1. Haii, Tetangga Baru!

"Tadinya sih, tujuan pindah untuk
move-on.
Eh, malah semakin aburadul."

******

Bagaimana ya, caranya hidup tanpa membebankan orang lain?

Sachi nggak tahu itu. Jadi, jangan tanya caranya dengan dia. Atau kita semua akan SESAT.

Karena Sachi suka keributan, Sachi suka kerusuhan, Sachi si paling heboh dan paling bikin pusing semua orang. Semua itu Sachi lakukan hanya untuk menemani kehidupannya yang terlalu sepi. 

Tapi, untunglah Sachi tinggalnya di Ardana. Bukan rumah hantu. Karena Ardana adalah apartemen paling keren, paking beken—yang dihuni oleh orang-orang kelas atas semua. Sehingga, Sachi merasa menjadi anak orang kaya setiap kali ada yang bertanya.

"Tinggal di mana, Dek?"

"Di Apartemen Ardana, Om!"

"Wuih, keren yaaa."

Sachi suka tinggal di Ardana, Sachi cinta tinggal di Ardana. Terutama dengan ramen chicken katsu yang ada di restaurant Ardana. Yahh.... Meskipun sebenarnya, para tetangga Sachi merasa kalau Sachi adalah tetangga yang berisik! Ribut!

"Pichaaaa, stop di situ!"

Sachi membungkukkan badan sambil menyentuh kedua lututnya. Ia mengambil napas sejenak, sebelum kembali mengejar Picha si kucing nakal!

Picha sendiri adalah kucing milik Amel, tetangganya, sekaligus sahabatnya. Picha tidak hanya kucing kesayangan Amel, tapi juga kucing kesayangan Sachi. Gadis itu sering memberi makan Picha sejak Picha masih kecil, meski sebenarnya tubuh Picha sudah gemuk karena diberi makanan enak terus oleh Amel.

Picha adalah tipe kucing yang jahil, dia suka keluar diam-diam di pagi hari saat Amel pergi sekolah. Dan Sachi selalu menemukan Picha di taman dalam kondisi bulunya penuh dengan lumpur.

"Pichaaaaa!" Teriakan Sachi makin melengking ketika pintu apartemen Amel mendadak terbuka, dan mengenai tubuh Picha hingga  terpental.

Picha mengeong ganas.

"Sorry, Picha," kata seorang lelaki yang baru saja keluar dari dalam apartemen Amel.

Sachi memicingkan matanya sejenak sembari memastikan siapa lelaki yang telah berdiri di hadapannya ini. Lalu, tatapan mereka saling berserobok.

"Mas Ijen?" Sachi mengacungkan telunjuk ke depan ke arah lelaki setinggi 180cm tersebut.

Aizen mengangkat sebelah alisnya. "Sachi ya?" Tebaknya benar. "Loh, kamu masih tinggal di sebelah?"

"Ya, masih lah, Mas. Memangnya Amel gak cerita yaa, kalau aku sudah menjadi pengungsi permanen di Ardana ini. Sekalipun Ardana digusur, aku akan tetap mempertahankan hak dan tempat tinggalku di sini." Sachi bicara dengan dramatis sambil memukul-pukul dadanya.

Aizen menatap bocah di depannya ini dengan aneh. "Ternyata kamu gak berubah ya. masih bawel seperti dulu," celetuk Aizen.

"Tapi, makin cantik kannn?!" Sachi mengerlingkan matanya berulang kali. "Kapan pulangnya, Mas. Kok aku gak tahu, sih?" Sachi bertanya dengan semangat.

"Sudah seminggu ini."

"Wah, Amel kenapa nggak cerita kalau Mas Aizen udah pulang?"

"Memangnya, apa untungnya buat kamu kalau aku sudah pulang?"

"Ardana jadi punya spesies ganteng lagi yang dulunya sempat hilang!" Kelakar Sachi.

Aizen tertawa renyah. Terakhir kali bertemu dengan Sachi, mungkin sudah ada sekitar lima tahun yang lalu. Selama lima tahun ini hidup Aizen merasa aman dan tentram tanpa keributan seorang Sachi dan juga Amel, adiknya, setiap kali mereka ngobrol di kamar. Apalagi, Sachi selalu ingin tahu apa yang Aizen kerjakan. Sampai akhirnya, Aizen memberikan sebuah kucing bernama Picha untuk menjadi mainan mereka. Agar mereka—terutama Sachi—tidak mengganggu  pekerjaan Aizen lagi.

