Plan 05
Gila! Besok aku akan menghabiskan waktu berdua, paling tidak tiga jam, bersama Ndaru, dalam perjalanan Jakarta-Bandung. Harus banget ya, aku menghadiri reuni SMA? Belum telat kan, kalau aku mundur? Tapi, nanti kelihatan cemen banget. Ih! Lagian, kenapa juga harus pura-pura jadi pacar si curut, sih? Aku kan males.
Wait ... tapi Ndaru sekarang sudah ganteng, sih. Tidak seperti saat SMA, ada rambut segaris turun ke dahi, norak banget pokoknya. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya lelaki itu cukup oke dijadikan pacar gadungan. Apalagi kalau temen-temen SMA tahu kakek Ndaru founder Santoso's Architects! Aku bisa membayangkan kehebohan mereka.
Aku mendesah pelan, berguling mengubah posisi tidur tengkurapku jadi telentang. Kenapa aku jadi bertingkah seperti perempuan matrealistis yang hanya peduli harta duniawi, sih? Aku menjejak-jejakkan kaki di kasur, membuat seprei yang barusan kupasang, berantakan lagi.
Ya, emang yang lo peduliin itu cuma duit, La!
Aku terlonjak kaget karena mendengar suara pikiranku sendiri! Tidak salah juga, sih. Aku bekerja sekeras ini memang karena uang. Sejak Azka kabur tanpa tanggung jawab dari hidupku, aku punya prinsip baru. Aku ingin jadi orang yang lebih sukses dan lebih kaya dari Azka. Tada ... dan untungnya kerja kerasku tidak berkhianat.
"Kalau dipikir-pikir, Ndaru nggak jelek-jelek amat lah, dijadiin pacar sewaan," gumamku. "Apalagi besok waktu reuni dia pakai Thom Browne atau Gucci."
***
"Tegang amat, kayak mau malam pertama." Celetukan tidak berfaedah Ndaru membuatku menghadiahinya tamparan keras dari handbag Moschino yang kubawa.
"Diem nggak, lo!" Aku mencebik lalu mengalihkan pandangan ke jendela sebelah kiri. Pura-pura tertarik dengan kemacetan di luar sana.
Bukannya marah atau tersinggung, lelaki itu malah terbahak kencang. Aneh.
"Gue punya peraturan buat lo," kataku dan kembali menoleh menghadap Ndaru.
"Apa?"
"Besok pas reuni, lo harus tampil se-charming mungkin," tukasku. "Gue nggak mau ya, pacar pura-pura gue biasa aja."
"Loh, gue kurang charming gimana lagi, sih?" Ndaru menyugar rambutnya yang agak panjang itu ke belakang, mengernyit.
Aku melipat tangan di depan dada, mataku menelusur penampilannya dari ujung kepala ke ujung kaki. "Lo kayak kang ojol yang dari sore belum pulang ke rumah."
"Loh? Pelecehan profesi ojol, nih." Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil memicingkan mata.
"Bukan gitu. Penampilan lo terlalu santai. Mana pakai kaus warna kebangsaan ojol lagi." Aku mendengkus.
Ya jelas, lelaki itu hanya pakai celana rampel abu-abu selutut yang memiliki banyak saku dan kaus lengan pendek hijau terang. Berbeda jauh dari style-nya saat mampir ke kantorku waktu itu. Sekarang, dia lebih mirip dengan Ndaru saat SMA. Ya, versi lebih berisi, cakep, dan bersih.
"Besok acaranya outdoor, kan?" Aku mengangguk. "Saranin deh, lo yang udah biasa atur party, bagusnya outfit gue apa?"
"Outdoor party itu bagusnya pakai baju semi formal. Kayak loose shirt, celana kain motif kotak-kotak misal, atau jeans, sama sepatu kets," ujarku. "Ada bayangan, kan?"
"Ada. Gue nggak sebego itu, kali." Ndaru mencibir. "Besok lo mau pakai baju warna apa, gue sesuaiin. Biar couple-an."
