17. Galauuuuu
"Pusing-pusing jatuh cinta, malah jatuh cinta sama jodoh Abang sendiri. Dasar geblek!"
*****
"Kenalin, perempuan ini adalah perempuan satu-satunya yang berhasil mengambil hatiku, sampai membuat aku mantap untuk menikahinya. Namanya Agnia." Sean memperkenalkan perempuan di sampingnya.
Sementara itu, Garvi dan Agnia masih bertatapan lama. Bahkan, Aca sendiri sampai heran dengan tatapan mereka.
"Gar...." Aca jadi menyikut adiknya agar segera berdekip.
Akhirnya Garvi memalingkan tatapannya ke bawah, cowok itu menarik napas sejenak. Dia tidak menyangka kalau hal ini akan terjadi di hidupnya. Dan kejadian ini bikin hatinya sangat sakit.
"Jadi...." Garvi mendongak menatap Sean. "Bu Agnia ini adalah calon istri Bang Sean?"
"Iya," Sean menjawab ragu. Dia ragu karena mendengar Garvi menyebut panggilan 'Bu' pada kekasihnya. "Kamu kenal dengan Agnia?" tanya Sean meyakinkan.
Garvi tersenyum miris. "Yah, dia guru di sekolahku."
"Wow." Sean ternganga.
Tapi, Garvi mengerutkan dahi. "Bang Sean gak tahu kalau pacar Abang sendiri jadi guru di sekolahku?"
"Um, Agnia baru pindah ke sekolahmu, kan?"
"Iya, tapi Bang Sean sama sekali gak tahu kalau Bu Agnia jadi guru di sekolahku?" Garvi mengulang.
Sean diam dan menelan ludah.
"Hahaha." Garvi tertawa hambar. "Pantas saja selama ini Bu Agania selalu bersikap seolah-olah gak punya pacar. Karena ternyata pacarnya itu sama sekali gak peduli dengannya. Bahkan sampai gak tahu pacarnya sendiri kerja dimana. Kok bisa tahan sih, Bu? Apa karena Bang Sean pilot?"
"Hussst, Garvi! Lo apan sih." Aca kembali menegur adiknya.
"Hahaha." Garvi tertawa lagi. "Gue tahu-gue tahu.... Bu Agnia pasti lebih milih pilot lah, dibandingkan siswa kayak gue. Itu karena Bu Agnia matre, dan punya cita-cita pengen jadi kaya raya? Yaahh, biar gak jadi guru lagi di sekolah, kan? Gue tahu lah, rumah Bu Agnia aja jelek begitu. Bu Agnia pasti bukan orang kaya, lah. Makanya yang diincer itu Abang gue."
"GARVI!" Sean kali ini membentak sampai memelototinya dengan ganas. "Apa maksud ucapan kamu itu? Apa menurutmu, ucapan kamu itu sopan?"
"GUE MEMANG GAK SOPAN! TAPI GUE JUGA PUNYA HATI!" Garvi balik berteriak, ia sampai berdiri dari duduknya.
Perasaannya mulai emosional, dan emosinya sedang tidak stabil saat ini.
"Maksud kamu apa sampe ngomongin rumah Agnia jelek?"
"Lo gak tahu ya, Kak? Kalau gue itu sering anter jemput cewek lo. Lo tanya aja tuh sama dia!" Garvi menunjuk Agnia. "Dia gak cerita sama lo ya? Kalian pasti jarang komunikasi, hahaha."
Sean menatap Agnia dengan bingung, sementara Agnia sendiri masih diam karena merasa terjebak di dalam situasi ini. Dia juga shock berat saat tahu kalau ternyata Garvi adalah adik kandung Sean. Karena selama ini Sean gak pernah cerita apapun tentang keluarganya. Oke, mungkin Sean cuma cerita kalau dia punya satu adik, dan kakak perempuan. Tapi, sialnya Agnia gak pernah melihat foto keluarga mereka.
"Sekarang gue paham kenapa hidup ini harus realistis. Ya jelas lah, Ibu lebih pilih Abang saya daripada saya. Padahal, Ibu sendiri tahu kan, siapa yang jauh lebih peduli dan mencintai Ibu? Saya, Buuu. Pantas saja Ibu menolak saya terang-terangan dengan kata-kata yang bikin hati saya sangat sakit." Garvi berjalan mendekati Agnia dan Sean, dan dengan beraninya berdiri tepat di depan mereka.
