Plan 04
"Nilai ulangan Matematika dapat berapa, La?" Diandra bertanya dengan wajah berseri-seri.
Aku melipat lembar jawaban ulangan minggu lalu, yang baru saja dibagi Bu Sukma dan memasukkannya ke tas. "Enam lima. Lo berapa? Seratus, ya?"
Diandra menggeleng, sudut bibirnya melengkung ke bawah. "Nggak, nilai gue turun. Kayaknya gue harus belajar lagi."
"Berapa?"
"Sembilan enam."
Anjir. Nilai sembilan puluh enam mau belajar lagi. Aku yang dapat enam puluh lima aja, tidak punya niat sedikit pun untuk memperbaiki nilai.
"Azka ... " Aku menoleh memanggil pacarku yang duduk selisih dua meja di belakangku. "Ke kantin, yuk?"
Dia bangkit dari kursi dan menghampiri mejaku. Dia menepuk bahuku beberapa kali. "Remedi nggak?"
"Nggak. Enam lima."
Azka mendengkus. "Pas KKM, ya, La ... "
"Tenang aja, nanti gue sama Lula bakal belajar bareng," tukas Diandra. "Nilai dia semester depan, semoga aja bisa lebih bagus."
"Kalau lo berapa?"
"Gue sembilan enam." Diandra menghela napas. "Resiko gue sih, nggak belajar bener-bener, malah sibuk bikin puisi buat lomba mading."
"Jangan malas belajar ya, La ... setahun lagi kita udah kelas tiga, loh," kata Azka memperingatkan.
Bibirku menipis. Aku emang tidak terlalu berbakat dalam hitung-hitungan. "Ya, iya ... aku bakal belajar lagi."
"Kalau lo, gimana? Dapat seratus, Ka?" Diandra menatap Azka lekat-lekat.
Tentu saja Azka mengangguk. "Gimana? Ada yang mau ditanyain? Lo salah nomor berapa?"
"Gue salah nomor lima. Ini caranya gimana, sih?" Diandra menyodorkan lembar jawabannya pada Azka.
"Oh, ini gampang, sih." Azka menarik kursi kosong yang berada di sebelah mejaku.
Aku mengerutkan kening. Loh, kenapa Azka malah ngajarin Diandra? Aku kan minta ditemenin ke kantin? "Ka, ke kantin dulu, yuk ... kamu nggak laper apa?"
"Mending kamu duduk, ambil lembar jawabmu. Kita belajar bareng," sahutnya tanpa mendongak.
Aku mendecakkan lidah, kecewa. Percuma aku mendengarkan penjelasan Azka, tidak akan paham juga, karena otakku kehilangan fungsinya kalau perut keroncongan. Tanpa pamit, aku pergi ke kantin, sendirian.
***
Seloyang mousse cheese cake dingin terhidang di atas meja, lengkap dengan sebuket bunga anyelir merah muda berada di vas. Aku mengambil sepotong mousse cake yang kubuat tadi pagi, meletakkannya di atas cawan kecil, dan melahapnya. Aku menutup mata, merasakan sensasi dingin yang meleleh di lidah, dengan perpaduan rasa asin dari keju dan manis cokelat, bergulat dengan nikmat di lidah.
"Enak banget. Tapi, masih lebih enak lemon cheese cake tahun kemarin."
Aku lalu mengambil album foto berisi bermacam-macam foto kue yang kubuat setiap tahun, dan sebuket bunga dari florist langganan. Aku mengamati satu per satu, dan mencoba mengingat rasa dari kue-kue tersebut.
"Kalau seleranya mirip gue, dia pasti lebih seneng sponge cake sama pastry. Tapi, kalau ternyata dia sukanya black forest, gima---"
Suara dering ponsel, membuatku berdecak kesal. Seharusnya ponselku dinonaktifkan, daripada mengganggu. Tapi, aku tidak tega, khawatir jika ada salah satu pegawaiku menelepon, karena keadaan genting. Toh, para stafku sudah hafal, 8 Agustus, tanggal sakral bagiku. Aku selalu bolos ke kantor pada hari itu dan mereka tidak berani menghubungiku, kecuali ada urusan penting.
Mbak Jum is calling ....
Asistenku sampai menelepon tanpa kirim chat lebih dulu, jelas ada sesuatu yang mendesak.
"Ada apa, Mbak?" tembakku langsung, tanpa basa-basi.
"Gawat, La ... ini ada klien, yang mau cancel venue. Padahal kita udah deal sama pihak hotelnya."
"Kok bisa?" Suaraku meninggi.
"Jadi, dia nemu venue yang katanya sih, lebih murah, dan udah bayar depe. Bilangnya, dia nggak tahu kalau pihak kita udah ambil venue. Padahal udah dikasih tahu!"
Aku memijit kening. Ini salah satu drama yang cukup sering kutemui, tapi tetap bikin kesal. "Aduh, ini kita udah deal sama venue mana?"
"HIS Lipi, La ... dia kan masuk prioritas partner." Mbak Jum mendesah pelan.
Aku paham dengan kekhawatiran Mbak Jum. HIS Lipi Ballroom ini salah satu partner andalan Kalula's Organizer. Jika menyewa ballroom itu lewat event organizer-ku, bisa dapat harga lebih miring. Dan, semisal ada yang langsung menghubungi pihak HIS Lipi untuk sewa ballroom tersebut, pihak ballroom akan menawarkan full package dengan Kalula's Organizer sebagai EO-nya.
Jadi, aku merasa bersalah jika ada kasus seperti ini. Aku dan tim, harus langsung mencari klien pengganti yang bersedia menggunakan ballroom itu sebagai venue acara.
