3. Makan Ramen Gratissss!

"Apapun makanannya. Minumannya tetap ludah sendiri."

********

"Lo ngapain bawa Garvi ikut kita segala, sih?"

Amel berbisik ketika mereka berdua berjalan tepat di belalang Aizen, sedangkan Garvi berjalan sendirian di belakang dua perempuan itu.

"Dia lagi sogok gue," balas Sachi ikut berbisik. "Karena dia ninggalin gue di sekolah."

"Lo sihh, masih aja kecintaan dengan tuh cowok." Amel mendumel kesal. Karena sebagai teman, Amel sudah sering mendengar curhatan Sachi tentang Garvi. Betapa sukanya Sachi dengan Garvi, namun sampai saat ini Sachi masih tidak berani mengungkapkan perasaannya sendiri kepada Garvi.

"Husssh!" Sachi menaruh telunjuk di depan bibir. "Eh, bentar yaa. Gue mau pergi dulu beli sesuatu." Tiba-tiba saja Sachi pergi meninggalkan rombongan entah kemana.

"Eh, lo mau kemana, Chi?" Amel berteriak, tapi Sachi udah menghilang dari pandangan.

"Kemana dia?" Tanya Aizen bingung.

"Gak tahu, tuh." Amel mengangkat bahu.

Kemudian, mereka pun sampai di restaurant ramen yang baru buka di mall Ardana. Aizen langsung memilih tempat dan duduk di sana. Seorang pelayan datang sambil membawa buku menu.

"Mau pesan langsung, atau mau lihat-lihat menunya dulu, Mas?" Tanya pelayan itu.

"Lihat-lihat dulu aja, Mas. Sambil nunggu temen," jawab Amel. Kemudian duduk di sebelah bangku Aizen.

"Heh, kamu!" Aizen mengedik ke arah Garvi yang mengambil tempat di hadapan Aizen. "Kamu bawa duit sendiri, kan? Aku gak akan mentraktirmu." Aizen menekankan kalimatnya. "Karena kamu gak diundang."

Garvi menyipitkan mata tajam. "Gue bukan orang miskin, lo tenang aja. Lagian, gue ada di sini juga karena terpaksa. Dipaksa Sachi." Garvi mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Ngomong-ngomong, dimana dia?"

"Nah, itu dia!" Amel menunjuk ke arah Sachi yang baru saja masuk ke dalam restaurant dengan napas ter-engag-engah.

"Hallooo, belum pada mesen, kan?" Sachi langsung duduk di kursi sebelah Garvi. "Pada nungguin aku yaaah," ucap Sachi percaya diri.

"Darimana kamu?" Tanya Aizen ketus, sambil melihat sengit sebuah paperbag yang ada di tangan Sachi.

"Habis beli ini." Sachi menunjuk paperbag-nya. Kemudian mengeluarkan isi dari dalam paperbag tersebut. Sebuah cake cokelat, topi ulangtahun, dan terompet kecil.

"Apaan nih, Chi? Siapa yang ulang tahun?" Tanya Amel penasaran. Bukan Sachi namanya kalau sehari aja gak jadi orang aneh.

"Mas Aizen pake ini yaaa." Sachi langsung memasangkan topi ulangtahun tersebut di kepala Aizen.

"Loh, untuk apa ini?" Aizen kelihatan bengong. Tapi Sachi semakin melanjutkan aksinya. Gadis itu menggeser cake cokelat tepat di hadapan Aizen, menempelkan lilin di atas cake, dan mulai menyalakan api.

PROOOOOTTTT.

Sachi meniup terompet. "Selamat datang kembali ke Ardana, Mas Ijeeen." Sachi berteriak dan bertepuk tangan dengan semangat.

"HAHAHAHAAH!" Garvi tertawa ngakak saat melihat ekspresi Aizen seperti lelaki tolol.

