2. Ramen Ardana
"Memang gak ada yang melarang kita boleh suka dengan siapapun. Tapi, lihat-lihat juga dong! Masa lo mau sama Tante-Tante sih!"
**********
"Pichaaaa, tungguuuu!"
Sachi berlari menghampiri Garvi yang sedang menggendong Picha, ketika mereka bertemu di lorong Ardana.
"Ini kucing Amel, kan?" Tanya Garvi sambil memberikan Picha pada Sachi
"Ini kucing gue dan Amel." Sachi memeluk Picha dengan hangat.
"Lo pulang bareng siapa tadi?" Tanya Garvi lagi, karena memang sebenarnya, selain menjadi tetangga di Ardana. Garvi dan Sachi juga teman sekelas di sekolah.
Sachi memelototi Garvi dengan tajam. "Kenapa tanya-tanya? Memangnya lo peduli?"
"Lo marah sama gue?" Garvi menggaruk belakang kepalanya.
"Menurut lo?!" Sachi semakin sewot.
Kalau mengingat kejadian tadi, mungkin Sachi tidak ingin memaafkan Garvi seumur hidupnya. Tapi, Sachi gak akan bisa membenci Garvi. Jangankan seumur hidup, sehari aja gak melihat Garvi rasanya dunia Sachi berantakan.
Karena sejak pertama kali Garvi pindah ke apartemen Ardana, Sachi sudah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Garvi. Apalagi, apartemen Garvi tepat berada di sebelah apartemen Sachi. Hampir setiap malam Sachi membayangkan, "kira-kira apa yang dilakukan Garvi di sebelah ya?"
Tapi, Sachi harus membuang perasaannya jauh-jauh ketika Garvi juga pindah sekolah ke sekolahan Sachi. Mana satu kelas pula lagi! Makin double kill! Semenjak itu, Garvi selalu menganggap Sachi adalah teman, karena mereka selalu saja pergi dan pulang selolah barengan. Sementara itu, Sachi menganggap Garvi adalah cowok yang spesial di hidupnya.
Sampai suatu ketika, ada seorang guru kesenian cantik bernama Bu Agnia yang muncul di sekolah mereka. Dan semenjak itu, Garvi jadi melupakan Sachi sepenuhnya. Karena sepertinya, Garvi jatuh cinta dengan gurunya sendiri. Saking cintanya, Garvi hampir tidak punya banyak waktu untuk Sachi lagi. Yahh, seperti yang terjadi pagi ini. Garvi datang ke sekolah lebih pagi dan meninggalkan Sachi begitu saja—hanya karena Bu Agnia ada jadwal piket sebagai guru pengawas.
Nyebelin, kan? Murid gila mana yang jatuh cinta dengan guru sendiri?!
"Gue kan, sudah minta maaf, Chi." Garvi melanjutkan ketika Sachi hendak masuk ke dalam unit apartemennya sendiri.
"Kapan lo minta maaf sama gue?" Sachi menyipitkan mata sebal.
"Hmmm, dalam hati." Garvi nyengir. "Tapi, yang penting niatnya, kan?"
"Ha? Sinting ya lo!"
"Masa sih, lo beneran ngambek sama gue, Chi." Garvi tidak berhenti untuk terus membujuk Sachi. Karena Garvi sudah hafal dengan gelagat Sachi yang sebenarnya gampang dibujuk. "Ngomong-ngomong, ada ramen baru buka di Mall Ardana. Makan ramen yuk ntar malem." Garvi juga tahu makanan favorit Sachi. Dan Garvi yakin, kalau kali ini Sachi gak akan menolaknya.
Sachi masih memelototi Garvi, sebelum akhirnya nyengir. "Oke! Lo yang traktir, kan?!"
Tuh, kan! Bener dugaan Garvi. Kalau Sachi itu perempuan yang mudah dibujuk.
"Iya-iya, gue yang traktir," jawab Garvi sambil menahan tawa.
"Oke, awas lo bohong!"
Kalimat terakhir Sachi sebelum masuk ke dalam apartemen, dan membanting pintu.
***
Suasana langsung berbeda saat Sachi sudah masuk ke dalam apartemennya sendiri. Dia tidak lagi menjadi Sachi yang ceria dan menyebalkan seperti yang dia lakukan di luar tadi.
Tidak ada seorang pun di dalam apartemennya, kecuali foto-foto keluarga sialan yang terpajang di dinding. Foto itu seperti sebuah skenario untuk para tamu yang mampir.