Aku menatapnya tak yakin. "Serius? Nggak janjian aja? Takutnya lo nggak punya."
Dia terkekeh pelan, pandangannya lurus ke jalan. "No worry, Baby. Pakai apa pun yang lo suka. Kalau gue nggak punya, ya ke toko baju, lah. Kayak tinggal di tengah hutan aja."
"Oke deh, orang kaya! Terserah lo, kalau mau buang-buang duit."
***
Tahu sendiri, kan? Usia 29 tahun di Indonesia masuk garis merah, khusus untuk perempuan yang belum menikah. Artinya, kita harus siap diperhatikan lebih---alias dicerewetin, diceramahin, dijodohin, dikatain---khalayak ramai termasuk keluarga sendiri. Aku masuk ke fase itu sejak tiga tahun lalu. Papa, sampai memberi ultimatum pada Krishna---adik lelakiku yang empat tahun lebih muda---untuk tidak menikah lebih dulu.
Selama ini, aku memang jarang pulang ke Bandung. Paling cepat tiga bulan sekali, bisa sampai enam bulan sekali. Bukan karena tidak kangen, tapi karena merasa belum melakukan yang terbaik untuk orangtua. Jadi, bisa dibayangkan betapa hebohnya papa, saat melihatku hari ini pulang mendadak diantar lelaki sampai depan pagar. Apalagi Ndaru, sok tebar pesona, turun dari mobil menyalami papa yang sibuk merapikan tanaman bonsai tanpa kuminta.
"Tumben nggak WA dulu, Teh .... " Aku bersalaman dengan papa dan mencium pipinya.
"Iya, mau kasih kejutan, Pa." Aku melirik Ndaru yang berdiri di sebelahku, dengan senyum menempel di bibirnya. "Aduh, udah mau maghrib, ya? Daripada sampai rumah kemaleman, mending lo pulang sekarang, deh .... "
Aku menyenggol tubuhnya dengan siku, beberapa kali menunjuk ke arah pintu pagar dengan daguku, berharap dia memahami kode barusan.
"Temennya diajak masuk, Teh ... Mama bikin kroket udang, tuh," tegur papa, yang kemudian mengalihkan pandangan ke arah Ndaru. "Ayo, masuk ... Lula emang suka salting, kalau sama cowok ganteng."
Aku reflek memukul pundak papa sambil menggerutu. Dari mana ceritanya aku salting di depan orang ganteng? Lagi pula, Ndaru juga tidak cukup tampan membuat rahangku terjatuh. Paling tidak, harus sekelas Tom Cruise. Papa menggiring Ndaru ke ruang tamu. Kami bertiga jalan beriringan. Aku diapit papa dan si curut ini.
"Papa ... " gerutuku, "dia itu bukan pacar Teteh. Temen aja. Teteh cuma numpang pulang."
"Saya Ndaru, Om. Sohibnya Lula waktu SMA. Kebetulan besok ada acara reuni satu angkatan," jelas Ndaru penuh kebohongan.
Aku melayangkan tatapan tajam ke arah Ndaru yang dibalas dengan cengiran tanpa rasa bersalah.
"Oh, bagus, bagus .... akhirnya Lula mau dateng ke acara reuni lagi. Berarti kalian udah akrab dong, ya?"
"Udah, Om. Dia tempat curhat saya." Ndaru duduk di kursi single yang dekat dengan ujung meja. Sedangkan aku dan papa duduk bersebelahan.
Keterlaluan! Berani-beraninya dia bohong di depanku? Apa sih, maunya? "Nggak usah ngomong aneh-aneh deh, lo!"
"La, ke dapur sana, ambil kroket. Papa pesen kopi hitam panas satu. Nak Ndaru mau pesen apa? Anggap aja warung sendiri."
Lelaki itu terpingkal. How dare him?! "Disamain aja. Biar nggak repot mbak-mbaknya." Dia mengerling ke arahku.
