10. Digendong Mas Ijen
"Terserah kamu mau pergi kemanapun, asalkan aku ikuuuuuuuut."
*****
"Ingat, jangan mengganggu aku. Dan duduk di kursi yang jaraknya cukup jauh dari aku," kata Aizen setelah ia dan Sachi tiba di salah satu restaurant cepat saji.
"Ooh, seperti kemarin ya, Mas!" Sachi bicara dengan polosnya.
"Yang mana?" Aizen berhenti melangkah, dan menoleh ke arah Sachi.
"Yang waktu itu, loh. Saat Mas Ijen ketemu di restaurant dengan perempuan. Dan aku—"
"Kali ini aku gak bertemu dengan perempuan." Aizen buru-buru meralat. "Jangan sebar fitnah dengan Bunda dan Amel nanti ya."
"Jadi, Mas Ijen mau ketemu siapa dong?"
Aizen menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengontrol rasa sabarnya setiap kali berhadapan dengan Sachi. "Apa kamu harus tahu sedetail itu? Harusnya kamu bersyukur karena sudah aku ajak ikut ke sini." Aizen masuk ke dalam restaurant begitu saja dan langsung berdiri di antrian untuk langsung memesan makanan di meja kasir.
Sementara itu Sachi terus mengekori Aizen dan berdiri di belakang lelaki itu.
"Kamu ngapain ikutin aku segala?" Aizen menoleh ke belakang sejenak.
"Aku juga mau pesen makanan dong." Sachi menjawab santai.
Setelahnya Aizen tidak lagi mempedulikan Sachi dan terus melangkah maju ke depan sampai akhirnya giliran Aizen yang memesan makanan kepada kasir.
"Paket nasi ayam pedas, plus ice tea satu ya," ucap Aizen pada kasir.
"Tambahan ice cream sunday rasa cokelat satu ya, Mba." Sachi ikut bersuara.
"Ha?" Mba-Mba kasir melongo bingung.
"Hei, kenapa kamu malah pesan makanan bareng aku?" Aizen menoleh lagi ke belakang.
"Loh, memangnya aku harus pesan makanan bareng siapa dong?"
"Kamu bisa pesan sendiri nanti, Sachi."
"Duitnya dari mana? Dari Allah yang maha kaya?"
Aizen memejamkan matanya sejenak saat menghela napas.
"Mas Ijen, aku gak punya duit. Jadi, apa salah ya sih bayarin makanan aku sekalian." Sachi memonyongkan bibirnya lima senti.
"Oke, fine." Aizen tidak punya pilihan lain.
"Sama dada ayam besar satu ya, Mba." Sachi menambahkan.
Aizen mengerutkan dahi.
"Baik, Mba. Ada lagi tambahannya?" Mba-Mba kasir menatap Aizen dan Sachi secara bergantia.
"Ummmm...." Sachi berpikir.
"Itu saja, Mba." Aizen langsung menimpali.
"Is, dasar pelit. Tambahin minumannya satu dong. Ntar kalau makan doang, gak pake minum, yang ada aku jadi keselek."
"Oke-oke, kamu pesen minum apa?"
"Soda cola satu ya, Mba, heheh."
"Baik, ada lagi tambahannya?" Mba-Mba kasir bertanya lagi setelah mencatat semua pesanan mereka.
"Gak, sudah itu saja cukup. Jadi, berapa semuanya, Mba?" Tanya Aizen buru-buru.
"Totalnya jadi 200ribu, Mas."
"Oke." Aizen mengeluarkan uang di dompet dan lmembayar pesanan mereka. "Sudah puas?" Aizen menatap Sachi sebelum pergi meninggalan cewek itu dan duduk bersama teman-temannya yang sudah ada sejak tadi.
Sachi hanya cengar-cengir dan mencari kursi kosong yang jaraknya tak jauh dari Aizen.
"Sorry ya, lama nunggu. Tadi ada kendala sedikit." Aizen bicara pada teman-temannya dan duduk di dekat mereka.
