Waktunya Pergi

Sebuah tamparan telak mengenai pipi Ayu dengan keras. Dengan tatapan tajam dan penuh amarah, Ayu menatap balik si pelaku tampatan tersebut. Pak Ikhsan, atau ayah Rachel, juga memberi tatapan marah padanya.

"Dasar anak tidak tau untung! Sudah diberi tempat tinggal dan dirawat, malah bikin masalah di sekolah!"

"Kenapa cuma saya yang ditampar, Om?! Anak Om juga salah di sini!" Ayu balik menggertak.

"Apa maksud kamu?! Kamu yang nyakitin dia duluan! Kamu jambak dan tinju dia! Apanya yang tidak salah?!"

"Om tau nggak sih anak Om sendiri itu aslinya bagaimana?!" Tatapan Ayu seketika beralih pada Rachel yang dipeluk oleh ibunya. "Dia selama di sekolah itu nggak pernah balajar baik-baik! Semua tugas dan catatan dia aku yang kerja! Bahkan nilai Rachel aja udah di atas aku! Tapi dia selalu saja ngandalin aku buat kerja semuanya!"

"Bohong dia, Pa! Aku nggak pernah nyuruh dia kerja tugas aku. Justru dia yang mau nyontek tugasku!"

"Jempe sia, monyet cacat air tukang playing victim! Tulisan di semua buku lo itu tulisan gue! Lo nggak pernah sekalipun ngerjain --"

"Cukup! Saya nggak mau denger semua ucapan kamu lagi! Sudah cukup kamu nyakitin dan ngatain anak saya."

"Kenapa Om? Kenapa? Kenapa nggak mau dengar? Hah?! Kenapa?! Nggak mau dengar fakta kalo anak Om itu banyak salahnya ke saya?!"

"Kamu ini udah disekolahin bener-bener di sekolah ternama, tapi cara kamu ngomong ke orang yang lebih tua nggak ada sopan santunnya!"

"Bukan mau saya sekolah di situ. Saya nggak pernah bilang mau sekolah di situ. Justru Om sendiri yang masukin saya ke sana supaya saya bisa nemanin dan jadi babunya anak Om sendiri."

"Terus kalau kamu nggak sekolah di sana, kamu sekolah dimana? Yang bayar semua biaya kebutuhan sekolah sampe kebutuhan sehari-hari kamu itu pakai uang dari saya!"

"Aku ada tabungan dari Ayah! Aku dari awal nggak butuh orang kayak Om dan Tante, apalagi anak kurang ajar kayak Rachel!"

"Kamu tuh harusnya ingat! Kakak saya ngasuh kamu karena kasihan aja sama kamu! Kamu ini cuma anak haram yang masuk panti supaya nggak hidup melarat!"

Ayu terdiam. Tak bisa membalas apapun lagi. Bulir-bulir air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Kalimat terakhir yang diucapkan padanya membuat kedua telinganya terasa sakit. Dadanya juga ikut terasa sesak.

"Bangsat maneh kabeh! (Bnagsat kalian semua!"

Setelah mengucapkannya, Ayu berlari meninggalkan ruang tengah. Ia lekas memasuki kamar dan membanting pintu dengan keras. Setelah mengunci pintu, gadis itu berjalan dengan tubuh gemetar ke arah kasur dan menghempaskan diri. Ayu menenggelamkan wajahnya ke sebuah bantal sambil menangis kencang.

Harinya sudah cukup buruk. Nilai yang belum lengkap karena catatan, diskors sebulan penuh dari sekolah, dan bertengkar di rumah. Ia sudah tidak butuh hal buruk lagi untuk hari ini.

***

Ayu membuka kedua matanya. Ia merasa pusing serta tidak nyaman. Kedua matanya terasa kering dan bengkak. Ayu ingat sedang menangis tadi akibat bertengkar hebat dengan pamannya, dan sekarang ia tertidur dalam posisi telungkup. Ia berguling dan memeriksa jam dinding. Ia tidak terkejut mendapati jarum jam menunjukkan pukul 7.35 malam.

Gadis itu masih terdiam di posisinya. Ia hanya menatap langit-langit kamar yang berdebu dan penuh sarang laba-laba di beberapa sudut. Ayu tak ingat kapan terakhir kali ia membersihkan kamar. Namun kali ini ia merasa langit-langit kamarnya lebih cocok untuk para laba-laba tinggali.