"Yeeeaaay! Selamat datang kembali ya, Mas. Semoga bahagia tinggal di sini!" Amel melanjutkan dan ikut memeriahkan sambutan yang dilakukan oleh Sachi.

"Tenang aja, Sachi juga pernah melakukan itu pada gue saat gue pertama kali tinggal di Ardana," ujar Garvi sambil menahan tawanya.

Aizen gak expect kalau hal ini akan terjadi di hidupnya. Ia menarik napas panjang dan berat, sebelum meniup lilin dan membuka topi ulang tahun dari kepalanya. "Thanks ya, Sachi." Aizen tersenyum dengan terpaksa. "Sudah, kan? Kita sudah bisa mulai memesan makanan?" Aizen mulai sewot.

"Aku mau chicken katsu Ramen, dua." Sachi mulai memilih menu.

Membuat semua orang terbengong menatap Sachi.

"Kenapa pada ngelihatin aku begitu banget, sih?" Sachi mendongak dan membalas tatapan mereka satu per satu. "Aku sengaja pesan dua karena ada dua orang yang akan mentraktir aku hari ini. Yang satu ramen sogokan dari Mas Ijen. Satu lagi ramen permintaan maaf dari Garvi."

Aizen geleng-geleng kepala. "Kamu masih nggak berubah ya. Masih tetap banyak makan seperti dulu, tapi nggak gemuk-gemuk. Aku sarani kamu minum obat cacing," celetuk Aizen yang membuat Amel tertawa kencang.

"Isss, sewot deh."  Sachi mengerucutkan bibir sebal. Kemudian pelayan datang dan mereka menyebutkan pesanan mereka masing-masing.

"Jadi—" Aizen kembali bicara ketika pelayan sudah pergi. "Siapa nama lo tadi?" Aizen menggaruk pelipisnya sambil menunjuk ke arah Garvi.

"Garvi."

"Nah, Garvi. Jadi, sudah berapa lama lo tinggal di Ardana?"

"Sudah Lima tahun, Mas," jawab Garvi dengan sopan.

"Dan, selama lima tahun ini. Telinga lo nggak budeg dengerin Sachi teriak-teriak mulu?"

Garvi menggeleng sambil menahan tawa. "Gue udah biasa aja, sih. Apalagi kita satu sekolah dan satu kelas juga."

"Wow, hebat! Kuat juga ya mental lo."

"Ih kenapa sih? Aku ini tetangga yang baik tahu." Sachi kembali memonyongkan bibirnya.

"Tapi suka mengusik tetangga lainnya dan bikin keributan. Bener, kan?"

"Tapi, Amel nggak pernah merasa terusik sama sekali, tuh. Justru, Amel seneng banget punya tetangga baik sepertikuuu."

Amel mengangguk semangat. "Bener! Seru tahuu, punya tetangga seperti Sachi."

"Nah, tuh, kan!" Sachi memukul meja.

"Jadi, lo beneran Kakak kandungnya Amel, Mas?" Garvi melanjutkan pertanyaan untuk Aizen.

"Yap. Kenapa? Lo ragu?"

"Sedikit. Tapi, sepertinya si Amel ini anak pungut deh. Karena Mas jauh lebih cakep daripada Amel."

"Mulut lo!" Amel melempar Garvi dengan buku menu.

"Yah, banyak yang bilang begitu, sih." Aizen malah setuju dengan pendapat Garvi.

"Massss!" Amel cemberut sebal, membuat Aizen tertawa.

"Hahaha, enggak kok. Kamu tetap adikku yang cantik dan baik hati." Aizen mencubit pipi dan hidung Amel dengan gemas.

Sachi terkekeh geli melihat aksi dua kakak-beradik ini, tapi sedikit nyesek karena dia hanya anak tunggal yang kurang mendapatkan kasih sayang orangtuanya sendiri.

"Oh iya!" Daripada berlatur-larut dalam kesedihan, Sachi coba mengalihkan suasana. "Jadi, Mas udah memutuskan untuk pindah ke Indonesia selamanya? Atau bakalan balik lagi ke Aussie?"

