14. Sachi Kayak Monyet.
"Diam bukan berarti lemah, tapi laparrrr...."
******
Di sepanjang perjalanan, Sachi dan Amel terus bernyanyi lagu Korea yang sama sekali gak dimengerti Aizen.
Yang pasti, suara cempreng mereka berdua bikin telinga Aizen sampai berdengung.
"Stop! Kalian bisa berhenti berisik nggak?" Aizen sedikit menoleh ke belakang ketika mobil berhenti di persimpangan lampu merah.
"Ihh, kenapa sih Mas Ijen sewot aja. Bunda aja gak merasa terganggu, kok. Iya, kan, Bunda?" Sachi melongokan kepalanya di tengah-tengah antara kursi Bunda dan Aizen.
"Bener, Bunda malah terhibur dengan nyanyian kalian." Dewi malah nyengir.
"Jelas Bunda gak merasa terganggu, karena kalian semua ini satu aliran. Aliran listrik." Aizen masih sewot.
"Huuuuu, syirik aja deh." Amel memeletkan lidah dengan kesal.
Dan lampu lalu lintas kembali berubah warna menjadi hijau. Ketika mobil Aizen melesat lagi, Amel dan Sachi kembali bernyanyi dengan suara cempreng.
Aizen hanya bisa pasrah, karena tidak ada yang mau membelanya di sini.
****
Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, akhirnya mobil yang dikendarai Aizen tiba di salah satu cafe.
Mereka semua masuk ke dalam cafe dan mencari tempat yang berada di sudut ruangan.
"Ayo yang mau pesen, pesen aja. Bunda yang bakalan traktir," ucap Dewi sambil memberikan buku menu kepada mereka.
"Asikkkk...." Amel dan Sachi yang paling bahagia.
"Psssh, Sachii...." Dewi berbisik. "Udah dimana guru kamu itu? Dia sudah tahu tempatnya, kan?"
"Udah, Bunda. Semua sudah aman dan sippp!" Sachi mengacungkan jempol.
"Bisikin apaan, sih?" Aizen menatap Sachi dan Bunda secara bergantian. Kelihatannya Aizen curiga.
"Ada deh, rahasiaaa." Dewi memeletkan lidah.
Aizen hanya menggelengkan kepala. Bisa-bisanya Bundanya berubah menjadi aneh semenjak bergaul dengan Sachi.
Tak lama kemudian, ponsel Sachi berdering nyaring. Ia langsung menerima panggilan tersebut dan beranjak pergi dari kursi.
"Kemana tuh anak?" Aizen mengedikkan dagu sambil menunjuk kepergian Sachi.
"Mau menjalankan suatu misi penting," bisik Amel.
"Misi apaan?"
"Nanti Mas Zen juga bakalan tahu."
Tak lama kemudian, Sachi kembali muncul bersama Agnia.
"Bundaaa, ini kenalin. Guruku yang cantik itu, lohhh," ujar Sachi pada Bunda, tapi justru Aizen yang begitu terkejut dengan kehadiran Agnia.
"Sudah aku duga kalau ini akan terjadi lagu." Aizen mengerang kesal, ia hendak beranjak pergi. Tapi, Bunda menahan tangannya.
"Kamu di sini dulu dong!" Dewi memelototi anaknya. Lalu kembali menatap Agnia. "Halo Agnia, ternyata kamu memang cantik banget yaaaa."
Agnia menunduk malu. "Terima kasih, Bu. Ngomong-ngomong, ini ibunya Sachi ya?"
"Iya, saya Ibunya Sachi, Amel, dan juga Aizen. Panggil saja saya Bunda, hehehe. Duduk dulu Agnia...."
Agnia dan Sachi pun duduk di kursi. Kemudian Agnia berbisik pada Sachi. "Kamu ingin ngerjain saya lagi ya?"
Sachi pun balas berbisik pada Agnia. "Buuu, percaya deh. Mas Aizen ini baik bangetttt! Ibu bakalan suka!"
"Sachii, saya murni ingin membantu kamu. Bukan dijodoh-jodohin begini. Kalau begitu mulai sekarang saya tidak akan mau mempercayai kamu lagi."
"Buuu, coba dulu ngedate dengan Mas Aizen. Siapa tahu cocok, Buuuu."
"Eheemmm!" Aizen berdehem. "Bu Agnia, maaf ya, Ibu pasti sangat tidak nyaman berada di sini. Sejujurnya, saya juga gak nyaman ada di sini. Dan semua ini sudah jelas bukan rencana saya, jadi Ibu jangan salah paham dulu ya." Aizen menjelaskan.
"Iya, gak apa-apa, Pak. Saya cuma bingung saja, kenapa Sachi harus melakukan hal seperti ini. Padahal tadinya, saya memang niat membantu Sachi untuk latihan vocal."
