Plan 02

Hari-hari setelah ujian akhir semester adalah waktu paling membahagiakan bagi kebanyakan siswa sekolah, termasuk aku. Jam kosong, tapi uang saku tetap penuh. Banyak lomba-lomba antar kelas yang jadi tontonan. Pagi ini, aku dan teman-teman satu kelas, berkumpul di lapangan basket, untuk mendukung kelasku melawan XI IPA 3.

Sedikit deg-degan, karena mereka punya Ndaru, kapten tim basket sekolah. Cowok itu berlari keliling lapangan, tersenyum lebar, sambil melempar cium jauh. Dia melambaikan tangan, bak selebriti di hadapan media.

"Ndaru cakep banget kalau pakai jersey basket," celetuk Hasna, salah satu temanku yang duduk di sisi kiri. Matanya tidak lepas dari lakon pertandingan kali ini.

"Nggak, ah. Biasa aja," jawabku, mencermati dia sesekali dan tidak menemukan sesuatu yang menarik pada lelaki itu. "Rambutnya aneh banget, kayak buntut curut gitu."

Diandra terbahak. "Eh, iya bener. Kok bisa ya, ada rambut segaris di jidat dia?"

"Ya, kan .... " Kami menoleh, saling bertatapan, kemudian tertawa puas. Pantas saja, aku dan Diandra awet berteman dari kelas 8 SMP. Rupanya, pikiran kami terlalu sehati.

Aku langsung bersorak saat melihat Azka---pacarku--- men-drible bola ke ring lawan. Yah, tapi sayang, belum sempat melempar bolanya, Ndaru merebutnya lebih dulu. Pesimis banget asli, agak mustahil untuk mengalahkan mereka. Benar saja, peluit panjang tanda pertandingan selesai pun ditiup, dengan skor XI IPA 1 tertinggal 80-97, dari XI IPA 3.

"Minum dulu, Ka .... " Aku menyodorkan sebotol air mineral pada Azka yang langsung menghampiriku, Diandra, dan Hasna yang duduk di tepi lapangan.

"Thanks .... " katanya lalu langsung meneguk air putih itu sampai habis. "Kelas sebelah cuma ngandelin Ndaru. Yang lain kayak dayang-dayang doang."

"Ya, gimana lagi ... Ndaru kan kapten tim basket sekolah kita," balasku.

"Kalau dilihat dari strategi sama team work, kelas kita lebih unggul," imbuhnya sambil menyeka keringat di kening dengan lengan tangan.

"Kantin, yuk?" Diandra berdiri sambil menepuk-nepuk rok bagian belakangnya lalu melirikku. "Pacar lo nggak laper apa?"

"Mau ke kantin, Ka?"

Azka mengangguk. "Ayo, aku pengin es jeruk, nih."

Baru saja berjalan selangkah, Ndaru sudah berbuat ulah. Dengan gaya tengilnya, dia berdiri di depan kami, menghalangi jalan sambil bersedekap.

"Loyo banget, lo ... baru basket ini, belum yang lain," ledeknya cengengesan.

"Berisik lo!" Azka berdecih dan langsung melenggang pergi.

Aku melirik Ndaru sekali lagi, yang masih cengengesan tidak jelas dan mengikuti Azka. Dari tempatku, samar-samar aku mendengar suara Ndaru mengobrol dengan perempuan. Penasaran, aku pun menoleh.

"Aa, ini hadiah buat Aa," seorang adik kelas menyodorkan kotak makan pada Ndaru, yang tentu saja diterima lelaki itu.

"Makasih ya, geulis .... "

Dengkusan langsung lolos dari hidungku. Dasar buaya. Ganteng nggak, banyak gaya. Tidak salah, sih, kalau dia dapat julukan playboy cap ikan teri.

***

August, please be mine ... alias kasih aku klien banyak, agar pundi-pundi rupiahku semakin bertambah, dan bisa menyaingi kekayaan Hotman Paris. Di antara tema pernikahan yang masih trend sekarang, aku paling suka tropical wedding. Segar banget gitu, hijau-hijau, pas pokoknya kalau dipakai musim panas begini. Aku menghampiri Iqbal---team leader acara pernikahan salah satu anak pengusaha terkaya se-Indonesia ini---yang masih memberi instruksi pada tim dekor pembuat taman.

"Bal, menurut gue, tanaman di depan waterfall-nya kurang banyak, deh ... " saranku.

"Tambah tanaman apa lagi? Pakai vas apa yang merambat?" Lelaki yang punya rambut agak ikal, berkacamata walaupun sebenarnya matanya normal, berhidung mancung, dan berlesung pipit itu, menyahut dengan suara barritone.

