18. Garvi Kaburrr

"Bukannya belajar dari kesalahan, malah lanjut Part 2."

******

"Mas Ijennn, kenapa buru-buru, sih? Emangnya lagi di kejar setan."

Sachi berusaha mengejar langkah Aizen yang terlalu cepat meski jalan tergopoh-gopoh.

"Mas Ijeeeenn!!" Teriak Sachi lagi, dia benar-benar merasa lelah jika harus mengikuti mood Aizen yang tiba-tiba saja berubah jadi cuek dan menyebalkan.

"Ada apa?" Akhirnya pria itu membalikan badan.

"Kakiku masih sakit, tungguin bentar." Sachi manyun, berharap dikasihani.

"Kamu tuh sehari saja gak bikin repot aku gak bisa ya?" Aizen melotot sebal, gak biasanya dia menjadi semarah ini.

"Kenapa, sih?" Sachi melangkah lagi mendekati Aizen. "Kenapa Mas tiba-tiba bersikap aneh? Memangnya, perempuan yang kasih Mas undangan pernikahan tadi itu seonggok setan ya?"

Aizen melengos. "Sama sepertimu maksudnya?"

"Is, masa aku juga disamain dengan setan."

"Bukannya masih sodaraan?"

"Isss, Mas Ijen!"

Aizen mengembuskan napas dengan lelah. Kemudian ia duduk di kursi yang ada di dekatnya.

"Kamu mau kan...."

"Mau apa?" Sachi mengerutkan dahi dan ikut duduk di sebelah Aizen.

"Datang ke pernikahan itu dan pura-pura menjadi pacarku."

"Oh my goddd!!!" Sachi menutup mulutnya yang menganga dengan dramatis. "Bukan sebagai anak dan Bapak?"

Azien menyipitkan mata dengan tajam.

"Hehe, bercanda, Mas! Jangan emosian dong." Sachi malah nyengir. "Ngomong-ngomong, perempuan tadi itu siapa sih, Mas? Mantan Mas Ijen? Eh, tapi gak mungkin dia itu mantan Mas Ijen. Karena Mas Ijen ini gay." Sachi bicara sendiri.

Tanpa sadar kalau Aizen menyipit saat menatapnya.

"Dia bukan mantanku," akhirnya Aizen menjawab.

"Tuh, kan! Aku bener, dia gak mungkin jadi mantan Mas Ijen."

"Dulu kami berteman dekat saat sama-sama kuliah di Aussie. Yaah, seperti kamu dan—" Aizen diam sejenak. "Siapa temenmu yang suka sama gurumu itu?"

"Ohhh, Garvi?"

"Yah, seperti kamu dan Garvi. Tapi bedanya, posisi yang kamu tempati saat ini adalah posisi aku dulu."

"Ah, jadi cinta bertepuk sebelah tangan ya?" Sachi menebak.

Aizen mengangguk, dan Sachi terbahak.

"HAHAHAHAHAH! Ternyata kita pernah senasib, toh!" Sachi tertawa sambil memukul lengan Aizen tanpa henti.

"Tapi, dia malah pacaran dengan orang lain di Aussie." Aizen melanjutkan kisahnya.

"Jadi, perempuan itu tahu kalau Mas Aizen suka sama dia?"

Aizen mengangguk lagi. "Aku bilang padanya, kalau aku suka dia."

"Terus, alasan di tolak kenapa?"

Aizen mengangkat bahu. "Klise. Dia gak mungkin membalas perasaan aku karena kami teman dekat."

"Hahahahaha, senasib lagi deh."

"Puas banget kamu ledekin aku ya?"

Sachi mengatup mulutnya rapat-rapat. "Sorry-sorry. Jadi, dia nikah dengan pacarnya?"

"Bukan, laki-laki tadi bukan pacarnya."

"OMG! Jadi Mas Ijen telat selangkah lagi? Harusnya, setelah perempuan itu putus dengan pacarnya, Mas Ijen bisa dapetin dia. Tapi, Mas Ijen gagal lagi dan akhirnya dia menikah dengan laki-laki lain." Sachi bicara dengan dramatis, sampai Aizen merasa frustrasi.

Pria itu mengusap wajahnya. "Kami gak pernah ketemu lagi setelah aku balik ke Indonesia. Dan aku memutuskan untuk gak berhubungan lagi dengan dia."

