6. Bujuk Bu Gani
"Pusing banget, ini gak bisa menghilang dulu dari Bumi?"
******
"Bu, maaf saya telat. Boleh gak saya masuk?"
Sachi bicara di depan kelas ketika Agnia sedang menjelaskan tentang materi pelajaran hari ini.
"Ya ampun." Agnia menatap jam tangannya. "Kenapa lama banget datangnya? Kamu diizini masuk dengan satpam depan gerbang?"
Sachi mengangguk. "Di izini, Bu. Karena Pak satpam tahu alasan saya telat ke sekolah."
"Memangnya, kenapa kamu telat datang ke sekolah?"
"Karena saya habis pingsan di kamar mandi, Bu. Sebenarnya, saya ini punya banyak riwayat penyakit yang menyedihkan. Tapi, Ibu gak perlu tahu. Karena saya gak ingin dikasihani."
"Tapi, kamu baik-baik aja, kan?" Agnia menatap Sachi dengan cemas, itu artinya Agnia percaya dengan cerita karangan Sachi.
"Saya baik-baik saja sekarang, Bu."
"Syukurlah kalau begitu. Yasudah.... Kamu boleh masuk ke kelas."
Hufff.... Sachi bernapas lega. Untung saja pagi ini kelas dimulai dengan pelajaran Agnia. Kalau saja tadi Sachi telat ke sekolah di saat jam pelajaran Pak Wandi—guru paling galak dan menyebalkan di sekolah. Sudah pasti Sachi gak akan biaa masuk ke dalam kelas dan mendapatkan hukuman.
"Makasih yaa, Bu Agnia yang cantik dan baikk." Sachi memuji.
Kemudian dia masuk ke dalam kelas dan bersitatap dengan Garvi. Rasanya, Sachi ingin sekali menonjok Garvi karena sudah meninggalkannya begitu saja.
Sachi langsung duduk di kursi sebelah Garvi tanpa banyak bicara.
"Pingsan?" Garvi membuka suara. "Sakit? Sakit apaan lo, hahaha. Pinter banget lo bikin cerita."
Sachi tidak menanggapi dan mengeluarkan buku pelajarannya dari dalam tas.
"Terus, lo tadi ke sekolah bareng siapa?" Tanya Garvi lagi.
Sachi tetap diam, sampai Garvi merasa kalau Sachi memang lagi marah.
"Lo marah sama gue ya? Lagi? Cuma karena gue ninggalin lo ke sekolah?" Garvi kembali bicara tanpa dosa.
"Menurut lo?" Akhirnya Sachi menatap cowok di sebelahnya dengan sengit.
"Yaelah, gitu doang marah sih. Lagian, banyak cara lain untuk bisa ke sekolah. Kenapa harus nebeng sama gue terus? Nyokap bokap lo juga orang kaya, minimal minta beliin kendaraan dong."
"Lo mulai keberetan nebengin gue terus?"
"Iya, kenapa?" Garvi menantang. "Gue bukan tukang ojek lo. Lagipula, lo harus belajar mandiri, Sachi. Jangan bergantung hidup sama gue terus dan jangan jadi beban di hidup gue."
Sachi menghela napas dengan sebal mendengar kalimat Garvi yang terlalu sarkastis. Gadis itu tidak banyak bicara lagi, dia mendengarkan pelajaran Agnia dengan hikmat. Meskipun begitu otaknya terus bekerja dan berpikir agar rencana selanjutnya berjalan dengan lancar.
Mereka tidak bicara sampai bell pergantian pelajaran berbunyi.
"Baiklah, cukup sampai di sini pelajaran Seni hari ini. Sampai bertemu lusa." Begitu ucap Agnia sambil membereskan buku-bukunya dan bergegas keluar kelas.
Sachi langsung bangkit dari kursi. Garvi melihat gerak-gerik Sachi dengan kening mengkerut. Lalu gadis itu buru-buru keluar kelas untuk mengejar langkah Agnia.
"Bu Agniaaaa...."
Sachi berteriak. Membuat langkah Agnia terhenti.
"Yaa, ada apa—" Agnia melihat nametag di seragam gadis di depannya. "Sachi?"
