Plan 09
Sudah sepuluh tahun aku menggeluti dunia event organizer ini. Memulai dari kerja part time di salah satu EO besarJakarta, sampai akhirnya bergabung jadi staf tetap sebagai make up artist, dan sekarang berhasil punya EO sendiri, aku masih menelan ludah saat melihat orang rela menggelontorkan milyaran rupiah, hanya untuk sebuah pesta. Aku juga masih berdecak kagum, saat menghadiri pesta dengan dekorasi super mewah, hidangan kelas atas, dan gaun-gaun pengantin bertabur berlian. Padahal, sudah ratusan pesta yang aku datangi, aku rancang, dan kuarahkan, sehingga menjadi sedemikian rupa.
Jadi, menurutku kalimat 'udah sering, jadi biasa aja' tidak valid di hidupku. Entah itu tentang rasa sakit, kecewa, maupun kebahagiaan. Akan selalu ada sakit hati, saat dikhianati, walaupun sudah seribu kali. Akan selalu ada rasa kecewa, jika harapan tidak memenuhi realita. Dan, akan selalu ada kebahagiaan, saat mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup, yang lama tak kita hiraukan.
From: 08111111111~Azka
To: Kalula
You don't need went that hard to hurt Diandra. It's been 9 years. Are you not ashamed with your action yesterday?
Apa kamu nggak mau minta maaf sama Diandra? Aku tau kamu masih di Bandung.
Dan, rasa sakit itu kembali menghujam dada, ketika Azka mengirim pesan untukku. Aku mendengkus begitu saja saat membaca rentetan kalimat yang terpampang di layar ponsel. Benar kata Ndaru, bagaimana bisa aku dulu jatuh hati pada lelaki se-pengecut dia? Aksi Azka yang memilih mengonfrontasiku sehari kemudian, lewat pesan membuat darahku mendidih dan mual.
Bagaimana bisa dia tidak sadar apa yang ia dan Diandra lakukan, sembilan tahun lalu, bukan kesalahan yang mudah dimaafkan? Apa katanya? Apa aku tidak malu? Andai saja, aku cukup berani, aku tak akan berpikir dua kali untuk menampar dua makhluk tanpa hati itu. Aku berdecih pelan, genggamanku pada ponsel menguat. Azka menuntutku minta maaf, dan melupakan fakta ia belum pernah meminta maaf padaku. Gila!
Aku langsung menghapus pesan Azka tanpa membalasnya. Kemudian aku memasukkan ponsel ke tas---setelah mematut diri di cermin dan merapikan rambut---bergegas keluar kamar. Daripada menghabiskan waktu di rumah, tanpa melakukan apa pun, aku memilih untuk menemani mama di Tasty Bakery, toko roti milik mama.
Tidak banyak yang berubah dari ruko berukuran 25 meter persegi ini. Tasty Bakery terlihat sejuk dengan wallpaper bermotif bunga biru muda, yang melapisi dinding. Dua etalase kaca berada di sisi kanan kiri ruangan, saling berhadapan. Etalase pada sisi kiri, untuk memajang aneka roti dan kue basah, seperti bolen, cheese cake, sponge cake, bolu, dan bronis. Di sebelah etalase tersebut ada lemari pendingin gang menyimpan beberapa kue tart pesanan dan puding. Sedangkan etalase di sisi kanan menyajikan berbagai kue kering di toples. Selain itu, ada juga camilan lain---yang dititipkan di toko ini dari home industri warga setempat---seperti keripik pisang, keripik nanas, keripik pangsit, dan aneka makanan ringan lain.
Di tengah ruangan, ada meja besar---sebenarnya dua meja dijadikan satu---yang biasanya digunakan untuk meletakkan menu baru, atau cup cake lucu yang berada dalam kemasan plastik, untuk menarik pelanggan. Meja lainnya yang kosong, dipakai untuk bekerja, seperti menata kue kering ke dalam oven.
Ada tiga pegawai bekerja di sini. Teh Ayu, Teh Karin, dan Teh Dini. Mereka semua bertugas membuat menu di sini dan bersih-bersih. Sedangkan mama, berjaga di meja kasir yang berada di sebelah etalase kue kering. Tapi, sesekali tentu saja mama membantu di dapur.
"Eh, Teh Lula ... pulang kapan, Teh?" Teh Dini, yang sedang menata lidah kucing di toples, menyapaku. Sedangkan Teh Ayu dan Teh Karin tidak terlihat. Sepertinya dua orang itu berada di dapur.