Pikirannya tanpa diminta memutar kembali saat-saat pertengkaran tadi. Ia masih ingat dengan jelas ucapan saudara ayahnya yang menyakitkan. Tentang seberapa hina dirinya untuk seorang sebaik ayah. Dadanya terasa sesak lagi, tetapi ia tak bisa melakukan apapun. Atau lebih tepatnya, tidak ingin melakukan apapun. Air matanya yang menggenang perlahan mengalir membasahi daun telinga. Ayu hanya menghela napas begitu air matanya kembali mengalir.

Tiba-tiba suara ketukan keras terdengar dari luar pintu kamarnya. Ayu hanya menghela napas. Terlalu lelah untuk bergerak untuk membuka pintu, apalagi untuk sekadar bangun dan duduk.

"Ayu, saya mau keluar makan bareng suami dan anak saya. Kamu jaga rumah. Jangan lupa bersihkan rumah sebelum kami pulang."

Terdengar suara ketukan langkah kaki menjauh. Ayu tidak tahu apakah wanita itu sudah tahu bahwa ia telah bangun, atau hanya sekadar melakukannya dengan harapan bahwa ia telah mendengarnya. Yang mana pun itu, Ayu tidak peduli.

Setelah menghabiskan beberapa menit berbaring tanpa melakukan apa-apa, Ayu perlahan bangkit dan mulai bergerak untuk bangkit dari kasur. Tatapan gadis itu tertuju pada sebuah bingkai foto di atas nakas di samping kasur. Foto dimana ayahnya tengah duduk di sebuah sofa tua dan tersenyum lebar.

Kedua kaki Ayu bergerak perlahan mendekati nakas. Tangan kanannya bergerak mengambil foto tersebut. Jemarinya bergerak mengusap debu yang menempel di bingkai foto itu. Satu-satunya alasan ia bertahan di rumah ini adalah karena ayahnya.

Ayahnya telah mewariskan rumah ini kepadanya. Namun ayahnya juga meminta Ayu untuk dirawat oleh Ikhsan, saudara ayahnya. Sehingga Ayu harus membiarkan saudara ayahnya beserta keluarga pindah dan bergabung dengan dirinya di rumah. Ayu pikir semua akan sama baiknya dengan kehidupan bersama ayahnya, tetapi kenyataannya jelas berbeda. Selama ini ia kebanyakan hanya melakukan pekerjaan rumah dan mengurus segala keperluan Rachel.

Hanya karena permintaan ayahnya itu Ayu rela mengurung keinginannya untuk memberontak. Ia rela mengurung segala kebencian dan perasaan marahnya kepada mereka. Bahkan keinginan untuk pergi meninggalkan mereka juga ia abaikan dalam hati.

Dan hari ini, Ayu sadar bahwa ia telah mencapai titik toleransinya. Tiga orang itu bahkan tidak pernah mengunjungi makam ayahnya setelah meninggal. Bahkan setelah tinggal dengan mereka, Ayu sering dilarang untuk berkunjung ke makam ayahnya. Semua yang ia lakukan hanya untuk ayahnya. Tapi tidak ada satupun penghargaan yang ia dapatkan dari mereka. Mereka tidak pernah memujinya. Tidak pernah membantunya dalam bekerja. Hidup dan bekerja untuk mereka membuat Ayu sadar bahwa rumah yang ayahnya katakan adalah miliknya, pada akhirnya tidak akan menjadi miliknya.

Ayu meletakkan kembali bingkai foto itu ke tempat semula. Sebuah ide terbesit di kepalanya. Semakin ia memikirkan ide itu, semakin terasa bagus ide itu. Dengan yakin, Ayu akhirnya mengambil langkah. Ia akan kabur dan pergi meninggalkan mereka.

Ayu lekas mengambil handuk dan segera mandi. Setelah selesai, ia mengenakan kaos oblong dan celana olahraga panjang serta jaket. Ia mengambil tasnya yang paling besar dan memasukkan lima pasang pakaian yang nyaman dan menurutnya bagus. Ia juga memasukkan beberapa barang ke tempat yang terpisah, seperti pisau lipat, obat dan vitamin, parfum, payung, selimut, dan beberapa barang lain. Novel Little Prince dan foto ayahnya juga ia bawa. Tidak lupa juga dengan charger ponsel, dompet,uang tabungannya, serta liontin kesayangannya.

