The Revenge (kingdom, reincarnation au)

IDOLiSH7 ©️ Bandai Namco, Troyca, Arina Tanemura

The Revenge ©️ bellasteils

Art cover by sutasutatan / reasakusaku (twitter)

***

Noah memandang Minami dengan perasaan campur aduk. "Minami... Kenapa?" tanya Noah. Matanya beralih ke bagian perut yang ditusuk dengan belati oleh tangan Minami yang bergetar.

Sedih dan kecewa, ditambah pertanyaan yang diawali dengan mengapa yang sedari tadi berputar di kepala Noah. Mengapa Minami melakukan hal itu? Mengapa Minami menusuknya dengan pisau?

Perasaan itu kini terkalahkan oleh rasa sakit yang menjalar dari perut. Darah merembes membasahi kemeja. Belati masih menancap pada kulit. Bagian besi yang ditempa menjadi tajam itu menggores bagian dalam tubuh Noah.

Cumbuan panas yang terjadi di ruangan kerja Noah. Saksi bisu meja kerja yang berantakan akibat aktivitas dua insan yang dipenuhi hawa nafsu membara tanpa batas melengahkan kewaspadaan Noah. Entah bagaimana permaisurinya ini menyembunyikan belati di balik kemeja yang telah menjadi korban keganasan Noah. Bagian pundak Minami terbuka lebar memperlihatkan beberapa titik kemerahan bekas semalam dan bagian yang kosong ditambahkan hari ini.

Noah hampir limbung sambil menahan perih di bagian perut. Tangan satunya berpegangan pada meja kerja untuk menahan beban tubuh. Seharusnya dia bisa mencabut belati itu. Tapi jika dilakukan akan membuatnya semakin kehilangan darah.

"Mina..." Di tengah pandangan yang mulai mengabur, Noah sekali lagi memanggil nama pasangan hidupnya. "...mi?"

Maniknya memandang penuh tanya kepada Minami, namun seketika Noah membelalakkan mata. Rasa kantuknya seketika menghilang saat melihat Minami meneteskan air mata dengan tangan bergetar ternoda darah segar.

Dada Noah yang sesak semakin sesak. Rasa perih melihat air mata Minami lebih besar daripada perih di bagian perutnya.

Noah meraih wajah Minami berniat membersihkan air mata yang mengalir melewati pipi. Alih-alih membersihkan wajah cantik Minami, tangan Noah yang ternoda darah itu malah semakin mengotori wajah permaisurinya.

"Jangan... menangis... wajahmu jadi... kotor..." ucap Noah di sela penglihatannya yang semakin kabur. Napasnya juga mulai di ujung tanduk. Tinggal menunggu malaikat pencabut nyawa melepaskan jiwa dari tubuhnya.

"..."

Minami masih menangis dalam diam.

"Aku... mencintaimu Minami."

Kalimat terakhir sebelum Noah tersungkur ke lantai. Darah yang tadinya hanya merembes kemeja kini juga mengotori lantai marmer ruang kerja pribadi kerajaan Bondevik yang berwarna krem.

Minami segera kabur mendengar derap langkah kaki cepat dari balik pintu utama. Meninggalkan Noah sendirian di tengah ruang kerja yang besar. Dipenuhi buku-buku di atas meja dan lantai dengan keadaan sangat berantakan. Pena bulu tergeletak begitu saja, dengan tintanya yang tumpah merembes pada kertas putih.

Hal terakhir yang Noah lihat adalah Minami yang menghilang di balik pintu rahasia ruang kerja Noah. Musim dingin tahun ini begitu menusuk. Tapi tak ada yang lebih dingin dibanding melihat punggung Minami meninggalkannya. Bahkan api yang membakar kayu di tungku perapian tak lagi berfungsi menghangatkan.

Dingin.

Detik-detik terakhir malaikat pencabut nyawa menjemput. Kilas balik kehidupan berputar di otaknya seperti klise film, yang mengingatkan kebaikan dan dosa yang dilakukan semasa hidup. Sekelebat ingatan memutar pertama kali Noah bertemu dengan Minami. Jatuh cinta dengan kecantikan dan kepintarannya meski statusnya sebagai rakyat biasa yang Noah temui di kota.

