9. Air Mata Buaya Sissy

"Tetaplah semangat, walaupun hidupmu bergenre horor."

******

Sapta menahan napas sambil melipat tangannya di dada. Ia memejamkan matanya sejenak, lalu mendongak menatap Sachi yang telah dia perintahkah untuk berdiri dengan kaki di angkat satu dan kedua tangan di atas kepala.

"Angkat kaki kamu, Sachi!" Seru Sapta saat melihat kaki Sachi turun memijaki lantai.

"Pegel tahu, Piii." Sachi merengek.

"Angkat kaki kamu!" Perintah Sapta tegas. "Kamu belum jelasin kenapa kepada Papi, kenapa Aizen dan siapa itu—guru kamu?"

"He'eh." Sachi mengangguk pasrah.

"Kenapa mereka ada di apartemen kita? Pintu apartemen kita nggak rusak sama sekali, Papi yakin kalau kamu sengaja mengunci mereka dari luar. Iya, kan?" Teriak Sapta lagi.

Papinya ini memang hobby teriak. Itulah mengapa selalu ada keributan di rumah ini. Dan juga, itu alasan Sachi pandai bernyanyi.

"Papi kenapa bisa tahu?" Sachi balik bertanya.

"Pak Bejo hubungi Papi. Katanya, Aizen hubungi dia untuk minta tolong karena kekunci di apartemen kita."

Penjelasan Sapta membuat Sachi jadi dongkol dengan Bejo.

Awas aja ya, Pak Bejooo! Nggak akan gue kasih lagi nomor cewek-cewek bohaaay!

"Kamu sudah membuang banyak waktu Papi." Sapta menatap jam tangannya. "Papi jadi terlambat ke kantor karena ulah kamu!"

"Ke kantor?" Sachi mengerutkan dahi. "Bukannya Papi baru aja pulang setelah berharu-hari gak pulang. Dan kenapa Papi masih merasa kalau hidup dan waktu Papi harus dihabiskan untuk pekerjaan? Memangnya, Papi gak punya waktu lebih banyak di rumah? Atau, Papi memang gak betah ada di rumah?"

"Papi tidak ingin berdebat dengan kamu, dengan pembahasan yang sama setiap harinya. Papi lelah dan muak, yang jelas hidup kamu bahagia karena kerja keras Papi. Kamu jadi bisa sekolah dan tinggal di tempat yang bagus dan layak."

"Kalau gitu, aku nggak mau lagi tinggal di sini dan sekolah. Tapi, Papi harus ninggalin pekerjaan Papi!"

"Jangan ngaco ngawur! Pekerjaan Papi lebih penting. Jangan bersikap kekanak-kanakkan."

"Papi dan Mami sama saja, kalian tuh egois. Nggak pernah peduliin aku. Apa Papa tahu perasaan aku? Papi tahu kondisi aku saat ini? Papa tahu keinginan aku? Enggak, kan."

"Kenapa kamu berlebihan begini."

"Berlebihan Papi bilang? Papi yang berlebihan! Kejam! Egois!"

"Berani sekali kamu menjelek-jelekkan Papi kamu sendiri!" Papi membentak Sachi dengan murka sampai bangkit dari duduknya. "Dan satu lagi ya, jangan bikin Papi malu dengan tingkah dan sikap kamu yang buruk di sekolah. Jangan sampai Papi dipanggil lagi ke sekolah. Kamu juga harus jaga sikap terhadap Aizen, dia bilang kalau kamu selalu mengganggunya sampai minta duit dengannya. Benar-benar bikin Papi malu."

Kening Sachi semakin mengkerut dalam. "Mas Ijen bilang begitu?"

Papi tidak menjawab pertanyaan Sachi. Lelaki itu hanya mendecah sebal. "Jangan suka menyusahkan orangtua." Kalimat terakhir sebelum Papi masuk ke dalam kamarnya.

Sachi mengepalkan tangan geram, ia marah. Tapi di satu sisi, ia juga menangis. Entah mengapa air mata sialan ini harus keluar membasahi pipinya. Bikin malu ketua Power Ranges Abu Butek aja!

Sachi menghapus air mata yang bersimbah di wajahnya kuat-kuat. Lantas pergi keluar dari apartemen.

Tanpa sengaja, ia dan Aizen berpapasan di depan pintu saat lelaki itu juga hendak pergi keluar.

"Kamu nangis?" Aizen berusaha menahan tawanya, karena ini kejadian yang sangat langka. Tapi apalah daya, dia nggak bisa menahan untuk tidak tertawa. "Hahahaha. Eh, maaf."

Sachi memeloti Aizen. "Mas bilang apa sama Papi aku?"

"Loh, aku bilang apa?" Aizen mengangkat kedua bahu.

"Mas jangan pura-pura gak tahu ya! Mas Ijen bilang aku suka ganggu-ganggu Mas Ijen, kan?"

"Loh, memang benar, kan?"

"Terus, Mas Ijen bilang kalau aku suka poroti Mas Ijen?!"

"Bukannya bener juga?"