"Yah, gue sih maklum ya. Karena sekarang lo udah sukses," ujar Ari sambil nyengir.
"Hahah, amiin. Gue anggap itu adalah doa."
"Eh, ngomong-ngomong... gue lihat lo dateng bareng tuh cewek, Zen." Omar mengedik ke arah Sachi yang sedang memakan Ice creamnya. "Siapa dia? Dia bukan adek lo, kan?"
"Bukan," jawab Aizen tegas.
"Pacar lo?" Tebak Ari.
"Bukan juga!" Aizen menggeleng tegas. "Dia cuma tetangga gue, yang nebeng ikutan ke sini. Gue kasihan, karena dia anak Yatim Piatu dan Miskin. Dia belum pernah ngerasain makan eksrim." Aizen bicara ngawur.
"Oh, kasihan sekali dia ya." Komentar teman-temannya.
Di saat Aizen dan teman-temannya sedang asik ngobrol. Tiba-tiba, Sachi menghampiri Aizen dengan keadaan mulut sedikit belepotan.
"Mas Ijennn ...." Panggil Sachi dengan nada sedih.
Aizen memutar bola mata jengah. "Apa, Sachi? Ada apa lagi? Bukannya aku suruh kamu untuk tetap diam di sana?" Nada Aizen tenang, karena dia tidak ingin terlihat memalukan di depan teman-temannya.
"Ng, aku laper, Mas. Boleh nggak kalau aku pesen makan satu lagi?"
Aizen memejamkan mata sejenak. Dia tahu kalau Sachi sengaja melakulan hal ini untuk mengerjainya. Sengaja bikin Dipta malu di hadapan teman-temannya dengan kehadiran perempuan menyebalkan ini.
"Kamu duduk aja di kursimu tadi, nanti aku pesenkan makanan untuk kamu, oke?"
Sachi menganggukkan kepala sambil senyum semangat. Setelah Sachi kembali duduk di kursinya, Aizen segera memesankan makanan untuk Sachi agar mulut si bocah bawel itu diam.
***
Aizen dan teman-temannya baru selesai ngobrol setelah waktu menunjukkan pukul enam sore menjelang maghrib. Teman-temannya pulang lebih dulu, sementara itu Aizen menghampiri meja Sachi yang duduk cengo karena kekenyangan.
"Udah selesai makannya?" Tanya Aizen dengan nada ketus.
Sachi mendongak dari ponselnya dan menatap Aizen yang telah berdiri di depan mejanya.
"Sudah, Mas." Sachi menyentuh perutnya. "Kenyang bangetttt. Makasih ya, Mas."
"Yasudah, kalau begitu ayo kita pulang."
"Okay!" Sachi pun bangkit dari kursi.
Aizen masih melihat ada noda celemotan bekas ice cream yang belum di hapus oleh Sachi di sudut bibir perempuan itu.
"Itu bibir kamu celemotan sejak tadi. Masa nggak nyadar?" Komentar Aizen.
"Ha? Mana?" Sachi berusaha mengusap wajahnya, tapi noda ice cream masih menempel di sudut bibir perempuan itu.
"Itu, di sini." Aizen mengarahkan ke bibirnya sendiri.
"Mana sihh? Udah belum?"
Aizen mengambil tisu dari meja, dan membersihkan sudut bibir Sachi dengan kasar. "Nihhh!"
"Ih, kasar banget sih jadi cowok." Sachi merengut sebal.
"Terus, kamu mau aku perlakukan gimana, Sachi?"
"Yang lembut dikit dong jadi laki-laki." Sachi cemberut.
"Maksud kamu, begini...." Tiba-tiba Aizen mengusap bibir Sachi lembut dengan jempolnya.
Membuat Sachi melotot karena kaget. "Mas Ijen pedofil ya!" Sachi menampar tangan Aizen dengan kesal.
"Enak saja kamu bilang aku pedofil. Umur kita gak beda jauh."
"Jauhhhh buangetttt yaahhh! Kita beda sepuluh tahun!" Sachi menunjukkan angka sepuluh dengan jemarinya.