"Sabtu, Teh .... " Aku menghampirinya untuk berjabat tangan.
"Tambah geulis, ya .... "
"Masih cantik juga Teh Dini ... nggak kelihatan kalau udah punya dua bocah."
Aku menarik kursi dan duduk di sebelah Teh Dini membantu memasukkan lidah kucing ke toples dari loyang, setelah mencuci tangan pastinya. Kami basa-basi saling menanyakan kabar dan kesibukan, sampai obrolan pun terhenti saat mama melontarkan pertanyaan padaku.
"Teh, sebenarnya hubungan Teteh sama Ndaru, gimana? Beneran nggak pacaran?" Mama duduk di sebelahku, mengelap toples dengan kain bersih.
"Nggak, Ma, cuma temen doang," jawabku agak terkesiap dengan pertanyaan mama. "Kemarin kan udah Teteh jelasin."
Terdengar mama menghela napas. "Tadi, Bu Mulyana dateng, beli nastar sama soft cookies, terus nanyain, 'kapan Lula nikah? Kata Nia, kemarin pas reuni Lula sama pacarnya, kayaknya udah serius, temen SMA ... orang kaya lagi'. Terus, Mama cuma jawab, baru ketemu Ndaru sekali .... "
Teh Dini beranjak dari kursinya dan pamit ke dapur. "Saya izin ke belakang, Bu ... kayaknya Ibu sama Teh Lula mau bicara serius. Mangga dilanjut ngobrolnya."
Aku dan mama mengangguk bersama. Seperginya Teh Dini, mama kembali bersuara, "Sebenernya hubungan Teteh sama Ndaru gimana? Kok bisa Nia bilang kalian pacaran?"
Aku menggigit bibir, menelan erangan yang hampir lolos dari tenggorokan. Aku lupa, banyak teman SMA-ku, bertempat tinggal satu wilayah denganku. Bagaimana aku menjelaskan ke mama jika aku dan Ndaru hanya berpura-pura pacaran? Apa mama akan percaya? Akan tetapi, mengingat semua yang telah mama lakukan untukku, dia berhak tahu.
"Maaf, Ma ... Teteh sama Ndaru cuma bohongan kok."
"Bohongan?" Kening mama mengernyit, kedua alis tipisnya menyatu di tengah.
"Jadi, Teteh sama Ndaru cuma pura-pura pacaran," jelasku takut-takut.
"Kenapa harus pura-pura pacaran? Apa dia maksa Teteh buat pacaran?"
"Eh, bukan-bukan, Ma!" Aku langsung menggeleng, tak mau mama salah paham.
"Terus? Kenapa harus pura-pura pacaran?" Lipatan di kening mama semakin dalam.
Aku menghela napas. Kepalaku menunduk, tak berani menatap manik hitam legam milik mama secara langsung. "Teteh nggak berani dateng ke reuni sendirian, Ma. Ndaru ajak bareng, Teteh iyain."
"Nggak berani karena ada Azka sama Diandra?" Mama meletakkan lap bersih di pangkuannya.
"Bukan nggak berani karena ada mereka .... Lebih tepatnya, males ditanyain ini itu soal Azka sama Diandra, dibilang gagal move on karena nggak pernah nongol di reunian lah, terus diledekin, diomongin .... Teteh males dengerin itu," jelasku. "Buktinya memang berhasil. Kemarin mereka lebih penasaran, 'kok aku bisa jadian sama Ndaru', daripada ngomongin Azka sama Diandra. Ya, walaupun tetap aja ada yang kurang ajar. Tapi, Mama bisa bayangin gimana kalau Teteh dateng sendirian, jomlo pula, pasti tersiksa banget."
Meskipun berusaha jujur, aku enggan mengungkapkan motif sebenarnya adalah balas dendam ke Azka dan Diandra. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di mata mama.
"Ndaru beneran baik orangnya? Nggak macem-macem?"
Aku terkekeh pelan. "Ehm, sebenarnya Ndaru itu musuh bebuyutannya Azka waktu SMA, jadi ya, Teteh juga nggak akrab sama dia. Padahal, kayaknya sih, Ndaru biasa aja. Nggak yang nakal banget atau gimana. Cuma, dia emang terkenal playboy."