"Sejauh ini sih, aku akan tetap di Indonesia. Karena mulai besok, aku sudah mulai mengajar di kampus."

"Wow, Mas ini dosen ya?" Garvi berdecak kagum.

"Yap."

"Ngajar di kampus mana, Mas?" Tanya Garvi lagi penasaran.

"Nggak akan gue beri tahu."

"Kenapa?"

"Aku tidak mau, kamu, dan kamu...." Aizen menunjuk Garvi dan Sachi bergantian. "Kuliah di kampusku."

"Loh, kenapa?" Sachi mengerutkan dahi. Tampak sebal.

"Aku nggak mau punya mahasiswa berisik seperti kamu!" Ucap Aizen terang-terangan, dan berharap kalau Sachi akan segera sadar kalau dia sedang tidak mau diganggu oleh dunianya Sachi yang terlalu extraordinary.

***

"Wuihhh, kenyang banget gue hari ini, Mel."

Sachi menepuk pelan perutnya yang sedikit buncit setelah menghabiskan dua mangkuk ramen sekaligus.

"Yaiyalah kenyang! Lo ngabisin dua mangkuk ramen, Sachi." Amel geleng-geleng kepala melihat sikap temannya ini. Walaupu sebenarnya, Amel sudah terbiasa dengan tingkah laku Sachi yang unik ini.

"Oh iya, Mas. Jadi, hutang gue sama lo berapa?" Garvi merasa gak enak karena Aizen yang membayar semua makanan tadi.

"Gak perlu, lah." Aizen menyusun duitnya di dalam dompet. "Aku ikhlas. Tapi jangan sering-sering minta traktir makan ya. Bisa terkuras habis dompetku."

"Kalau begitu, lo masih punya hutang sama gue dong,  Vi!" Sachi berkacak pinggang saat menatap Garvi.

"Hutang apaan lagi sih, Chi?" Garvi mendecah sebal.

"Lo punya hutang sogokan ramen! Dan lo harus traktir gue lagi, karena ramen tadi ditraktir dengan Mas Ijen."

"Yaelah." Garvi mengusap rambutnya dengan frustrasi. "Kenapa gak disamain aja sih sekalian."

"Gak mau! Gue gak mau disogok pake ramen lagi." Sachi buang muka dan pura-pura ngambek.

"Terus, lo mau makan apa?"

"Gue mau sarapan di rumah lo besok pagi sebelum kita berangkat sekolah bareng. Dan gue mau lo sendiri yang masakin nasi goreng buat gue." Sachi memberi tantangan. Membuat Garvi jadi pusing tujuh keliling.

"Apa harus?"

"Harus dong!"

"Okey, kalau begitu aku duluan ya. Karena aku tidak ingin terlibat dalam drama bocil-bocil Ardana." Kalimat terakhir Aizen sebelum beranjak pergi meninggalkan yang lain.

"Mas Aizen, tungguin akuu. Aku mau ikut." Amel
Ikut berlari mengejar kakaknya.

Kini hanya tinggal Sachi dan Garvi yang ada di lobby apartemen.

"Jadi, gimana? Lo mau gak! Kalau enggak, gue bersumpah gak akan kasih contekan lagi sama lo di sekolah."

Bukannya sombong, sih. Tapi, gini-gini Sachi itu gadis yang pintar dan sering juara. Berbeda dengan Garvi yang otaknya hanya dipenuhi dengan Bu Agnia. Jadi, wajar saja kalau Sachi memberi ancaman seperti itu. Karena selama ini, Garvi selalu menyontek Sachi setiap kali ujian.

"Yaudah-yaudah, lo dateng ke apartemen gue aja besok pagi ya," kata Garvi akhirnya. Mulai mengalah.

"Nah, gitu dong! Itu baru ngakunya temen." Sachi meledek.

.
.
.
TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top