Aku mendengkus sebelum bangkit dan beranjak ke dapur. Aku menjejakkan kaki ke lantai dengan keras, sengaja biar Ndaru sadar betapa menyebalkannya dia. Aku mengambil dua cangkir dari rak piring. Terlalu lama tak pulang ke rumah membuatku sampai lupa tempat mama biasa menyimpan kopi dan gula. Aku membuka drawer di bawah kompor, tapi tidak menemukan benda yang kucari.
"Ma!"
Mama dengan tergopoh-gopoh ke dapur. Aku menggigit bibir, menahan tawa melihat mama yang berbadan gembul berlari, ditambah pakai daster oversize kesukaannya, dengan rol rambut terpasang di poni.
"Teteh!" pekiknya lalu menghambur memelukku. "Teteh pulang kapan?"
"Barusan. Masa Mama nggak denger suara mobil?"
"Mama di halaman belakang, kasih makan ikan."
Oh iya, baru ingat. Dua bulan lalu, papa membangun kolam ikan koi di halaman belakang. Katanya, untuk hiburan selagi menunggu cucu yang tak kunjung datang.
"Kopi di mana, Ma?"
"Teteh pengin kopi? Nggak biasanya." Mama menggeser tubuhku dan mengulurkan tangan ke atas, meraih lemari gantung yang tertempel di dinding, lalu membuka pintunya.
Aku mundur, memberi mama ruang bergerak. "Buat papa."
"Kok cangkirnya dua?" Kening dia mengernyit sambil membuka toples berisi kopi.
"Buat temen."
"Temen?" Suara mama meninggi satu oktaf. "Temenmu suka minum kopi hitam?"
"Ehm, iya kayaknya," jawabku tidak yakin.
"Pasti cowok, ya?" tanyanya penuh selidik.
Jiwa detektif mama pasti sudah merangsek ke permukaan. "Emang harus cowok yang suka kopi hitam?"
"Dia pacar kamu?" Tangan mama yang sedang menuangkan gula ke cangkir terhenti. Sekarang perhatian mama sepenuhnya tertuju padaku.
"Bukan, cuma temen, Ma."
"Ketemu kapan? Kok berani langsung dibawa ke rumah?" Lipatan di dahi mama terlalu kentara, mama pasti khawatir.
"Ndaru temen SMA Teteh, Ma. Dia cuma nganterin Teteh pulang, tapi disuruh Papa masuk ke rumah. Udah, gitu aja," jelasku tak ingin membuat mama khawatir. "Bukan pacar kok, Ma .... "
"Berarti udah kenal dekat ya, Teh? Temen SMA, kan?"
"Ya, nggak dekat banget. Ndaru nggak akan macem-macem kok, tenang aja. Lagian, Teteh juga nggak naksir dia." Aku menggerutu tanpa sadar.
Terdengar mama menghela napas. "Mama cuma khawatir aja ... tiba-tiba Teteh bawa cowok ke rumah, nggak cerita dulu."
"Salahin Papa tuh, sok akrab sama Ndaru, diajak masuk segala." Cebikan lolos dari bibirku.
"Ya udah, Mama ke depan dulu. Mau lihat gimana orangnya. Anak baik apa bukan," tukas mama meninggalkan kopi yang belum terselesaikan.
"Ma! Terus, ini kopinya gimana?" tanyaku setengah memekik.
"Bikin sendiri lah, kamu kan udah tua!"
Aku menggerutu. Astaga, Ndaru pasang pelet apa, sih? Sekalinya mampir ke rumah, membuat papa bersikap cuek padaku dan mama meninggalkanku begitu saja. Aku janji, ini terakhir kalinya dia menginjakkan kaki ke rumahku.
Entah apa yang mereka bicarakan selagi aku di dapur, tapi sepulangnya lelaki itu, mimik wajah mama dan papa sangat mencurigakan. Bahkan, saat sinetron kesayangan mama tayang, mama malah curi-curi pandang ke arahku. Aku yang jengah dipandangi berkali-kali, jadi kehilangan nafsu mengemil keripik ketela manis di depanku ini.
"Kenapa sih, Ma?"
"Nggak apa-apa." Mama menggeleng dan kembali fokus ke layar televisi.