Permohonan Noah secara persisten kepada Raja Bondevik sebelumnya untuk menikahi Minami terpenuhi. Kerajaan tidak menentang hubungan sesama jenis. Masalah utama kerajaan adalah keturunan. Jika seolah raja menikah dengan sesama jenis, otomatis memutus keturunan. Noah yang bersikukuh pada akhirnya membuat ayahandanya membebankan masalah pernikahan kepada putri kerajaan Bondevik yang merupakan adik dari Noah, Bella Bondevik dengan suaminya, Gaku dari Kerajaan Lama.

Hari-hari bahagia Noah dan permaisurinya setelah pernikahan dan penobatan Noah sebagai raja baru. Dua tahun hidup dalam limpahan kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Seorang raja yang dicintai rakyat dan permaisuri kesayangan.

Namun, dua tahun berlalu seperti sebuah ilusi. Kebahagiaan dan tawa yang mereka lewati seakan palsu. Pecah seperti sebuah kaca rapuh.

Ketika matanya tertutup samar-samar terdengar pintu utama terbuka. Pasukan penjaga telah datang dengan terlambat. Setelahnya Noah tak ingat apa-apa lagi dan semuanya menjadi gelap.

***

Pasca kepergian Noah, jiwanya tak pernah kembali ke alam baka. Namun menetap di tempat kematian menjemput. Jiwanya berubah menjadi segumpal bola api yang melayang dan tak kasat mata. Bola api itu hanya akan menembus apa saja dan siapa saja yang dilewatinya.

Noah sedang melayang setelah berkeliling mengamati keadaan kerajaannya. Semuanya kacau balau. Mayat-mayat pelayan dan pengawal bergelimpangan. Tidak tahu apakah mereka kawan atau lawan. Dinding yang sudah retak dan kaca yang sudah pecah, akan rusak dengan sekali injak.

Perkelahian masih terjadi di luar dinding istana. Noah bisa mendengar demo yang ditujukan kepada kerajaan terus berdatangan meminta keadilan kepada bayang semu.

Noah tak tahu sudah berapa lama ini terjadi. Seketika dia sadar telah menjadi bola api, Noah langsung mengamati keadaan sekaligus mencari keberadaan Minami. Dilihat dari kondisi kerusakan yang parah, seharusnya sudah berlangsung cukup lama sejak kematian Noah diumumkan.

'Sebenarnya apa yang sedang terjadi?'

Noah masih tidak mengerti karena sebelumnya semua terlihat baik-baik saja. Pernikahannya dengan Minami ataupun statusnya sebagai Raja kerajaan Bondevik.

Kecuali...

'Seorang pengkhianat.'

Hanya itu satu-satunya yang terlintas di benaknya. Pertanyaannya adalah siapa yang berani mengkhianatinya? Minami? Noah masih merasa denial. Meskipun Minami yang telah menusuknya dengan belati, Noah merasa ada keraguan di wajah permaisurinya yang membuatnya menangis dengan perasaan menyesal.

Setidaknya itu yang dirasakan oleh Noah.

Lalu siapakah yang menjadi penyebab kekacauan ini?

"Hahahaha! Kau sudah mengerti sekarang, Minami~"

Noah tiba-tiba mendengar nama Minami disebut dengan nada yang menjijikan. Selain itu ia merasa familiar dengan suara yang berasal dari balik tembok di sisi kirinya. Tanpa ragu bola api itu segera menembusnya. Di sana ada Minami yang tersungkur di lantai dan...

Noah belum sempat terkejut melihat lawan bicara Minami yang sangat dikenal. Ia lebih terkejut ketika Minami tiba-tiba meraih pedang yang dipegang oleh orang di depannya dan tanpa ragu menggoreskan pada kulit lehernya.

Orang itu membelalakkan kedua mata, antara terkejut dan bangga. "Hahaha, seperti ayah dan anak!" teriaknya menggelegar ke seluruh ruangan istana yang besar.

Tubuh Minami yang kini kurus itu tergeletak. Goresan di lehernya mengalir darah segar. Sembari tersenyum sedih ia bergumam yang dapat didengar oleh Noah setelah terbang melesat menghampiri Minami.

"Maafkan aku, Noah..."

Kedua mata sayu itu kemudian menutup sempurna dengan senyum penuh penyesalan.

Tawa itu masih menggelegar dari satu orang hidup yang tersisa di dalam ruangan.

Sesak.