Kedua orangtua Sachi selalu bekerja dari pagi hingga malam hari. Sachi tidak pernah merasakan hangatnya makan bersama keluarga seperti yang dilakukan Amel bersama BundaHAHA—meski Ayah Amel sendiri sudah tiada. Sachi tidak pernah merasakan canda tawa dari saudara kandung seperti Garvi dengan kakak dan abangnya. Karena Sachi adalah anak tunggal.
Sachi hanya punya Picha—yang terkadang tinggal di apartemennya—untuk mengisi kekosongan di hidupnya.
Sachi melepaskan Picha di lantai. Lalu dia pergi menuju kamar. Mengganti pakaian dan memilih untuk tidur sampai sore.
Alarm Sachi berbunyi ketika waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Ia merentangkan tangan sambil duduk di kasur. Sachi merasa jauh lebih baik setiap kali bangun tidur. Ia keluar kamar, melihat Picha tidur di sofa. Kemudian Sachi berjalan menuju balkon apartemennya. Melihat gedung-gedung pencakar langit di depannya.
Sachi menoleh ke kiri dan melihat Aizen sedang berbicara dengan burung yang ada di dalam sangkar.
"Eh, ada Mas Ijeennn!" Sachi memanggil.
Lelaki itu menoleh, dan mendengus panjang. "Sachi? Kenapa kamu ada di sana?"
"Ih, Mas Ijen lupa yaaa, kalau apartemen kita ini tetanggaan."
Aizen menghela napas lelah. Bagaimana mungkin dia bisa lupa kalau apartemen Sachi tepat di sebelah apartemennya. Yah, tadinya kalau Aizen ingat, mungkin dia sudah mengajukan pindah ke apartemen yang lebih aman dan tentram.
"Mas Ijennn, itu burung apa?" Tanya Sachi penasaran.
"Burung Beo," jawab Aizen singkat—yang sudah mulai males untuk meladeni Sachi.
"Bisa niruin suara kita dong?"
"Yah, terkadang."
"Mas Ijeennn ganteeeng!" Sachi berteriak. "Ih, kenapa Beo itu nggak mau ngikutin suara aku, sih?" Sachi bersungut sebal. "Baru beli ya, Mas? Kapan belinya? Kok aku gak lihat Mas Ijen beli burung, sih?"
Aizen menarik napas panjang. "Apa aku harus menceritakan semua kegiatan aku sama kamu? Tentang burung pun, kamu harus tahu ya?"
"Burung apa dulu, nihh. Kalau yang sangkarnya ada di dalem celana Mas Aizen sihh, kayaknya aku gak perlu tau, deh."
"Heh!" Aizen melotot.
"Hehehe, canda, Mas." Sachi malah nyengir. "Namanya siapa Mas Ijen?"
"Belum punya nama."
"Jenis kelaminnya apa?"
"Perempuan."
"Is, cabul! Mas intip yaaa!"
Aizen menarik napas lagi. Dalam hati bergumam, "sabar, Zen. Sabarr."
"Aku beri nama Kutilang yaaa!" Seru Sachi lagi.
"Ini burung Beo, Sachi. Bukan Kutilang."
"Ih, Kutilang itu artinya Kurus, Tinggi, dan langsing. Itu burung Mas Ijen udah cocok banget jadi model."
"Hmmm...." Aizen hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Boleh yaaa...." Bujuk Sachi.
"Terserah kamu saja, Sachi." Aizen sudah merasa lelah.
"Yes!" Sachi mengepalkan tangan dan menarik tangannya ke udara. "Hai Beo, mulai hari ini nama kamu adalah KUTILANGG! Coba bilang sekali lagi, Mas Ijennn ganteng!!"
Kutilang tetap diam. Bikin Sachi jadi kesal. "Is, dasar burung bisu!"
Aizen hanya terkekeh geli.
"Mas Ijeen!"
"Apa lagi, Sachi?" Aizen berusaha untuk mengontrol emosinya.
"Nanti malam jadi, kan?"
"Kemana?"
"Makan ramen!"
"Oke."
"Pukul tujuh yaaa!"
"Hmm...."
Aizen pun berbalik badan hendak masuk ke dalam apartemennya lagi setelah menaruh sangkar Kutilang di sudut lantai balkon.
"Mas Ijen mau kemana?"
"Kemana saja, asal menghilang dari hadapan kamu," jawab Aizen untuk yang terakhir kalinya sebelum benar-benar masuk ke dalam unit apartemennya.
"Ihhh, dasar sombong," celetuk Sachu sebal. "Eh, Kutilang, coba ngomong lagi, Mas Ijen ganteeng!! Mas Ijen gantengggg!!!" Teriak Sachi sambil menatap Kutilang dari kejauhan.
