5. Ikut Eskull Seni

"Apapun rintangannya, tetap akan aku tempuh. Asal, ada kamu."

******

Kejadian tadi pagi membuat Garvi kesal. Sampai-sampai, Garvi enggan menyapa Sachi hari ini di sekolah. Jangankan menyapa, menatap saja enggan!

Hanya Garvi satu-satunya teman Sachi di sekolah yang paling akrab—bahkan satu sekolah sampai menganggap mereka pacaran. Karena kemana-mana mereka selalu berduaan mulu! Jadi, Sachi merasa kesepian dan gak punya teman.

"Lo ngambek ya, Gar? Lo marah sama gue?" Sachi gak menyerah. Dia terus mengikuti Garvi saat jam istirahat dimulai. "Lo marah karena gue salah nyebutin jadwal piket Bu Agnia? Bener-bener gak masuk akal banget, Gar. Kita udah sahabatan lama banget, loh, Gar. Tapi kenapa lo marah sama gue hanya karena masalah spele itu." Sachi terus menyerocos tanpa henti.

Garvi berhenti melangkah secara mendadak, membuat Sachi jadi menubruk punggung Garvi yang tegap dari belakang.

"Aduh." Sachi meringis.

Garvi berbalik badan dan berhadap-hadapan dengan Sachi. "Bisa berhenti ngikutin gue gak di sekolah?"

Sachi mengerutkan dahi bingung. "Kenapa? Bukannya kita sahabat?"

"Kita gak sengaja jadi sahabat karena kita tinggal di apartemen yang sama. Dan lo sendiri yang mengklaim diri lo sebagai sahabat gue. Bukan gue."

"Maksud lo?" Sachi melongo dengan ucapan Garvi. "Oh, jadi sekarang lo gak mau mengakui gue sebagai sahabat lo? Temen lo? Setelah hidup lo selalu bergantung sama kepintaran gue? Lo lupa siapa yang kasih lo contekan setiap ujian, ha?!" Sachi kesal, ia berkacak pinggang dan berteriak di depan wajah Garvi. "Lo lupa siapa yang bikini PR lo selama ini? Lo lupa siapa yang tulis tugas-tugas lo dengan sukarela?"

Garvi sampai memundurkan kepalanya saat mendengar suara teriakan Sachi tanpa henti. Ini pertama kalinya dia melihat Sachi menjadi semarah ini. Bahkan, beberapa orang yang lewat ikut berhenti dan menjadikan mereka sebagai tontonan.

"Sejak dulu kita selalu kemana-mana berdua, loh! Pergi dan pulang sekolah bareng! Di kelas selalu bareng! Ke kantin juga barengan! Kenapa sekarang lo minta gue buat berhenti? Kenapa gak dari dulu aja lo suruh gue untuk berhenti?" Berhenti untuk mencintai lo, agar gue gak terlalu berharap. Ahhh, bego! Harusnya lo teriak yang kenceng di depan mukanya, SACHI!

"Lo berubah semenjak Bu Agnia ada di sini, Garvi!" Teriak Sachi lagi—yang membuat Garvi jadi malu karena cewek itu harus sebut-sebut nama Bu Agnia.

"Hallowww, ada yang panggil saya ya?" Tiba-tiba saja Bu Agnia datang seperti jelangkung—yang datang tak dijemput.

Sachi dan Garvi sampai kaget dengan kehadiran Agnia yang datang tiba-tiba. Dan kini, Agnia berdiri di antara mereka.

"Nah, kebetulan Ibu ada di sini. Saya cuma mau sampein kalau—" belum sempat Sachi melengkapi kalimatnya, Garvi langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Kalau apa?" Kedua alis Agnia naik.

"Bukan apa-apa, Bu." Garvi cengengesan.

Sachi pun menggigit tangan Garvi sampai tangannya terlepas dari mulut Sachi.

"Aaaaahhhh!" Garvi meringis kesakitan akibat gigitan dahsyat Sachi.