Setelah mempersiapkan semua kebutuhannya, Ayu mengunci kamarnya. Setidaknya ia ingin mengusili Rachel dan orang tuanya untuk terakhir kalinya dengan membuat mereka mengira bahwa ia masih mengurung diri di kamar. Ayu yakin mereka akan sangat kesal dan marah. Memikirkan itu membuat beberapa ide datang kepadanya.

Ayu lalu masuk ke area dapur. Ia mengambil salah satu koleksi kotak tupperware Tante Mia untuk dijadikan kotak bekal baru -- sekaligus untuk mengusili wanita itu. Ayu mengisinya dengan menu yang ia buat untuk sarapan tadi sebagai bekal. Untung saja masih tersisa banyak. Ayu menyempatkan diri untuk melahap beberapa suap sebelum melaksanakan rencananya. Beres dengan mengisi perut, ia meletakkan piring kotornya ke bak cuci piring. Niat membersihkan tumpukan piring kotor itu muncul, tapi segera gadis itu tepis.

Ia kemudian membuka kulkas mengambil daging ayam dan ikan yang masih tersisa. Ia ingin membawa beberapa untuk diberikan kepada warung sari laut untuk menghemat biaya makan malam. Sementara ikan juga akan ia berikan kepada kucing dan anjing jalanan yang ia temukan.

Ayu tidak peduli jika yang dilakukannya ini adalah tindakan kriminal. Yang ia lakukan sekarang benar-benar terasa menyenangkan. Ia senang merasa akan segera meninggalkan tempat ini. Ayu hampir tersenyum memikirkannya. Meski tahu akan meninggalkan rumah, ia jelas tahu segala risiko yang mungkin akan dialaminya nanti. Namun ia yakin bisa melaluinya.

Setelah semua persiapan telah ia lakukan, Ayu membuka pintu utama rumah. Ia menghela napas begitu mengetahui pintu itu tidak dikunci. Ayu bergegas menuju pagar, berharap pagar itu juga tidak dikunci. Namun sialnya, pagar itu memang dikunci. Dan Ayu tidka memegang kunci pagar. Pasti telah dibawa oleh mereka.

Ayu diam di tempat, berusaha memikirkan jalur lain yang bisa ia lewati untuk keluar. Ayu melihat sekeliling dan menemukan tempat sampah besar di dekat tembok pagar. Ayu lekas mendorong tempat sampah itu hingga terbaring di atas tanah. Sampah-sampah berserakan keluar dari tempat sampah itu. Ia lalu mendorong tempat sampah itu ke tembok dan segera menaikinya untuk bisa melewati tembok pagar.

Setelah berhasil duduk sejenak di atas tembok pagar, Ayu melempar terlebih dahulu ayam dan ikan yang ia bawa. Kemudian ia melompat turun. Ia mendarat dengan kedua lutut dan telapak tangan di atas tanah. Hal itu membuatnya meringis selama beberapa saat. Ayu lalu bangkit dan lekas meninggalkan area rumah. Ia tak bisa menahan senyum ketika melakukan aksinya tadi. Terlebih lagi ia menyadari telah meninggalkan banyak pekerjaan yang akan membuat tiga orang itu sangat marah.

***

Sudah hampir dua jam berlalu. Ayu saat ini sedang duduk di kursi taman sendirian. Ia menenggak air minum yang ia baru saja beli di supermarket terdekat. Ayam dan ikan yang dia bawa sudah habis dimakan olehnya dan beberapa ekor kucing dan anjing jalanan. Melakukan hal itu membuat satu dan dua ekor dia antaranya berniat mengikutinya, tetapi Ayu lekas mengusirnya. Ia memang ingin punya peliharaan, tapi tidak sekarang.

Ayu melihat jam di ponselnya. Pukul 9.38 malam. Baterai ponselnya tersisa 72%. Masih cukup untuk besok. Ayu hanya perlu mencari kosan untuk tempat tinggal barunya. Dan ia bisa mencari pekerjaan apapun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ayu sangat yakin bisa melakukan banyak pekerjaan, mengingat kebanyakan aktivitasnya sehari-hari digunakan untuk mengurus pekerjaan rumah.

Ayu terpikirkan untuk datang dan tinggal sementara di tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi. Tidak ada sanak saudara yang bisa ia kunjungi. Satu-satunya kerabat ayahnya adalah tiga orang yang telah ia tinggalkan itu. Tiba-tiba terbesit sebuah tempat di kepalanya, panti asuhan. Ayu lekas menyingkirkan pikirannya dari tempat itu.

