Saran Ketua OSIS

Pertengkaran pun akhirnya berhenti setelah sekelompok siswa datang. Siswa-siswa itu menggunakan kain hijau-putih di lengan atas mereka. Sepertinya mereka berasal dari sebuah kelompok tertentu.

Karena perkelahian itu, semua orang yang terlibat dalam perkelahian dibawa ke ruang OSIS untuk menghadap pada sang ketua OSIS. Ayu dan Ash yang tidak ikut dalam perkelahian memutuskan untuk ikut. Bagaimana pun juga, mereka terlibat secara tidak langsung.

Di depan ruang OSIS, keduanya duduk di bangku hitam panjang sambil menunggu tiga teman mereka yang lain keluar dari ruangan.

"Mengejutkan ya?"

Ayu menoleh pada Ash yang sedang duduk bersandar dengan dua kaki terbuka lebar.

"Liuxing yang biasanya kalem itu ternyata bisa ikut dalam perkelahian. Bahkan dia yang memukul duluan. Kamu terkejut juga kan?"

Ayu mengangguk. Ia akui tidak menduga hal itu. Bahkan jika diingat lagi, cara Liuxing meninju wajah orang yang mengganggunya tadi terlihat sangat keras. Seolah ia sedang melampiaskan amarahnya.

Pintu ruangan kemudian terbuka. Tampak Light dan Michelle sedang menatap tajam ke arah sekumpulan siswa yang berkelahi dengan mereka. Mereka berdua mengucap sesuatu yang bagi Ayu terdengar seperti sumpah serapah.

"Kalian kalau tidak puas, ayo berkelahi lagi besok! Kita nggak takut," tantang Light pada tiga orang yang berjalan pergi dengan wajah kesal.

"Berhenti, Caelan! Kita sudah ditegur dan diperingati sebelumnya. Jangan bertingkah sembarangan," tegur Liuxing sambil menutup pintu ruangan OSIS.

"Kan mereka yang mulai. Bahkan mereka sendiri yang mancing keributan dulu. Bukan salah kita lah," ucap Michelle terdengar masih kesal.

"Betul! Bahkan Kak Ketos juga banyak membela kita. Dia di pihak kita!"

"Kak Ketua OSIS hanya menjalankan kewajibannya. Dia tidak membela siapapun."

Ayu dan Ash berdiri untuk menyambut teman-teman mereka. Light tersenyum senang dan Michelle melambai ke arah mereka berdua. Sementara di belakang Liuxing ikut menyapa meski dahinya berkerut. Light berjalan mendekati mereka berdua.

"Ashley, ulurkan tanganmu," pinta Light begitu tiba di hadapan Ash dan Ayu.

"Buat apa?"

"Ulurkan saja."

Ash pun menuruti permintaan Light. Ketika tangan kanannya terulur, Light memberikan segenggam permen dengan bungkus warna-warni.

"Apa ini?"

"Permen. Ketua OSIS membagikannya pada kami sebelum keluar tadi."

Ash mengambil satu butir dan memakannya. Lelaki itu menyodorkan tangannya ke arah Ayu, terlihat sedang menawarkan permen pemberian Light. Ayu mengambil salah satunya yang terlihat seperti permen empuk dan memakannya. Ketika gadis itu menggigitnya, ia bisa merasakan saus cokelat melapisi permukaan lidahnya.

"Oh iya, Ayu, tadi Ketua OSIS bilang ingin bertemu denganmu. Dia mau bicara katanya." Michelle memberitahu sambil mengemut lolipop di mulut.

Ayu terdiam. Sepertinya ia tahu apa yang ingin dibicarakan dengannya. Pastinya tentang masalah perkelahian tadi.

"Apakah tentang perkelahian tadi?" Ash bertanya, seolah mewakili pemikiran Ayu.

"Mungkin? Tapi dari raut wajahnya, Ketua OSIS tidak terlihat marah atau kesal. Malah terlihat... senang?" jelas Liuxung.

"Oh, aku melihat wajahnya juga. Dia tersenyum ketika menyebut nama Ayu tadi." Light yang menjawab melirik ke arah Ayu.

Seketika semua juga ikut melihat ke arahnya. Ayu mengernyit melihat reaksi mereka. Merasa semakin bingung, Ayu memilih untuk mengabaikan tatapan mereka.

"Oke. Aku masuk dulu. Kalian balik aja dulu."

"Balik bareng aja, Ayuyu. Kita kan dateng juga barengan."

"Nanti di cari sama Pak Froun. Nanti kena marah lagi."

Ayu akhirnya meninggalkan empat temannya. Ia berdiri di hadapan pintu ruangan OSIS. Detak jantungnya yang hampir kacau berusaha ditenangkan kembali. Ia menarik napas pelan dan mengembuskannya.

"Ayo, Ayu! Semangat! Kamu pasti bisa!" dukung Michelle.

"Ketua OSIS baik, kok. Katanya, sih. Dia nggak bakal ngegigit." Ash Ikut-ikutan.

"Kalau kamu diapa-apain, teriak aja! Jangan ragu! Kami di sini selalu bersamamu, Ayuyu!"