"Apa? Apa maksud dari perkataanmu tadi? Kamu suka dengan Agnia." Sean semakin mengerutkan dahi dengan bingung.
"Yaaa, gue suka sama Agnia!" Garvi berteriak di depan wajah Sean. "Dan sialnya, dia lebih milih elo dibandingkan gue. Karena elo jauh lebih tajir?! Dasar brengsek!"
GEDEBUG!
Tiba-tiba saja Garvi memukul wajah Sean, sampai kepala lelaki itu terhuyung ke samping.
"GARVI!" Bianca berteriak kaget.
"Apa-apan kamu, Garvi?" Agnia mendorong Garvi dengan kesal.
"KENAPA? GAK TERIMA PACAR LO GUE PUKUL, HA?" Garvi berani berteriak di depan gurunya. Bahkan, dia tidak ingin menganggap Agnia lagi sebagai gurunya. Tapi di sisi lain, Garvi juga tidak akan bisa menerima Agnia sebagai calon kakak iparnya.
Itu kalimat dan teriakan terakhir Garvi, sebelum cowok itu memutuskan pergi dari restaurant ini. Teriakan Aca yang menggema di ruangan saat memanggil nama adiknya berulang kali sama sekali tidak dihiraukan oleh Garvi.
Tapi Garvi tidak pernah merasakan jatuh cinta sampai segini parahnya. Sialnya, dia malah jatuh cinta dengan gurunya sendiri.
***
"Aduhhhh, sakit, Mas. Pelan-pelan dongg!"
Sachi meringis saat dia duduk di kursi yang ada di minimarket. Sementara di hadapannya, Aizen sedang membungkuk sambil mengobati lukanya yang penuh darah.
"Kalau gak mau ngerasain sakit, kakimu diamputasi aja," celetuk Aizen semberono.
"Iss!" Sachi sebal, sampai nyaris menendang Aizen. Untunglah Aizen segera menghindar.
"Ya sabar dong, siapa suruh kamu lari-larian kayak bocil begini."
"Ih, aku tuh emang bocil, cantik, imut, dan lucu." Sachi mulai percaya diri.
"Nah, ini nih akibat sering melawan ucapan orangtua. Jadinya kamu kualat, kan?"
"Naaah, sekarang Mas udah mengakui diri Mas itu orangtua, kan? Jadi, Mas memang pantas dan layak aku panggil BAPAK."
"Diam kamu."
"BAPAK IJENNNNN."
"Aku bikin sakit lututmu lagi ya." Aizen semakin kuat menekan luka di lutut Sachi dengan kapas.
"Aduhhh, sakit, Masssss...." Sachi meringis kesakitan.
"Aizen...." tiba-tiba saja mereka mendengar suara seorang perempuan yang memanggil nama 'Aizen'. Membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara tersembut, dan refleks Aizen langsung terduduk di lantai.
"Ahh, ternyata bener kamu." Perempuan itu terkekeh geli. "Tadinya aku mau sapa, tapi takut salah orang. Aku udah lihat kamu waktu di dalem minimarket, dan sekarang aku mau mastiin lagi kalau ini beneran kamu." Perempuan itu terlihat sangat bersemangat.
"Oh, hai...." Aizen buru-buru berdiri. Sangat memalukan sekalia dia sampai terduduk di lantai ketika bertemu dengan perempuan yang sangat dia cintai ketika sama-sama menempuh pendidikan di Aussie.
Tapi kenapa semesta harus mempertemukan mereka lagi di Indonesia? Padahal tujuan utama Aizen pulang ke Indonesia agar dia bisa move-on dengan cepat. Nyatanya, dia malah semakin dibikin gagal move-on akibat kehadiran Yaya.
"Udah lama banget ya gak ketemu, kamu apa kabar?" Yaya mengulurkan tangan.
Aizen menatap tangan itu dengan kaku. Mengapa hanya dirinya yang kaku? Mengapa Yaya sama sekali tidak canggung bertemu dengannya lagi.
"Aku? Kabar baik." Aizen membalas uluran tangan perempuan itu, karena dia sangat amat rindu menyentuh tangan lembut Yaya. "Kamu sendiri gimana? Bukannya kamu mau menetap di Aussie bersama laki-laki itu. Siapa namanya? Robert ya?"
"Ah, itu." Yaya bersemu merah. "Aku udah lama putus dengan dia."
"Ohhhhh...." mata Aizen berbinar mendengar kata putus. Itu artinya, Aizen masih punya peluang emas untuk mendapatkan Yaya, kan?
