Plan 10
"Gue juga pengin dilamar kayak mbak-mbak tadi! So sweet banget!" tutur Icha---staf dekorasi---penuh semangat, dari bangku tengah mobil.
Kenzo, yang duduk di bangku paling belakang berdecak keras. "Harusnya kalau kerja di EO nggak boleh baperan. Nanti bawaannya kepengin kawin terus, Cha."
"Lah, tapi emang tadi so sweet, kok. Gue yang udah nikah aja, tetap pengin." Mbak Silvi---staf dekorasi---menyahut. Wanita tiga puluh dua tahun itu, lalu bertos ria dengan Icha, si bungsu di tim Kalula's Organizer.
Aku terkekeh pelan, seraya menoleh ke belakang. Kalula's Organizer disewa menangani pesta pernikahan mewah, anak dari Menteri Ketenagakerjaan Indonesia. Pesta sudah usai sejak pukul tiga sore lalu. Tapi, kami baru bisa keluar dari gedung, pukul tujuh malam, setelah selesai beres-beres. Sebenarnya, aku bisa pulang lebih awal dari para stafku. Tapi, tidak masalah sesekali membantu menyelesaikan pekerjaan lapangan.
Dalam perjalanan pulang, aku menebeng tim dekorasi. Mereka semua memakai seragam berbahan satin dan beludru, yang memadukan warna hitam dan emas, membuat kesan gagah dan elegan. Meskipun seragam ini sudah dijahit setahun lalu, masih nampak baru. Kecuali aku yang mengenakan kebaya modern emas, untuk menyesuaikan tema.
Selama enam tahun berdiri, Kalula's Organizer baru membuat tiga seragam saja. Bukan karena menghemat, tapi karena klien-klien yang super baik hati dan kaya tentu saja, acap kali membuatkan seragam untuk timku agar senada dengan tema pesta.
"Icha masih dua tiga, wajar baper. Kalau udah seumuran gue, lihat begituan udah biasa aja," timpalku dari kursi depan.
Wanita berjilbab dengan kacamata bertengger di hidungnya itu cengengesan di bangku penumpang.
Jadi, tadi sewaktu acara lempar bunga, si mempelai wanita alih-alih melemparkan bunga ke para tamu undangan yang sudah berbaris, malah menghampiri lelaki berjas putih---aku tidak tahu siapa---. Lelaki ini lalu menghampiri salah satu perempuan yang memakai seragam bridesmaid, dan berlutut di hadapannya, dengan kotak cincin siap di tangan.
Kejadian itu, sontak membuat heboh seisi gedung. Sorakan dan tawa bahagia memenuhi setiap sudut ruangan. Para bridesmaid lainnya, langsung mengeluarkan ponsel untuk merekam momen bahagia tersebut.
"Sebagai cowok nih, kalian terbebani nggak sih, tiap hari lihat nikahan mewah? Terus kepikiran, 'gue harus bisa bikin pesta semewah ini'," celetuk Ussy, perempuan dengan rambut dicepol rapi ke atas, berwajah bulat mungil, dan memiliki gigi kelinci, yang membuatnya terlihat menggemaskan. Ia juga duduk di bangku tengah.
"Kepikiran sih nggak, soalnya tahu diri," sahut Iqbal, yang mendapat jatah jadi driver kali ini. "Tapi, kalau ditanya pengin kasih pesta pernikahan terbaik buat istri, ya pengin."
"Cie ... dalem banget, bos!" tukasku sambil terkekeh.
"Kalau Mbak Lula gimana? Besok pas nikahan bukannya anteng, malah sibuk kerja. Atur sana sini," ujar Icha.
"Gue ogah kerja, lah! Semuanya gue serahin ke kalian," balasku. "Tapi, kalau ada kesalahan, potong gaji!"
"Serem!" gerutu Mbak Silvi. "Lo, sewa EO lain aja, Mbak!"