Aku menatap waterfall yang baru 70% selesai. Rencananya, air mancur ini akan jadi salah satu spot foto andalan di pesta.

Nesha dan Julian, memilih garden tropical party untuk pesta pernikahan mereka. Salah satu tantangan kami, ya air terjun buatan itu. But, it's okay ... mereka punya budget membuat aku berani menyanggupi. For your information, ini adalah pesta kedua mereka, karena terlalu banyak tamu.

Total ada tiga pesta yang diadakan Nesha dan Julian. Pesta pertama di hotel setelah akad nikah, pesta keduanya tropical wedding party ini yang dipercayakan pada Kalula's Organizer ini, dan pesta ketiga nanti akan digelar di Sumba. Eh tapi, sepertinya aku dengar-dengar, mereka juga mau mengadakan private party di Maldives, sekalian honeymoon.

"Jangan merambat, deh. Tanaman gantung kali, ya? Buat nutupin dinding buatan di kanan kiri?" Aku menunjuk dinding buatan yang tidak terkena aliran air di kiri kanan. Warna dan teksturnya dibuat persis seperti batu alam. "Apple leaf gimana? Cocok nggak?"

"Cocok, sih. Di bawahnya kan emang nanti ada bunga lisianthus pakai vas. Jadi, tanaman gantungnya nggak perlu yang berbunga." Iqbal menyahuti sambil manggut-manggut.

"Oke, gue mau lihat set table dulu." Aku menepuk bahu lelaki yang tiga tahun lebih muda dariku.

"Eh, La ... balik aja sana. Lo belum makan, kan? Jangan sampai magh lo kambuh." Dia memang anak buah paling 'kurang ajar'. Sudah tahu berondong, tapi tidak pernah pakai embel-embel teteh, kakak, atau mbak, saat memanggilku aku. Untung badannya tinggi, gede, jadi cocoklah, jadi abang aku.

"Situ ngingetin gue makan, lonya sendiri udah makan malam belum?"

Dari balik kacamata bulatnya, aku bisa melihat mata Iqbal menyipit, sambil memamerkan lesung pipitnya dia mengangguk. "Udah, ditraktir sama klien tadi."

Aku mengangguk-angguk lalu memutar tumit untuk menghampiri Kenzo yang sedang mengatur table set. "Besok bisa beres, kan?"

"Bisa, Mbak." Lelaki bermata sipit dengan tubuh kurus kering menjulang tinggi itu, mengangguk. "Semua udah beres, tinggal tunggu bunga segar aja, arrange-nya besok, biar nggak layu."

"Oke, deh. Kalau ada apa-apa, kasih tahu Iqbal aja."

"Lo besok pas party-nya dateng, kan?"

"Gue usahain."

"Klien minta owner-nya dateng, loh. Konglomerat ini." Kenzo terkekeh.

"Gue usahain lah, pasti ... siapa tahu dapat jodoh ya, kan?" sahutku tertawa kecil. "Gue balik kantor dulu, Ken. Kasihan Hani sama Daniar sendirian di kantor."

Karena terlalu banyaknya acara di waktu berdekatan, Roy sampai turun ke lapangan, ikut tim Amalina, ke acara engagement party di Tangerang. Kalula's Organizer, sebenernya punya dua tim inti. Tim Iqbal dan Tim Rosi. Namun, pelaksanaannya fleksibel. Jika butuh banyak tim, karena ada banyak event, ya dibagi-bagi, dibentuk tim yang lebih kecil. Biasanya itu tugas Iqbal. Kadang, aku juga ikut membantu.

Aku memasuki mobil dan menginjak pedal gas melaju lambat karena padatnya jalanan Jakarta. Padahal, di kepala mengkhayal ingin meniru gaya Letty di Fast and Furious. Apa daya, gaya tidak didukung realita. Mataku akhirnya jelalatan, mencari rumah makan atau warung pinggir jalan. Apa pun itu. Laper banget ... kalau dipaksakan makan di kantor, aku bisa tepar. Perjalanan dari Raffles Hills Cibubur ke kantor yang berada di Gandaria Utara, pada jam pulang kantor seperti ini, pasti memakan waktu berjam-jam.

Untungnya, ada restauran cepat saji kesukaanku. Aku langsung menepikan mobil ke pelataran parkir. Setelah pesan, aku berjalan ke meja sambil membawa penampan. Aku menelan ludah, menatap ayam krispi dengan lumuran saus super pedas itu. Ngiler banget, astaga ....