Walaupun sosoknya hanyalah bola api putih, tapi seperti ada yang menekan tubuhnya dari berbagai sisi.

Sakit. Sedih. Muak. Marah.

Bola api yang semula berwarna putih itu kini berubah warna menjadi merah. Merah padam karena murka. Namun ia tak bisa menyentuh sosok yang sudah tak bernyawa di depannya ataupun membalaskan dendam pada manusia brengsek yang pergi dengan wajah puas.

Noah ingin berteriak tapi bungkam.

Noah ingin berontak tapi terdiam.

Kemudian ada sesuatu yang menyeretnya masuk ke dalam lubang yang gelap.

***

"Hah?"

Noah terbangun dari tidur. Tubuhnya basah oleh keringat sebesar jagung yang bercucuran. Padahal ia sedang menanggalkan pakaian atas. Napasnya naik turun tidak teratur.

Pemuda itu mengerjapkan mata menatap kedua tangan di depannya. Syaraf dari otak memerintahkan untuk menggerakkan sepuluh jari. Terbuka dan mengepal beberapa kali. Setelah itu kedua tangannya menyentuh bagian dada berotot yang sudah dilatih sejak remaja.

"Asli?" gumamnya. "Ini tubuhku yang asli?" Ia ingin berteriak namun sebuah gerakan di balik selimut di sebelah membungkam mulutnya. Pelan-pelan ia membuka selimut yang menutupi tubuh orang itu dan mendapati sosok Minami yang juga tanpa busana atas sedang terlelap. Napas Minami naik turun dengan teratur.

Noah masih tidak percaya dengan penglihatannya. Di atas ranjang yang sama dengan dirinya, Minami sedang terlelap dengan damai.

"Apakah yang sebelumnya mimpi?" Noah menepuk-nepuk wajahnya hingga memerah. "Rasanya memang seperti mimpi yang nyata." gumamnya.

"Ngh?" Minami mengubah posisi tidur. Noah meletakkan telunjuknya di depan hidung Minami. Merasakan napas hangat menyentuh permukaan kulit. Mengkonfirmasi sekali lagi kalau yang di depannya ini adalah Minami yang masih hidup.

"Ada napasnya."

Seketika Noah merasa lega. Minami masih dalam pelukannya.

"Noah?" Minami memanggil. Seperti mengigau. Noah yang hampir menitikkan air mata seketika menoleh ke arah Minami dengan senyum lebar seolah tidak terjadi apa-apa.

"Maaf, apa aku membangunkanmu?" tanya Noah segera menarik jarinya dari wajah Minami.

Minami beranjak duduk. Selimut yang tersampir di bahunya kini meluncur ke bawah. Memperlihatkan bagian kemerahan bekas tanda cinta dari Noah.

Noah merasa tergoda tapi ia tahan karena timingnya tidak pas.

"Aku seperti mendengar kau berteriak. Apa kau mimpi buruk?" tanya Minami.

'Ya, sangat buruk.' batin Noah.

Tidak ingin membuat Minami khawatir, Noah membual dengan mengatakan, "Ya, mimpi dikejar angsa sungguh membuatku takut." sambil memeluk Minami dengan manja.

Minami sempat memutar bola mata, kemudian mengelus puncak kepala Noah sambil mengatakan, "Mimpi hanya bunga tidur. Abaikan saja."

Noah mengangguk seperti anjing yang patuh. Dalam kesempatan itu, pemuda rambut merah itu mengambil kecupan ringan di pipi Minami. Pemuda yang dikecup itu sempat terkejut dan memalingkan wajah. Sinar rembulan yang menembus jendela samar-samar memperlihatkan semburat merah di pipi Minami.

"Ayo tidur lagi." ujar Noah sambil tersenyum lebar..

Minami mengangguk. "Benar, besok harus bangun pagi untuk menyambut pangeran Gaku dan permaisuri Bella." gumam Minami seraya menguap.

Noah tertegun.

Pangeran Gaku?

Permaisuri Bella?

"Acaranya diadakan besok?" tanya Noah mengkonfirmasi. Minami yang sudah bersembunyi dalam selimut menampakkan wajah dengan ekspresi heran.

"Iya. Bukankah kau sangat antusias dengan kedatangan saudaramu setelah bulan madu mereka?" tanya Minami dengan heran.

