15. Laluuu? Capek, deh!

"Lalu lintas, lalu datang, lalu pergi, lalu... apa lagi?"

*******

Garvi membanting pintunya saat baru saja masuk ke dalam apartemen. Wajah cowok itu terlihat sangat kesal dan kecewa setelah mengetahui kalau perempuan yang dia cintai telah menolaknya secara terang-terangan.

"Garvi, sini makan bareng dulu." Aca memanggil adiknya yang hendak masuk ke dalam kamar.

Garvi berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah ruang makan. Dimana Aca dan Sean sudah duduk di sana sambil menyantap makanan mereka. Garvi tidak ingin terlihat sangat kacau balau, apalagi kalau Bianca tahu Garvi patah hati karena cintanya ditolak oleh gurunya sendiri. Bisa-bisa Garvi ditempeleng.

Garvi juga ingin menghargai kakak-kakaknya yang super sibuk ini, tapi masih bisa menyempatkan waktu di rumah untuk makan bersama.

"Iya, Kak." Akhirnya Garvi ikut bergabung dengan Sean dan Bianca.

"Kenapa muka lo murung begitu, sih? Habis patah hati?" Tebak Aca benar. Tapi tetap saja Aca gak boleh tahu siapa orang yang telah menyebabkan Garvi sampai patah hati ini. "Habis diselingkuhin Sachi yaa?" tebak Aca lagi. "Habisnya akhir-akhir ini kalian jarang kelihatan main bareng lagi. Apa karena sekarang Sachi lebih sering bepergian dengan Kakaknya Amel?"

Garvi langsung menatap Aca.

"Yahh, gue sering lihat mereka barengan mulu, sih," lanjut Aca lagi.

Garvi menatap piring di atas meja. "Gak ada hubungannya dengan Sachi, dan kenapa bisa-bisanya lo anggap gue itu suka sama Sachi, sih?"

"Loh, memangnya enggak ya?"

"Enggak, lah."

"Jadi, kalian gak pacaran?"

"Gak. Gak mungkin dan gak akan."

"Yaah, padahal Sachi itu cantik dan lucu loh, Gar. Lo beneran gak tertarik sama dia?"

"Enggak, Kaaaak." Garvi mengerang sebal.

"Oke-oke, fineee." Aca melanjutkan makannya.

"Aku habis melamar seorang perempuan." Kali ini Sean yang tiba-tiba bicara.

"Huk-huk." Aca tersedak makanannya. Karena dia sangat tahu kalau Sean adalah satu-satunya adik yang paling pelit bicara dibandingkan Garvi. Jadi wajar saja kalau Aca kaget mendengar adiknya bicara, tapi tiba-tiba bilang kalau sudah melamar seorang perempuan. Dan semua orang tahu, kalau Sean tidak pernah membahas perempuan manapun di depan Aca dan juga Garvi.

"Kamu serius ingin melangkahi aku tanpa izin dulu?" Aca melotot kesal.

Sean menelan ludah dan terdiam karena takut.

"Hahahahaha." Aca tertawa terbahak. "Gapapa, Sean. Gue gak keberatan kalau lo mau melangkahi gue untuk menikah duluah. Tapi, gue shock! Kenapa lo tiba-tiba lamar perempuan! Bahkan, selama ini gue dan Garvi selalu mikir kalau elo tuh gak normal."

"Anjir." Garvi ikutan kaget. "Kak!" Ia memelototi kakaknya.

"Kenapa? Emang bener, kok."

"Bukan begitu, Bang. Maksud Kak Aca tuh gini, gue dan Kak Aca pikir lo gak normal karena lo gak pernah kelihatan punya pacar. Bahkan semua postingan media sosial lo itu cuma gambar pesawat, awan, dan langit doang. Lo tuh cowok membosankan, jadi kita pikir lo gak normal. Secara yaa, di dunia penerbangan itu pasti lo banyak banget ketemu perempuan cantik. Tapi sekalipun lo gak pernah membahas perempuan-perempuan cantik itu."

"Bener!" Aca menjentikkan jari.

"Perempuan yang aku lamar bukan kerja di dunia penerbangan," jelas Sean. "Dia hanya perempuan biasa, dan profesinya seorang guru."