"Alhamdulillah, segar banget, ya Allah." Aku mendesah merasakan kelegaan dan kenikmatan luar biasa saat minuman berwarna merah muda itu membasahi kerongkonganku.

"Kayaknya butuh galon lo, ya?"

Mataku yang awalnya memejam, langsung terbuka. Aku mendongak, mendapati Ndaru menarik kursi depanku sambil membawa penampan berisi makan malamnya.

"Ngapain lo di sini?" Aduh, aku malas banget, harus berduaan dengannya. Pasti obrolannya mengulik soal masa lalu.

"Mata lo masih berfungsi, kan? Pasti tahu gue mau apa." Ndaru mendengkus, tidak menghiraukan ekspresi kesal di wajahku.

"Maksud gue, kenapa di meja gue? Meja lain banyak yang masih kosong." Aku menunjuk meja-meja tak berpenghuni dengan jariku.

"Nggak boleh? Kita kan udah nggak musuhan." Lelaki itu malah menyengir.

"Kata siapa lo? Kemarin gue baik sama lo, soalnya adik lo klien gue."

"Lah, lo kan putus sama Azka. Ya, harusnya lo udah nggak musuhin gue lagi, dong."

"Bisa kan, nggak usah bawa-bawa nama Azka. Bikin gue badmood tahu," kataku setelah menjejalkan paha ayam penuh saus ke mulut.

Ndaru terkekeh kecil sambil menjilati tangannya. "Gue bilang juga apa, cowok culun kayak dia, aslinya tuh bejat."

"Nggak usah bahas dia, bisa nggak, sih?"

"Lo belum bisa move on?" Kedua alis tebalnya berkumpul di tengah. Matanya mengernyit.

"Gila lo! Gue udah move on, lah!"

Amit-amit aku gagal move on dari lelaki berengsek itu setelah yang dia lakukan padaku. Bukannya masih mengharap Azka kembali, tapi jika mengingat dia, mau tidak mau, memori kelam itu berputar di kepala lagi.

Azka ini, memang bukan pacar pertamaku, tapi dia cinta pertamaku. Dulu aku sempat berpikir, Azka adalah segalanya. Apalagi hubungan kami bertahan dari kelas 11 SMA sampai semester 5 di bangku kuliah. Pokoknya dia benar-benar sosok boyfriend ideal di mataku. Siswa berprestasi di SMA, sabar, tidak pernah marah, dan well planned banget.

Tapi tanpa kuduga, Azka malah memutuskan hubungan kami dengan alasan konyol. Enam bulan kemudian, aku dapat kabar dia menikahi Diandra, sahabatku dari SMP, teman sebangkuku di SMA. Sure, life was bitch for me.

"Kalau lo udah move on, kenapa takut dateng ke reuni? Malu nggak ada pasangan? Gue siap jadi pacar sewaan sehari buat lo." Ndaru bersandar di kursi, mengelap tangannya dengan tisu basah. Makan malamnya sudah habis, tanpa sisa.

Aku berdecih. "Idih, ogah. Cari pacar sewaan kok kayak lo."

"Emang lo nggak pengin balas dendam sama mereka? Dua orang yang paling deket sama lo, ternyata tokoh antagonis di hidup lo," tutur Ndaru.

Balas dendam? Ndaru ajak aku ke reuni, untuk balas dendam? Dia mau balas dendam ke siapa? Nganggur banget hidup dia, ngurusin masalah orang.

"Udah basi, hampir sepuluh tahun yang lalu juga," tukasku, meskipun cukup tertarik untuk mendengar ide gila Ndaru lebih lanjut.

"Lo kapan terakhir ketemu mereka?"

"Ya, pas putus. Itu pun cuma sama Azka. Kalau Diandra, udah lama banget."

"Berarti mereka nggak tahu, gimana se-fabulous lo sekarang, kan? Lo ganti akun sosmed, digembok pula. Kalau kata obrolan di grup Whatsapp, nggak ada temen SMA yang follow lo, kecuali Hasna. Kita-kita cuma bisa kepoin lo lewat Instagram Kalula's Organizer. Mana tahu mereka, kalau sekarang lo udah setajir ini."

"What's your point?" Aku menunjuknya pakai tulang paha ayam.

"Alasan lo diputusin Azka, karena waktu itu, menurut dia lo nggak punya masa depan secerah Diandra." Satu alis Ndaru terangkat, bibirnya menukik membentuk seringaian. "So, ini waktunya lo buktiin, kalau omongan dia salah."

How can he knows that?

"Gimana bisa lo ta---"

"Everyone knows about that, La. Join grup Whatsapp angkatan, dong. Biar tahu, lo digosipin apa aja." Ndaru mencebik.