"Oh..."

Minami kembali duduk memandang Noah yang kebingungan. "Ada masalah?" tanya Minami.

"Ah tidak. Hahahaha." Noah menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "Sepertinya aku mulai jadi pelupa."

Minami diam sebentar memandang Noah,"Baiklah, ayo tidur. Sebelum kau mulai mengatakan hal-hal aneh lagi." ujar Minami kembali berbaring.

Noah ikut berbaring memeluk tubuh Minami. Ketika dirasa Minami sudah sepenuhnya terlelap, Noah bangkit dari kasur pelan-pelan sambil menahan napas. Meminimalisir gerakan dan suara yang bisa membangunkan permaisurinya.

Pintu kamar yang besar ditutup dengan pelan, sedikit suara derit pintu membuat Noah was-was.

Sunyi. Tak ada gerakan mencurigakan, akhirnya Noah menghembuskan napas lega setelah menahan napas beberapa menit. Noah memandang dua penjaga yang berdiri tepat di depan pintu. Memandang Noah dengan takut-takut dan rona merah menjalar hingga telinga.

Noah melirik tajam dan bertanya dengan nada galak, "Apa lihat-lihat?"

Dua penjaga dengan baju besi dan tombak panjang di tangan bergidik. Kepalanya menggeleng dengan cepat.

Raja kerajaan Bondevik itu menyalakan lentera penerangan yang sebelumnya dibawa dari kamar. Kakinya menyusuri lorong istana yang lebar dengan atap tinggi seakan menyentuh angkasa. Potret anggota keluarga Bondevik secara turun temurun menghiasi tembok di sisi kiri dan kanan. Dipisahkan oleh jendela kaca besar tanpa gorden sehingga sinar rembulan samar-samar mengintip masuk.

Belok ke kanan di ujung jalan, sebuah pintu ruang kerja pribadinya. Napas Noah tercekat. Terlintas ingatan mengerikan yang baru saja terjadi. Seperti sebuah mimpi buruk. Entah mimpi atau kenyataan, Noah akan segera mengetahuinya.

Di dalam ruangan besar yang dipenuhi buku-buku, Noah langsung menuju meja kerja yang kini tertata rapi. Lenteranya diletakkan di atas meja.

Tak ada kertas berserakan atau tinta yang tumpah. Sebuah buku catatan kerja menjadi fokus utamanya. Ia buka dengan serampangan hingga menemukan satu halaman kosong. Pada halaman sebelumnya ada tulisan tanggal yang tertera hari kemarin.

Noah memandang angka yang ditulis tangan sendiri. "Sudah kuduga, kejadian itu bukan mimpi. Tapi memang kenyataan dan aku terlahir kembali ke masa sebelum kekacauan terjadi."

Tanggal yang tertera merupakan saat musim semi. Sementara kematian Noah terjadi musim dingin di tahun berikutnya.

Kalau memang bukan mimpi, dalam waktu setahun ke depan, dia akan mati, Minami akan mati, kerajaannya hancur. Itu dikarenakan oleh satu orang.

Noah meremas kuat buku catatan di tangan hingga lecek mengingat pelaku yang menyebabkan kekacauan. Namun belum diketahui motif dari si pelaku.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya. "Selagi aku dilahirkan kembali, akan kuungkap semua dosamu."

"Yang Mulia?" sebuah suara mengejutkan Noah yang melamun. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Noah menoleh mendapati pelayan pribadinya, berdiri dengan membawa lilin di tangan sebagai penerangan. "Apa yang Anda lakukan malam-malam seperti ini?" tanyanya.

Noah meletakkan buku yang tadi diremas di atas meja. "Tidak ada, hanya memeriksa beberapa dokumen."

"Apakah perlu saya hangatkan minuman?"

"Oh, tidak usah. Hanya sebentar. Setelah membereskan kekacauan ini aku akan segera kembali ke kamar." ujar Noah mencoba berakting sewajarnya.

"Baiklah, Yang Mulia." pelayan pribadinya beranjak pergi.

Ekspresi Noah yang lemah lembut dan penuh senyum segera tergantikan oleh perasaan gelap penuh dendam. Meja kerja telah kembali bersih, Noah siap untuk kembali memeluk permaisuri cantiknya sebelum esok hari memikirkan rencana balas dendam.

***

Selesai (?)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top