"Ini...." Yaya mengedik ke arah Sachi yang masih duduk di kursi. "Pacar kamu ya?"
"Bukaan, bukaan pacar aku!" Aizen langsung klarifikasi agar Yaya tidak salah paham.
"Oohh, kirain kamu sudah punya pacar! Tadinya aku mau ngucapin selamet...."
"Enggak lah, nggak mungkin aku bisa punya pacar, sementara aku saja belum bisa mov—"
"Sayang...." seorang lelaki jangkung datang menghampiri Yaya, berdiri di sebelah Yaya, dan memeluk pinggang Yaya.
What the? Apa-apaan ini. Siapa lelaki asing yang berani-beraninya menyentuh pinggang perempuan yang sangat Aizen cintai. Harusnya, Aizen yang ada di posisi itu saat ini.
"Eh, iyaa, kenalin Zen, ini pacar aku. Namanya Nakula." Dengan bangganya Yaya memperkenalkan lelaki di sebelahnya itu.
"Kamu sudah punya pacar lagi?" Aizen benar-benar merasa tidak percaya.
"Ah, sorry, kebetulan kamu ada di sini. Jadi sekalian aja aku kasih ini...." Yaya merogoh isi dalam tasnya dan mengambil sesuatu yang langsung dia berikan kepada Aizen. "Ini undangan pernikahan aku untuk hari Minggu. Kamu jangan lupa datang ya."
Sebuah plotwist yang menghantam kehidupan Aizen saat ini, sampai Aizen sendiri sulit untuk sadar dari kenyataan kalau ini bukan mimpi.
Apa tadi kata Yaya? Undangan pernikahan? Mereka akan menikah? Yaya? Dengan Jerapah ini?
Tidaak, tidak mungkin ini akan menjadi ending terburuk di dalam kehidupan Aizen yang penuh dengak porak-poranda. Tadinya Aizen pikir, dia akan bisa memulai lembaran baru bersama Yaya. Tapi ternyata, nama Aizen memang tidak akan pernah ada di dalam cerita hidup Yaya.
"Aizen...." Yaya melambaikan tangan di depan muka Aizen karena sudah terlalu lama termenung.
"Eh, iya, sorry." Aizen langsung merampas undangan pernikahan itu. "Oke, aku akan datang ke acara nikahanmu dengan pacarku."
"Pacar?" Kedua alis Yaya naik.
"Iya, pacarku ini." Aizen langsung menarik Sachi untuk berdiri, padahal kaki cewek itu masih sakit.
"Aduh, sakit tahu, Mas." Sachi malah mengoceh.
"Ini pacarku, cantik ya dia." Aizen balas dendam dengan cara menyentuh pinggang Sachi dengan erat.
Yaya hanya nyengir dengan bingung. "Tadi katamu bilang kalau dia bukan pacarmu."
"Oh ya? Kapan?" Aizen pura-pura bego. Dan sepertinya dia beneran jadi orang paling bego di hadapan mereka semua. Padahal, dia ini dosen,
Loh! Kemana harga dirinya saat ini?
"Hehe, oke-oke. Kalau begitu, aku duluan yaa. Semoga kamu datang ke acara nikahanku. Byee...." Yaya dan Kekasihnya si Jerapa itu berpegangan tangan dengan erat, lalu pergi meninggalkan Aizen dengan sangat amat menyedihkan.
Bagaimana mungkin Aizen harus mengakui bocah yang menggunakan pakaian jumpsuit jeans, dan rambut kucir kuda di sebelahnya ini sebagai pacarnya.
PACARNYA?
Kutelan juga lama-lama nih Bumi!
Aizen mengusap wajah dengan frustrasi.
"Kenapa Mas malah bilang kalau aku itu pacar Maa Ijen. Dari segi wajah aja dia gak bakalan percaya, lah. Karena Mas Jauh lebih tua daripada aku." Sachi mulai mengoceh lagi disaat Aizen sama sekali tidak ingin mendengar suara siapapun di dunia ini.
Dia mau pulang saja.
Dia malu!
"Aduhhh...." Sachi meringis ketika Aizen melepaskan tubuh Sachi. Membuat Sachi nyaris terjatuh ke lantai. Sementara itu, Aizen langsung berlalu pergi. "Mas Ijen mau kemana?"
"Jangan ikutin aku, Sachi." Aizen bicara dengan lemas.
"Mas Ijeeen, tungguin akuuu! GENDOONGG!!!"
.
.
.
TBC
Salam,
Emak Sachi
20/12/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top