"Ya ampun, aku jadi melupakan Picha, deh!" Sachi mengambil Picha yang sibuk menjilati tubuhnya sendiri. "Mas Ijen, kita mandiin Picha yukkk." Lantas Sachi masuk ke dalam apartemen Aizen dan Amel begitu saja.

"Stop panggil aku Ijen, Sachi. Namaku Aizen." Aizen selalu dongkol setiap kali Sachi menyebutnya Ijen. Padahal namanya sudah keren begini, Aizen Rajaksa.

"Susah tauuuu." Teriak Sachi ketika gadis itu sudah berada di dalam apartemennya.

"Eh, eh, tunggu dulu!" Aizen menarik kera seragam sekolah Sachi dari belakang. "Kamu ngapain masuk ke apartemen aku?"

"Loh, bukannya mau mandiin Picha?"

"Kenapa harus di apartemen aku?"

"Kucing ini milik Amel. Jadi harus dimandiin di apartemen Amel. Ya, kan?" Sachi memutar kepalanya. Kemudian menarik tubuhnya dari sentuhan Aizen. "Lagipula Mas Ijen, Picha ini kucing bandel, jadi kalau mau dimandiin harus ada yang bantu pegangin." Sachi berbalik badan,
melepas sepatu sekolahnya dengan kaki, lalu berjalan enteng menuju kamar mandi.

Aizen mengerang kesal. Kehidupannya akan berubah drastis selama tinggal di Ardana lagi. Selama menempuh pendidikan di Ausie, Aizen menjadi lebih tenang dan semakin tampan. Mungkin setelah kembali, Aizen akan menjadi lelaki berantakan karena sering mengacak rambutnya akibat pusing mendengar celotehan Sachi.

"Kamu kelas berapa sih sekarang?" Tanya Aizen setelah mengikuti langkah Sachi ke kamar mandi.

"Nih...." Sachi memberikan ranselnya pada Aizen. "Jangan dilempar!" Perintah Sachi sebelum Aizen benar-benar melempar ransel Sachi ke lantai.

"Memangnya, isinya apaan?"

"Itu tas mahal!" Sachi menyipitkan mata.

"Oh, oke." Aizen menaruh ransel Sachi di lantai.

"Kamu belum jawab, sekarang udah kelas berapa?" Tanya Aizen lagi.

"Sama seperti Amel."

Aizen terdiam seraya berpikir panjang. Karena sejujurnya, Aizen sendiri lupa adiknya sudah kelas berapa.

"Tiga SMA, Mas!" Seru Sachi kesal.

"Oh."

"Masa kelas adiknya sendiri lupa."

"Sorry."

Sachi sedikit mengangkat roknya ke atas.

"Eh, kamu mau ngapain?" Aizen panik. Sachi tidak pernah berubah. Padahal dia sudah tidak bocah SMP lagi seperti yang Aizen kenal.

"Tenang aja kali, Mas. Aku pake Boxer!" Sachi memperlihatkan boxer motif micky mouse miliknya.

"Astaga...." Aizen merasa frustrasi.

"Mas, pegang Picha ya." Sachi menyodorkan Picha pada Aizen.

Aizen memegangi Picha ketika Sachi mulai mengguyur Picha dengan air. Picha mengeong histeris sampai nyaris mencakar Aizen. Lelaki itu berusaha menghindar. Tapi, apalah daya kaki Aizen tergelincir sehingga bokongnya jatuh ke lantai. Dan Sachi nggak sengaja megguyur Aizen dengan air juga. Sedangkan Picha langsung kabur keluar dari apartemen—yang pintunya tidak ditutup.

"Pichaaaa!" Teriak Sachi. "Ih, kenapa Mas Ijen gak tutup pintu apartemennya, sih? Lihat tuh! Picha jadi kabur." Sachi merengut sebal.

Aizen mengerutkan dahi, tak habis pikir kalau bocah ini akan memarahinya. "Kamu menyalahkan aku?"

"Ih, tau ah!" Sachi menghentakkan kaki sebal. Sebelum berlari juga keluar apartemen untuk mengejar Picha. "Pichaaa, jangan kaburrr!!!"

