8. Ada-ada aja kamu Sachi
"Tetap semangat dan pantang menyerah, semoga lelah kita menjadi-jadi."
******
Sachi kaget saat bangun di pagi hari, dan melihat Mamanya sudah ada di apartemen.
Yah... Karena Sachi sudah terbiasan di apartemen sendirian, jadi seperti ada yang aneh ketika orangtuanya kembali.
"Good morning, Sayang," sapa Diana dengan hangat sambil masak di kitchen set.
"Mama kapan pulangnya?" Sachi masih berusaha sadar dari keterkejutannya. Lalu dia menuju ke dapur dan mengambil segelas air.
"Yah, sekitar sejam yang lalu. Jadi, Mama langsung buru-buru masak sarapan untuk kamu. Baru deh setelah itu Mama mandi, ganti baju, dan siap kembali bekerja." Mama bicara dengan
semangat seolah apa yang dia katakan membuat Sachi bahagia.
Yah, meskipun sebenarnya Sachi bangga memiliki Mama hebat seperti Diana. Mamanya seorang psikolog yang cukup terkenal. Diana membuka klinik sendiri dan mempekerjakan beberapa psikolog lainnya. Jadi, Diana lebih sering bepergian daripada menetap di kliniknya sendiri. Meskipun Diana jago dalam mengurus masalah mental banyak orang, tapi Diana belum bisa mengerti kondisi mental anaknya sendiri—yang sebenarnya lebih butuh banyak perhatian daripada pasien-pasiennya.
"Ooh, gitu ya, Ma." Sachi gak boleh kelihatan sedih, marah, dan kecewa. "Yaudah, kalau gitu aku mandi dulu ya, Ma. Aku mau siap-siap ke sekolah."
"Oke, Sayang. Nanti langsung dimakan sarapannya ya."
"Yap."
Sachi kembali masuk ke dalam kamar, sepertinya dia butuh berbaring lagi selama lima belas menit. Setelah itu Sachi memutuskan untuk mandi dan siap-siap ke sekolah.
****
"Garviiiii...."
Dan seperti biasa, Sachi harus membangunkan Garvi karena dia masih butuh tumpangan ke sekolah. Yahh, sekalipun Sachi mampu naik taxi atau ojek, tapi tetap aja Sachi gak mau kehilangan dibonceng Garvi setiap hari.
"Garvi udah pergi ke sekolah dari tadi loh, Chi." Bianca yang membuka pintu apartemen.
"Ha? Serius Kak?"
"Yah, untuk apa gue bohong. Memangnya Garvi gak nungguin lo dulu atau ngabarin?"
Sachi cemberut sebal. "Tuh orang mana pernah nungguin gue sih, Kak." Sachi menatap jam tangan. Sepertinya dia gak punya banyak waktu untuk ngobrol bareng Bianca. "Kak, kalau begitu gue pergi dulu ya. Udah telat nih ke sekolahnya."
"Okayyy, hati-hati ya, Sachi...."
Sachi buru-buru keluar dari apartemen. Dan beruntungnya Sachi bertemu Aizen di parkiran ketika laki-laki itu hendak masuk ke dalam mobil.
"Mas Ijeeeennn!!!" Sachi berteriak.
Aizen tidak menoleh, tapi langkahnya semakin cepat. Seolah dia ingin menghindari Sachi. Dan Sachi juga gak menyerah, gadis itu langsung berlari mengejar langkah Aizen sampai akhirnya Sachi berhasil menggandeng tangan Aizen.
"Mas Ijen, aku nebeng ya."
"Enggak." Aizen langsung menjawab. "Aku buru-buru."
"Aku juga buru-buru, Mas. Makanya aku mau nebeng Mas Ijen."
"Lagian kamu ke sekolah pukul segini. Amel saja sudah berangkat dari setengah jam yang lalu, loh."
"Beda dong, Mas Ijen."
"Apanya yang beda? Sama-sama sekolah, kan?"
"Kalau Amel memang anak rajin yang suka bangun pagi."
"Terus kamu?"
"Yah, kalau aku sihh juga udah bangun pagi. Tapi melamun dulu lima belas menit."
Aizen menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Ketika Aizen hendak masuk ke dalam mobil, Sachi menahan pintu mobil Aizen dengan kakinya.
"Ayolah, Mas, aku nebeng sekali ini saja ya...." Sachi mengatupkan kedua tangannya dan memohon.
"Kenapa kamu gak naik ojek aja? Bukannya tadi malam aku baru transfer kamu duit? Duit itu cukup loh untuk kamu naik ojek or taxi. Ntar sisanya bisa dipake untuk sarapan soto."
"Kalau Mas mau nebengi aku dengan sukarela dan gratis, uang yang Mas kasih ke aku kemarin bisa ditabung."
Azien memutar bola mata jengah. Ada saja alasan bocil ajaib ini.
"Nah, loh... itu bukannya Mama kamu ya?" Aizen melihat sosok Diana yang berjalan di parkiran. "Tante Diana!" Aizen melambaikan tangan dan memanggil.
"Ih, Mas! Kenapa dipanggil sihhh." Sachi mendumel sebal.
Tidak hanya memanggil, tapi Aizen juga menghampiri Diana sambil menarik tangan Sachi.
"Loh, Aizen ya? Anaknya Dewi, kan?" Diana melotot kaget melihat kehadiran Aizen.
"Benar, Tante."
"Kamu kapan balik ke Indonesia? Tante baru lihat kamu deh."