"Yah, sepuluh tahun itu gak begitu berjarak. Karena jaman sekarang banyak yang menikah dengan perbedaan usia sepuluh tahun."
"Maksudnya, Mas Ijen mau nikahin aku?!" Sachi menyilangkan tangan di dada.
"Kalau ada kecoa dijodohin sama kamu pun, dia juga gak bakalan mau nikah sama kamu." Kalimat terakhir Aizen sebelum pergi meninggalkan Sachi.
"Apaaa?? Mas Ijen bilang apa tadi?" Sachi berteriak. "Enak aja aku mau dijodohin sama kecoa! Mas Ijeeeen, tunggu akuuuuuu."
****
"Kita sudah sampai."
Aizen mematikan mesin mobilnya ketika mobil sudah terparkir di basemant apartemen. Saat menoleh ke sebelah, ia melihat Sachi sudah tertidur dengan lelap di kursi. Kepalanya hampir terjatuh, dan mulutnya menganga lebar.
"Setelah makan dengan kenyang, sekarang kamu malah tidur ya." Aizen terkekeh geli melihat tingkah gadis ajaib ini. "Sachi, bangun...." Aizen berusaha membangunkan Sachi. "Sachii, bangun." Tapi sepertinya hasilnya nihil.
Aizen mengembuskan napas dengan berat sebelum keluar dari mobilnya, lalu memutari mobil dan membuka pintu mobil Sachi.
Aizen diam sejenak sambil memandang Sachi, sebelum memutuskan untuk menggendong gadis ajaib ini saja. Yaaah, tubuhnya juga gak begitu berat. Jadi, Aizen yakin kalau dia mampu membawa Sachi sampai ke apartemennya.
Tidurnya persis seperti orang mati. Sachi sama sekali gak bergeming sedikitpun. Pintu lift tiba di lantai apartemen mereka, Aizen pun masih menggendong Sachi sampai berhenti di depan apartemennya sendiri.
Aizen berpikir, mungkin lebih baik dia membawa Sachi ke apartemennya saja. Karena Aizen sama sekali gak tahu sandi apartemen Sachi.
Saat Aizen berhasil membuka pintu apartemennya, tiba-tiba saja dia berpapasan dengan Amel—yang ternyata sudah berdiri di depan pintu.
"Amel?" Aizen kaget. Karena sebelumnya, Aizen tidak mengira akan bertemu Amel di rumah.
"Loh, Mas Ijen." Amel melotot. "Sachi?" Amel menunjuk Sachi. Dan dia benar-benar shock melihat kakaknya menggendong sahabatnya sendiri.
Refleks, Aizen melepaskan Sachi dari gendongan sampai membuat tubuh ringkih gadis itu terjatuh ke lantai.
'GEDEBUG'
"Aw...." Sachi meringis kesakitan.
"Ini gak seperti yang kamu pikirkan, Amel. Aku cuma—" kalimat Aizen terhenti saat melihat ekspresi adiknya yang membeku. Ia yakin kalau Amel sudah mikir yang enggak-enggak tentang ini semua. "Ah, sudahlah. Tolong kamu urus temenmu ini ya. Dia selalu nyusahin aku," kata Aizen lagi sebelum masuk ke dalam apartemen begitu saja.
Disaat Amel masih terbengong-bengong, Sachi pun masih meringis kesakitan dan tersadar dari tidurnya.
"Aduhhhh, sakit bangetttt." Sachi berusaha bangkit berdiri. "Loh, kenapa lo ada di sini, Mel?" Sachi menunjuk Amel sebelum mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Loh, kenapa gue ada di sini? Bukannya gue ada di mobil Mas Ijen tadi?" Sachi benar-benar pusing.
"Chi, lo punya hubungan apa dengan Mas Ijen?" Todong Amel.
"Ha?" Sachi bengong.
.
.
.
TBC
Kasih tau kalau ada typo yaaah. Jangan lupa vote dan komen yang rame dong, hugsss
27/11/24
Love, Emak Sachi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top