Plan 01


Reunion Invitation

05 Bandung Senior High School
Class of 2005

See old friends and raise a glass to our class!

28th August 2021
16.00 - selesai.

at Peta Park, Bandung.


"Azka! Azka!" teriakku sambil berlari di bawah guyuran hujan, mengejar lelaki yang pergi bersama mobil hitam itu.

Telapak kaki telanjangku, mulai perih, karena bebatuan tajam. Aku terus berlari mengabaikan panggilan mama yang mengejarku.

Entah kenapa, tiba-tiba kakiku melemah, membuat aku bersimpuh di jalanan aspal yang keras dan dingin.

"Azka ... jangan tinggalin aku. Gimana bisa, aku hidup kalau kamu pergi, Ka?" jeritku memukuli dada sambil terus terisak.

Sebuah tangan menepuk bahuku lembut. Di bawah derasnya hujan, mama tersenyum sendu padaku. "Pulang, Lula ... pulang. Ada yang lebih sayang sama Teteh daripada Azka."

"L-Lula maunya Azka, Ma ... kenapa Azka p-pergi? Kenapa Azka nggak pilih Lula, Ma?" Aku meraung, bersamaan dengan suara guntur yang menggelegar.

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Bulir-bulir keringat mengucur dari pelipis. Brengsek! Tanganku langsung terulur ke nakas, mengambil segelas air putih untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku lalu terdiam sambil bersandar di head board.

Azka, sialan!

Hampir sepuluh tahun lamanya, tapi kebejatan lelaki itu masih terpatri sempurna di otak. Kenapa aku terus menangisi kepergiannya di dalam mimpi? Cih! Sekarang, kalau dibayar semilyar pun, aku tidak akan rela kembali padanya. Amit-amit.

Aku melirik ke arah undangan yang tergeletak di sebelah gelas. Pasti karena benda sialan ini, ingatanku jadi kembali ke masa lalu. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung menyobek undangan reuni SMA itu.

"Sok, sokan banget lo, La ... mau dateng ke reuni. Yakin, lo nggak akan nyakar Azka kalau ketemu dia?"

Aku terkekeh pelan, merasa kasihan dengan diri sendiri, yang belum bisa sepenuhnya terlepas dari masa lalu. Sudah jelas aku dan reuni SMA adalah dua hal yang tak bisa disatukan, sama sekali. Seperti tahun-tahun kemarin, aku memilih jadi pengecut daripada lepas kendali di depan mereka berdua.

Ya, mereka berdua. Dua orang yang tidak pernah sekali pun aku bayangkan akan menyakitiku.

***

Pertengahan tahun seperti ini---antara bulan Juni sampai September---Kalula's Organizer harus kerja rodi. Banyak klien datang untuk menyewa jasa kami. Pesta pernikahan lah, tunangan lah, ulang tahun anak, atau pesta-pesta ala sosialita, tumpah di bulan itu. Bukan karena mengejar weton atau tanggal cantik, tapi karena cuaca bagus, sebelum musim hujan. Bagaimana pun, summer is party time!

Walaupun harus pulang sampai tengah malam, kadang malah subuh, tidak masalah. Sudut bibirku terangkat ke atas saat ingat pundi-pundi rupiah di bank, bertambah pesat. Well, aku tidak munafik, aku memang cinta uang. Apa yang kudapat sekarang, berkat tabunganku yang terus menggemuk.

"Mbak Jum, besok yang ke nikahan Ci Gina, siapa? Acaranya barengan sama acara tunangan Mbak Ajeng, kan?" tanyaku pada pegawai paling senior di sini.

"Tim Iqbal pergi ke Ci Gina, tim Rosi ke acara tunangan Mbak Ajeng." Wanita berhijab ungu itu, dengan tubuh jumbo, alias tingginya yang nggak umum, 173 sentimenter dan berat badan 80 kilogram---aku tahu karena baru siang tadi dia menimbang berat badan pakai timbangan kantor---berjalan dari ambang pintu menuju kursi depan mejaku.

"Udah siap semua?"

