Plan 07

"Sendirian aja nih, geulis .... "

Aku melayangkan lirikan tajam pada si empunya suara. Lelaki itu menempati kursi plastik kosong di sebelahku, dan mencomot tempe goreng dari penampan.

"Kenapa harus duduk di sebelah gue?" tanyaku melirik ke arahnya sekilas, sambil terus menyesap es teh dengan sedotan.

"Emang nggak boleh?" Dia menopang kepalanya dengan tangan, memiringkan tubuh menatapku. "Tumben banget, nggak bareng pacar lo. Ke mana?"

"Please, Ru ... gue ke kantin mau menenangkan diri. Nggak usah bikin ribut."

"Gue ngajak ngobrol aja loh, La. Bukan ngajak tawuran." Dia mencebik. "Trouble in paradise, ya? Atau lo disuruh-suruh belajar terus, biar dapat nilai seratus?"

Mataku membelalak. "Kok lo bisa tahu?"

Dia mengerlingkan matanya. "Udah, cowok begitu putusin aja. Pacaran kan harusnya bikin bahagia, nggak bikin stres."

"Tapi niat Azka bagus. Dia pengin gue jadi lebih baik," sanggahku. "Nggak kayak lo, pacaran yang penting main, jalan, tiap minggu ganti cewek."

Secara kebetulan, setelah kalimat itu meluncur dari mulutku, seorang adik kelas, menghampiri meja kami. Ia menyerahkan bekal makan siang pada Ndaru, dengan senyum malu-malu.

"A, ini bikinan aku sendiri, lho. Dicoba, ya .... "

Ndaru membuka kotak bekal itu dan tersenyum. "Siap, geulis ... Aa Ndaru pasti habisin." Bukannya menunggui kotak makannya, perempuan itu pergi begitu saja.

"Gimana rasanya dibawain bekal sama cewek tiap hari? Seneng banget pasti," sindirku. "Lo tuh, jangan bikin mereka kegeeran. Dengan lo terima bekal makan siang itu, bikin fans-fans lo nih mikir, kalau lo juga suka mereka."

"Terus, gue harus buang makanan mereka? Mubadzir, atuh ... " Ndaru menyugar rambutnya, tersenyum tipis. "Mereka udah capek-capek bikin bekal buat gue, penuh cinta, penuh perhatian, nggak etis aja rasanya. Mau gue tolak pun, sayang ... lagian rezeki nggak boleh ditolak. "

Aku berdecih. Pintar sekali mulutnya melontarkan alasan. "Bener kata Azka, lo itu haus perhatian. Padahal, kalau lo bilang ke mereka, 'gue udah punya cewek', gue yakin mereka bakal berhenti kasih bekal ke lo. Di antara banyaknya fans lo, pasti ada satu dong, yang lo taksir. Pilih dia, pertahanin, coba setia, jangan jelalatan. Jangan umbar janji ke banyak orang. Kasihan tahu!"

"Gue dinasehatin nih, ceritanya?"

"Tapi kayaknya, lo nggak bisa bertahan sama satu cewek, ya? Nggak puas pasti ya, cuma gandeng satu cewek? Jangan serakah, Ru... nanti malah nggak dapet apa-apa."

Lelaki itu terbahak kencang, membuat seisi kantin menoleh ke arahnya. "Azka cerita apa aja sih, tentang gue?" Dia meneguk es tawarnya, sebelum menyendokkan sesuap nasi goreng ke mulut.

Aku mengedikkan bahu, enggan menanggapi. Aku mengedarkan pandangan dan senyumku langsung mengembang cerah saat Azka masuk ke dalam radar netraku. Dia berjalan seorang diri menuju ke mejaku. Aku melambaikan tangan, memintanya bergabung. Aku tahu, dia tidak akan tega membiarkanku pergi ke kantin seorang diri. Namun, ketika sosoknya mendekat, aku bisa melihat bibirnya mengetat.

"Mau pesen apa, Ka?" Azka menarik kursi di hadapanku dan duduk di sana.

"Ngapain kamu makan bareng Ndaru?" Secara terang-terangan Azka menunjukkan ketidaksukaannya pada pemain basket itu.

"Aku jajan sendiri. Dia makan sendiri," jelasku tak ingin Azka salah paham. "Nggak tahu tuh, tiba-tiba duduk di sini."

"Loh, masih punya muka lo?" dengkus Ndaru sambil melahap nasi gorengnya. "Bahasa Inggris lo cuma dapat 88, kan?"

"Bukan urusan lo."

Ndaru menyeringai. "Nggak usah malu kalau mau minta ajarin gue. Maaf aja nih, gue dapet 98."

"Banyak omong lo!" Azka mendesis.

Ndaru bangkit dari kursinya sambil membawa kotak makannya yang sudah kosong. Ia menepuk bahu Azka kemudian kembali berujar, "Makasih udah jelek-jelekkin gue di depan pacar lo. Sekarang gue mau jadi playboy beneran aja, biar lo nggak dianggap bohong sama pacar lo."