"Sachi cantikkk!" Tepat di sisi kanan Sachi, Garvi baru saja keluar dan berdiri di balkon. Jadi, posisi apartemen Sachi berada di antara apartemen Amel dan juga Garvi.
"Sachi cantikkk!!" Goda Garvi lagi, karena melihat Sachi masih ngambek. Padahal sudah dijanjiin akan ditraktir ramen.
Sachi sengaja menutup kedua telinganya. "Lo ngomong apa? Gue nggak denger."
"Cie masih marah. Ntar malam kan, kita mau nge-ramen."
Sachi buang muka, padahal dia juga tergoda dengan bujuk rayu Garvi.
"Ntar, nge-ramen jam berapa, nih?" Tanya Garvi lagi masih berusaha.
Sachi menunjukkan angka tujuh pada jarinya. Lalu masuk ke dalam apartemen begitu saja.
***
Sachi menatap dirinya di cermin dan memastikan kalau penampilannya sudah paling terbaik. Gak biasanya Sachi mau menggunakan dress pendek dan heels seperti ini. Tapi khusus malam ini, dia harus berpenampilan menarik, karena akan makan ramen bareng Garvi. Yah, meskipun nanti akan ada Aizen juga. Paling tidak, suasana gak menjadi canggung kalau Garvi dan Sachi hanya makan berdua saja.
From: Sachi
Gue tunggu di luar sekarang.
Setelah mengirim pesan kepada Amel dan Garvi, Sachi pun keluar dari apartemen. Lima menit kemudian, Aizen dan Amel juga keluar dari apartemen.
"Widihhhh, cantik banget lo." Amel shock melihat penampilan Sachi—yang berbeda dari biasanya. "Tapi, bukannya ini dress gue ya!" Amel menarik dress yang digunakan Sachi. "Kapan lo pinjemnya?"
"Hehehehe." Sachi terkekeh. "Gue curi di lemari lo."
"Ih, pantesan dress gue hilang. Ternyata lo ambil diem-diem ya! Tapi, lo cocok juga pake dress begini, Chi."
"Udah pernah dengar tubuh kita jadi kudisan nggak, gara-gara mencuri pakaian milik orang lain?" Celetuk Aizen tiba-tiba, tapi sangat jelas menyindir Sachi.
"Ih, maksud Mas Ijen apa? Mas sindir aku ya?" Sachi melotot kesal.
Sementara itu, Amel tertawa ngakak. "HAHAHAHA. Mas, aku dan Sachi ini memang suka pinjem-pinjeman barang kok. Jadi, kalaupun dia pinjem diem-diem, aku juga udah ikhlas," kata Amel lagi.
"Tuh, dengerin Adik Mas Ijen yang sungguh bijaksana." Sachi menujulurkan lidah sebal.
Tak lama kemudian, Garvi juga ikut keluar dari apartemen.
"Ada apa ini rame-rame?" Tanya Garvi bengong.
"Lo sendiri ngapain di sini?" Tanya Amel balik.
"Gue dan Sachi udah janjian mau makan ramen malam ini di mall bawah." Garvi menjawab.
"Loh, Garvi juga ikut, Chi?"
"Ho-oh!" Sachi mengangguk.
"Siapa yang minta kamu bawa pacar? Aku gak mau menanggung makan pacarmu," celetuk Aizen.
"Gue bukan pacar dia." Buru-buru Garvi menentang.
"Mas Aizen, ini Garvi. Dia juga tetangga kita di Ardana," Amel menjelaskan.
"Oh." Aizen hanya ber-oh dengan singkat.
"Eh, menurut lo gue cantik gak, Vi?" Sachi bertanya pada Garvi dengan percaya diri.
"Hahaha." Garvi tertawa saat memihat penampilan Sachi dari atas kepala hingga ujung kaki. "Lo ngapain pake sepatu tinggi begitu? Mau fashion show?"
"Is." Sachi cemberut kesal.
"Ini jadi mau makan atau enggak?" Tanya Aizen gak sabaran. Daripada harus mendengar drama para bocil di depannya.
"Jadi dong! Aku boleh pesan apa aja kan, Mas Ijennnn?" Sachi mengedipkan mata berulang kali.
"Terserah." Aizen menjawab singkat, sebelum pergi lebih dulu meninggalkan tempat.
.
.
.
.
TCB
HAI, semoga ada yang baca cerita ini ya.
Salam, Emak Sachi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top