"Tadi kamu bilang apa?" Tanya Agnia pada Sachi lagi.

"Kalau saya mau ikut ekskull seni, Bu!" Kata Sachi akhirnya.

"Oooh, kamu mau gabung di ekskull seni?" Agnia mulai bersemangat saat membahas tentang pelajarannya. Sedangkan Garvi menghela napas lega, karena akhirnya Sachi tidak bicara apapun terkait perasaan Garvi pada gurunya sendiri.

"Iya, Bu." Sachi mengangguk semangat. Sepertinya, dia harus menyusun rencana baru.

"Mau ikut di bidang apa—" Agnia menatap nametag di seragam Sachi. "Sachi Batari Gistara?"

"Saya mau ikut—" Sachi memutar bola matanya. "Saya mau ikut vocal aja, Bu!"

"Ha? Vocal?" Garvi melongo kaget. "Suara lo cempreng. Lo gak bakalan bisa nyanyi!"

"Ih, kenapa sih? Syirik aja lo." Sachi menatap Garvi dengan sewot. Lalu kembali menatap Agnia. "Saya serius ingin ikut vocal, Bu. Karena sejak kecil, cita-cita saya ingin ikut Indonesia Idol Junior."

"Apa?" Garvi semakin shock. "HAHAHAHA! Lo bilang apa? Indonesia Idol Junior? Kalau dibandingkan antara suara lo dan suara tokek aja, masih bagusan suara tokek!"

"Berisik lo!" Sachi mendecah kesal.

"Yasudah, gapapa, kok. Ekskull ini bukan tempatnya orang-orang hebat. Tapi, tempatnya orang-orang yang mau belajar." Agnia menjelaskan dengan bijaksana.

"Tuh, dengerin!" Sachi memeletkan lidah.

"Kalau begitu, ayo Sachi, kita ke ruang seni. Ibu akan data nama kamu." Ajak Agnia.

Sachi langsung mebelalakkan mata. "Ayooo, Bu. Kita berdua pergi ke ruangan seni dan jadi bestieee!" Sachi langsung merangkul tangan Agnia tanpa aba-aba, dan berjalan pergi meninggalkan Garvi.

Sachi menoleh ke belakang sejenak, melihat tubuh Garvi yang masih tidak bergerak di tempat sambil melongo menatap kepergian Sachi dan Agnia. Sachi memeletkan lidah, dan mengejek kebodohan Garvi.

"WLEEEKKKK!"

****

"Siapa nama lengkap kamu tadi? Ibu lupa?" Tanya Agnia ketika mereka sudah ada di ruangan seni.

"Sachi Batari Gistara, Bu. Biasa dipanggil Sachi." Sachi menjawab dengan semangat.

Agnia mulai mencatat dan mendata nama Sachi.

"Oh iya, salah boleh tanya gak, Bu?" Sachi bersuara lagi.

"Boleh, Sachi, tanya saja. Apa ada yang gak kamu pahami tentang ekskull ini?"

"Ibu sudah punya pacar ga?"

"Ha?" Agnia mendongak, menatap Sachi dengan kaget.

"Iya, Ibu sudah punya pacar belum? Habisnya, Ibu cantik dan baik banget." Sachi mencari alibi.

"Haha." Agnia terkekeh geli. "Pertanyaan kamu gak nyambung banget sih. Kita ini lagi membahas ekskull vocal, loh. Kita akan latihan setiap Sabtu siang ya. Dan kamu sebagai anggota wajib datang."

"Ibu beneran gak punya pacar? Jawab dulu pertanyaan saya. Saya gak mau ikut latihan kalau Ibu gak mau jawab." Sachi memonyongkan bibir kesal, pura-pura ngambek.

Agnia menghela napas panjang. "Memangnya, kalau saya punya pacara kenapa? Kalau gak punya pacar juga kenapa?"

"Kalau Ibu punya pacar, itu bagus banget untuk masa depan saya. Tapi, kalau Ibu gak punya pacar—" Sachi diam sejenak. "Saya jodohin dengan laki-laki baik ya, Bu. Mau gak?"