"Ndaru ngomong apa sama Mama? Mama jadi aneh begini .... " kataku setengah merengek.
"Menurut Teteh, Ndaru orangnya gimana?"
"Gimana apanya? Teteh udah lama banget nggak ketemu Ndaru, pas di SMA juga nggak akrab," terangku. "Ya, kayak cowok lain, biasa-biasa aja. Nothing special."
Inginku beberkan jati diri Ndaru yang seorang playboy, tapi tak mungkin. Jika mama tahu, mama pasti tidak akan mengizinkanku menghadiri reuni bersamanya. Mama, berubah protektif karena aku---anak perempuan satu-satunya---pernah ditinggal kawin, pas lagi sayang-sayangnya.
"Ma, Ndaru ngomong apa sama Mama? Kenapa Mama jadi kelihatan galau sama overthinking begitu?" desakku menuntut jawaban.
"Pokoknya kalau ada apa-apa, Teteh harus cerita," tukas mama menatapku tajam.
"Ya, masalahnya emang nggak ada apa-apa."
"Mama nggak mau, Teteh dipermainkan sama cowok lagi." Mama menghela napas, lalu kembali menghadap ke layar televisi.
"Ma!" Aku menarik-narik daster mama. "Ih! Mama kok jadi aneh begini, sih?! Ndaru sebenarnya ngomong apa ke Mama?"
"Udah, Teteh diem. Mama mau pacaran sama Mas Al dulu." Dan, fokus mama kemudian benar-benar tersedot ke layar kaca yang menyala di depannya.
Seraya mengembuskan napas kasar, aku beranjak dan menuju kamar, agar bisa memaki-maki Ndaru dengan leluasa. Aku langsung menghubunginya, sambil berbaring di kasur. Untungnya, pada nada dering pertama, panggilanku tersambung.
"Kenapa? Udah kangen gue lo?" katanya diiringi kekehan pelan.
"Apa pun yang lo omongin ke nyokap bokap gue tadi, nggak lucu, Ru," tukasku langsung, setengah mendesis.
"Emang nggak lucu kok. Gue kan nggak lagi stand up comedy tadi."
Aku mendengkus. Resiko bicara dengan tipe orang seperti Ndaru, harus punya stok sabar ekstra. Lelaki macam dia, yang sudah biasa gombalin cewek sana sini, tebar harapan palsu, tidak akan bisa bicara to the point.
"Jujur, lo ngomong apa aja ke mereka?"
"Ehm, apa ya? Banyak lah, La ... lo juga ada di sana kan tadi?"
Kalau dia ada di depanku, tanpa ragu aku akan mencekik lehernya. "Pas gue bikin kopi. Nggak usah pura-pura bego, deh."
"Oh, itu ... kenapa nggak tanya sama orangtua lo aja?"
"Ndaru!"
"Chill, Kalula ... " katanya masih dengan suara tenang. "Gue cuma ngomong, kalau kita besok mau ke reuni SMA untuk pertama kali, setelah sepuluh tahun. Dan gue bilang, lo agak deg-degan buat ketemu Azka sama Diandra."
"Serius? Cuma itu?"
"Iya. Menurut lo gue ngomong apa lagi?" katanya, "emang, nyokap sama bokap lo ngomong sesuatu ke lo?"
"Ya, nggak. Aneh aja sikap mereka." Aku menghela napas lega. "Tapi, gue nggak percaya sama lo seratus persen."
"Ya, terserah lo!"
"Oke, gue tutup seka---"
"Oh, gue baru inget, gue tadi kelepasan bilang, kalau kita pacaran! Bye!"
"NDARU!"
Bisa-bisanya lelaki itu? Astaga! Kepalaku berdenyut hebat. Lagi-lagi aku harus mengingatkan diri untuk bersabar, karena ini adalah resiko dari keputusan yang kuambil. Harusnya aku sadar, dengan siapa aku berhubungan.
Evandaru-TroubleMaker-Damaresh.
***
Hayo, yang udah mulai gemas sama Ndaru siapa???? Cung!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top