu kantor.

Kemudian, aku menuju ke ruang tamu. Di meja resepsionis, Daniar dan Hani, berbagi satu dessert box, satu untuk berdua.

"Dessert box-nya kapan sampai?"

"Tadi, sekitar jam dua siang, Mbak," jawab Daniar.

"Kenapa nggak langsung bilang ke gue?" gerutuku.

"Sorry, Mbak ... " cicit Daniar, "Pasti Mbak Lula udah kepengin banget, ya? Sampai dikirimin sebanyak ini sama Mas Ndaru. Kita malah, nyelonong ambil dulu."

"Mbak Lula, nggak marah, kan? Masih banyak kok di kulkas. Jatah buat Mbak Lula dipisahin kok, ada tiga varian. Kita kasih sticky note," imbuh Hani.

Aku mengembuskan napas perlahan. "Idih, apaan, sih? Kenapa pada merasa bersalah begitu?"

"Ya, habisnya .... " Hani bergumam pelan.

"Dikirim pakai Go-Food?" tanyaku yang dijawab anggukan kedua perempuan itu. "Oke deh, gue balik ke ruangan lagi."

***

From: Ndaru
Gimana? Enak ga makanannya?
Kata Fani, itu lagi hits.

To: Ndaru
Besok lagi jangan nanggung kalo mau kirim makanan. Buffet makan siang sekalian.

From: Ndaru
Siap.


Seenteng itu? Sombongnya! Untuk konglomerat seperti dia, menyediakan makan siang untuk seluruh pegawai kantorku, pasti bukan hal yang sulit. Tapi, aku tidak yakin, dia akan senekat itu mengirim buffet prasmanan makan siang ke sini. Lagi pula, untuk apa? Toh, kalau dia mengirim makan siang betulan, rezeki, kan?

"Lula! Pacarnya dateng, nih!" Suara melengking Mbak Jum mengagetkanku.

P-pacar? Jangan bilang Ndaru ke sini? Ngapain? Tergesa-gesa, aku melangkah keluar, menuju ruang tamu. Dan, benar saja, aku mendapati lelaki itu duduk manis di sofa cokelat yang berada di ruang tamu depan, sambil asyik berbincang dengan Hani, Roy, dan Daniar.

Di ruang tamu depan yang merangkap ruang pelayanan, terdapat satu set sofa kulit cokelat di sisi kiri ruangan, dari arah pintu masuk. Sedangkan di sisi kanan pintu masuk ada meja resepsionis, untuk mengisi daftar pengunjung dan mengambil nomor antrian. Untuk meja kerja Hani dan Roy berada di tengah ruangan, menempel tembok paling belakang dan sisi kanan ruang tamu, karena meja berbentuk L, lengkap dengan komputer, serta buku-buku katalog. Posisi mereka menghadap ke arah pintu masuk. Di sisi kiri meja terdapat pintu yang menghubungkan dengan lorong menuju ruang kerja staf kantor, gudang, dapur, dan ruanganku di lantai dua.

Ndaru menoleh ke arahku, terlihat lipatan di keningnya, ketika matanya bergerak cepat memeriksaku dari ujung kepala ke ujung kaki. Pasti dia merasa aneh melihat penampilanku yang tidak karuan ini. Jika tidak ada jadwal keluar, aku memang malas berdandan. Celana kulot hijau lumut, dengan kaus pendek oblong putih, rambut kucepol asal-asalan, dan sandal jepit kebanggaan Bangsa Indonesia, Swallow hijau putih, terpasang di kaki.

"Nggak usah lari-lari begitu dong, Babe ... aku nggak bakal ke mana-mana," tuturnya dengan nada jenaka.

Kenapa perutku tiba-tiba mual? Boleh muntah, kan? Suasana hatiku semakin keruh, saat mendangar suara cekikikan dari Hani dan Daniar.

"Aku do'ain langgeng, sampai beranak pinak, punya cucu, cicit," tukas Hani dari meja pelayanan yang berjarak sekitar dua meter dari sofa.

Aku memutar mata. "Lo mah, seneng karena dapat makanan gratis, kan?"

"Oh iya, gimana? Enak nggak?" tanya Ndaru menghadap kedua perempuan itu bergantian.

"Enak kok, Mas. Kalau bisa sering-sering, ya .... " jawab Daniar diiringi kekehan kecil.

Kenapa pula dua orang ini jadi suka cekikikan tak jelas seperti kuntilanak, saat bertemu Ndaru?

"Maksud lo kirim-kirim makanan ke sini apa?"

"Berbagi?" tanyanya ragu, sambil memberikan tatapan bingung padaku.

"Berbagi?"

"Ya, pokoknya gue pengin kasih aja gitu." Dia mengedikkan bahu.

"Udah, berhenti. Nggak usah sogok-sogok pegawai gue pakai makanan. Kalau mereka diabetes, obesitas, kebanyakan makan manis, itu salah lo!" tukasku bersungut-sungut.

Ndaru menarik tanganku, "Duduk dulu, capek gue ndongak mulu."

Aku pun mendaratkan pantatku di sofa sebelah lelaki itu. "Ngapain lo ke sini?"

"Udah dijahit kainnya?"

"Belum."

Matanya membesar. "Lah, kenapa belum? Jahitin baju kan lama, La. Kalau pas acara Fani belum kelar gimana?"