Mbak Jum tersenyum, menampakkan gigi gingsul di sebelah kirinya, yang membuat dia terlihat imut. "Udah. Siang tadi mereka meeting terakhir, cek rundown lagi, sama kontak para vendor. Jam tiga mereka jalan ke venue lengkap bareng emsi, grup musik, buat rehearsal. Insya Allah beres."

"Alhamdulillah, semoga event terakhir di bulan Juli lancar."

"Amin .... " sahut Mbak Jum, yang punya nama lengkap Jumaeroh Aisyah itu.

Kalula's Organizer sudah berjalan enam tahun. Jumlah karyawannya mencapai puluhan. Untungnya, kami sudah punya gedung sendiri, jadi tidak perlu bayar uang sewa tiap bulan. Klien kami pun dari berbagai kalangan. Dari pengusaha, selebriti, dan pejabat.

Selain event organizer, aku juga membuka usaha dekorasi pesta, tanpa harus menggunakan jasa dari Kalula's Organizer. Kalau bisa sih, aku ingin EO-ku ini punya usaha catering & kitchen, souvenir, live music, hiburan, dan make up artist sekalian. Namun sayangnya, aku tak mampu. Selain jasa pembawa acara, dekorasi, make up artist, dan sewa pakaian jadi, yang lain masih kerjasama dengan pihak ketiga.

Aku menyisir rambutku dengan tangan, lalu mencepolnya tinggi-tinggi. Astaga, gerahnya ... padahal AC sudah disetel paling dingin. Sekarang pukul tujuh malam, satu jam sebelum tutup. Suasana kantor cukup sepi. Jelas, ada sekitar 30 orang ke gladi resik event Ci Gina dan Mbak Ajeng. Mbak Jum, otomatis ke meja resepsionis tanpa diminta, menggantikan Daniar yang pamit beli makan di depan. Sedangkan yang lain? Well, aku tidak tahu. Aku belum keluar dari ruangan untuk mengecek keberadaan mereka satu per satu.

Aku meregangkan tangan ke atas, karena pegal-pegal terlalu lama menghabiskan waktu duduk di ruangan. Aku menuju lobi depan, berniat mengecek apa Daniar sudah kembali belum. Perutku sudah keroncongan dari tadi. Di ruang pelayanan, ada Hani dan Roy yang masih melayani sepasang klien. Tertarik, aku menghampiri mereka, menarik kursi, lalu duduk di sebelah Roy.

"Acara buat kapan?" tanyaku.

"Tiga bulan lagi, akhir Oktober."

"Acara apa, Mbak? Nikahan, tunangan, atau lama---" Pertanyaanku terpotong waktu melihat sosok klien di depanku. "Curut?!"

"Curut?" Perempuan di sebelah klien lelaki itu mengernyitkan kening, dan menatapku.

"Eh, maaf, Mbak ... " Aku meringis, merasa tak enak, takut klienku ini tersinggung. "Kok bisa lo di sini, Ru?"

"Jahat banget sumpah lo, manggil gue curut." Lelaki itu mencebikkan bibir.

"Kalian saling kenal?" tanya si klien perempuan dengan mata menyipit.

Gawat! Jangan bilang calon istri Ndaru, cemburu, ya? "Teman SMA, Mbak. Nggak ada apa-apa, kok. Dulu, kita ini malah musuhan. Suer!" Aku mengacungkan dua jari ke udara, berusaha meyakinkannya.

Ndaru terbahak kencang. Rambutnya yang agak panjang dan bergelombang itu bergoyang. Matanya mendadak jadi segaris.

"Dia adik gue."

Si perempuan mengangguk. "Wah, untung kita nemu ini WO ya, Bang ... lumayan ketemu orang dalem."

"Mbak Lula nih yang punya WO. Siapa tahu bisa diskon," celetuk Hani terkikik kecil.

"Sukses besar lo, ya?" Ndaru berdecak sambil terkekeh. "Nggak nyangka."

Aku mendengkus. "Kenapa? Lo nggak nyangka gue bisa sukses?"

"Ya, bukan gitu. Gue nggak nyangka lo sukses bukan di bidang lo. Kayaknya lo ambil kuliah keguruan kan, ya? Dulu waktu SMA, lo juga suka ngelesin anak SD."

