Si Istimewa Tanpa Sihir

Sepulang sekolah setelah kelas terakhir di hari pertamanya, Michelle mendatangi ruang kesehatan dan memberikan Ayu Concore bekas. Milik Michelle yang sudah mulai jarang dia gunakan. Gadis itu bahkan berlama-lama di ruang kesehatan hanya untuk mengajarinya cara memakai Concore. Michelle juga memberikan nomor id Concore yang digunakan oleh Light, Liuxing, dan Ash.

Mereka berdua juga membicarakan banyak hal lain. Dari perbincangan itu membuat Ayu tahu informasi baru tentang seorang Michelle Gardner. Dia suka anjing, tetapi tidak bisa memeliharanya karena ibunya punya alergi. Teman sekamarnya di asrama adalah salah satu murid terbaik. Dia dan Light adalah teman di sekolah menengah dulu. Itu menjadi alasan mengapa ia tidak masalah dipanggil "Shelly" oleh Light. Selain karena nama itu masih sama bagus.

Mereka berdua berbincang asyik selama hampir tiga jam. Hingga pukul 08.00 malam tiba, Michelle akhirnya pamit pergi untuk segera kembali ke asrama. Ada aturan asrama bahwa anggota asrama tidak boleh berada di luar asrama di atas jam sepuluh.

Keberadaan Michelle saat itu membuat ia merasa lebih baik, entah kenapa. Mungkin karena selama iniAyu belum pernah punya teman yang mau dan bisa diajak bicara tentang banyak hal selain Ayah. Atau karena kehadiran Michelle sebagai siswi yang seusia dan setingkat dengan dirinya.

Harus Ayu akui bahwa hari pertamanya tidak buruk. Justru cukup menyenangkan, dan ia menyukainya. Hal yang tidak ia dapatkan di dunia aslinya bisa ia dapat di dunia sihir. Pengalaman sekolah bersama teman-teman baik bisa ia dapatkan di akademi sihir ini.

Kelas pertama di hari kedua juga berjalan baik. Ia mendapat nilai pada kelas artefak karena telah ikut menjawab dengan benar pertanyaan tentang benda pusaka magis. Ayu menjawab keris, sang guru menjelaskan bahwa tidak sembarang orang yang bisa memiliki senjata itu. Ayu tidak menyangka hal yang berbau Indonesia lokal bisa ada di dunia sihir itu. Sehingga memunculkan spekulasi tentang hal lain mengenai Indonesia si dunia itu.

Sisa waktu kelas artefak berjalan dengan normal seperti biasa. Ayu mencoba menyimak informasi dari sang guru. Liuxing di sampingnya tiba-tiba menepuk dahi. Ayu yang melihat hal tersebut terkejut. Lelaki itu kemudian menoleh padanya. Ia mendekatkan kepalanya pada Ayu.

"Ayu, maaf," bisik Liuxing.

Ayu keheranan dengan sikap tiba-tiba Liuxing. "Untuk apa?"

"Kelas berikutnya adalah kelas fisik. Kelas yang melatih dan meningkatkan kekuatan fisik. Sebagian besar pelajaran yang dilakukan melarang para murid untuk menggunakan kekuatan sihir mereka. Namun beberapa pelajaran juga perlu sihir, seperti sesi terbang menggunakan sapu."

Ayu mangut-mangut paham. Berdasarkan film Harry Potter yang pernah ia tonton, murid di Hogwarts menggunakan sapu terbang sebagai transportasi. Ia lalu terdiam. Memikirkan nasibnya nanti jika memang harus menggunakan sapu terbang.

"Kita berharap saja semoga kelas nanti hanya menggunakan kekuatan fisik."

"Kalau harus pakai sihir bagaimana?" tanya Ayu.

"Pakai alasan sakit saja, Ayuyu. Pasti bakal diizinin," usul Light di sebelahnya. Ia jelas menguping pembicaraan mereka.

"Memangnya nggak apa-apa pakai alasan itu?"