"Ternyata Mas Ijen bisa galau juga, toh." Sachi terus meledek.

"Sepertinya kita akhiri sesi tanya jawabnya sampai di sini ya, Ibu Sachi yang terhormat." Aizen bangkit dari duduknya. "Aku mau tidur dan istirahat." Lalu melangkah pergi.

"Mas Ijen mau ninggalin aku lagi?" Sachi menatap pria yang terus saja berjalan tanpa menoleh ke belakang itu dengan tatapan tak percaya. "Mas Ijeeeeen, gendong akuuu! Atau, aku gak mau pura-pura jadi pacar Mas Ijeeeen!" Sachi berteriak kencang.

Berhasil bikin langkah Aizen terhenti. Pria itu mendengus sebal. Ia lupa, kalau dia punya tuyul pengikut yang menyebalkan. Jadi, Aizen terpaksa berbalik badan, menghampiri Sachi lagi, dan menggendongnya.

"Heheheheheheh....."

****

Keesokan harinya Sachi sudah berdiri di depan apartemen Garvi sambil berusaha mengintip dan menguping. Karena sejujurnya, Sachi masih gak berani untuk menemui Garvi lagi setelah mendapat penolakan telak, hatinya masih terlalu sakit. Apalagi kalau tuh cowok sudah mengeluarkan kalimat sarkastis yang mampu menyayat hati.

Tiba-tiba saja pintu apartemen Garvi terbuka. Membuat Sachi melotot kaget. Untunglah yang muncul bukan Garvi, melainkan Bianca.

"Loh, Sachi? Kamu ngapain?" Aca pun kaget melihat kehadiran Sachi yang tiba-tiba.

"Heheheh." Sachi nyengir. "Garvinya masih di dalem ya, Kak?"

"Garvi?" Aca kelihatan murung. Membuat Sachi mengernyit heran. Kenapa Aca jadi murung ketika gadis itu menanyakan adiknya. "Kenapa, Kak? Ada apa dengan Garvi?" Tanya Sachi lagi penasaran.

"Garvi gak pulang sejak kemarin, Chi," ungkap Aca.

"Apa?" Sachi terpekik kaget. "Bukannya tadi malam Kakak dan Garvi mau ketemu dengan calonnya Bang Sean?"

"Nah, itu dia masalahnya, Chi. Sejak saat itu, Garvi sama sekali gak pulang."

"Ada masalah ya, Kak?"

"Chi...." Aca menyentuh tangan Sachi. "Kakak yakin, kalau kamu tahu masalah ini."

"Masalah apa, Kak?"

"Kalau Garvi suka dengan gurunya sendiri."

"Huk-huk-huk." Sachi tersedak ludahnya sendiri. "Jadi, Kakak udah tahu?"

"Kakak baru tahu tadi malam."

"Darimana Kakak bisa tahu? Garvi bawa gurunya ke acara tadi malam?"

Aca menggeleng. "Bukan Garvi, tapi Sean yang bawa Agnia ke acara tadi malam."

"Haaaaa?" Sachi terpekik lagi. "Jangan bilang kalau calon Bang Sean itu adalah Bu Agnia."

"Iya." Aca menggangguk lagi.

"Wahhhh....." mulut Sachi benar-benar menganga. "Wahhhh! Gilaaa! Ini beneran gilaaaa!! Gimana bisaaaaa!!?" Sachi menarik rambutnya ke belakang dengan selas-sela jari.

"Kakak juga gak nyangka kalau hal ini bakalan terjadi."

"Terus, gimana respon semuanya, Kak?"

"Garvi marah banget dan nonjok Sean. Sementara Sean sama sekali gak tahu menahu masalah ini. Yah, akhirnya Garvi pergi dan sampai sekarang gak pulang. Sean dan Agnia juga gak ngomong apa-apa sama Kakak, karena sepertinya mereka juga masih shock berat."

"Wahhhhhh!! Wahhhhh!!!" Sachi gak berhenti terheran-heran. "Kok bisa, sih? Dunia jadi sesempit ini? Padahal Indonesia itu luas loh, Kaaak!"

"Sachi...." Aca menyentuh kedua tangan Sachi dengan erat. "Kamu tahu gak kira-kira Garvi sembunyi dimana? Atau tinggal dimana? Mungkin di rumah temen dekatnya yang lain?"

