Plan 03

Cita-citaku dulu begitu sederhana. Aku ingin menjadi guru, seperti papa. Aku selalu menjadikan papa sebagai panutan. Dia guru favorit murid-muridnya. Aku sering melihat murid-murid papa main ke rumah. Mereka datang saat papa ulang tahun sambil membawa kue dan hadiah, atau waktu liburan sekolah, karena merindukan papa. Menurutku, hal-hal kecil seperti itu, sangat menyentuh hati.

Perginya Azka---lelaki paling pengecut yang pernah kutemui---dari hidupku, benar-benar mengubah segalanya. Bisa dibilang, aku keluar jalur. Aku 'terpaksa' berhenti kuliah waktu itu. Keinginanku untuk menjadi guru, kandas. Walaupun akhirnya aku berhasil menyandang gelar sarjana meski terlambat lima tahun lewat universitas terbuka. It's okay. Toh, kerjaku sekarang tidak butuh gelar.

Kini, tujuan hidupku berubah total, setelah pelajaran yang Tuhan berikan sembilan tahun lalu. Kalau kata Olivia, aku menganut gaya self oriented living style, atau bahasa egoisnya aku hidup untuk diriku sendiri. And, I didn't find anything wrong with that. My focuss right now is to make sure that I am content, happy, and never ever to fall in love with the wrong man again.

"Do you listen to me, La?"

"Eh, apa?" Aku gelagapan dan menoleh ke arah Olivia---yang duduk sebelahku, di ujung kanan sofa---karena kaki kurang ajarnya sekarang ada di perutku.

Perempuan berambut blonde dengan perpaduan shade ungu itu, memutar matanya, dan mendengkus. "Oh, bitch ... "

"Nggak usah lebay, deh. Apaan? Lo mau ke mana lagi habis Barcelona?" Aku menepuk kakinya agar menyingkir dari tubuhku.

"Siapa juga yang ngobrolin itu. Gue bilang, kayaknya gue sama Zac, mau nikah tahun depan," gerutunya tanpa menatapku, karena dia sibuk mewarnai kuku.

"Really?!" Aku memekik, dengan mata membelalak lebar. "Oh God, congratulations!"

"Iya, gue mau pakai Kalula's Organizer. Jangan sampai full booked pokoknya, lho," pinta Olivia.

"Ya, lo harus pesen jauh-jauh hari, dong. Jangan dadakan." Aku menoyor kepalanya membuat ia mendesis kesal. "Perusahaan gue EO terkenal, nggak abal-abal."

"Sumpah, songong banget, lo!" Dia berdecak kesal. "Eh, but are you really okay?"

"Memangnya gue nggak oke, kenapa?"

"Kan ada tuh, yang sedih karena sahabatnya nikah. Lo nggak mellow, gitu?"

Aku tergelak. Random banget sih, pikiran ini bocah. "Ya, nggak, lah! Gue seneng. Malahan, gue sempat panik waktu lo mau stay living together with him, tanpa nikah. Seenggaknya kalau nikah kan, Zac terikat sama lo. Jelas, ada status gitu."

"Kalula, sweetheart ... pernikahan itu nggak bikin orang berengsek jadi setia. Kalau berengsek, mau diikat gimana pun, bakal tetap berengsek, jelalatan. Gue nggak mau nikah kemarin-kemarin itu, karena males aja ngurusin tetek bengeknya," tukasnya menyeringai. "Eh, terus ingat, gue punya lo. Apa gunanya EO lo sukses kayak sekarang, kalau gue nggak pernah di-endorse. Gitu, kan?"

"Anjir! Lo maunya gratisan?" dumalku tak percaya. "Sumpah, malu sama jumlah saldo di rekening lo! Ini ya, di Indonesia doang kali, orang kaya tapi tingkahnya kayak orang miskin. Minta-minta .... "

"Sialan lo!" Olivia tergelak. "Bercanda, kali! Tapi, pokoknya gue terima beresnya aja."

"Gampang, lah ... ada uang, ada barang." Aku mengedipkan sebelah mata.

"Lo nggak bosen apa, nyiapin nikahan banyak orang, tapi lo calon aja nggak punya?" Dia memandangku dengan tampang polosnya, sambil meniup-niup kukunya yang basah, karena kutek.

Aku melemparkan sebungkus keripik kentang yang masih utuh ke arahnya, membuat perempuan itu reflek menutup wajah dengan tangan.

"Jahat lo, La!" Olivia mendumal, karena kuteknya yang belum kering jadi berantakan. "Gue kan cuma tanya! Sensi amat lo!"

