Plan 06

Setengah empat sore, Ndaru sudah siap di depan rumahku. Begitu keluar, mulutku menganga lebar melihat pemandangan indah di balik pagar rumah. Ya Tuhan, kenapa dia gagah sekali .... Aku tidak bisa mencegah kakiku untuk tidak melangkah ke sana dan mendaratkan tanganku di atas kap mobil hitam mengkilap itu. Siapa sangka kendaraan mewah sekelas Audi A8 yang dibanderol harga dua milyar lebih itu akan terparkir cantik di depan rumahku. Ini adalah salah satu mobil impianku, yang sayangnya belum bisa kubeli.

"Halo, Kalula ... " Ndaru melambaikan tangannya di hadapan wajahku.

"Oh, sorry ... " Aku mendongak untuk menatapnya, "gue naksir mobil lo."

Selama ini, aku hanya tahu Range Rover putih kendaraan yang Ndaru pakai. Bukannya aku tidak menyukai SUV yang juga memiliki harga mahal itu, hanya saja Audi A8 terlalu seksi untuk ditolak. Mobil jenis sedan itu, tampak berkelas dan elegan. Sempurna sekali di mataku.

"Ya, gue bisa lihat." Ndaru mendengkus. "Sampai gue yang udah rapi begini, lo kacangin."

Aku menutup mulut dengan telapak tangan. "Oopsie." Mataku dengan sendirinya menjelajahi tubuh Ndaru, dan mengangguk puas, melihat pilihan pakaian lelaki itu.

Ndaru mengenakan kemeja lengan pendek Louis Vuitton dengan corak abstrak merah marun dan krem dipadukan celana kain putih yang menjuntai persis di atas mata kata kaki. Tak lupa, kacamata Gentle Monster bertengger di hidung melengkapi penampilannya.

Pakaian kami, meskipun berbeda, tapi senada. Aku memilih strapless flowy mini dress berwarna merah marun dari Dior. Meskipun tidak terlihat jelas, gaunku ini memiliki motif bunga, yang teremboss di kain. Rambut kucepol ke belakang dengan menyisakan beberapa helai anak surai yang menjuntai ke depan, agar aku tidak merasa kegerahan nanti. Selain itu, aku sengaja memilih model ini untuk memamerkan tulang selangka dan leher jenjangku. Salah satu kunci tampil kece saat menghadiri outdoor party adalah jangan sampai terlihat try so hard to dress up but you have to make the others paying attention to you, alias, casual but catchy.

"Oke juga style lo."

"Gue nggak senorak zaman SMA, kali ... " Ndaru, tanpa sopan santunnya menjitak kepalaku. "Nggak bisa banget lo, move on dari bayang-bayang masa lalu."

Aku menyengir, sama sekali tidak merasa bersalah. Seperti pria idaman atau memang kebiasaannya sebagai player, Ndaru membukakan pintu untukku. Setelah menutupnya kembali ia berputar menuju kursi kemudi.

"Siap, pacar?"

"Idih, pacar ... jangan ngarep lo." Aku mencibir.

"Pemanasan, biar nggak kaku." Ndaru menginjak pedal gas dan mobil pun melaju.

"Ru, lo terakhir ikut reunian kapan?"

"Ehm ... actually gue belum pernah ikut reunian, sejak lulus SMA."

Aku meliriknya sekilas. "Oh, ya?"

"Waktu gue pulang ke Indonesia buat liburan, nggak pernah ngepasin acara reuni. Jadi, ya ... gue belum pernah," jelasnya. "Tapi, gue join grup kelas. Nggak kayak lo, mengisolasi diri."

"Ye, lo kan nggak punya kasus!"

"Menurut gue sih, La ... lo nggak perlu malu ketemu mereka. Lo nggak salah," tuturnya. "Harusnya yang nggak punya muka itu Azka. Berengsek banget emang itu orang."

"Lo naksir Diandra sejak kapan?"

"SMA."

"Kenapa nggak ditembak pas SMA?"

"Diandra pacaran sama Bagaskara dari kelas IPS, kan?" Ndaru melirikku sekilas. "Gue nggak serendah itu, buat rebut pacar orang."

Aku mengangguk. Benar juga ya, dan saat kelas dua belas, dia memutuskan Bagas, karena ingin fokus belajar untuk ujian.

"Dan, lo kesel pas tahu Azka nikah sama Diandra? Karena kesempatan buat pedekate sama dia pun, lo nggak punya," tebakku.

Ndaru mengangguk. "That's right."

"Wajar sih, lo naksir dia. Kadang, gue juga naksir dia."