"Laki-laki baik?" Agnia mengerutkan dahi. "Siapa maksud kamu?"

"Ummm...." Sachi memutar bola mata dan berpikir. "Tetangga saya, Bu! Namanya Mas Aizen!" Entah mengapa Sachi harus menyebut nama Aizen, karena hanya nama dia yang terlintas di kepala Sachi saat ini. "Mas Aizen cakep banget loh, Bu. Mas Aizen itu baru selesai kuliah di Aussie. Dan sekarang dia sudah menjadi Dosen di Jakarta! Nah, pasti cocok banget tuh antara guru dan Dosen."

"Hahahaha." Agnia hanya tertawa.

"Kenapa ketawa, Bu? Coba dulu lah, Bu. Saya jamin, Ibu bakalan naksir."

"Tidak, Sachi. Terima kasih."

"Ih, kenapa? Ibu belum mencoba. Gimana kalau ketemu dulu ya, Bu? Mau yaaa, pleaseeee!" Sachi mengatupkan tangan.

"Permisiiii!" Seorang cowok yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kesenian—membuat percakapan mereka terhenti.

Sachi menoleh dan kaget. "Lo ngapain di sini?" Ia memelototi Garvi.

"Loh, memangnya ada larangan gue gak boleh masuk?" Garvi bicara tanpa dosa.

"Gak boleh, lah. Ruangan ini khusus orang seni. Lo enggak."

"Kehadiran gue ke sini, karena gue ingin daftar ekskull Seni juga."

"Ha? Lo? Ekskull Seni? Jangan ngarang deh, Garvi. Lo itu anak basket, lo Kapten basket."

"Gue udah bosan ikut basket. Gue ingin mencoba tantangan baru dengan cara ikut ekskull seni. Boleh kan, Bu?" Garvi tersenyum smirk saat menatap Agnia.

"Um, ya boleh-boleh saja sih, kalau gak ada masalah dengan ekskull sebelumnya," jawab Agnia ragu.

"Nah, kalau begitu daftarkan nama saya juga ya, Bu. Di catet Bu, Garvi Armaeda."

"Kamu mau ikut vocal juga?"

"Buka, Bu. Tapi—" jeda sejenak. "Saya mau ikut teater aja."

"Whattt???"

****

"Garvi, tugguin gueee!!"

Sachi terus berteriak memanggil nama Garvi, sambil mengejar langkah cowok itu yang terlalu cepat saat pergi menuju kelas.

"Garviii, tungguin guee!!!"

Teriak Sachi lagi, kali ini berhasil mendahului Garvi dan berdiri di tengah-tengah Garvi sambil merentangkan tangan. Sachi diam sejenak ketika napasnya ter-engah-engah.

"Apa lagi sih?" Garvi tampak kesal.

"Kenapa lo tiba-tiba pindah ekskull? Mana ikut ekskull teater lagi. Lo gak bisa akting, Garvi!"

"Kenapa gue harus akting, kalau gue bisa bersikap apa adanya untuk menyatakan perasaan gue dengan Bu Agnia."

'PLAK'

Sachi langsung memukul lengan Garvi.

"Aw." Garvi meringis. "Ngapain sih mukul-mukul gue."

"Biar lo sadar, kalau Bu Agnia itu adalah guru lo sendiri."

"Terus, kenapa? Masalahnya dimana?"

"Gila ya lo."

"Lo yang gila. Gue udah bilang jangan ngekorin gue mulu. Orang-orang akan semakin bikin gossip tentang kita. Dan gue gak mau," ucap Garvi sarkastis. "Dan satu lagi, jangan pernah maksa gue untuk mau nebengi lo pulang lagi. Karena gue punya tugas lain selain nebengi lo."

"Apa?"

"Bujuk Bu Agnia, agar mau gue tebengi." Garvi tersenyum penuh kepuasan sebelum pergi meninggalkan Sachi sendirian.