"I think, I don't need a man in my life." Aku mengedikkan bahu, turun dari sofa berjalan ke pantri untuk ambil air mineral di lemari es. "Emang, gunanya cowok itu buat apa, sih? Is my life miserable? Is there something I can't buy? Obviously, I can afford anything I need and I want. I didn't find any reason, why I need a man in my life. I am more than enough for myself."

Olivia bersandar di sofa, dengan kaki berselonjor di atas meja, sambil menatapku dalam. "Nothing wrong about that. Gue menghargai value yang lo anut."

"Gue kira, lo bakal comblangin gue sama siapa gitu. Nggak bakal berhasil."

"Gue nggak akan jadi mak comblang buat lo, kalau bukan lo yang minta sendiri," tegasnya.

"Good then." Ini yang kusuka dari Olivia. Selama aku sendiri sembilan tahun, dia tidak pernah memaksaku berkenalan dengan siapa pun atau memaksaku mengikuti acara kencan buta.

"Tapi, ada satu hal yang perlu lo inget, La. Lo itu cuma manusia. Dan, manusia itu nggak pernah terhindar dari perasaan kesepian, or longing for someone. And when that phase coming to you, don't even deny it. It won't work. Semakin lo deny, lo yang bakal menderita," terang Olivia. "Gue yakin, semua perasaan yang diciptakan Tuhan buat manusia, marah, kangen, kecewa, bete, kesepian, itu manusiawi. Jadi, kalau tiba-tiba lo kangen punya pasangan, berharap ada seseorang yang bisa mengerti lo, jangan malu, jangan mikir, lo seharusnya nggak boleh ngerasain ini. You have to embrace that feeling, don't deny it, and solve the problem."

Aku setuju dengan apa yang Olivia sampaikan barusan. Aku sadar betul, aku cuma manusia. Apa aku pernah mengharap punya seseorang yang akan jadi sandaranku selama sembilan tahun terakhir? Ehm, mungkin pernah. Kalau pun aku sempat mendambakan hal itu, otakku pasti akan berjalan sesuai logika, mengirim sinyal ke alam bawah sadar, agar aku tidak percaya dengan laki-laki mana pun. Untuk saat ini, aku tidak yakin, hatiku masih bisa berfungsi untuk mencintai orang lain, setelah remuk tanpa sisa, karena Azka dan Diandra.

"Thanks for the advice, Liv."

"Sure." Dia mengangguk, bangkit dari sofa mengambil kunci mobilnya. "Dua hari lagi tanggal 8 Agustus, udah belanja?"

Aku menggeleng. "Belum. Anterin gue ke supermarket sebelum drop gue di kantor, ya .... "

***

Langkahku terhenti di pintu masuk karena sosok lelaki yang duduk santai di ruang tunggu sambil menyesap secangkir teh. Aku menghela napas, jengah, karena kehadirannya siang ini. Heran deh, selama sebelas tahun aku tinggal di Jakarta, tidak pernah sekali pun berpapasan dengan Ndaru. Tapi, kenapa akhir-akhir ini, cowok itu selalu muncul di depan mukaku?

"Lo pengangguran atau gimana, sih? Pagi-pagi udah di sini."

"Good morning too, Kalula." Dia tersenyum lebar dari balik cangkir beningnya.

Sejujurnya, penampilan Ndaru pagi ini, oke juga. Kenapa dia sekarang jadi cakep, sih? Ia mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku. Aku baru sadar, penampilan Ndaru selalu terlihat formal, tidak nyeleneh seperti saat di SMA dulu. Aku bisa melihat dada bidangnya dari balik kemeja slim fit yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Otot di lengannya yang menonjol menunjukkan Ndaru rajin berolahraga. Rambutnya yang sedikit panjang dan bergelombang disisir rapi ke belakang kuping. Oh, dia ternyata pakai tindik di telinga, yang menambah kesan hot. Di pertemuan ketiga dengan Ndaru, aku baru menyadari detail-detail itu.

"Oh, hello ... " kata Olivia sedikit terbata, dia lalu duduk di sofa kosong sebelah Ndaru. "Gue Olivia, temen Lula satu-satunya. Dan, lo?"

Lelaki itu langsung menerima juluran tangan Olivia. Namanya juga Ndaru, tidak akan bisa menolak kehadiran perempuan cantik. If only I can fall in love with her, I would. Olivia adalah perempuan tercantik yang pernah kutemui. Perawakannya memang kecil, tapi seksi. Apalagi tindik di hidung dan lidahnya, membuat dia benar-benar terlihat badass. Bibir merah mudanya yang penuh, mata jernih abu-abu, wajah tirus dengan tulang pipi tegas, dan hidung mungil mancungnya, makes her face like a painting, God's painting. Literally, she is goddess.

"Gue Ndaru, temen akrabnya Lula di SMA." Bohong!

Mata Olivia membelalak. "Oh, jadi lo kenal sama mantannya yang berengsek itu?"