"Waaahh, sebuah plotwist." Aca tercengang kaget. "Kok bisa kenalan sama seorang guru, sih? Kenal darimana?"

"Dia teman sekolah aku, Kak. Sebenarnya kita sudah pacaran sejak SMA."

"Dan selama itu kalian berpacan, tapi gak ada satu orang pun yang tahu?" Aca semakin terkaget-kaget.

"Yah, paling teman-teman dekat saja yang tahu. Tapi, kami memang bukan tipe orang yang suka publish, dan kami sebenarnya juga jarang bertemu. Apalagi semenjak aku berkecimpung di dunia penerbangan. Kami hanya fokus dengan karir masing-masing saja."

"Gilaaaaa.... kok bisa dia tahan banget sama lo, sampai sejauh ini ya? Kita semua tahu kalau elo tuh sangat cuek, dingin, dan... Ah, pokoknya kalau gue jadi tuh perempuan, gue udah pasti bakal putusin elo karena gak tahan pacaran sama lo, Sean." Aca gak berhenti takjub dengan semua penjelasan Sean.

"Kayaknya tuh perempuan harus dikasih hadiah deh, Kak. Karena berhasil menaklukkan hati Bang Sean." Goda Garvi.

"Gue setuju, sih! Tapi, gue punya satu pertanyaan lagi. Kenapa tiba-tiba lo memantapkan hati buat melamar dia?"

"Yah, seperti yang udah Kakak bilang, kan? Kalau Kak Aca jadi perempuan itu, mungkin Kakak gak bakalan tahan punya hubungan denganku. Tapi, dia berbeda, dia sabar, tenang, kalem, dan baik. Dia gak pernah complain terkait waktuku, dia gak pernah meminta aku meluangkan waktu untuknya, dia juga gak pernah menuntut apapun dari aku. Jadi, aku pikir, dia adalah wanita yang tepat untuk aku jadikan sebagai istri."

"Kereeeennnn!" Aca terlalu bersemangat, sampai bersikap berlebihan. Dia pun bertepuk tangan karena kagum kepada adiknya sendiri. "Lo keren banget, sih, Seannnn! Gue terharu banget punya adik macem lo. Gak kayak Garvi tuh, yang suka bikin masalah terus." Di akhir, Aca meledek Garvi.

"Enak aja lo." Garvi tidak terima.

"So...." Aca mencondongkan wajah. "Kapan lo mau perkenalkan perempuan itu dengan kita?"

"Nanti malam gimana? Kakak dan Garvi gak keberatan, kan?"

"Gue bisa, bisa banget. Lebih cepat lebih baik, kaan! Dan Garvi juga harus bisa, lah! Iya, kan?" Aca menyikut adiknya.

"Iya-iya, gue bisa deh."

Disaat Garvi sama sekali tidak bisa membendung perasaanya kalau dia sangat amat patah hati dan galau. Tapi di satu sisi, dia harus ikut bahagia atas kebahagiaan Abangnya sendiri.

***

"HUAAAAHHHHHHHHHHHHHHH...."

Sementara di dunia lain, Sachi menangis di kamar Amel sambil menceritakan seluruh kejadian yang dia alami hari ini. Betapa kampretnya seorang Garvi yang berani mengata-ngatainya KAYAK MONYET.

"Gue sama sekali gak nyangka kalau Garvi bakalan sekejam itu sama gue!! Gue sakit hati banget sama kata-kata dan sikap dia, Amellll. Gue gak mau datang ke sekolah besok, gue gak mau ketemu Garvi!!!"

Entah sudah berapa banyak tisu yang digunakan oleh Sachi untuk menyembur ingus—yang sebenarnya hanya ingus halusinasi saja.

"Gue bilang juga apa, Garvi tuh bukan cowok baik, Chi. Udahlah, lo tuh harus bisa move-on dari dia, dan jangan suka sama dia lagi. Lagian, gak ada gantengnya tuh anak." Amel ikutan sebal mendengar cerita Sachi tadi.

"Mana bisa gue move-on, Melll. Gimana caranya gue mau move-on, Amell. Gue udah cinta mati sama dia."

"Lo pernah denger kata-kata ini, nggak? Satu-satunya cara untuk move-on adalah, dengan menemukan orang yang baru. Itu artinya, lo harus menemukan cowok lain yang bisa bikin lo merasakan butterfly era lagi."