Aku menggaruk kepalaku, sambil memainkan rambut. Dia memang dijuluki playboy, tapi tidak ada nama pasti siapa saja yang pernah jadi pacarnya. Ya, gimana mau jadi pacar, setiap cewek yang kirim bekal, selalu dilirik?
"Aduh, suka main cewek berarti? Tahu gitu nggak akan Mama izinin!"
Tawaku semakin keras. "Ya udah lah, Ma ... lagian Teteh sama Ndaru cuma temenan aja. Playboy-nya anak sekolah juga gimana sih, Ma? Tapi, Ma ... dia itu pinter banget. Katanya sering bolos, suka godain cewek, aktif basket, tapi bisa rangking tiga waktu ujian akhir."
"Pinter nggak menjamin dia baik, Teteh ... lihat aja Azka, pinter sih, tapi apa? Egois, jahat." Mama mendecakkan lidah.
"Betul sih, Ma ... pinter nggak menjamin punya hati," balasku mengangguk setuju.
"Ndaru tahu soal kamu sama Azka?" Mama menatapku lekat-lekat, suaranya terdengar lirih di telinga.
"Soal Teteh diputusin sepihak sama Azka terus ditinggal nikah sama Diandra? Satu sekolah juga tahu semua, Ma .... " Tanpa bisa dicegah, aku memutar mata.
"Bukan, soal yang lain .... " cicit mama seraya memukul bahuku pelan.
"Nggak, nggak ada yang tahu soal itu, kecuali Mama sama Olivia." Suaraku memelan, aku menghela napas panjang. Sesak masih terasa saat otak memutar kembali memori menyakitkan itu. Luka lama ini, kapan sepenuhnya mengering?
Mama menggeser kursinya, merapatkan tubuh kami. Dia mengusap pelan rambutku. "Teh, inget ya, Mama selalu ada buat Teteh ... kalau Teteh udah siap cari pendamping hidup, Mama bakal dukung. Tapi, kalau Teteh masih belum bisa, nggak apa-apa. Mama nggak akan maksa."
"Makasih ya, Ma ... udah selalu ngertiin Teteh dan maaf, selalu nyusahin Mama, belum bisa bahagiain Mama sama papa." Setetes air mata meluncur begitu saja membasahi wajahku. Kalau sudah bicara dari hati ke hati seperti ini bersama mama, pasti terharu.
Dengan mata berkaca-kaca, mama mengusap lelehan air mata di pipiku. "Mama bangga sama Teteh. Teteh bisa bangkit, bisa sukses ... itu semua cukup bikin Mama bahagia."
"Makasih banyak, Ma ... " Aku menarik mama ke dalam pelukan. "Ma, kalau Krishna udah punya calon istri, udah pengin nikah, nikah duluan aja. Teteh nggak masalah dilangkahin. Kalau nunggu Teteh, takutnya kelamaan."
Mama menggeleng. "Krishna belum cerita apa-apa soal nikah. Kamu tenang aja, jangan buru-buru cari pendamping. Pokoknya kalau ada cowok, yang di matamu kelihatan baik, punya niat serius, kenalin ke Mama. Mama mau lihat dulu, beneran orang baik nggak, serius betulan nggak sama Teteh."
Aku terkekeh. "Emangnya Mama punya ilmu kebatinan? Bisa nerawang orang? Kok tahu dia orang baik apa bukan?"
"Jangankan nerawang orang, jadi pawang hujan pun, Mama bisa!" Mama ikut tergelak.
Atmosfer yang tadi sedikit mendung, kembali cerah, karena celetukan barusan.
"Udah ah, Ma ... jangan sedih-sedih mulu. Teteh sendirian aja bahagia, apalagi nanti kalau nemu calon suami, pasti bahagianya double."
"Harus, dong! Kalau punya pasangan malah bikin sedih, buat apa?" sahut mama. "Pokoknya kalau Ndaru berani macem-macem, bilang Mama."
Aku mengiakan, karena malas membahas lelaki itu terus-menerus. Sebenarnya aku tidak menyalahkan reaksi mama yang kritis soal teman lelakiku. Mengingat, bagaimana dulu aku diperlakukan Azka, pasti mama tak ingin aku mengalami hal serupa. Berbeda dengan papa, yang sudah tak sabar menunggu aku naik ke pelaminan. Ya, wajar sih, karena papa memang tidak kuberi tahu kronologi kandasnya hubunganku dengan Azka. Dia hanya tahu, jika aku dan Azka tidak bisa melanjutkan hubungan karena sudah tidak cocok.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top