"Kak, Garvi gak punya temen deket selain aku."

"Iya juga yaaa. Kakak juga gak pernah lihat dia berteman dengan yang lain selain sama kamu. Tapi, kalau seandainya Garvi masuk sekolah. Tolong kamu bujuk dia untuk pulang yaa, dan bicarakan masalah ini dengan hati yang tenang."

"Iya, Kak. Aku akan berusaha cari Garvi juga."

"Makasih ya, Chii. Kakak berharap banyak sama kamu."

****

Cerita Bianca tadi membuat Sachi jadi kepikiran. Sampai di sekolah pun, dia jadi gak bisa tenang.

Kok bisa, sih? Itu pertanyaan yang terus berpendar di kepalanya. Dia ingin tertawa atas kesialan yang ditimpa Garvi, tapi kembali lagi... gimana pun juga Garvi masih menjadi cinta pertamanya.

Ahhh, dasar uedannn!!!

Sachi terus menatap ke arah pintu kelas dan berharap Garvi muncul. Tapi, sampai bell masuk berbunyi pun Garvi gak juga datang ke sekolah.

Lo pergi kemana sih, Gar?"

Sachi gak bisa hanya berdiam diri di sini. Bisa saja Garvi memutuskan untuk bunuh diri dengan cara lompat ke sungai.

"GAK!" Sachi memukul meja dan berdiri dari duduknya. Teriakannya yang menggema, membuat semua orang di kelas jadi menatap ke arahnya. "Gue harus cari Garvi," ucapnya lagi dengan penuh keyakinan.

Lalu gadis itu membawa tas dan beranjak dari kelas.

"Sachi, mau kemana kamu?" Teriak Pak Wandi saat mereka berpapasan di depan kelas, tapi Sachi tetap memilih untuk melengos begitu saja dari hadapan Pak Wandi.

Pertama-tamana yang Sachi lakukan adalah; menemui Agnia. Mungkin saja Garvi tidur di rumah Agnia sambil nangis-nangis kayak bayi.

TOK-TOK-TOK.

Sachi mengetuk pintu kelas ketika Agnia baru saja masuk ke dalam kelas tersebut.

"Sachi?" Kedua alis Agnia terangkat.

"Bisa kita bicara sebentar, Bu?"

"Oh, oke...." Agnia sudah paham apa yang akan Sachi bicarakan. Apalagi kalau bukan kejadian tadi malam. Dan Agnia berpikir kalau masalah ini memang harus dibicarakan.

Perempuan itu pun keluar dari kelas untuk menemui Sachi.

"Iya, Chi? Garvi sudah pulang?" Agnia to the point.

"Belum, Bu. Kakaknya masih bingung mau cari Garvi kemana." Jeda sejenak. "Hubungan Bu Agnia dan Bang Sean gimana?"

Agnia menarik napas dalam-dalam. "Kami baik-baik aja, tapi Sean masih shock."

"Bu, apapun yang terjadi jangan pernah batalkan pertunangan Ibu dengan Bang Sean ya. Karena saya yakin, Bang Sean adalah laki-laki yang sangat baik, Bu."

Agnia hanya menganggukkan kepala. "Sean belum bicara apa-apa tentang kelanjutan hubungan ini. Tapi kami masih berkomunikasi seperti biasa."

"Bu Agnia jangan pikirin masalah ini, saya akan cari Garvi dan coba ngomong baik-baik sama dia. Kalau selama ini perasaan dia itu memang sudah salah."

Agnia tersenyum lega. "Sachi, makasih banyak yaah, sudah mau bantu saya. Sejujurnya, kejadian ini bikin saya sampe gak tidur semalaman."

"Iya, Buuuu. Ibu tenang aja yaaa, kalau gitu saya pergi dulu."

"Pergi kemana, Sachi?"

"Mau cari Garvi, Bu."

"Sekarang?" Agnia menaikkan alis.

"Iya, Buuu!" Sachi sudah siap-siap hendak pergi.

"Loh, ini masih jam pelajaran, Sachi."

"Saya bakalan bolos, Buuuu!" Sachi memekik kecil sebelum lari terbirit-birit meninggalkan Agnia yang masih terbengong di tempat.

"APA? Bolosss???" Agnia baru menyadari ucapan semberono Sachi.

.
.
.
TBC

29/12/24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top