***
Ketika aku dan tim dekor menginjakkan kaki di kantor pukul delapan malam, suasana kantor sudah lengang. Hanya ada Hani dan Roy di ruang pelayanan. Sedangkan Daniar? Entah ada di mana. Hari ini, staf lapangan Kalula's Organizer menjadi satu tim besar meng-handle satu pesta pernikahan yang sama. Namun, sepertinya mobil yang kutumpangi, jadi yang pertama sampai.
Kalula's Organizer memiliki staf kantor dan staf lapangan, yang mempunyai jam kerja berbeda. Tentu saja, hal itu mempengaruhi gaji tiap staf. Untuk staf kantor, ada staf administrasi, marketing, dan keuangan. Jam kerja mereka berakhir pada pukul lima sore. Pengecualian untuk Daniar---resepsionis yang merangkap sebagai office girl, Hani dan Roy sebagai teller, mereka bertiga harus stand by di kantor sampai pukul delapan bersama dengan seorang office boy lainnya. Sedangkan, untuk tim lapangan, mereka punya jam kerja yang lebih fleksibel, dan seringkali tidak menetap ke kantor.
"Mbak Lula! Tadi ada kiriman buat lo," seru Hani yang sedang menyedot es kopi dengan nikmat.
"Kiriman apa?" Berbeda dengan aku yang bisa langsung merebahkan badan di sofa, para pegawaiku harus membawa perlengkapan dekorasi ke gudang lebih dulu.
Hani bangkit dari kursi, membuka kabinet di belakangnya, mengambil satu kotak berwarna cokelat dengan pita ungu melingkari, lalu menyerahkannya padaku. Oh, kotak tersebut masih dibungkus plastik bening, yang dipress bagian ujungnya. Cantik sekali!
"Dari siapa ini?"
"Yang bawa Go-Send, Mbak. Nggak tahu dari siapa."
Sudah lama aku tidak menerima hadiah misterius seperti ini. Aku membuka kotak tersebut perlahan dan terkesiap ketika melihat satu set kain batik dan brokat berwarna ungu, satu botol parfum kaca kecil, dan setangkai bunga lili putih. Untungnya, aku tidak perlu susah payah menebak si pengirim, karena ada kartu ucapan di sana.
"Cakep banget ya, Mbak. Itu seragam, kan?" celetuk Hani yang kini duduk di sebelahku.
Aku tunggu kamu, tanggal 10 Oktober, di acara tunangan Fani ya, pacar .... Jangan lupa dijahit.
Ndaru.
Apa-apaan ini? Tidak perlu jadi orang jenius untuk tahu, jika kain yang kuterima ini pasti bahan seragam untuk keluarga Ndaru. Astaga ... dia benar-benar memanfaatkan status kami sebagai pasangan palsu. Kalau begini caranya, akan semakin banyak orang yang menjadi korban kami. Sedangkan, aku tidak mau sandiwara ini berlarut-larut. Jika mama tahu, matilah aku.
Terpaksa, aku pun menghubungi Ndaru, meminta penjelasan. Pada dering pertama, kedua, ketiga, tidak ada jawaban. Sampai akhirnya suara operator memenuhi telingaku. Tak menyerah, kucoba sekali lagi men-dial nomor lelaki itu. Untungnya, pada dering kedua, panggilan tersambung.
"Ndaru, ini maksud lo apa kirim begi---"
"Bentar, ya ... gue lagi meeting. Nanti gue telepon lagi."
"Ru!"
"Itu bayaran gue. Jangan cerewet. Jangan mangkir."
Dan, panggilan pun diputus secara sepihak. Aku mendengkus keras. Bayaran? Apa maksudnya bayaran? Sejak pulang dari reuni, aku tidak pernah lagi bertemu atau berhubungan dengan Ndaru. Kira-kira, hampir dua minggu.
"Bayaran apa, sih? Emang gue ada utang apa?"