"Heh, Sachi! Kamu mau kemana?!" Teriak Aizen kesal. Karena tubuhnya ikutan basah akibat ulah Sachi.

Sachi tak sengaja menabrak tubuh Amel di depan pintu apartemennya.

"Aw!" Amel menyentuh bahunya. "Lo kenapa, sih?"

"Picha kabur!" Teriak Sachi panik.

"Apa?" Amel ikutan panik.

"Sachi! Jangan kabur!" Sementara itu, Aizen berteriak sekali lagi.

Amel mendengar teriakan Aizen yang berasal dari kamar mandi. "Mas Aizen kenapa, Chi?" Tanya Amel pada Sachi.

Sachi mengangkat bahu. "Gak tau tuh, mungkin penyakit tua suka teriak-teriak."

Tak lama Kemudian mereka melihat Aizen keluar dari kamar mandi dalam kondisi badan basah kuyub.

"Sachi...." Aizen berkacak pinggang dengan napas memburu kencang. "Masuk dan duduk di sofa! Kalian berdua!"

"Loh, aku juga kena?" Amel bengong menunjuk dirinya sendiri.

***

Setelah Aizen selesai mengganti pakaiannya, ia mondar-mandi di hadapan Sachi dan Amel—yang duduk di sofa dalam diam.

"Aku baru seminggu loh, tinggal di sini," kata Aizen berusaha untuk mengontrol emosinya. "Sachi emang begitu di sekolahnya ya?" Aizen menatap adiknya.

"Nggak tahu. Aku nggak satu sekolahan dengan Sachi," jawab Amel takut.

"Bagus. Kalau kamu satu sekolahan dengan Sachi, kehidupanmu akan kacau."

"Ih, kenapa Mas Aizen ngomong begitu, sih? Aku kan, sudah minta maaf, Mas." Sachi berusaha membela diri.

"Kapan kamu minta maaf?"

"Ng—" Sachi memutar bola mata. "Sebenarnya, tanpa aku ngomong pun, harusnya Mas tahu apa yang ada di dalam isi kepalaku. Anggap aja kita Kakak-Adek kandung, jadi Mas dan aku punya telepati."

"Siapa yang mau menjadi Kakak kandungmu?" Aizen mengedik sambil menatap gadis itu dengan sengit. "Gak ada, gak ada yang mau jadi Kakakmu. Termasuk aku. Oh, itu gak akan mungkin pernah terjadi."

"Is." Sachi cemberut. "Yaudah, kalau gitu aku minta maaf, deh!" Sachi menjatuhkan lututnya di lantai. Kemudian mulai mendramatisir keadaan dengan mengatupkan kedua telapak tangan dan menangis. "Maafin aku Mas Ijennn, aku janji nggak akan bilang BundaHAHA kalau Mas—"

"Tunggu—" Aizen mengacungkan kelima jari di depan muka Sachi. "BundaHAHA? Kamu bicarin siapa?"

"Hahahah." Amel justru tertawa melihat wajah Kakaknya yang polos dan lucu.

"Kenapa kamu ketawa?" Aizen menunjuk Amel. "Apakah aku badut hiburan di matamu?"

Amel mengatup mulut rapat dan menggeleng. Kemudian dia membuka mulut lagi untuk memberi penjelasan. "BundaHAHA itu panggilan unik dari Sachi untuk Bunda kita, Mas!"

"Bunda kita? Maksudnya, Bunda kita?"

"Iyaaa." Amel mengangguk.

"Kenapa harus BundaHAHA? Kenapa bukan BundaHEHE? Atau BundaAngAngAng?"

"Buakakakakak!" Kini Sachi yang tertawa ngakak. "Mas Ijen lucu ihhh, jadi pengen cubit lambungnya."

"Diam kamu. Aku lagi tidak melucu." Aizen menunjuk Sachi.

"Tapi, beneran loh, Mas—" Sachi masih saja bicara. "Aku dan Amel janji gak akan bilang ke BundaHAHA kalau Mas Ijen sebenarnya seorang GAY," celetuk Sachi lagi tanpa dosa.

Aizen menerutkan dahi bengong. "Apa? Apa kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi, kamu menuduh aku sebagai apa?"