"Ibu masih ingat dengan saya, kan? Saya juga ikut ekskull vocal dengan Ibu," ujar Sachi.
"Yaa, saya ingat kamu. Tapi, saya agak lupa nama kamu. Maklum saja yaa, saya gak mungkin menghafal nama murid di sekolah ini satu per satu, hehe." Agnia menyeringai geli.
"Gak masalah Ibu gak ingat nama saya. Yang penting Ibu bisa ingat kalau wajah saya cantik."
"Hahahah." Agnia tertawa. "Ada apa kamu panggil saya?"
"Oh iya, jadi gini, Bu. Saya ada rencana mau ikut lomba nyanyi."
"Lomba nyanyi?" Agnia mengerutkan dahi.
"Iya, saya mau daftar lomba nyanyi antar RW. Jadi, saya menjadi salah satu perwakilan di RT saya."
"Wah, selamat ya, Sachi."
"Nah, saya ingin belajar banyak dari Bu Agnia tentang vocal."
"Ya ampun, Sachi.... saya ini nggak punya jam terbang yang tinggi. Saya hanya guru kesenian biasa. Kalau mau cari guru vocal, lebih baik cari yang lebih profesional dari saya."
"Tapi, Ibu finalis Indonesia Idol tahun 2015, kan?
Agnia mengerutkan dahi lagi. "Darimana kamu tahu?"
"Tahu lah, Buuu. Saya cari di internet."
"Aduh, padahal saya cuma lolos sampai dua puluh besar doang loh, Sachi."
"Ih, gapapa, Bu! Tapi Ibu sudah punya jam terbang yang tinggi. Karena ajang Indonesja Idol itu termasuk ajang yang bergengsi. Jadi, saya ingin banget Ibu bisa melatih saya secara pribadi. Karena waktunya juga mepet, Bu. Kalau bisa sihhh, pulang sekolah nanti Ibu ikut ke apartemen saya yaa."
"Ngapain?"
"Ya melatih saya secara pribadi, Buuuu." Sachi terus memaksa dan membujuk Agnia.
"Aduhh, gimana yaaa...." Agnia tampak bingung.
"Mau ya, Buuu. Bantu saya kali ini saja, pleaseeee...." Sachi mengatup kedua tangannya. "Saya gak tahu mau minta tolong kepada siapa lagi. Tapi, saya yakin kalau Ibu bisa membantu saya kali ini." Mata Sachi berkaca-kaca. Kalau perlu saya berlutut di kaki Ibu, deh."
"Eh, jangan dong." Agnia merasa gak enak. "Yasudah, nanti pulang sekolah ya."
"Beneran Ibu mauuuu?"
"Iyaa, saya akan berusaha untuk melatih kamu jadi yang terbaik."
"Yaudah, ntar kita pulang sekolah naik taxi online saja ya, Bu."
"Okey. Kalau begitu saya duluan ya. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan."
"Siap, Bu!" Sachi memberi hormat.
Setelah Agnia pergi. Sachi segera mengirim pesan untuk Amel.
To: Amel
Amelll....
gue udah amankan Bu Agnia.
Dan lo, harus amankan Mas Dipta!
Ntar pulang sekolah langsung kita eksekusi.
From: Amel
Oke, siap!
Saat Sachi ingin kembali ke dalam kelas, ia berpapasan dengan Garvi yang ternyata sudah berdiri di belakangnya sejak tadi.
"Lo bicara apa dengan Bu Agnia?" Garvi menatap Sachi dengan tajam.
Sedangkan Sachi merasa jengah. "Mau tau aja lo." Lalu hendak beranjak pergi. Tapi, Garvi menahan lengan gadis itu.
"Lo ngomong apa dengan Bu Agnia sampai-sampai lo berencana mau pulang bareng beliau?"
"Is, apa urusan lo sihhh! Bukannya kita udah gak ada hubungan pertemanan? Lo sendiri yang sudah memutuskan hubungan pertemenan kita!"
"Gue gak pernah memutuskan hubungan pertemenan kita tuh?"
"Jadi, kata-kata lo barusan apa? Lo ingin gue hidup mandiri, kan? Dan lo gak mau gue jadi beban di hidup lo, kan? Okee, fine! Mulai sekarang kita bersikap seolah kita gak pernah kenal. Seumur hidup." Setelah mengutarakan perasaan kesalnya, Sachi pun pergi meninggalkan Garvi.