"Memangnya, Agnia sama sekali gak tertarik yaa dengan Aizen?" Dewi berusaha meyakinkan Agnia.
"Bun, bukannya menolak anak Bunda atau merasa sok cantik. Tapi, maaf bangetttt, saya ini sudah punya pacar. Dan pacar saya baru saja melamar saya kemarin." Agnia menunjukkan cincin yang ada di jari manisnya.
"Haaa?" Sachi melongo kaget. "Jadi, Ibu sudah punya pacar?"
Agnia mengangguk.
"Kenapa Ibu gak bilang, sihhh?"
"Yah, saya gak mungkin menjelaskan semuanya tentang pribadi saya. Untuk apa, Sachi?"
Sachi mengembuskan napas dengan lega. "Huffff, syukurlah kalau begitu, Bu. Itu artinya saya gak perlu khawatir lagi. Tapi, apa Garvi tahu kalau Ibu sudah dilamar dengan pacar Ibu?"
Agnia mengerutkan dahi. "Kenapa Garvi harus tahu?"
"Karen—"
Belum sempat Sachi bercerita dan menjelaskan, tiba-tiba saja Garvi muncul di cafe ini dan menghampiri mereka.
"Sachi!" Ia berseru kencang. "Lo tuh norak banget, sih? Apa yang lo lakuin, ha?"
"Loh, lo ngapain ada di sini?" refleks kaget, Sachi sampai bangkit dari kursi. "Dan darimana lo bisa tahu kalau kita ada di sini?" Sachi diam sejenak sambil berpikir. "Ohhh, atau jangan-jangan lo itu ngikutin Bu Agnia ya?"
Agnia langsung menatap Garvi. Sementara itu, Garvi jadi salah tingkah. Dia bingung harus menjelaskan apa dan bagaimana. Tapi untuk saat ini dia hanya gak ingin memperpanjang masalah dengan cara membuat Agnia terjebak di antara keluarga Aizen.
Jadi, Garvi menarik tangan Agnia sampai perempuan itu bangkit dari kursinya. "Ayo kita pergi dari sini, Bu."
"Garvi!"
Sachi pun mengejar langkah Garvi keluar cafe. "Garvi, mau lo bawa kemana Bu Agnia?" Sachi menarik Garvi. Dan Garvi menepis sentuhan Sachi.
"Bukan urusan lo."
"Garvi, kapan sih lo sadarnya? Stop ngejar-ngejar Bu Agnia! Karena Bu Agnia baru aja dilamar pacarnya!" teriak Sachi dengan suaranya yang cempreng.
Berhasil membuat langkah Garvi berhenti. Ia menatap Agnia cukup lama. "Apa benar, Bu? Memangnya Ibu punya pacar?"
"Nih, buktinya!" Sachi menunjukkan cincin yang tersemat di jemari Agnia.
Agnia hanya menghela napas dengan berat. "Kamu beneran suka saya melebihi sebatas guru dan murid?"
Garvi terdiam, akhirnya dia melepaskan tangan Agnia.
"Saya sama sekali gak menyangka loh, Garvi. Kalau kamu akan bersikap dan bertindakn sejauh itu."
"Memangnya salah kalau murid suka dengan guru sendiri?" Garvi menantang Agnia.
PLAK.
Tanpa basa-basi, Agnia menampar Garvi.
"Tamparan itu harusnya bikin kamu sadar, kalau apa yang sudah kamu lakukan itu adalah sebuah kesalahan besar. Kamu dan saya gak boleh ada hubungan khusus kecuali sebatas guru dan murid. Dan, saya gak mungkin bisa suka dengan murid saya sendiri, Garvi." Agnia memelas.
"Kenapa enggak, Bu?" Garvi tetap menantang. Seolah tamparan Agnia sama sekali tidak berarti dan tidak membuat wajahnya sakit. Mungkin lebih sakit lagi hatinya.
"Garviiii!" Agnia benar-benar marah. "Stop menyukai saya, karena hal itu bikin saya sama sekali gak nyaman. Jadi, saya harap mulai saat ini kamu bisa menjaga jarak dengan saya. Dan satu lagi, keluar dari ekskull saya." Agnia menunjuk Garvi tepat di depan wajahnya, karena Agnia benar-benar sudah muak.
Lalu, Agnia menghentikan taxi dan segera masuk ke dalam taxi. Garvi hanya bisa melihat kepergian Agnia dengan nelangsa.
"Sudah puas lo bikin hidup gue hancur?" Garvi kembali menatap Sachi, kali ini juga membentak Sachi.
"Ha? Gue? Bikin hidup lo hancur? Bukannya lo yang sudah menghancurkan hidup lo sendiri?"
"Lo mengharapkan apa sih dari gue, ha? Kenapa lo selalu saja berusaha bikin orang-orang yang gue sukai itu pergi dari hidup gue? Lo sengaja melakukan itu semua?"
Sachi terdiam.