"Emang belum gue jahit. Tapi gue masukin ke penjahit." Aku menjulurkan lidah ke arahnya, membuatku mendapat jitakan di kepala.

"Bisa aja nih bercandanya calon Nyonya Damaresh," dengkusnya.

"Eh, jangan ngadi-ngadi ya lo!" dengkusku. "Utang gue lunas, ya? Habis acara tunangan Fani, jangan ganggu-ganggu gue."

"Eh, lo gimana, sih? Kalau mau balas dendam harus all out, dong!" tukasnya. "Mana ada yang percaya kita pacaran, kalau kita nggak pernah kelihatan bareng lagi habis acara reuni? Bukannya berhasil, pasti lo jadi bahan gibahan doang di grup angkatan."

"Ya, pacarannya lagi tahun depan."

"Ogah! Lo pikir tahun depan gue belum punya istri apa?" Ndaru mendesis. "Pertama, lo harus buka akun Instagram lo, follback Instagram gue, terus upload foto gue."

"Lagian, nggak ada temen SMA yang follow Instagram gue. Saran lo itu useless!"

"Ya, di-acc dong mereka! Jangan digembok lagi, inget! Walaupun Azka sama Diandra nggak follow IG lo, mereka tetap bakal lihat foto itu. Soalnya, pasti ada yang kirim screenshoot-an postingan lo ke group chat."

Aku mendesah pelan. "Kenapa gue harus takut sama yang orang-orang pikirin? Selama ini gue enjoy aja kok dianggap jomlo."

"Ya, karena lo telanjur bohong. Paling nggak tiga bulan lah, lo bisa announce putus dari gue. Biar nggak kelihatan banget kalau lagi ngibul," terangnya.

"Ribet, Ru ... " kataku setengah merengek.

"Ribet di mananya sih, La? Lo tinggal ikut aja kalau gue ajak jalan, party, holiday. Biar hidup lo nggak monoton. Itung-itung pemanasan, sebelum ketemu pacar beneran. Siapa tahu lo lupa gimana caranya pacaran?" tuturnya mengejek seraya menyeringai puas.

Aku menepuk lengannya, kesal. Tapi, semua penjelasan Ndaru barusan, jika dipikir-pikir benar juga. Keberhasilanku kemarin menang saat berdebat dengan Diandra tidak ada artinya, jika mereka tahu aku dan Ndaru hanya pura-pura. Bisa jadi, aku malah akan jadi bahan gunjingan. Gaya pacaran siapa, yang tidak saling mengikuti di Instagram?

"Apa nama Instagram lo? Buruan, mau gue follow, nih!"

"Panik ya, Bun?" ledek Ndaru tertawa kecil. "Ini Instagram adik gue juga di-follow."

"Wow, cakep juga feed Instagram lo," Aku berdecak kagum melihat foto-foto di akun Ndaru. Total ada 12 foto yang diambil dengan sudut apik. Namun, hanya ada 3 foto yang menampakkan wajahnya. Foto Ndaru bersama empat lelaki bersantai di atas kapal dengan minuman warna warni di tangan mereka. Foto dia sedang mempresentasikan rancangan sebuah gedung. Yang terakhir foto bersama keluarganya, bisa dilihat dari caption yang ia bubuhkan. Selebihnya, unggahan Ndaru lebih fokus pada pemandangan-pemandangan kota yang ia kunjungi.

"Beda banget sama postingan lo, ya?" sindir lelaki itu dengan jari yang sibuk membelai layar ponsel. "Kayak emak-emak banget sih, lo?"

"Enak aja!" Aku mencebik.

"Lah ini, foto senam bareng, outbond bareng, pakai baju samaan lagi. Kayak postingan Facebook emak gue, tahu." Ndaru menyodorkan ponselnya yang menampilkan foto di akunku bersama staf Kalula's Organizer setelah outbond bersama.

"Ya, itu membuktikan gue sama anak-anak Kalula's Organizer akrab. Bos sama pegawainya akur kayak keluarga!" Aku menampik ponselnya dari wajahku dan menjitak kepala lelaki itu.

"Tenang aja, setelah jadi pacar gue, pasti IG lo mendingan." Tangan Ndaru terulur ke depan wajahku dan dengan lancangnya menarik cepolku.

"Cowok itu emang resek, ya? Suka banget usilin rambut. Nggak tahu apa, treatment rambut nggak murah?" gerutuku seraya membetulkan cepol rambut yang mengendur.

"Lo tahu nggak, kenapa cowok suka mainin rambut cewek?" tanya Ndaru tiba-tiba.

"Emang berengsek aja, kan?" Aku memberikan tatapan tajam padanya. "Buat baperin ceweknya, terus ditinggal pergi."

"Bukan tahu ... " Ndaru menggeleng, dengan wajah seriusnya, "Buat ngecek, ada paku nancep di kepala ceweknya nggak."

Aku melotot. "Emang gue kunti apa?"

"Siapa tahu, kan?" Ndaru mengedikkan bahu, lalu beranjak dari sofa. Dia berjalan mundur menuju pintu, sambil terus mengoceh. "Better ready, before something bad happen."

***

Yang mau baca pelan-pelan di sini boleh, yang mau cepetan baca di karyakarsa juga boleh. Udah lengkap sampe bonus partnya yang ada 10 part itu.

Cari aja: oktyas

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top