"Tapi, gak sampe sejuta! Tunggu sejuta dulu baru bisa bilang kalau aku poroti Mas Ijen. Kenapa Mas Ijen minta ganti rugi duitnya segala sama Papi sih!"

"Yah, lumayan bisa beli seblak."

"Is!" Sachi memukul Aizen dengan kencang. Membuat Aizen meringis kesakitan.

"Aw."

"Awas aja Mas Ijen, aku sumpahin berak celana."  Lalu Sachi berlari keluar dari apartemen.

Aizen menyeringai geli sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian dia pun ikut keluar dari apartemen. Menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan apartemen. 

Tapi sebelum Aizen benar-benar masuk ke dalam mobilnya, ia kembali melihat Sachi duduk di taman Ardana sambil menangis.

Sachi memang menyebalkan, tapi menangis sama sekali bukan gaya Sachi. Karena yang Aizen tahu kalau Sachi paling anti nangis.

Karena Aizen juga masih punya hati, Aizen inisiatif untuk mendekati gadis malang itu.

"Heh, ngapain kamu nangis gitu, sih?" Aizen duduk di sebelah Sachi.

"Ini semua karena Mas Aizen, tahu nggak!" Sachi berteriak murka.

Aizen mengerutkan dahi kaget. "Kenapa nyalahin aku terus."

"Iya! Karena ulah Mas Ijen, aku jadi dimarahi Papi. Dan Papi sampai bilang kalau aku ini anak yang bikin susah!"

"Ya ampun, Sachi, baru juga dimarahi Papi. Harusnya kamu bersukur masih bisa dimarahi Papi kamu sendiri. Aku? Nggak punya Papi, jadi nggak ada yang marahi aku."

Sachi semakin melotot sebal. "Pergi deh, sana. Aku sebel dengan Mas Aizen."

"Yaudah, aku minta maaf, deh."

"Kalo mau dimaafin harus ada sogokannya dong."

"Nah, kalau begini aku jadi bingung siapa yang salah. Berarti aduan aku ke Papi kamu tentang kamu itu bener, dong? Kalau kamu suka poroti aku?"

"Ih, jadi Mas Ijen beneran gak ikhlas nih? Aku tuh masih kecil, Mas. Harusnya Mas Ijen iba sama aku."

Aizen menghela napas panjang. "Yaudah, kamu mau apa?"

"Mas Ijen mau kemana?" Bibir Sachi sengaja di monyongkan agar kelihatan lebih menyedihkan lagi.

"Kalau kamu berpikir ingin ikut aku.... Jawabannya kamu tahu, kan? Enggak!" Aizen bangkit dari kursi dan hendak melangkah pergi.

Tapi, tangis Sachi semakin pecah sampai menggesek-gesekkan kedua kaki ke tanah.

Aizen merasa malu, karena di taman ini nggak cuma mereka berdua saja. Tapi juga ada beberapa orang yang sedang main, olahraga, dan nongkrong di taman. Orang-orang akan berpikir kalau Aizen telah mencelakai Sachi.

"Oke-oke, Kamu-mau-apa, Sachi?" Dipta menekankan kalimatnya sambil menampilkan deretan gigi putih dan rapi-nya.

Sachi berhenti menangis. "Aku ikut Mas Ijen ya."

"Sachi, aku bilang apa tadi? Enggaak." Aizen tersenyum lebar.

"AKU MAU IKUT MAS Ijennnn, BOLEH, KAN?" Sachi sengaja berteriak. Membuat orang-orang di sekeliling kembali menatap Aizen.

Aizen menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya sekuat tenaga setiap kali menghadapi Sachi.

"Kenapa kamu harus ikut aku? Padahal kamu bisa melakukan kegiatan positif lainnya di luar sana selain ikut aku. Contohnya, kasih makan Picha, atau mandiin Picha, atau bawa Picha ke salon."

Sachi mendadak cemberut. "Apa salahnya sih, aku ikut Mas Ijen. Akutuh kesepian dan gak punya temen. Aku butuh banget hiburan setelah dimarahi Papi tadi. Aku janji deh, gak akan bikin kegaduhan."

"Aku tidak percaya, dan tidak akan pernah percaya."

"Is, Mas Ijen kok begitu sih? Please, aku boleh ikut yaaa." Sachi merengek seperti bayi sambil menarik baju Aizen.

"Oke-oke, kamu boleh ikut." Aizen menyerah. "Tapi janji, jangan ganggu aku dan temen-temenku nanti!" Aizen pun masuk ke dalam mobil lebih dulu.

"Ohhh, Mas Ijen mau nongki sama temen-temennya ya."

"Ingat, jangan menggangu!" Aizen memberi penekanan. "Kamu duduk yang jauh, jangan dekat aku. Oke?"

"Okeee!" Sachi mengacungkan kedua jempol sambil nyengir.

.
.
.

TBC

HAIII, SEMOGA ADA YANG BERGABUNG KE CERITA INI YAA.

Jangan lupa vote dan comentnya.

Semoga cerita ini bisa rame, huhu.

Salam, Emak Sachi.

16/11/24.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top