"Jangan ngarang! Nggak ada sejarahnya kita akrab!" sangkalku tak terima, meletakkan belanjaan di atas meja, dan duduk di sebelah Olivia.

Ndaru terbahak. "Iya, gue kenal. Wah, lo pasti deket sama Lula, sampai tahu Azka?"

"Well, I am her savior." Olivia menepuk dadanya, menyombongkan diri.

Aku mendecakkan lidah, melihat gaya sok perempuan itu. Ya memang, yang dikatakan Olivia barusan tidak salah. Tapi kadang, kadar percaya dirinya yang terlalu tinggi, membuatku geleng-geleng.

"La, gimana? Lo jadi terima tawaran gue nggak? Kenapa waktu itu main kabur aja?" Ndaru mengalihkan pandangannya padaku.

Aku menghela napas. "Kayaknya gue nggak jadi ikutan, deh. Hidup gue udah tentram di sini, tanpa mereka."

Sebetulnya, sepulang dari restauran cepat saji malam itu, aku merenungkan banyak hal. Masih okelah, jika saat bertatap muka dengan Azka dan Diandra di reuni, aku menghajar mereka. Meski akan terkena masalah, setidaknya aku terlihat keren.

Namun, bagaimana jika air mataku tumpah? Itu akan sangat memalukan. Luka karena Azka tidak memilihku, tidak memilih hubungan kami waktu itu, masih menganga sampai sekarang. And the fact now, Azka living happily with my best friend, makes me feel bitter. I'll be too emotional when I get the chance to see them.

"Ini bakal jadi pengalaman balas dendam sekali seumur hidup lho, La. Tahun depan, belum tentu lo masih hidup," tukas Ndaru, masih terus membujukku.

"Hiss!" Aku mendesis jengkel. Bisa-bisanya dia mendoakanku berumur pendek.

"Wait, balas dendam?" sela Olivia, "lo ngajakin Lula balas dendam ke siapa?"

"Gue ngajakin dia dateng ke reuni SMA. Kalau bisa sekalian bales dendam ke Azka atau Diandra, oke, kan?"

"In my opinion, it's good idea!" Olivia memekik kencang seraya menatap arahku, membuat kupingku sedikit berdengung. "Berangkat aja udah, dia belum pernah lihat lo yang sekarang kan, La? The glamourous Kalula. Pasti dia nyesel banget sih, udah mutusin lo dulu."

Is it good chance? Can I take revenge on them? Tawaran Ndaru benar-benar menggiurkan. Aku takut lost control di depan mereka. Tapi di sisi lain, aku ingin menunjukkan ke Azka, bualannya waktu itu tidak terbukti. Nyatanya, aku bisa sesukses ini, meski harus terseok-seok di awal. Okelah, waktu itu dia memilih Diandra, yang sama-sama lulusan STAN, dan sekarang jadi ... well I don't know exactly what her job is, but maybe she has position in goverment office.

Pekerjaan mereka keren sebenernya. Mungkin, kalau otakku seencer dua orang itu, aku pasti punya cita-cita sama. Masuk kedinasan agar tak bingung mencari kerja. But, I know my limits and that time, I know what my dream is. A teacher. Rasanya masih sakit, jika mengingat bagaimana Azka meremehkan impianku. Apa dia pikir, dunia ini hanya bisa ditaklukkan oleh orang-orang jenius? Orang-orang yang jago Matematika?

"Oke, gue ikut. Tapi janji, lo jangan aneh-aneh," tukasku yakin.

Kedua alis tebal Ndaru bertautan. "Gue nggak aneh-aneh, ya!" cebiknya tak terima dengan tuduhanku.

"Kemarin lo bilang, gue harus pura-pura jadi pacar lo. Ya, ogah, lah!" semprotku.

"Kalau kita nggak pura-pura jadi pasangan, balas dendamnya kurang nampol! Lo tahu sendiri, gimana bencinya Azka ke gue. Dia pasti tambah benci, lihat gue jadi pacar lo," jelasnya.

"Kita ke reuni bareng, sama gue pura-pura jadi pacar lo itu, beda perkara! Ini pasti modus lo, kan?" Aku memicingkan mata, memberi tatapan penuh kecurigaan.

"Lo pikir, otak cowok diciptain buat apa? Ya, buat mikirin strategi modusin cewek-cewek, lah!" pungkasnya sambil menyeringai.

Ilmu jahiliyah dari mana itu? Astaga, penampilan doang yang ganteng, tapi otak tetap kapasitas purba!

"By the way, tadi nama lo siapa?" Olivia menatap Ndaru lekat-lekat.

"Ndaru."

"Full name, please?"

Lelaki itu mengernyitkan kening. Meski terlihat bingung, dia tetap memberitahu nama lengkapnya. "Evandaru Damaresh."