Sachi sakit hati dengan kalimat Garvi. Tapi dia berusaha bersikap biasa saja. Meskipun sebenarnya, Sachi ingin sekali menangis.

Eitssss! Ingat Sachi, lo gak boleh nangis. Karena lo adalah seorang power ranger warna abu butek. Ingat itu!

Dan benar saja, hari ini Sachi terpaksa pulang sendirian—persis seperti kemarin. Karena Garvi sedang membujuk Agnia di ruangan guru, agar mau pulang bersamanya.

Sachi jadi harus pulang naik ojek lagi deh! Dasar, Garvi menyebalkan.

Sesampainya di gedung apartemen, Sachi melihat Aizen baru saja keluar dari lobby apartemen dengan pakaian santai, namun rapi. Laki-laki itu terus berjalan menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di pelataran apartemen.

"Makasih ya, Pak." Sachi buru-buru turun dari ojek dan memberikan helem-nya kepada Abang ojek tersebut sebelum berlari menghampiri mobil Aizen.

"Widihhh, mobil baru, nih," celetuk Sachi menggoda.

"Sudah lama, kamu saja yang baru tahu." Aizen membuka pintu mobilnya dan masuk.

Tapi, tiba-tiba saja Sachi ikut membuka pintu mobil Aizen dan duduk di sebelahnya.

"Kamu ngapain?" Aizen menoleh kaget.

"Mau cobain mobil baru Mas Aizen, hehe." Sachi hanya nyengir. "Mas mau kemana sih? Rapi bener. Memangnya, udah selesai ngajar ya?"

"Sudah selesai, sudah pulang, dan sekarang mau pergi lagi. Ada yang mau ditanyakan lagi Ibu Sachi?" Aizen berusaha tersenyum meski sebenarnya, dia ingin sekali menempeleng kepala bocah di sebelahnya ini.

"Mau pergi kemana?" Sachi masih melanjutkan pertanyaannya sambil nyengir.

"Bukan urusan kamu, Sachi. Lebih baik kamu keluar dari mobil aku, dan tidur di apartemen kamu. Kamu baru pulang sekolah, kan? Kamu pasti capek dan butuh istirahat."

"Enggak kok, Mas." Sachi menggeleng kuat. "Aku gak capek dan gak butuh istirahat. Tapi, aku butuh healing. Aku ikut Mas ya?"

"Tidak," jawab Aizen cepat.

"Ihhh, kenapa?" Sachi cemberut kesal.

"Yah, tidak ada alasannya. Lagipula, kenapa kamu harus ikut aku? Dan untuk apa?"

"Untuk menghibur aku."

"He?" Aizen menaikkan sebelah alis.

"Pleaseeee, aku ikut yaaaa. Aku mau ikut Mas Aizen kemana pun Mas pergi." Sachi mengatupkan kedua telapak tangannya dan memohon.

"Tidak, Sachi. Kamu keluar saja dari mobilku sekarang."

"GAK MAU!" Sachi memegang erat pegangan yang ada di atap mobil. "Aku mau ikut Mas Ijennn, tolong bawa aku pergi, sebentar saja, pleaseee." Sachi merengek.

Membuat Aizen semakin heran, mengapa bocah ini harus sampai merengek segala. Aizen hanya bisa mengembuskan napas dengan kuat dan mengontrol rasa sabarnya.

"Oke, tapi jangan bawel, dan jangan bikin onar," kata Aizen akhirnya.

"Okeee!" Wajah Sachi berubah jadi semringah.

"Pake sabuk pengamanmu."

"Makan Sate di atas loteng, oke Mas Aizen yang ganteng."

"Huft....."

.
.
.
TBC

Hai, aku spill sampai BAB 5 dulu yaa.

Kalau ada yang tertarik mau lanjutannya komen aja yang rame.

Atau, dm aku di Instagram @iindahriyana

Plissss, aku ingin kembali ke Wattpad.

Semoga masih ada yang baca novel-novelku yaaah.

Salam, Emak Sachi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top