Permusuhan Azka dan Ndaru bukan lagi menjadi rahasia. Beberapa bulan lalu, keduanya terlibat baku hantam di lapangan basket. Tentu saja, Azka yang memiliki tubuh lebih kecil, babak belur. Pacarku itu selalu bungkam jika aku tanya kenapa mereka sampai adu jotos begitu. Rasa penasaranku memuncak kerena tahu Azka bukan tipe orang yang akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Sampai sekarang pun, aku masih tidak mengerti apa yang membuat kedua lelaki itu jadi musuh bebuyutan. Padahal, di kelas sepuluh mereka sangat akrab.

***

Tubuhku mematung begitu merasakan deruan napas Ndaru menyapu telinga ketika dia berbisik. Namun, bukannya melayangkan protes pada lelaki itu, aku malah berterima kasih, karena perhatian Azka dan Diandra pasti akan langsung tersedot pada interaksi romantis kami barusan.

"Long time no see Azka, Diandra." Suara rendah Ndaru, memasuki indera pendengaranku.

Diandra mengangguk sambil tersenyum canggung. "Eh, lo sama Lula, pacaran?" Mata perempuan itu bergerak liar, menatapku dan Ndaru bergantian.

"Udah setahun. Ya kan, Babe?" Aku mendongak dan menyunggingkan senyum sok ceria.

Kegelian terpancar di mata Ndaru, tapi lelaki itu tetap mengikuti permainanku.

"Alasan gue balik Indonesia, ya karena udah males LDR-an. Nggak bisa gue jauh-jauh dari Lula." Ndaru menanggapi, tangannya masih mendekap bahuku dan menarik tubuhku ke dadanya.

"Loh, emang lo dari mana, Ru?" Hasna menyahut.

"Gue di Kanada, kerja di Born to Build, firma arsitek di sana. Ini ambil proyek di Jakarta," jelas Ndaru.

"Dia nggak lanjut kontrak di Kanada, karena ambil kontrak di Santoso's Architects," tambahku.

"Santoso's Architects? Itu kan firma arsitek yang tahun kemarin jadi rebutan pemerintah sama kontraktor dari Australia, bukan?" tukas Diandra.

Tahun kemarin, ada kejadian cukup lucu. Pemerintah Indonesia, ingin menggaet Santoso's Architects dalam proyek pembangunan gedung DPR RI. Namun, Santoso's Architects---melalui jubir mereka---menolak kerjasama tersebut. Mereka lebih memilih tawaran proyek pembangunan resort mewah, dari perusahaan developer ternama negeri Kanguru.

"Betul. Yang kemarin buat stadion termegah se-Asia di Bali. Wisnu Kencana Mega Stadion."

Mata Diandra dan Hasna melebar. Kedua wanita itu berdecak kagum, sambil menatap Ndaru. Namun, tidak dengan Azka. Lelaki itu malah memasang wajah datar. Bibirnya membentuk garis tipis.

"Lo keren banget, Ru. Bisa tembus ke Santoso." Hasna menepuk bahu Ndaru.

"No big deal." Ndaru mengedikkan bahu. "Kalian pada capek nggak, sih? Berdiri mulu. Gue pengin duduk, nih."

Kami pun menuju ke kursi kosong yang tersedia. Aku dan Ndaru duduk berhadapan dengan Hasna dan suaminya. Sedangkan Diandra dan Azka berada tepat di sebelah Ndaru. Kesialan apa lagi ini? Kenapa aku harus berdekatan dengan mereka berdua?

Sedari tadi, aku belum mendengar suara Azka. Lelaki itu terlampau diam. Meskipun bukan tipe orang yang cerewet, tapi seingatku, Azka juga tidak sedingin ini. Apa karena kehadiranku? Apa dia terlalu kaget melihatku bersama Ndaru? Haruskah aku memancingnya membuka mulut?

Tak dapat kupungkiri, melihat Diandra setelah wanita itu menyandang status istri Azka, membuat kekecewaan kembali melingkupi dada. Bukan karena aku masih mengharap lelaki itu, tapi karena masih tidak percaya dia tega mengkhianati sahabatnya sendiri. Bahkan, Diandra tidak pernah meminta maaf padaku. Sedangkan Azka, yang ingin kulakukan padanya hanyalah melayangkan bogem mentah ke wajah lelaki itu.

Beberapa teman lain, yang menyadari kehadiranku dan Ndaru, langsung melibatkan kami dalam pembicaraan. Mereka tidak percaya aku dan si playboy pembuat onar ini sekarang sepasang kekasih. Dan, tentu saja, fakta mengejutkan Ndaru akan bekerja di Santoso's Architects membuat kami jadi pusat perhatian. Ternyata, pembicaraan kecil kami tadi, ada yang mencuri dengar.