Cowok itu menghela napas gusar, ia membalikkan badan untuk menatap punggung Sachi yang sudah menjauh.
"Sachiiii!" Teriaknya, tapi Sachi kelihatan sudah tidak peduli lagi.
****
Sachi terus menatap jam dinding sampai bell pulang berbunyi. Ia buru-buru merapikan barang-barangnya ke dalam tas dan beranjak dari kelas.
Garvi yang penasaran dengan gerak-gerik Sachi juga ikut keluar dari kelas. Cowok itu terus mengikuti langkah Sachi, melihat Sachi berbincang dengan Agnia, kemudian mereka naik taxi bersama.
Dengan cepat Garvi mengambil motornya di parkiran dan melesat mengejar taxi mereka.
"Memangnya apartemen kamu dimana, Sachi?" Tanya Agnia ketika mereka duduk bersebelahan di kursi penumpang belakang.
"Apartemen saya di Ardana, Bu. Ibu tahu, kan? Ardana itu apartemen paling keren dan beken!" Seru Sachi dengan semangat.
"Oooh, Ardana." Agnia tampak terkejut, tapi itu hanya sebentar. "Yah, saya tahu apartemen itu memang terkenal banget."
"Heheh, dan saya salah satu pemiliknya loh, Bu."
"Kamu keren."
"Makasih loh, Bu, hehehe." Sachi nyengir.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh menit, akhirnya mereka tiba di Ardana.
Sachi segera membawa Agnia masuk ke dalam Ardana sebelum Garvi muncul dan mengacaukan semuanya.
"Ayo Buuu, buruannn...."
"Kamu kenapa sih, buru-buru banget kayak lagi di kejar setan aja."
"Iya Bu, di Ardana memang banyak setannya. Dan setannya masih OTW."
"Ih, kamu ada-ada aja dehh."
Saat mereka tiba di lantai tempat tinggal Sachi, secara kebetulan mereka bertemu dengan Amel dan Aizen yang sedang berdebat di lorong apartemen.
"Kenapa sih kamu larang-larang Mas pergi?" Aizen mendumel kesal karena sejak tadi Amel terus menarik tangannya dan melarang Aizen pergi dari apartemen ini.
"Karena aku kesepian di apartemen sendirian, Masss. Aku butuh ditemani dengan Mas Zennn." Amel mencari alibi.
"Hellooowwww semuanyaaa!" Sachi menyapa. Membuat kakak-beradik itu berhenti berdebat.
"Nah, akhirnya Sachi datang juga!" Amel berseru bahagia.
"Kebetulan ada Sachi, jadi kamu minta ditemani Sachi saja ya. Mas harus buru-buru pergi," ucap Aizen lagi, kembali ingin pergi.
"Masss, jangaaannn!" Amel dan Sachi serempak berteriak. Membuat Aizen menatap dua bocil ini dengan kening mengkerut.
"Sepertinya, Mas dan Amel juga harus ikut menjadi penonton deh! Untuk menilai kualitas suara aku. Apakah aku layak menang atau enggak," kata Sachi.
"Maksudmu?" Dahi Aizen semakin mengkerut.
"Daripada lama-lama, mending langsung masuk aja ke dalam apartemenku yuk. Nanti akan aku jelaskan." Sachi membuka pintu aprtemennya, ia menarik Agnia dan Aizen masuk ke dalam apartemennya. Amel mengikuti dari belakang.
"Heh, ada apa ini? Kenapa aku dibawa ke apartemenmu, Sachi." Aizen semakin dongkol dan bingung.
Saat Sachi ingin menutup pintu apartemennya, tiba-tiba Garvi muncul menahan pintu.
"Eh, tungguuu, kenapa lo bawa Bu Agnia masuk? Dan, kenapa Mas Aizen juga? Apa yang sedang lo rencanakan?" Garvi melotot sebal.
"Ihhh, bukan urusan lo!" Sachi mendorong tubuh Garvi dengan sekuat tenaga, lalu menutup pintu.
"Sialan!" Garvi mengumpat.
.
.
.
TBC
5/11/24
Salam, Emak Sachi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top