"Pokoknya lo bilang ke tim yang handle, untuk cari klien pengganti yang mau pakai HIS Lipi. Kalau waktu deket-deket ini kan nggak bisa, pasti udah punya venue semua. Cari di bulan November sampai akhir tahun."
"Oke, gue kasih tahu ke Rosi."
"Gue nggak mau tahu, Rosi harus bisa nego sama HIS Lipi. Kalau pun sana minta harga dinaikin, nggak apa-apa. Buat akhir tahun, harga sewa ballroom emang naik soalnya. Pinter-pinternya nego sama bujuk klien aja."
"Siap, La," jawab Mbak Jum, "sorry ya, gue ganggu lo hari ini. Sorry, banget .... "
"Iya, nggak apa-apa."
"Lo masih di apartemen apa udah ke panti?"
"Masih di apartemen. Nanti sore baru ke sana."
"Oke, deh. Have fun, ya .... "
Walaupun jarak dari Pondok Indah Residence---apartemenku---ke kantor yang berada di daerah Gandaria Utara, dekat, tapi aku tidak akan ke sana. Aku percaya dengan kemampuan pegawaiku. Kalau Rosi tidak bisa, terpaksa aku akan mengoper tugas itu pada Iqbal. Dibandingkan perempuan 25 tahun itu, Iqbal memang lebih senior dan kompeten.
Selain berkreasi membuat kue yang berbeda setiap tahun, jadwalku pada 8 Agustus adalah, berkunjung ke panti asuhan. Aku pernah meminta bantuan padanya untuk mencarikan panti asuhan yang sekiranya, butuh donasi. Biasanya aku ke sana sendirian atau ditemani Olivia dan Zac. Namun, sesekali aku mengajak staf Kalula's Organizer.
Aku senang mereka menghargai rutinitasku tanpa mengerti alasan mengapa aku mengistimewakan hari itu. Untungnya mereka juga sadar diri untuk tidak bertanya macam-macam.
Memang, ada satu ritual yang aku sembunyikan dari semua orang. Ritual yang rutin kujalani selama sembilan tahun. Hanya pada saat itu, aku bisa mengeluarkan semua yang mengganjal di dada. Bercerita tanpa takut dipandang sebelah mata. Membagikan keluh kesah, tangis canda, dan pikiran-pikiran yang terus berkutat di kepala. Membuat beban di pundak seakan pergi diterbangkan angin, kakiku kembali ringan melangkah, dan ketakutan melewati hari esok yang tak pasti, lenyap begitu saja.
***
Entah, sudah berapa lama aku berdiam diri pada posisi yang sama, sampai seorang pelayan menyadarkanku. Dengan senyum ramah, dia menanyakan keadaanku. Pantas saja, wajahku kini dipenuhi air mata yang terus merembes keluar. Aku menggeleng, lalu menghapus jejak-jejak kepedihan yang Azka tinggalkan. Sambil memaksakan senyum--- meskipun aku tahu tak akan ada yang percaya---aku menuju ke meja kasir untuk membayar minuman yang belum aku sentuh sama sekali.
Begitu memasuki kamar indekos, aku langsung membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Dalam kegelapan aku menghadap langit-langit. Otakku memutar kembali adegan demi adegan menyakitkan tadi. Kalimat pedas Azka terngiang-ngiang di telinga, membuat isakan lolos dari tenggorokan. Aku memukuli dadaku, untuk meredakan nyeri dan sesak yang menekan-nekan.
"Aku mau putus sama kamu."
Aku menggigit bibir bawah, menahan tangis yang ingin merangsek keluar. Lima tahun bersama Azka, tidak pernah terbesit sedikit pun mendengar kalimat terkutuk itu, dari sang kekasih. Bagaimana bisa ia tega memutuskan hubungan yang sudah sejauh ini? Apa baginya, semua kenangan yang kita lewati tidak berarti?
"Dari awal, aku udah bilang. Ambil kedinasan, La. Tapi, kamu nggak mau."
"Karena itu bukan cita-citaku!"
"Habis lulus kuliah pun, nggak ada jaminan kamu bisa langsung diterima jadi guru. Apalagi masuk PNS."
Dan, bagaimana ia bisa melontarkan kalimat penuh penghinaan itu padaku? Apa impianku serendah itu di matanya? Apa menurutnya, hanya orang-orang jenius yang berhak punya mimpi?
"See? Jalan kita udah beda. Aku nggak bisa biarin kamu halangin mimpiku. Gimana bisa aku fokus ke karierku, kalau pikiranku kebagi sama cita-citamu yang nggak tahu kapan berhasilnya?"
Apa itu wajah Azka sesungguhnya? Setelah lima tahun bersama, topeng yang ia kenakan terlepas juga? Aku mengusap kasar air mata yang meleleh di pelipis, lalu membuka pesan terakhir dari lelaki itu. Tidak ada yang mencurigakan. Gaya bahasanya, cara dia memanggilku, masih sama. Embusan napas meluncur dari sela kedua bibirku perlahan. Bagaimana aku menghadapi hari esok tanpanya?
Aku meraih bantal dan melemparnya ke sembarang arah. Jeritanku semakin lama semakin kencang. Dalam kegelapan, aku bangkit menuju ke meja belajar dan membanting semua yang ada di atas sana ke lantai. Tak peduli barang apa yang kurusak saat ini. Aku hanya perlu pelampiasan. Aku meraung keras dan melempar buku-buku kuliah ke dinding.
Tuhan ... kenapa hati ini sakit sekali? Sesak dan nyeri terasa di setiap tarikan helaan napas. Azka ... kenapa kamu sekejam itu?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top