"Yah, udah lumayan lama juga, Tante. Tapi kita memang belum pernah bertemu."
"Ya ampunn, maklum yaa, akhir-akhir ini Tante memang sibuk."
"Gapapa, Tante. Tapi, yang penting saat ini Sachi sudah telat ke sekolah." Aizen mendorong tubuh Sachi lebih dekat ke arah mamanya.
"Aduhh, gimana ya...." Diana menatap jam tangannya. "Mama juga udah telat banget nih, karena ada pasien Mama yang nungguin di klinik. Dan lagipula tujuan kita beda arah, Chi. Kamu ke sekolah naik taxi aja ya, Mama orderin taxi mau ga?"
Sachi melotot sebal, bukan kepada Diana. Melainkan kepada Azien.
"Udah aku bilang jangan panggil Mama aku!" Bentak Sachi sambil menghentakkan kaki kesal, lalu dia pergi meninggalkan Aizen.
"Sachi...." Aizen menoleh dan melihat kepergian Sachi.
Sementara itu Diana terlihat gak peduli dan malah pamit. "Aizen, maaf ya, Tante buru-buru banget. Kalau bisa Tante titip Sachi dulu ya, semoga kamu bisa anterin dia ke sekolah. Permisi...." Diana pun masuk ke dalam mobilnya dan melesat begitu saja.
Aizen menghela napas dengan lelah, lalu menyusul langkah Sachi yang semakin menjauh.
"Yaudah, ayo buruan masuk. Aku anterin kamu ke selolah," ucap Aizen cepat sambil membuka pintu mobilnya.
Ekspresi Sachi langsung berubah, dia kembali nyengir. "Hehehe, asikkk. Ditebengin gratis dengan Mas Ijennnn."
***
Tidak ada pembicaraan selama di perjalanan, karena Sachi lebih banyak diam.
Tumben.
Dan sesampainya di sekolah, ternyata gerbang sekolah Sachi sudah ditutup.
"Yah, kenapa udah ditutup?" Sachi menatap nanar gerbang sekolahnya sendiri.
"Menurut kamu?" Aizen memperlihatkan jam tangannya di depan mata Sachi, agar Sachi sadar kalau sekarang sudah menunjukan pukul tujuh lewat tiga puluh menit.
"Duh, gimana dong...." Sachi merenggut kesal. "Ini semua karena Mas Ijen, tahu!"
"Loh, kenapa kamu jadi nyalahin aku?"
"Kalau aja Mas Ijen langsung anter aku ke sekolah, pasti aku gak bakalan telat begini."
"Tapi, kamu sendiri yang telat bangun, kan?"
"Ihh...." Sachi semakin cemberut. "Kalau begitu Mas Ijen harus bantuin aku agar bisa masuk ke dalam sekolah."
"Nggak, aku nggak punya waktu lagi, Sachi. Kelasku sebentar lagi akan dimulai. Kamu turun saja dari mobilku sekarang."
"Please dong. Ayolaaah, pelaseee!!!" Sachi merengek seperti bayi.
"Terus aku harus ngapain?"
"Mas Ijen bicara dengan satpam dan bilang kalau Mas Ijen itu Bapak aku."
"Bapak kamu? Sudah gila kamu ya. Aku gak setua itu untuk jadi Bapak kamu, Sachi."
"Yaudah, wali aku aja deh."
Aizen menarik napas dengan berat sebelum memutuskan untuk keluar mobil bersama Sachi. Kemudian mereka bicara pada satpam penjaga gerbang sekolah.
"Pak, maaf, gerbang sekolahnya boleh dibuka nggak ya? Kasihan adik saya, Pak. Dia telat datang ke sekolah karena pingsan saat lagi di kamar mandi. Adik saya ini penyakitan, Pak, dia punya riwayat asma, asam lambung, jantung dan banyak lagi."
"Ih, banyak amat, Mas." Sachi menyikut lengan Aizen ssmbil bisik-bisik.
Satpam itu mengerutkan dahi dan menunjuk Sachi. "Kamu Sachi toh? Murid yang suka bikin ulah di sekolah, kan?"
Refleks, Aizen menyipitkan matanya ke arah Sachi. Sia-sia juga dia memohon untuk menolong Sachi, karena ternyata Sachi memang terkenal sebagai murid yang suka bikin ulah di sekolah.
"Pak! Jangan ngomong yang jelek-jelek dong di depan kakak saya. Nanti kalau Kakak saya pingsan gimana?"
"Kenapa? Kakak kamu juga punya riwayat jantung?" Pak Satpam meledek.
"Bapak gak boleh ngomong begitu, jangan ngomong aneh-aneh di depan adik saya. Nanti kalau dia kenapa-kenapa gimana? Saya nggak punya banyak uang untuk ngebiayain pengobatannya. Mana dia nggak punya BPJS lagi. Gayanya aja yang sok sosialita, Pak."
Dih! Sachi nyaris menyikut Dipta karena kesal dengan ucapan Aizen yang ngawur.
"Yasudah, lain kali jangan telat lagi." Akhirnya Agus memberi peluang Sachi untuk masuk ke dalam sekolah.
"Makasih banyak, Pak." Sachi lompat kegirangan. "Bye-bye Mas Aizen." Sachi melayangkan flying kissing untuk Aizen sebelum masuk ke dalam gerbang.
.
.
.
TBC
Salam, Emak Sachii.
2/11/24.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top