"Ummm...." Sachi memutar bola mata seolah mempermainkan Aizen. "Gay, Mas," ulang Sachi lagi.

"Siapa yang bilang begitu?" Aizen semakin melotot tajam. "Saya yang sudah menyebar fitnah kalau aku ini Gay?"

"Jelasin dong, Mel." Sachi malah menyikut Amel.

"Ih, kok gue, sih." Amel tampak takut.

"Lo kan, Adik kandungnya Mas Ijen." Sachi menyikut bahu temannya lagi.

"Amel!" Kini Aizen menatap Amel sambil berkacak pinggang. "Jelasin, kenapa?"

"Oke-oke, begini ya, Mas. Ini menurut cocoklogi dan riset kami selama bertahun-tahun ini. Pertama, Mas Aizen gak pernah bawa perempuan ke rumah untuk diperkenalkan kepadaku ataupun Bunda. Yah, minimal kalau bukan sebagai pacar. Jadi PDKT-an juga gapapa. Tapi kenyataannya, laki-laki seganteng Mas Aizen, masa sih gak punya pacar perempuan. Kecuali—"

"Kecuali apa?" Tantang Aizen. "Kamu mau nuduh aku Gay, hanya karena aku gak pernah membawa pcar ke apartemen ini?"

Amel dan Sachi mengangguk serempak.

"Dan satu lagi!" Sachi mengangkat tangan.

"Satu lagi apa?" Bentak Aizen.

"Selama di Ausie, Mas itu selalu berduaan dengan temen Mas yang kulitnya putih pucet itu. Siapa sih namanya? Dia cakep banget mirip Edward Cullen."

"Andrew, maksudmu?"

"Haa, iya itu."

"What? Maksud kamu, aku dan Andrew gak normal?"

"Loh, bukannya memang iya?"

"Apa?" Aizen gak berhenti shock dibuat oleh dua bocil di depannya ini. "Bagaimana bisa kalian menyimpulkan seperti itu?"

"Kelihatan banget dari tatapan keduanya, kalau Mas dan temen Mas itu saling jatuh cinta."

"Apa?" Aizen benar-benar dibuat melongo dengan imajinasi mereka yang luar biasa.

Aizen menatap ke langit-langit sambil mengembuskan napas dengan kencang, dan mengusap rambutnya ke belakang dengan frustrasi.

"Kalian berdua ini sudah gila ya? Bisa-bisanya, kalian berdua menuduh aku seperti itu. Apa sih, yang sedang kalian pikirkan? Aku gak homo. Gak mungkin, lah. Kenapa aku harus menyimpang?"

"Yah, mana kami tahu apa yang ada di dalam isi hati Mas Ijen." Sachi mengangkat bahu.

"Sachi, stop bicara omong kosong. Aku tidak—"

"Assalamualaikum...." Dewi, si BundaHAHA tiba-tiba masuk ke dalam apartemen sambil membawa beberapa bungkus makanan.

"Walaikumsalam, Bundaaa!" Amel mengambil kesempatan untuk kabur.

"Walaikumsalam, BundaHAHAHAHAHA!" Sahchi langsung bangkit dari sofa dan hendak ikut menghampiri Dewi.  Tapi, Aizen segera menahan langkah Sachi.

"Jangan ngomong macem-macem dengan Bunda!" Ancam Aizen.

"Memangnya aku ngomong apa?"

"Kamu ingin sebar gossip kalau aku Gay, kan? Aku nggak gay."

"Mas Ijenn jelasinnya nanti aja, yaaa. Aku mau cari Picha dulu."

Aizen memelototi Sachi. "Janji dulu."

Sachi tersenyum menyebalkan. "Ada syaratnya tapi, loh."

"Apa?"

"Ada restaurant ramen yang baru buka di Mall Ardana. Yeahh, u know lahh." Sachi memberi kode.

Aizen menghela napas. "Okey, nanti malam aku traktir kamu ya, Sachi si anak baik." Aizen mencubit pipi Sachi dengan gemas. Sengaja mencubit pipi Sachi dengan gemas, sampai Sachi kesakitan.

"Aduhhh, sakit tahu, Massss."

.
.
.
.
TBC
————————-

Haiii, selamat datang di dunianya Sachi.

Salam, Emak Sachi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top