Wow! Aku cukup takjub, Ndaru ingat semua itu. Padahal, kami sama sekali tidak dekat. Bisa dibilang, kami tidak akur sama sekali.

"Oh, adiknya mau tunangan, lamaran, apa nikahan?"

"Fani mau tunangan, " balas Ndaru.

Aku langsung mengalihkan pandangan pada perempuan dengan rambut sebahu itu. Wajahnya kecil, kulitnya putih bersih, pipi sedikit chubby, dengan mata yang cukup sipit. Imut banget, si Fani ... beda jauh sama kakaknya yang kelihatan laki banget dengan kulit cokelat sawo matang.

"Oke, Fani ... mau booking tanggal berapa?"

"Ehm, buat akhir tahun sih, Mbak. Oktober tanggal 10. Bisa ya, please .... "

"Han, coba cek, tanggal 10 Bulan Oktober masih kosong nggak?"

"Ehm, tanggal 10 ada acara lamaran doang," lapor Hani.

Raut wajah Fani nampak panik. "Mbak, masih bisa kan, ya? Please .... "

"Kasihan lah, adik gue. Calonnya kerja di Batam. Bisanya tanggal segitu," timpal Ndaru.

Cukup sering memang menghadapi situasi seperti ini, tapi tetap tak tega jika harus menolak rekues klien. Namun, kalau memang sudah benar-benar penuh, tidak bisa dipaksakan lagi.

"Gue nggak minta diskon atau harga temen loh, La .... " imbuh lelaki itu lagi.

"Bisa, bisa. Panik amat sih lo .... " Lagi pula tanggal 10 Oktober hanya ada satu acara sejauh ini. Timku masih sanggup menyiapkan dua acara dalam satu hari bersamaan. "Mau pakai konsep apa? Ini katalog dekorasinya."

Aku dan Fani berdiskusi cukup panjang menentukan konsep pertunangan yang perempuan itu inginkan. Mulai dari dekorasi, makanan, dan souvenir. Dia setuju menyerahkan semuanya pada Kalula's Organizer. Sedangkan untuk make up dan baju, Fani sudah punya desainer dan make up artist incarannya sendiri.

"Makasih Mbak Lula ... gue seneng banget langsung owner-nya yang ngelayanin," tutur Fani sambil menjabat tanganku.

"Fan, lo balik duluan aja. Gue mau ngobrol sama Lula sebentar," kata Ndaru tiba-tiba.

"Kita kan ke sini bareng. Gue ogah pakai taksi." Fani berkacak pinggang, sambil cemberut.

"Lo bawa mobilnya balik. Nanti gue gampang pakai taksi."

Aku mengernyitkan kening. Ndaru pengin ngobrol sama aku? Ngadi-ngadi, nih. Waktu SMA dekat saja tidak, kenapa sekarang jadi sok akrab?

"Bentar lagi kantor gue mau tutup. Udah, lo balik aja."

"Lah kan, emang mau ngobrol sebentar doang. Kalau lo maunya lama, ayo kita keluar," balas Ndaru sembari menyibak rambutnya.

Aku berdecih, ternyata curut sok kegantengan ini tidak berubah juga. Paling hobi kalau gombalin cewek. Kasian mereka, ketipu playboy cap teri kayak Ndaru, yang cuma modal ganteng. Eh, tunggu ... tapi kayaknya sekarang dia sudah sukses, deh. Apalagi dilihat dari pakaian formal yang melekat pada tubuhnya.

"Gue nggak punya waktu buat lo." Seperti sudah diatur Tuhan, sedetik kemudian pintu terbuka, menampakkan Daniar yang menenteng satu kantong plastik besar. "Gue mau makan malam, mi ayam gue udah dateng. Lo balik aja sana!"

"Udah lah Bang, kita pulang. Ngardusnya dilanjutin besok lagi," ujar Fani sambil menarik tangan kakaknya menuju pintu keluar. "Dia manggil lo aja curut."

"Dulu emang mirip curut tahu! Rambutnya jabrik ke atas, terus ada sehelai yang jatuh di jidat, kayak buntut curut," jelasku terpingkal.