"Semoga saja, sih. Aku pasti akan bantu kalau terjadi sesuatu."

Ayu sekarang diselimuti rasa khawatir. Hampir seluruh murid dan guru di sekolah ini tidak tahu bahwa dirinya tidak memiliki sihir. Terlihat dari mereka yang masih memperlakukan Ayu seperti murid istimewa. Ayu masih tidak mengerti letak istimewa dari dirinya selain karena liontin miliknya disebut sebagai Liontin Pecahan Waktu. Apakah benda miliknya itu memang magis dan sangat istimewa?

Selesai dengan kelas artefak, berikutnya adalah kelas fisik. Selama kelas, seluruh murid harus mengenakan pakaian olahraga dan berkumpul di lapangan. Kelas fisik sangat mirip dengan mata pelajaran olah raga. Para murid diminta untuk lari keliling lapangan dua kali dengan catatan tidak menggunakan sihir sama sekali. Sekali lagi Ayu mendapat pujian karena tidak pernah menggunakan sihir selama berlari. Meskipun ia termasuk dalam urutan terakhir dan tidak dapat menyelesaikan lari lapangannya.

"Hari ini adalah pekan kedua kita. Sebagai awal keseriusan kita di kelas ini, mari kita mulai dengan melihat kemampuan terbang kalian."

Ayu mengumpat dalam hati. Meratapi kesialan yang ia alami saat ini. Sepertinya rencana untuk izin itu harus ia jalankan sekarang. Ia berniat menaikkan tangannya, tapi pikiran untuk tetap diam saja selalu mengusiknya. Hingga ketika semua sapu terbang dibagikan kepada para murid, Ayu sadar bahwa ia telah terlambat untuk melakukannya.

"Ayuyu, ayo angkat tanganmu!" bisik Light di sebelahnya.

"T-tunggu...."

Tiba-tiba Light meraih tangan kirinya dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Ayu yang masih terkejut dengan ulah Light tidak bisa apa-apa. Aksinya itu dilihat oleh sang guru.

"Oh, si murid istimewa! Ada apa, Nak?"

"Anu, saya... mau minta izin."

"Ke toilet?"

"Bukan. Saya kurang enak badan."

Sang guru berjalan mendekat. "Kenapa? Kau sakit?"

Telapak tangan guru tersebut menyentuh dahi Ayu. Kemudian diganti dengan telapak tangan. Ayu semakin merasa khawatir. Sepertinya ia agak dicurigai.

"Suhu tubuhmu normal. Kau nggak bohong, kan?"

Pertanyaan itu mengingatkan Ayu pada guru olahraga di sekolahnya yang tidak suka jika ada murid yang sengaja tidak hadir dengan alasan sakit.

"N-nggak kok."

"Kau masih merasa kelelahan setelah berlari?"

"Se-sepertinya begitu, Pak."

Rasanya semakin sulit untuk berbohong.

"Pak, sebenarnya sejak di kelas artefak tadi dia merasa kurang enak badan." Liuxing mencoba membantu.

"Kalau memang dari tadi sudah tidak enak badan, kenapa kau tidak minta izin tadi sebelum lari? Ketika lari tadi kau bahkan terlihat baik-baik saja."

Ah, sial. Sepertinya ia tidak bisa berbohong lagi. Baik Liuxing dan Light tidak bisa membantu. Mereka berdua sama-sama terlihat bingung. Pada akhirnya sang guru hanya membiarkan Ayu beristirahat lebih lama. Yang berarti bahwa ia mendapat giliran terbang terakhir.

Ayu semakin merutuki nasib sialnya hari ini. Begitu semua orang stau per satu telah berhasil terbang dengan sapu mereka, Ayu semakin merasa cemas. Ia tidak salah dalam hal ini. Tapi tetap saja rasa cemas yang ia rasakan sungguh mengganggu. Giliran Ayu akhirnya tiba. Gadis itu merasa ingin kabur dan mengubur diri.