"Yaelah, gue harus cari kemana? Di selokan?"

"Dih, emangnya lo mau pacaran sama ikan cupang?"

"Diem lo!"

"Lo cari di aplikasi biro jodoh, lah, Chi!"

"Ha?" Sachi melongo menatap Amel.

"Ih, lo gak tahu aplikasi biro jodoh? Norak banget lo!"

"Enggak, emang ada aplikasi buat cari jodoh?"

"IHHHHH, LO NORAK BANGET SUMPAH! Mana hape lo? Sini gue kasih tahu caranya!"

Sachi memberikan ponselnya dengan sukarela. Amel langsung download aplikasi tersebut dan mulai memainkannya. "Nih, gue masukin tanggal lahir, tahun lahir, dan biodata lo. Terus pake foto yang paling cantik yaa, biar tuh cowok-cowok tertarik."

"Isss, jangan, deh." Sachi merampas ponselnya lagi. "Jangan pake nama dan foto asli."

"Kalau gak dipake, gimana orang-orang bakalan tahu sama elo, Sachi."

"Yah, dari situ kita bisa melihat seseorang itu tulus atau enggak, Mel. Kalau gue pasang foto cewek sexy dan tobrut, pasti banyak yang mau kenalan sama gue. Nah, setelah ketemu... baru deh gue bisa nilai tuh cowok tulus atau enggak."

Amel menepuk jidat. "Dasar setressss! Gue udah bantuin lo, tapi gue lupa kalau temen gue ini sinting. Dalah, gak jadi gue bantuin lo!"

Amel baring di kasur dan menarik selimut sampai menutupi tubuhnya.

"Ihh, Amelll. Jangan tidur dulu dongggg."

Sementara itu di tempat lain, Aizen baru saja keluar dari kamarnya dan melihat sang Bunda terus menguping di depan pintu kamar Amel.

"Bun, ngapain, sih?" Aizen menepuk pelan pundak Dewi, sampai Dewi tertegun kaget.

"Ih, kamu ngagetin aja, sih." Dewi mengusap dadanya dramatis.

"Itu Sachi kenapa nginep lagi di rumah kita? Bukannya besok sekolah?" Aizen menunjuk ke arah pintu kamar Amel.

"Hussh, biarin. Kasihan dia kalau disuruh tidur sendirian di apartemennya."

"Yaudah, sekalian saja suruh dia pindah KK jadi KK keluarga kita." Aizen jadi sewot.

"Ih, kamu ini!"

"Habisnya dia berisik banget, Bun." Aizen berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air. "Ngapain juga tuh cowok jelek ditangisi."

"Maksudmu, si Garvi?'

"Iya. Memangnya ada laki-laki ganteng selain aku di Ardana? Enggak ada kan, Bun?"

"Yeee, geer banget kamu! Tapi, bener sih, bisa-bisanya yaa, ada murid yang suka dengan gurunya sendiri."

"Nah, itu namanya udah stress, Bun."

"Memangnya, kamu gak punya mahasiswa yang suka sama dosennya sendiri?"

Aizen mengerutkan dahi. "Bunda mau bikin novel tentang murid yang suka sama dosennya sendiri?"

"Ih, Bunda serius." Dewi mencubit gemas lengan anaknya. "Masa sih, gak ada yang tertarik sama kamu di kampus? Kamu itu cakep, loh. Semua orang pasti tahu kalau kamu masih single dan normal kan, Zen?"

"Hahaha, Bunda ada-ada aja, deh. Kalaupun ada Mahasiswaku yang suka sama aku, aku akan menolak dia mentah-mentah lah, Bun."

"Ih, kenapa, sih?"

"Bun, aku gak suka dengan bocah. Dan aku gak akan pacaran dengan mahasiswaku sendiri. Aku bukan dosen gila." Lalu Aizen berlalu masuk ke dalam kamarnya.

"Awas kamu, Zen, kemakan sama omonganmu sendiri!" Dewi bersorak.

Tapi Aizen langsung menutup pintu kamar, seolah tidak peduli dengan ucapan Bundanya lagi.
.
.
.
TBC

AYO YOoo...

Ada yang bisa tebak dengan kejutan du next part?

Semoga masih ada yang baca yaah.

Love, Emak Sachi.
17/12/24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top