Aku menutup mata, kala serangan ingatan masa lalu kembali menghujam kepala, membuat darahku mendidih. Bahkan, aku ingat persis kata-kata yang terlontar dari mulut si berengsek itu.

"Aku mau putus sama kamu."

"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa." Bohong. Tentu saja, aku nggak sebodoh itu.

"Aku udah lulus, La. Bulan depan, aku mulai kerja di Kantor Beacukai Bandung."

"Iya, aku tahu. Aku satu tahun lagi juga wisuda kok," tukasku.

"Kalau nggak ada hambatan," tambahnya.

"Emang kamu nggak mau nunggu aku? Nggak masalah kan, kalau kita nikah habis aku wisuda? Kenapa buru-buru banget, sih?" Aku menggeser segelas vanilla latte dari hadapanku dan melipat tangan di atas meja.

"Dari awal, aku udah bilang. Ambil kedinasan, La. Tapi, kamu nggak mau."

"Karena itu bukan cita-citaku!"

"Habis lulus kuliah pun, nggak ada jaminan kamu bisa langsung diterima jadi guru. Apalagi masuk PNS."

"Terus? Nggak ada yang instant di dunia ini, Ka! Aku juga nggak masalah jadi guru honorer dulu."

"See? Jalan kita udah beda. Aku nggak bisa biarin kamu halangin mimpiku. Gimana bisa aku fokus ke karierku, kalau pikiranku kebagi sama cita-citamu yang nggak tahu kapan berhasilnya?"

Detik itu juga, saat kalimat menyakitkan meluncur keluar dari mulutnya tanpa sopan santun, dadaku seperti dihantam palu. Sesak dan nyeri.

"Dan kamu bukan lagi cita-citaku." Azka bangkit dari kursi, meninggalkanku dan minumannya yang masih utuh.

Aku langsung meneguk minuman di depanku sampai habis. Mencengkeram erat-erat gelas plastik itu, membuatnya penyok. Mengingat kejadian sembilan tahun silam, selalu berhasil membuat tubuhku panas dingin. Kalau bisa kembali ke waktu ketika aku duduk berhadapan dengannya, saat dia melontarkan kalimat penghinaan itu, aku akan menamparnya tanpa pikir dua kali.

Kata Ndaru, semua orang tahu alasan si berengsek memutuskanku. Bagaimana caranya? Apa Azka cerita ke orang-orang? Tapi, sepertinya dia tidak seember itu. Apa itu ulah Diandra? Merasa bangga mungkin, bisa merebut pacar sahabatnya sendiri.

"Kok malah ngelamun, sih?" Ndaru menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Gimana? Lo setuju nggak?"

"Kok lo ngebet banget mau bantuin gue balas dendam?" Aku memicingkan mata, memberi dia tatapan tajam.

"Ya, anggap aja, win-win solutions. Lo bales dendam ke Diandra karena udah ambil pacar lo, gue balas dendam ke Azka, karena udah ambil cewek yang gue suka."

"Lo suka Diandra?" Aku memicingkan mata.

Ndaru mengedikkan bahunya. "Siapa yang nggak suka dia?"

Aku mendengkus, lalu menyandarkan badan ke sandaran kursi. Benar, siapa yang tidak suka Diandra, perempuan sesempurna itu? Cantik, pintar, ramah, lemah lembut, terus suka banget kumpul sana sini, nggak pilih-pilih teman. Ndaru, sebagai playboy kelas kakap pada zamannya, pasti juga naksir dia.

"Gue harus ngapain kalau ikut rencana gila balas dendam lo? Keuntungannya apa buat gue?"

"Tugas lo, dandan secantik mungkin, pakai baju yang lo suka, terus dateng bareng gue. Lo tinggal lambai-lambai ke Azka, dia pasti udah kejang-kejang," jelas Ndaru menyeringai. "Kalau lo mau pidato buat Azka sama Diandra, ya bagus lagi."

Apa segampang itu balas dendam ke mereka? Aku masih tidak yakin, bisa menahan emosi saat menatap wajah dua orang itu nanti. Akan sangat tidak lucu, jika tiba-tiba aku salto di depan Azka dan mendaratkan tendangan maut di wajahnya. Bukannya sukses, bisa-bisa aku mendekam di penjara. Rasa benciku pada Azka benar-benar sudah melampui rasa cintaku pada uang, yang artinya itu tinggi banget.

"Gue takut kalau ketemu Azka, keinginan gue bunuh dia, bertambah dua kali lipat, Ru."

"Well, let me kill him for you. Don't worry."

***

Wait, gimana nih? Udah mulai kecium modusnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top