"Lo normal, kan?"

"Maksudnya, gue sebagai cewek aja, dulu pernah kagum sama Diandra. Kok ada cewek se-perfect dia gitu. Bikin gue insecure luar dalam."

"But, she end up became pelakor, right?" Lelaki itu tergelak.

Aku ikut tertawa. "Ya, cukup adil, sih. Otak oke, penampilan oke, akhlak nol besar."

"Nah, ngapain lo iri, kan? Nggak perlu deh kayaknya."

Aku mengubah posisi dudukku, sedikit menyerong agar bisa melihat wajahnya. "Apa yang lo suka dari Diandra?"

"Apa, ya? Cantik, sih ...."

"Terus?"

"Pinter."

"Terus?"

"Ehm ... emang suka harus ada alasan?" Dia melirikku sekilas.

"Lo itu aneh banget, tahu!" Aku mencebik. "Biasanya kalau cowok ngomongin cewek yang dia suka, bakal berapi-api. Kenapa lo pasif begini?"

"Lah kan, sukanya udah lewat." Dia mengedikkan bahu.

"Tapi, masih mau bales dendam?"

"Kesel ke Azkanya yang masih awet." Ndaru menyengir ke arahku. "Lagian, gue dapet cewek lebih oke dari Diandra waktu di Kanada. Jadi, nggak begitu masalah."

Astaga ... man and his ego. Lagi-lagi ini tentang harga diri seorang laki-laki dan kesempatan unjuk gigi, begitu?

"Gue jadi penasaran, alasan lo sama Azka musuhan kenapa, sih?"

Dia melirikku sebentar dan menyeringai. "Kalau lo tahu, jantungan nanti."

***

Aku menggamit lengan Ndaru begitu kami keluar dari mobil. Jika acara mulai sesuai waktu yang tertera di undangan, itu artinya aku dan Ndaru sudah telat tiga puluh menit. Jantungku berdegup keras, sampai aku yakin, lelaki di sampingku ini, bisa mendengarnya. Aku tidak munafik, menghadiri reuni SMA membuatku gugup setengah mati. Bahkan, Hasna---satu-satunya teman SMA yang masih berhubungan denganku---tidak kuberi tahu soal ini.

Langkah kaki Ndaru, terhenti tiba-tiba, membuatku yang terus berjalan, ditarik olehnya.

"Eh, kenapa berhenti?" tanyaku heran.

"Look at me," kata lelaki itu membuatku heran, tapi anehnya aku menurutinya. "Lo cantik banget asli."

Bibirku menyunggingkan senyum kecil, mendengar pujian dari si player. Pantas saja, dia bisa memikat hati wanita dengan mudah. He knows how to please woman so well.

"Gue kelihatan gugup banget, ya?"

"Lo dari tadi nggak berhenti gigitin bibir bawah lo." Ndaru menelusupkan helaian rambut yang menjuntai di wajahku di balik telinga, lalu mengangkat daguku. "Udah ya, stop ... nanti bisa berdarah."

Aku melepaskan bibir bawahku sambil mendesah pelan. Bahkan, aku baru sadar melakukan kebiasaan jelekku karena Ndaru mengatakannya.

"Siap bikin mereka terpesona, My Lady?"

Aku tergelak dan mengangguk. "Pantes banget gelar lo upgrade dari playboy cap ikan teri jadi fakboy cap ikan kakap."

Kami pun melangkah bersama, menuju venue terbuka, tempat acara reuni diadakan. Sapuan angin sore membelai wajahku lembut. Mereka seolah tahu, aku sedang membutuhkan dukungan semesta untuk menghadapi apa pun yang berada di dalam sana.

Begitu melewati pintu masuk, hamparan rumput hijau menyambut pandangan mata. Meja panjang dan kursi yang sudah ditata apik saling berhadapan. Lampu-lampu gantung juga terbentang di langit-langit menambah kesan manis. Belum ada yang menyadari kehadiran kami berdua, karena mereka terlalu asyik mengobrol.

"Ru, kayaknya banyak wajah yang udah nggak gue inget." Aku mengamati wajah mereka satu per satu, dan ada beberapa yang tidak kukenal.

Lelaki itu terkekeh pelan. "Udah, sok akrab aja."

Seorang lelaki, yang aku lupa namanya, tapi kuyakin dia sekelas dengan Ndaru melambai ke arah kami. Pacar bohonganku ini, mengangkat tangan membalas lambaian lelaki itu.