Ada satu tempat yang sebelumnya sempat terpikirkan oleh Ayu untuk ia kunjungi. Kuburan. Ia ingin mengunjungi kuburan ayahnya. Sudah cukup lama ia tak datang mengunjungi karena kesibukan sehari-hari. Dan juga kesulitan meminta izin dari saudara ayahnya itu. Namun mengunjungi tempat itu di malam hari jelas bukan ide bagus.

Menyadari tempat ia berada sekarang membuat Ayu terpikirkan sesuatu. Ayu berniat untuk tidur di kursi taman. Setidaknya ia memiliki tempat sementara untuk tidur. Lekas gadis itu bangkit dan pergi ke supermarket lagi untuk membeli lotion anti nyamuk.

Beberapa menit berjalan, atensi Ayu teralihkan pada suara anak anjing. Ia berhenti sejenak, berusaha mengidentifikasi asal suara itu. Perhatiannya lalu tertuju pada sebuah kotak di pinggir jalan. Ketika Ayu berjalan mendekat, ia menyadari bahwa ada seekor anak anjing terlihat lemah sedang berjalan merangkak di atas jalan raya.

Ayu lekas berjalan ke arah anak anjing itu. Namun kehadiran sebuah truk yang tengah melaju kencang di ujung jalan seketika membuat Ayu panik. Truk itu sebentar lagi akan melewati jalan raya dimana anak anjing itu berada. Segera gadis itu berlari sambil mengulurkan tangan ke atas, berharap sang sopir setidaknya dapat melihat tangannya agar dapat berhenti.

Ayu segera mengambil anak anjing itu dan memeluknya dengan satu tangan. Tangan satunya tetap berada di udara dan berayun berulang kali. Namun semakin dekat truk itu dengan dirinya, Ayu menyadari bahwa usahanya juga sia-sia. Ayu melompat mundur sambil terus mendekap anak anjing itu. Ketika Ayu kembali melihat kembali ke jalan raya, Ayu terheran melihat truk itu berhenti.

Sambil mengelus anak anjing di tangannya, Ayu mendekat perlahan ke truk itu. Gadis itu lalu menyadari bahwa lingkungan sekitarnya menjadi senyap. Tidak ada suara mesin dari truk itu. Tidak terdengar suara keras dari lagu yang diputar menggunakan speaker. Ayu menoleh ke berbagai arah dan tempat. Ketika ia melihat pengendara motor dan mobil di belakang truk itu juga berhenti, Ayu menyadari bahwa waktu kembali berhenti.

Semua hal di sekitarnya berhenti bergerak dan sunyi lagi. Sama seperti yang terjadi di sekolah tadi. Ayu menoleh pada anak anjing yang ia dekap. Makhluk itu tetap bergerak dan menggonggong kecil. Seketika gadis itu kembali bingung.

Tiba-tiba suara lonceng terdengar. Ayu menoleh ke berbagai arah, berusaha mencari sumber suara dari lonceng itu. Suara itu terdengar dekat, tapi ia tak tahu dimana. Dan terasa tidak asing.

Ayu kemudian teringat sesuatu tentang bunyi itu. Ia meletakkan anak anjing kembali ke kardusnya terlebih dahulu. Kemudian melepas ransel di punggungnya dan membuka salah satu ritsletingnya. Ayu mengambil liontinnya. Ketika benda itu berada di tangannya, suara lonceng itu semakin dekat. Segera ia buka liontinnya, dan suara lonceng itu berhenti.

Ayu melihat kembali liontinnya, dimana jarum jam dalam liontin itu menunjukkan angka 0. Persis seperti sebelumnya. Ayu menutup liontin ditangannya dan memakainya di lehernya.

Tiba-tiba Ayu merasakan sesuatu menariknya ke bawah. Ayu melihat ke bawah. Sebuah cahaya berwarna putih muncul dan mengisapnya. Dengan panik Ayu berusaha bergerak untuk terlepas dari cahaya itu. Namun cahaya itu mendadak mengisapnya semakin dalam.

"Tolong! Tolong!"

Ayu berteriak. Namun usahanya nihil. Tidak ada siapapun yang bisa mendengarnya dalam waktu yang berhenti.

Dalam sekejap, Ayu telah tertelan sepenuhnya ke dalam cahaya putih itu. Tas ranselnya juga ikut terhisap. Beberapa detik setelahnya, kendaraan di jalan raya kembali bergerak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top