"Ayo, murid kecil istimewa. Gunakan sapumu dan terbang."

Ini sudah berlebihan. Ayu tidak bisa melakukannya.

"Maaf, Pak. Tapi saya tidak bisa."

"Kenapa? Apa kau takut ketinggian? Tidak apa-apa, kau bisa terbang rendah."

"Tidak. Bukan itu, Pak."

"Lantas apa? Apa kau masih kelelahan?"

Ayu menggeleng. "Bukan itu juga. Sebenarnya, saya ini tidak punya sihir."

"Apa maksudmu? Apakah sihirmu sedang melemah?"

"Tidak, Pak. Saya memang aslinya tidak punya sihir."

Murid-murid yang mendengarkan pengakuannya berbisik satu sama lain. Ayu bisa mendengar mereka membicarakan omong kosong yang ia ucapkan barusan. Mereka tidak percaya dengan ucapan Ayu.

"Jangan merendah seperti itu! Semua orang memang punya kelemahan. Tapi kau harus melampaui kelemahan. Jangan takut! Gurumu ada di sini untuk membantu!"

Ayu tidak tahu harus menjelaskan seperti apa lagi. Sepertinya semua menjadi semakin runyam.

Perasaan tidak nyaman semakin menggerogoti. Pikirannya tidak bisa tenang. Ia selalu teringat pada pengalaman tidak mengenakkan yang ia alami sebelumnya. Ayu berusaha untuk tidak memikirkannya. Namun ingatannya terhadap pengalaman itu malah semakin jelas. Bersama dengan perasaan sakit dan sesak yang tidak ia harapkan datang.

Kedua matanya terasa nyeri dan mulai basah. Ayu tidak ingin berakhir dengan menangis di depan umum. Segera Ayu berlari meninggalkan tempat itu. Suara guru dan Liuxing yang memanggilnya ia hiraukan.

"Pak, mungkin maksud Anjani adalah dia tidak bisa menggunakan sihir untuk menggunakan sapu terbang." Salah satu murid ikut berpendapat.

"Kau yakin begitu?" tanya sang guru pada murid itu.

"Saya yakin begitu, Pak."

"Dia juga tidak terlihat seperti orang bisa menggunakan sapu terbang. Lihat saja cara dia memegang sapu. Seperti anak kecil yang baru saja diberi sapu terbang." Murid lain juga ikut mengomentari.

"Hei, jangan katakan hal seperti itu!" Liuxing berusaha membatasi.

"Lho, kenapa? Memang benar, 'kan? Cara semua anak pertama kali memegang sapunya memang begitu."

"Benar. Dari pada terlihat siap untuk terbang, dia lebih terlihat seperti akan menyapu dan membersihkan lapangan. Kau juga berpikir begitu kan, Summer?"

Salah seorang siswi yang terbang paling tinggi mengarahkan sapunya untuk terbang lebih rendah hingga setinggi Ayu. Masih di atas sapu terbang, gadis berambut merah itu menatapnya sinis.

"Sejak awal kau memang aneh. Tidak pakai atribut asrama, payah di kelas mantra, tidak tahu apapun soal bahan ramuan, bahkan kelas fisik saja larinya lambat, pakai sapu terbang juga tidak bisa. Kau bisa apa sih? Kau nggak bisa apa-apa. Buat apa di sekolah ini?"

Kalimat gadis itu membuat Ayu terdiam. Setiap kalimatnya menusuk hatinya. Semakin lama Ayu bergeming di tempat, ingatan dan perasaannya yang ia benci muncul. Bahkan gadis berambut merah itu semakin lama terlihat seperti Rachel.

Suasana lapangan itu terasa pengap. Padahal mereka sedang berada di tempat terbuka. Dadanya terasa sesak. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih.
Ayu tidak suka pemandangan di depan matanya. Tatapan semua orang yang tertuju padanya, persis seperti di awal kehidupan menyedihkannya.