Ayu hanya mengiyakan semua ucapan mereka.

Setelah membuka pintu, Ayu lekas berjalan masuk. Begitu dirinya sudah sepenuhnya di dalam ruangan, pintu ruangan itu tertutup rapat dengan sendirinya. Suara keras pintu itu membuat gadis itu kaget dan merasa agak panik.

Pandangannya lalu terarah ke depan. Terlihat seseorang sedang duduk di sofa sambil menyesap secangkir minuman --yang Ayu yakini adalah teh-- dengan tenang dan agak lambat, orang itu melirik ke arah Ayu.

"Pe-permisi. Ma-maaf menganggu waktunya," ucap Ayu dengan sesopan mungkin sambil menunduk kecil.

"Hehe. Tidak apa-apa. Lagian, saya yang memanggil kamu kan? Kemari dan duduklah."

Suara sang ketua OSIS sangat lembut dan ringan bagi seorang lelaki. Membuat bulu kuduk ingin berdiri karena mendengarnya. Namun Ayu harus bersikap tenang.

Ayu segera berjalan menuju tempat lelaki itu. Gadis itu sempat bingung untuk memilih sofa yang ingin ia duduki. Ayu sendiri ingin duduk di sofa tunggal yang letaknya berjauhan dengan sang ketua OSIS. Namun ketua OSIS sendiri sedang duduk di atas sofa lebar untuk dua orang, Ayu terpaksa mengurungkan niat dan memilih duduk di sisi lain sofa yang ditempati orang itu. Sebisa mungkin ia menjaga jarak.

"Tidak perlu tegang begitu. Aku nggak menggigit seperti yang temanmu bilang tadi."

Didengar ternyata, panik Ayu dalam hati. Lain kali mungkin ia akan meminta Ash dan yang lain untuk lebih berhati-hati kalau bicara.

Sang ketua OSIS menggeser sepiring kue tart stroberi ke hadapan Ayu. Begitu juga dengan secangkir minuman berwarna merah kecokelatan yang wangi. Melihat perlakuan ketua OSIS padanya membuat Ayu terheran-heran.

"Kita ngobrol santai, kok. Jadi bisa sambil minum teh dan makan kue." Ketua OSIS kembali menyesap minuman di tangannya dengan tenang.

Entah perasaannya saja atau memang ketua OSIS di sebelahnya sedang mengeluarkan aura yang membuat suasana di ruangan itu terasa berat. Seperti sedang merasa ditekan oleh sesuatu yang berat. Entah apa itu.

Tatapan Ayu sekarang tertuju pada kue tart itu. Sebenarnya Ia merasa enggan untuk memakannya. Namun aroma manis dan rasa penasaran akan rasa makanan itu di lidahnya membuat Ayu akhirnya menyerah. Setidaknya ia harus bersikap santaisantai dan mengikuti arus. Ia meraih garpu kecil di piring dan menggunakannya untuk menyuap kue ke dalam mulut.

Rasa manis dan lembut kue benar-benar memanjakan lidah. Ia kembali menyuap makanan manis itu hingga tidak sadar membuat mulutnya hampir penuh.

"Hehe. Aku senang kalau kau suka kuenya."

Situasi ini mendadak terasa terlalu santai. Membuat Ayu merasa sangat aneh. Setelah menelan kue di mulut, Ayu kembali ke tujuan semula masuk ke dalam ruangan.

"Permisi, Kak. Tadi kata teman saya tadi ada yang mau dibicarakan dengan saya."

"Oh, soal itu. Yah, saya cuma mau bertanya hal sederhana saja." Cangkir di tangan diletakkan di atas meja. "Bagaimana hari-harimu di sekolah?"

Dahi gadis itu mengerut. "Maaf, maksudnya?"

"Hari-hari yang kamu jalani setelah menjadi murid di akademi ini. Aku ingin mendengarnya darimu."

Ayu masih merasa bingung untuk menjawabnya. Namun pada akhirnya, ia putuskan untuk menjawab.

"Awalnya terasa menyenangkan dan baik-baik saja, sih. Namun sekarang agak berbeda."

Ayu menyadari ia berbicara terbuka.

"Apakah kamu merasa sangat kesulitan di tempat ini?"

"... Tidak juga."

"Apakah teman-teman dan guru membantumu?"

Ayu mengangguk.

"Saya dapat kabar, kamu dirundung. Apa itu benar?"

Kedua mata Ayu terbuka lebar. Apakah teman-temannya melaporkan hal yang menimpanya pada ketua OSIS?

"Dilihat dari reaksi di wajahmu, saya anggap sebagai jawaban 'iya'." Sang ketua OSIS mengganti posisi kakinya. "Sudah lapor ke guru? Kepala sekolah?"

Ayu diam. Ia tidak melakukannya. Setelah diam beberapa detik, Ayu akhirnya menggeleng.

Ketua OSIS mengangguk. "Saya tadi diberitahu oleh teman-temanmu bahwa kamu diganggu oleh tiga siswa tadi. Apa itu benar?"

Ayu mengangguk kecil.