Ndaru mendengkus. "Yang jelek diinget mulu, dasar betina!"

"Udah sana, lo pergi. Nggak terima curut playboy di sini." Aku menggerakan tangan, mengusirnya agar cepat angkat kaki dari sini.

"Gue nggak playboy ya, La ... gue cuma cari yang pas biar nggak menyesal di masa depan. Buat anak kan, jangan coba-coba."

"Lah, lo kan bukan anak-anak lagi!" semprotku.

"Ya, siapa bilang gue anak-anak? Maksud gue, kalau cari partner buat bikin anak nggak boleh coba-coba." Dia mengedikkan bahu dan menatapku dengan tatapan tak mau disalahkan.

"Pembicaraan apa ini?" Fani bergidik ngeri. "Mbak Lula, maafin Abang gue, ya ... besok gue ke sini sendiri deh, nggak ajak Bang Ndaru lagi."

Aku tergelak lalu mengacungkan ibu jari. Keduanya kemudian menghilang di balik pintu, dengan Fani menyeret tangan sang kakak. Seperginya mereka, aku bergegas ke dapur untuk mengambil alat makan.

Dulu, Ndaru terkenal sering bolos. Aku memang tidak sekelas dengannya. Tapi, karena terlalu banyak guru yang curhat saat mengajar di kelasku, dan bercerita betapa lelahnya mereka menghadapi Ndaru, cukuplah aku tahu bagaimana bocah itu. The real trouble maker.

Pokoknya di kepalaku, sosok Ndaru bukan lelaki yang baik untuk didekati. Apalagi dulu dia musuh bebuyutan Azka---mantan pacarku---yang membuatku otomatis tidak suka padanya. Sial! Gara-gara Ndaru, wajah bajingan itu kembali memenuhi kepala, yang sukses membuatku badmood seketika.

Aku berdecak saat merasakan getaran di saku celana. See? Saat badmood, suara hape aja terdengar memuakkan. Apalagi mendengar janji-janji palsu buaya darat. Setelah kembali ke ruang tamu dan menuangkan mi ayam ke mangkuk, aku membuka ponsel.

From: Olivia
Kangen gue ga La.... akhirnya setelah berabad-abad gue balik nih😭😭

To: Olivia
Yes... Oleh-oleh gue dari Barcelona dateng jugaa... 😍😍

From: Olivia
Dsr bgcd.

Aku terbahak sampai perutku keram. As an influencer, to be precise a Youtuber, Olivia cukup sering jalan-jalan ke luar negeri, untuk kepentingan kontennya. Sebagai sahabat, tentu aku bangga dengan pencapaian yang dia dapat. Apalagi aku selalu kecipratan oleh-oleh dari Olivia setelah melalang buana.

Perempuan berdarah Jawa-Tionghoa-Bristol ini, satu-satunya sahabat yang kupunya sekarang. Dia, teman kuliahku---not exactly sih, lebih tepatnya kenalan---kami bertemu di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Teater. Selama di UKM Teater pun, kami jarang berinteraksi karena beda divisi. Dia talent star dan aku staf divisi logistik. Alias, yang bertugas menyiapkan kostum dan berperan juga menjadi make up artist kalau ada pentas.

Walaupun aku punya pengalaman pahit soal sahabat karena pacarku diambil sahabat sendiri, aku tidak takut Olivia melakukan hal serupa. Lagi pula, dia dan Zac---pacar Olivia dari kuliah---masih mesra dan serasi sampai sekarang.

Membicarakan Olivia, tidak ada habisnya. Dia salah satu penyalamat hidupku setelah mama, di masa-masa terpurukku, sembilan tahun lalu. Dia, yang bukan siapa-siapa, teman saja bukan, mengulurkan tangan dan menarikku untuk bangkit. Kalula's Organizer merupakan salah satu bukti, usaha Olivia dalam membantuku. Tak usah khawatir, aku akan menceritakan bagaimana dia menyelamatkanku dari keputusasaan, di waktu yang tepat.

***

Give me the comment please gimana first impresi kalian? ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top