"Lo pikir, dengan lo bersikap seperti itu. Gue bakalan suka sama lo? Gue bakalan bisa membalas perasaan lo selama ini?"
Sachi terlihat shock. Sedangkan Garvi berkacak pinggang sambil nyengir. "Gue tahu, kok. Kalau selama ini lo itu suka sama gue. Lo selalu menaruh perasaan lebih dari temen sama gue, kan?"
Sachi tidak berani berkutik, entah mengapa dia bisa menjadi lemah jika di depan Garvi.
"Asal lo tahu yaaa, gue gak bakalan suka sama lo. Karena muka lo itu kayak monyet. Jadi, jauhin gue mulai saat ini."
JLEB.
Kalimat Garvi benar-benar menohok sampai ke ulu hati Sachi paling dalam. Mampu menusuk, menyayat, dan merobek hati Sachi hingga tidak ada bentuk lagi.
Garvi benar-benar kejam!
Setelah mengatakan kalimat menyakitkan itu, dia langsung pergi meninggalkan Sachi begitu saja.
***
"Bunnnnnnnnnnn!!!!"
Aizen menatap Dewi tak percaya, ia juga sampai menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.
"Kenapa bisa-bisanya Bunda ikut masuk ke dalam rencana Sachi untuk menjodohkan aku dengan gurunya itu? Lihat kan, yang ada kita sendiri dibikin malu."
Dewi hanya menundukkan kepala dan terdiam lemah.
"Kamu juga biangkerok dari semua ini, kan?" Kini Aizen menatap Amel dengan sengit.
"Enggak kok, bukan akuuu. Aku cuma bantuin Sachi doang, Mas. Kasihan dia, tahuuuu." Amel menjelaskan dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin.
"Sekarang, kalian justru bikin aku yang terlihat sangat menyedihkan. Kenapa sihh? Kenapa?" Aizen mengusap wajah dengan frustrasi.
"Yaah, gimana dong. Habisnya Bunda tuh takut kalau kamu ternyata gay," ucap Dewi semborono.
"Itu siapa lagi yang sebarin berita hoax? Sachi lagi?"
"Bukaaan, ih! Memangnya, Bunda gak boleh curiga sama kamu. Apalagi, selama kamu hidup di dunia ini, sekalipun Bunda gak pernah melihat kamu bawa perempuan ke apartemen. Minimal kenalin Bunda dengan pacar kamu. Dan sekarang, umur kamu itu sudah kepala Tiga, Zen. Sudah seharusnya kamu memperkenalkan calon istrimu kepada Bunda."
Aizen menarik napas panjang. "Bundaaaa, aku bakalan memperkenalkan calonku pada Bunda. Tapi bukan sekarang, dan belum waktunya. Karena aku masih belum mendapatkan perempuan yang tepat untuk aku, Bunda. Memangnya Bunda mau kalau aku sampai salah pilih pasangan."
"Zeeeen! Zeeennn! Minimal kamu tuh harus cari pacar! Jangan jomblo mulu! Sudah sana, kamu kejar sachi. Kasihan dia di luar sendirian, nanti kenapa-kenapa lagi."
"Dia sudah dewasa, Bundaa...."
"Ihhh, kejar sana!" Bunda memaksa.
Aizen mengerang sebal dan mau tidak mau harus bangkit dari kursi. Lelaki itu pun keluar cafe, melihat Garvi dan Sachi berdebat panjang sampai akhirnya Garvi mengata-ngatai Sachi seperti monyet.
Aizen geleng-geleng kepala dan mendekati Sachi yang masih berdiri di tempat dengan kepala tertunduk.
"Hei...." Aizen menyentuh pundak Sachi. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirin ucapan Garvi."
Sachi mendongak dan langsung merengek. "HUAAAAAHHHHHHHH!! Emang bener ya, Mas. Kalau muka aku itu mirip monyet? Mirip darimananya sihh? Aku memang suka makan pisang, tapi bukan berarti aku bisa berubah jadi monyet."
"Ya ampun, jangan terlalu dipikirin, lah, ucapan dia."
"HUAAAAAHHHHH!!!" Sachi menangis lagi dengan histeris. "Kenapa sihhh, Garvi jahat banget sama aku, Mas. Memangnya, aku salah apaaaa? Kalaupun aku ini mirip monyet, kenapa gak sekalian aja sih dia pelihara aku."
Aizen terkekeh geli. Walaupun sudah dihina dengan menyakitkan, tapi Sachi tetap saja bisa melawak.
"Hapus air matamu, sudah aku bilang kan, mukamu jelek kalau nangis."
"Kalau aku hapus, aku gak mirip monyet lagi, kan?"
"HAHA, enggak!"
"Okeee."
Sachi menghapus air mata buayanya, dan kembali masuk ke dalam cafe bersama Aizen.
.
.
.
TBC
SALAM, emak Sachi
12/12/24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top