Aku mencoba mengingat apa makna di balik kalimat Ndaru barusan. Otakku yang lambat ini, akhirnya berfungsi setelah sepuluh menit berlalu. Aku mengingat ucapan Ndaru di mobil saat mengantarku pulang. Astaga! Jangan bilang, ini bayaran dia karena nemenin gue ke reuni? Padahal, lelaki itu yang memaksaku untuk ikut, bukan aku yang minta!
"Buruan dimasukkin ke penjahit. Nggak ada sebulan, sampai tanggal 10 Oktober nanti," tutur Hani yang sudah kembali ke tempatnya.
Aku mengerang ... untung bayaran yang diminta Ndaru, tidak ekstrem. Toh, tanpa seragam itu, aku mungkin akan menghadiri acara itu, sebagai pemilik Kalula's Organizer.
"Tuh, ada kopi dingin di lemari es," ujar Roy. "Aneh banget lo, Mbak ... dapat bahan seragam malah stres, kayak dapat bon utang."
"Kopi apa?" Iqbal menyahut dari lorong yang menuju gudang. "Mau dong gue."
"Ambil aja. Dikirimnya banyak kok," jawab Hani.
"Dikirim? Dikirim siapa, Han?" Aku
"Bareng sama seragam Mbak Lula. Kopi mahal lagi, Starbucks," kata Hani berapi-api.
"Seragam apa, La?" Kali ini, tatapan Iqbal mengarah padaku.
"Seragam acara dari pacarnya Mbak Lula. Tajir nih, kayaknya," balas Roy bangkit dari kursi, menuju ke lemari es, dan mengambil kopi dari sana. Lelaki itu meletakkan beberapa cup kopi di meja. "Anak-anak keuangan, marketing, sama Mbak Jum juga udah ambil. Nggak tahu deh, masih enak nggak, udah lama di kulkas."
"Tapi, esnya dipisah kok," tutur Hani. "Kalau mau ambil es batunya di freezer, Bang."
"Pacar? Emang Lula punya pacar? Dia kan jomlo," tukas Iqbal sambil menyambar satu cup kopi dan menambahkan es batu yang diambilnya dari freezer.
"Ada. Ini buktinya," pungkas Hani sambil menggoyang-goyangkan gelas kopi di tangannya.
"Alah, ngaco lo, Han .... " Aku mendengkus.
"Beli kopi aja, gue juga bisa kali," kata Iqbal yang sekarang duduk di sebelahku. "Nggak segampang itu bikin Lula luluh."
"Ih, kok lo tahu? Naksir gue, ya?" Aku memicingkan maka ke arah lelaki berambut ikal dengan lesung pipi super manis itu.
"Tahu, buktinya gue sering beliin kopi, nggak bikin kita jadian juga."
Kami berempat---aku, Iqbal, Hani, dan Roy---terbahak bersama. Gosip jika Iqbal menyukaiku sudah kuendus sejak dua tahun lalu. Tapi, aku tidak pernah mengambil pusing. Toh, sikap dia juga tidak berubah. Tetap menjengkelkan, tidak mau memanggilku dengan embel-embel 'Mbak', padahal aku lebih tua. Walaupun beberapa kali pernah mengajakku keluar berdua, dia tidak pernah marah jika kutolak. Sikapnya berubah-ubah. Lagi pula, Iqbal juga tidak pernah terang-terangan menyatakan perasaannya. Jadi, aku tidak pernah menganggapnya serius, meskipun kadang aku mencurigai gerak-geriknya.
"Tapi, Bang ... cowok ini tajir abis. Gue inget, dia juga klien sini. Adiknya sih, mau tunangan. Mereka pilihnya paket platinum. Nggak main-main," terang Hani.
"Loh, yang tajir bakal kalah sama yang selalu hadir. Iya nggak, La?"
"Kebalik!" seru Hani.
"Au ah, gelap!" Aku berdiri menenteng tasku, menuju ke ruangan. "Sana tim lapangan pada balik, gih! Nggak capek apa?"
TBC
***
Buat yang nggak sabar baca part 11-END bisa ke baca duluan di KaryaKarsa ya. Udah lengkap ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top