"Apa mereka menyentuhmu? Mengatakan sesuatu yang buruk dan tidak pantas padamu?"

Ayu mengangguk lagi. "I-iya."

"Mungkin seharusnya tadi aku langsung menghukum mereka saja. Ya, biarlah. Nanti aku akan beritahu wali kelas mereka," gumam Ketua OSIS.

Pikiran Ayu seketika mengingat kembali kejadian menjijikkan dan menakutkan tadi. Buru-buru Ayu meminum teh hingga habis untuk menghilangkan perasaan muak dan jijik yang mulai muncul.

"Kamu baik-baik saja? Perlu ke UKS?" tanya Ketua OSIS terdengar khawatir.

Ayu menggeleng. "Tidak usah. Saya tidak apa-apa."

Sunyi memenuhi ruangan. Baik Ayu dan Ketua OSIS belum ada yang kembali bersuara.

Senyum kembali terpatri di wajah lelaki itu. "Kamu kuat juga ya, Ayu. Saya salut."

Ayu mengerjap. "Makasih."

"Saya lupa memperkenalkan diri. Saya Eyzan Clene. Panggil saja Eyne atau Eyz. Atau apapun yang kamu mau."

"Baik, Kak... Eyzene?" Sengaja membuatnya terdengar sedang bertanya untuk meminta koreksi dari si empunya nama.

"Eyzene juga boleh. Aku suka."

Semakin lama berbincang dengan orang di hadapannya semakin terasa aneh pembicaraan mereka. Bagi Ayu, pembicaraan mereka terasa tidak serius. Cara bicara orang itu terdengar seperti sedang menginginkan sesuatu darinya.

Ayu menyuap lagi kue tart yang ia makan tadi.

"Liontin yang bagus."

Pikiran Ayu yang berkecamuk seketika terfokus pada Eyzene yang baru saja memuji liontin yang ia kenakan. Lelaki itu masih tersenyum ketika melihat ke arah liontin di dada Ayu. Lekas Ayu menutup benda kesayangannya itu dengan tangan.

"Saya nggak bakal ambil, kok. Kan itu punyamu. Saya sudah lama nggak lihat benda itu. Jadi kangen."

"Kangen?"

Eyzene mengangguk. "Benda seperti itu hanya dimiliki oleh tiga orang lulusan Akademi Exentraise. Entah dimana mereka sekarang. Terakhir kali kulihat juga sudah lama sekali."

"Kak Eyzene pernah ketemu sama mereka?"

"Mungkin bisa dibilang begitu."

"Memangnya kenapa?"

Jari telunjuk diletakkan di depan bibirnya. "Rahasia."

Ayu mengernyit. "Kenapa jadi rahasia?"

"Karena saya tidak bisa beritahu lebih lanjut tentang hal itu."

"Kenapa? Memangnya ada sesuatu?"

Lelaki itu menggeleng. "Saya tidak punya kewajiban atau tanggungjawab dalam memberitahu kamu tentang hal di luar kepentingan sekolah."

"Tapi Kak Eyzene beneran pernah ketemu mereka kan?

"Kamu sungguh ingin tahu tentang pemilik benda itu, ya? Apa kamu ingin bertemu dengan mereka?"

Dengan ragu, gadis itu mengangguk.

"Sayang sekali. Jawabannya tidak akan kamu dapatkan dariku. Jika kamu sangat ingin, maka orang yang harus kamu tanyakan adalah kepala sekolah, 'kan?"

"Pak Froun juga bilang begitu. Tapi saya sama sekali tidak bisa bertemu dengan Pak Kepala Sekolah. Dia sekarang sedang sibuk dengan urusan di luar sekolah."

Eyzene menghela napas. "Sayang sekali. Kalau begitu, kamu harus menunggu. Kamu bisa saja bergerak sendiri, tapi pastinya akan sangat sulit bagi manusia tanpa sihir dan tanpa koneksi sepertimu."

Perkataan Eyzene yang sesuai fakta menyakiti hati kecil Ayu. Ia tidak bisa melakukan apa-apa di dunia ini. Apalagi di Akademi Exentraise. Nyaris sebulan di tempat ini ia juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan di dunia asalnya. Tidak ada yang membantunya.

"Kamu sudah menyerah hanya karena itu?"

Ucapan Eyzene membuat Ayu menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya.

"Padahal kamu sudah berusaha mendapatkan informasi itu sendiri di perpustakaan bersama teman-temanmu. Tapi setelah perkelahian tadi, apa kamu akan menyerah?

"Jika hanya dengan itu kamu sudah menyerah, maka seharusnya kamu tidak pernah muncul ke dunia ini. Kamu sudah bertahan satu bulan di tempat ini. Itu sebuah awalan yang sangat baik. Kamu telah memulai proses dengan caramu sendiri. Kamu manusia kuat. Aku bangga padamu."

Ayu tidak tahu harus berkata apa. Dadanya terasa ringan dan menusuk secara bersamaan. Ia merasa bisa bernapas lebih lega dari sebelumnya. Air mata terbendung di mata, tetapi tidak menetes. Entah ada apa dengannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top