"Bro! Anjir, dateng ke reunian nggak ngomong-ngomong!" kata si lelaki yang memakai kemeja Hawaii style dengan celana jeans.

Mereka tertawa bersama lalu berjabat tangan. "Bukannya gue udah bilang, kalau gue balik ke Indonesia, ya?" sahut Ndaru.

"Ya, tapi lo nggak ngomong kalau mau dateng ke acara reunian." Mata lawan bicara Ndaru lalu mengarah ke arahku. Alisnya menyatu di tengah, matanya sedikit menyipit. "Pacar lo, nih?"

Ndaru mengangguk. "Lo nggak kenal?"

"Kayak kenal, sih ... " Dia menatapku sekali lagi sambil bergumam.

"Astaga ... " Ndaru mendengkus. "Kenalin, pacar gue Kalula. Dulu kelas IPA 1. La, barangkali kamu lupa, dia Deny temen sekelasku."

Seperti adegan slow motion, aku bisa melihat jelas bagaimana matanya membelalak dan mulutnya membuka lebar, karena terkejut. "Kalula yang mantannya Az---"

Ndaru langsung menampar pipi Deny, membuat lelaki itu bungkam. "Kalula anak IPA 1 yang sekarang jadi pengusaha sukses."

Deny mengelus-elus pipinya sambil menggerutu. "Jangan main tabok lah, Ru ... ayo, gabung sama yang lain. Jangan berdiri di sini aja."

"Lah, lo kan yang ngadang kita?" timpal Ndaru dan menuntunku berjalan menuju meja.

"Guys! Lihat, siapa yang dateng? Ndaru dan gandengannya!" serunya mengundang perhatian banyak orang, membuat mereka menolehkan kepala ke arah kami.

"Kalula?!" Suara pekikan perempuan mencuri perhatianku.

Aku melepaskan gandengan dari tangan Ndaru, berlari kecil untuk menghampiri Hasna. Perempuan berhijab itu bangkit dari kursi, langsung menghambur ke pelukanku.

"Katanya lo nggak bisa dateng!" tukasnya.

"Sengaja bohong. Biar suprise. Eh, eh, kok nangis ... " Aku mengusap air mata di pipinya.

"Gue kira lo nggak bisa dateng, tahu! Ternyata .... " Dia menarik tubuhku kembali ke pelukannya.

Aku terkekeh pelan. Astaga, kenapa dia manis sekali, sih .... Beruntungnya Vano---suami Hasna yang dinikahinya empat tahun lalu---punya istri selembut wanita ini.

"Sayang, jangan lari-lari begitu. Kamu pakai heels, aku ngeri lihatnya." Tiba-tiba tubuh tinggi Ndaru berdiri menjulang di belakangku. Tangannya bertumpu di atas bahuku.

"Jangan cerewet, ah!"

"Loh, lo sama Ndaru p-pacaran?" Hasna tergagap menatapku dan Ndaru bergantian.

"Ngg---"

"Iya."

Aku berjengit, ketika ia mencubit pundakku pelan. Bagaimana bisa aku lupa jika aku dan Ndaru sedang memainkan sandiwara sebagai sepasang kekasih di sini?

"Gue sengaja nggak cerita, Na. Takut lo shock." Aku meringis dan menarik Ndaru ke samping dan menggamit lengannya.

"Nice to meet you, Hasna." Meskipun Hasna terlihat kaku, mereka pun berjabat tangan.

"Eh, ada Diandra itu, baru dari toilet kayaknya." Hasna mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telingaku.

Aku mengalihkan pandangan mengikuti pandangan Hasna dan mendapati dua orang yang sudah menghancurkan hidupku berjalan mendekat. Diandra, tidak banyak berubah. Perempuan itu tetap terlihat cantik seperti biasa. Dengan midi dress kuning cerah bermotif dedaunan, Diandra nampak manis dan menyegarkan. Sedangkan, Azka? Dia terlihat lebih dewasa dengan kumis tipis di wajahnya. Lelaki itu terlihat sedikit kurus?

Saat jarak mereka semakin dekat mendekati meja, akhirnya mata kami saling beradu tatap. Kedua bibir Diandra membuka sedikit, langkahnya melambat. Pandanganku berpindah pada Azka yang menampilkan wajah tanpa ekspresi. Syaraf di tubuhku langsung menegang. Napasku berubah pendek-pendek. Ndaru yang sepertinya menyadari hal itu mengelus punggungku beberapa kali. Ia lalu membubuhkan kecupan ringan di puncak kepalaku dan berbisik, "relax, Baby. I am here."

***

Pada gelud nih😀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top