Rasa panas dan pahit memenuhi leher. Ayu membuang sapu di tangannya dan berlari menjauh. Ia tidak peduli ke arah mana kedua kakinya melangkah pergi membawanya. Saat ini Ayu sangat butuh tempat tenang.

Setelah beberapa menit, kedua kalinya berhenti. Kedua lututnya yang terasa lemas membuat Ayu jatuh ke depan hingga berpijak pada dua tangannya. Ia berusaha bernapas dengan baik dan normal agar bisa lebih tenang. Perutnya kembali terasa tidak nyaman, memaksanya memuntahkan makanan di perutnya.

"Ayuyu!" Suara panggilan serta langkah kaki yang menelusuri rerumputan terdengar.

Ia ingin pergi ke suatu tempat yang lebih tenang dan tertutup. Kondisinya sekarang sedang tidak baik-baik untuk dilihat oleh orang lain. Terutama teman-temannya.

"Ayuyu! Kamu baik-baik saja? Kamu terluka?"

Ayu menggeleng. Ia mengigit kedua bibirnya, berusaha menahan isakan tangis yang hendak keluar. Lengan jaket ia gunakan untuk menahan air matanya yang mulai terbendung.

Suara langkah kaki di rerumputan kembali terdengar. Ayu bisa merasakan kehadira teman sekelasnya itu di sisi kirinya. Terlalu dekat. Seperti sedang duduk di sampingnya.

Ini sungguh mengganggunya. Ayu tidak ingin didekati sekarang. Ia butuh waktu dan ruang.

"Kamu kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan."

Ia memang mau menangis. Tapi sangat memalukan baginya menangis di sebelah orang lain. Ia tidak mau dilihat sedang menangis, apalagi oleh orang yang ia kenal.

"Bacot kau! Pergi sana!"

Light terbelalak. Begitu pun Ayu yang mulai menangis semakin kencang. Gadis itu menangis dan menutupi wajahnya. Sementara temannya yang masih terkejut terdiam di tempat.

"Kalau udahan nangisnya, kirim pesan ya. Nanti dijemput."

Setelah itu, terdengar langkah yang semakin menjauh. Segala umpatan keluar dari mulutnya. Ayu merasa telah menjadi orang yang sangat buruk.

***

Setelah menghabiskan waktu setengah jam lebih, Ayu akhirnya benar-benar berhenti menangis. Kedua matanya terasa bengkak. Tenggorokannya juga kering. Saat ini Ayu sedang berbaring di atas rerumputan. Menikmati kesendiriannya di tempat itu.

Tiba-tiba ia merasakan getaran di paha. Ayu merogoh saku celana olahraganya, rupanya concore miliknya mendapat telepon masuk dari Light Caelan. Setelah tiga kali mencoba bernapas dengan tenang, Ayu mengangkat telepon itu.

"Kamu udah baikan?"

Ayu memperbaiki suaranya sejenak sebelum menjawab. "Hmm, ya."

"Bentar, aku dan Liuxing jemput."

Panggilan pun diputuskan. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki yang melewati rerumputan terdengar. Ayu yakin itu adalah dua teman sekelas.

Lekas gadis itu bangkit berdiri dan membersihkan bajunya dari kotoran yang menempel. Light dan Liuxing menghampirinya dan mengajaknya untuk kembali ke sekolah bersama.

Memasuki area sekolah, Ayu bisa merasakan arah tatapan para murid yang tertuju padanya. Tidak seperti pertama kali ketika ia tiba di sekolah yang di mana ia diberi tatapan penasaran dan ramah. Tatapan mereka kali ini terasa tidak nyaman. Tatapan yang sering ia dapatkan sejak SMP. Atau tepatnya ketika hidupnya sudah mulai berubah.

Ayu terdiam di tempat. Tatapan yang ia dapatkan semakin terasa mengintimidasi. Terlebih lagi beberapa orang mulai berhenti dan juga memberikan tatapan yang sama. Gadis itu semakin merasa tidak nyaman dan sesak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top