"Dulu gue daftar SA, ditolak. Emang nggak tahu diri banget sih, fresh grad, nekad daftar ke sana," curhat Bobby diiringi kekehan.

"Nggak nyangka gue, Ndaru, bisa jadi orang bener juga," celetuk Nia---dia teman satu kelasku di kelas sepuluh. "Dan, jadian sama Kalula pula. Gimana ceritanya?"

"Ceritanya panjang," jawabku cepat, karena memang belum memikirkan skenario bagaimana awal hubungan kami dimulai.

"Kenapa lo nggak pernah muncul di reuni sih, La?" Sorot mata Nia terarah lurus padaku.

"Gue ... " Kenapa aku tiba-tiba gugup?

"Udah ngomong aja, Babe," tutur Ndaru membuatku bingung. "Apa aku aja yang ngomong?"

Aku menatapnya tak mengerti.

"Lula sibuk abis. Dia rintis usaha event organizer dari awal, sendirian," kata Ndaru. "Lo tahu sendiri, kan? Sekarang gimana besarnya EO Kalula? Gue aja, kalau mau ketemu Ibu CEO kesayangan gue ini, beneran harus booking dari jauh-jauh hari. Sibuknya ngalahin Raffi Ahmad."

Ndaru menarik kepalaku dan menciumnya. Sorakan seperti saat melihat teman sekelas ditembak di lapangan basket terdengar. Norak, tapi membawa nostalgia.

Astaga, pandai sekali dia mengarang cerita. "Untungnya Ndaru pengertian banget, sih. Dia nggak perpanjang kontrak di BTB Kanada dan kerja di Jakarta."

"Lo nggak takut pacaran LDR ya, La? Apalagi Ndaru ketemunya bule terus," sahut Hasna setengah menggoda.

Aku menggeleng. "Nggak, lah. Gue percaya Ndaru. Kalau berengsek mah, berengsek aja. Nggak usah LDR juga jelalatan ke mana-mana. Lagian, gue kenal sama temen-temen cewek Ndaru. Mereka baik banget, nggak punya bibit ular, sih. Jadi nggak mungkin gue ditikung."

"Lagian, gue udah dapat cewek kayak Lula, mau cari yang gimana lagi, sih?" Ndaru menimpali. "Cantik, mandiri, passionate, tajir lagi. Gue nggak kerja pun terjamin kayaknya hidup gue."

Aku tanpa segan, memukul kepalanya. "Enak aja. Putus ya, kalau kamu jadi pengangguran."

"Anjir .... " Nia tergelak. "Couple tajir melintir. Yang satu kerja di firma arsitek jempolan, yang satu jadi young rising enterpreneur."

Beberapa celetukan acara reuni selanjutnya agar dilaksanakan di rumahku atau Ndaru, terdengar di sana-sini. Mereka juga berkelakar menjadikan Kalula's Organizer sponsor acara-acara mereka. Bahkan, ada yang terang-terangan minta endorse.

"Lagian Santoso's Architects itu punya bokap Ndaru. Biasa kan, anak masuk company bapaknya."

Seketika berpasang-pasang mata tertuju pada Azka, termasuk aku. Dia tahu soal ini? Aku kira, lelaki itu juga sama clueless-nya dengan teman-teman yang lain. Such a butthurt!

"Oh, punya bokap lo, Ru?" Gilang---lelaki yang duduk berjarak empat kursi dariku---bahkan ikut menanggapi.

"Dia lulusan UCL. Salah satu perguruan tinggi yang menyediakan jurusan arsitektur terbaik di dunia," tukasku tak suka dengan tanggapan nyinyir Azka. "Belum lagi, dia kerja di Born to Build Kanada. Itu firma arsitektur terbaik di sana. Kalau pun Ndaru balik ke sini, wajar kan, dia mau ngembangin company punya bokapnya?"

"Bener, sih." Deny manggut-manggut. Dia duduk persis di sebelahku.

"Tapi, kalau diinget-inget, Ndaru itu peringkat tiga ujian nasional satu sekolah. Dia nggak bego sih sebenernya," tambah Hasna.

"Ya, menurut lo, anak IPA 3 kalau ujian nyontek siapa?" kelakar Deny.

"Lo bandel aja pinter ya, Ru ... padahal kerjaan lo nongkrong di warkop depan rumah gue mulu tiap malem," tutur Nia, posisinya berhadapan dengan Deny.

"Loh, gue nongkrong tiap malem aja rangking tiga, apalagi rajin belajar, Azka belajar sampai tipus pun, nggak bakal dapat rangking satu."

Aku terbahak puas. Diam-diam, aku melirik ke arah Azka sekilas dan melihat lelaki itu mendengkus. Untungnya sebelum peperangan terjadi, pengurus angkatan membuka acara. Anton---ketua panitia reuni ini---mengucap sambutan di atas panggung kecil bundar yang berada di depan.

Skakmat for Azka.

***

Ternyata perangnya belum selesai teman-teman.... 🤭🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top