"Holy shit! You are the architect Zac talking about!" seru Olivia. "Lo kerja di firma Born to Build Canada, kan?"

"Yap. Kok lo tahu?"

"Calon suami gue salah satu yang megang proyek Saphire Smart Modern House."

"Zac Wibisono?"

Olivia dengan senyum tergambar di wajahnya, mengangguk penuh antusias. "Lo tahu sendiri kan, La ... gimana kayanya keluarga Zac. Dia lagi mau bangun perumahan pakai konsep smart modern house. Itu perumahan mewah limited edition yang isinya cuma 30 smart modern house, dengan design beda-beda. Ada lapangan golf-nya, taman, masjid, pokoknya fasilitas lengkap. Zac cerita mereka sewa jasa arsitektur dari firma terkenal di Kanada. Dia kaget banget, karena salah satu leader arsiteknya dari Indonesia."

Aku mengalihkan pandanganku pada Ndaru, yang duduk menyilangkan kaki. Oh my... cowok celelekan ini, sekarang jadi arsitek hebat. Siapa sangka?

"Jadi, lo selama ini di Kanada?"

"Kuliah di Inggris terus cari kerja di sana sekalian. And then, moved to Canada karena dapat tawaran."

Pantas saja, selama aku tinggal di Jakarta tidak pernah melihat batang hidungnya. Eh, sekalinya pulang kampung, kerjaan dia ngerecokin hidup orang.

"Kapan lo balik ke Kanada?" tanyaku, berharap banyak setelah acara reuni, dia kembali ke sana.

"Gue nggak balik lagi. Ini proyek terakhir gue sama BTB. Kontrak gue habis, dan gue nggak berniat melanjutkan di sana."

"Oh? Gabung sama firma arsitektur di sini?" Olivia menyahuti.

"Well, yeah. Bokap gue butuh arsitek muda berbakat katanya di firma dia." Sudut bibirnya melengkung ke atas, membentuk seringaian

Tunggu, kenapa aku tidak pernah tahu jika dia lahir dari keluarga terpandang dan baik-baik saja? Seingatku, Azka selalu cerita alasan Ndaru begitu nakal, karena pengaruh keluarganya.

"Bokap lo arsitek?" tanyaku penasaran.

"Kakek gue juga."

"Apa nama firma arsitektur keluarga lo?" Kenapa aku jadi mirip detektif, sih?

"Santoso's Architects."

Santoso's Architects? The one and only firma Santoso's Architects yang kutahu adalah, yang kemarin sempat viral karena berhasil menciptakan stadion sepak bola megah terbesar se-Asia.

"Maksud lo, Santoso yang---"

"Emang ada firma arsitek Santoso lain? Nggak, kan?" potong Ndaru terkekeh.

"Tapi, kenapa nama lo Damaresh?" Aku menatapnya curiga.

"Firma arsitek ini dibangun sama keluarga dari nyokap. Nama belakang nyokap, ya ada Santosonya. Tapi kan, nama belakang bokap nggak ada," terang Ndaru. "Bokap gue awalnya kerja di sana, karena jadi pegawai teladan, bokap gue dicomblangin kakek gue, yang waktu itu masih jadi CEO di sana, sama nyokap gue."

Wow! Literally speechless. Bagaimana bisa Ndaru menyembunyikan background keluarganya serapat ini? Aku yakin, teman-teman SMA yang lain juga tidak ada yang tahu. Mad respect for him. Semasa sekolah, dia sama sekali tidak pernah memamerkan kehidupan mewahnya. Berangkat sekolah pakai angkutan umum, seperti aku dan Azka, atau mengendari motor.

Olivia bertepuk tangan heboh. "Amazing! Udah, cocok emang kalau kalian berdua ke reuni bareng. Bilang ke Azka, lo udah dapat ganti yang lebih dari dia."

Ndaru mengedipkan sebelah matanya pada Olivia. "Tuh, sahabat lo aja, dukung gue sama lo jadian."

"Gue terima tawaran lo ke reuni bareng, bukan berarti lo punya kesempatan buat jadi pacar gue, ya!" Aku mencebik, lalu berdiri untuk menarik tangan Ndaru. "Udah, sana lo pergi dari kantor gue. Lo itu arsitek, jangan cosplay jadi pengangguran!"

Ndaru mengangkat tangannya, memberi kode padaku agar aku tak buru-buru dan menghabiskan tehnya yang sudah tidak hangat. "Sabar, sih ... tamu itu adalah raja. Nggak ada raja diusir begini."

"Lo itu jelangkung, datang nggak diundang dan baru pulang kalau ditendang!"

***

Oke, setelah baca 3 part awal Exvenger, lanjut atau cabut?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top