Awal yang Baik

Setelah apa yang menimpa dirinya kemarin, Ayu menjalani kehidupan sekolahnya. Bukan dengan perasaan pasrah dan emosi yang ditekan seperti sebelumnya, tetapi dengan perasaan yang lebih ringan dan positif. Setelah menangis hebat dan tidur banyak tadi malam perasaannya jadi lebih baik.

Selesai berpakaian rapi, Ayu mengambil satu butir permen empuk pemberian Eyzene. Rasa susu coklat, membuat Ayu ingin kukis cokelat. Mungkin ia bisa memesan satu porsi setelah sarapan nanti.

Ayu tidak terkejut lagi melihat keberadaan teman-temannya di depan ruang kesehatan. Ia yakin mereka berempat masih merasa khawatir tentang dirinya kemarin. Terbukti dari cara mereka memandangi Ayu selama perjalanan menuju kafetaria.

"Aku udah baikan beneran, lho. Nggak usah terlalu khawatir," ucap Ayu berusaha membuat mereka berempat berhenti cemas.

"Matamu masih bengkak. Kau yakin nggak apa-apa? Mau izin sakit?" usul Liuxing.

"Nggak usah. Nanti Pak Froun datang lagi terus ngomel-ngomel."

"Haha! Pak Froun memang dari dulu terlalu perhatian dan protektif," timpal Michelle sambil mengetik sesuatu di concore.

"Kamu memangnya udah kenal Pak Froun dari dulu?" tanya Ash penasaran.

Michelle mengangguk. "Dulu aku sering dititipkan ke Pak Froun kalau Mama mesti pergi kerja. Jadi Pak Froun udah kayak sosok 'kakak' bagiku."

Semua terlihat terkejut mendengarnya, termasuk Light yang lebih mengenal Michelle.

"Padahal selama kelas ramuan dia nggak keliatan kayak kenal kamu. Aku bahkan nggak pernah dengar kamu panggil Pak Froun 'kakak'," celetuk Light.

"Pak Froun mau bersikap profesional. Pas resmi jadi guru di sini, dia selalu minta aku panggil dia 'Pak', jangan 'Kak'."

Ayu mangut-mangut. Rupanya terdapat hubungan yang unik antara wali kelasnya itu dengan salah satu temannya. Dari cerita Michelle itu, Ayu menyadari bahwa ia belum tahu latar belakang empat temannya itu.

"Heh, berhenti!"

Obrolan santai di pagi hari mereka terpaksa berhenti. Di depan mereka sekumpulan siswa berdiri menghalangi jalan menuju kafetaria. Ayu mengenal tiga wajah di antara orang-orang itu kemarin. Tiga orang yang berkelahi dengan Liuxing, Light, dan Michelle. Sepertinya mereka masih dendam sehingga mengumpulkan orang-orang untuk membantu mereka.

Sangat jelas itu adalah tindakan pengecut, menurut Ayu. Namun langsung mengatakannya di hadapan mereka akan membuat situasi semakin tidak baik.

"Apaan nih? Kalian manggil orang buat bantu kalian. Curang namanya!" tunjuk Light ke arah kumpulan itu.

"Kita nggak peduli. Kita cuma mau kalian mendapat apa yang seharusnya kalian dapat di ruang OSIS kemarin."

Ash menghela napas kasar. "Jadi maksdunya kalian tidak senang dengan keputusan ketua OSIS kemarin?

"Tentu saja!"

"Terus kalian mau apa dengan kami? Berkelahi?"

"Kalau mau berkelahi, ayo! Kita nggak takut! Kalian berseratus pun juga bakal kami ladeni," tantang Light.

"Heh. Cewek itu aja mulai takut. Yakin mau lawan kami?"

Ayu menoleh ke arah Michelle yang sekarang tengah bersembunyi di belakang tubuh tinggi Ash. Padahal Michelle kemarin sangat berani menantang mereka. Kenapa tiba-tiba dia terlihat takut?

"Michelle, kau takut?" tanya Ayu berbisik.

"Bukan, aku sembunyi," bisiknya tegas.

Sepertinya dia memang sembunyi karena takut.

"Umm... maaf." Liuxing memulai pembicaraan. "Bukan bermaksud apa-apa. Tapi masalahnya kan sudah diselesaikan di ruang OSIS kemarin. Jadi seharusnya kita tidak ada masalah lagi. Kita semua sudah setuju untuk berdamai kan? Ketua OSIS kan juga sudah --"

"Ck. Berisik kau! Padahal kau yang mulai hajar kami kemarin. Tapi malah kami yang disuruh meminta maaf. Harusnya itu kalian!"

"Oh, jadi kalian kemarin yang berantem sampai dipanggil masuk ke ruang OSIS?"

Suara itu tiba-tiba ikut hadir. Setiap katanya terdengar ditekan, seperti sedang menahan marah. Semuanya menoleh ke sumber suara, di mana seorang lelaki tengah melipat tangan di dada dengan wajah kesal. Di lengan atas orang itu terbalut kain merah seperti orang-orang yang menengahi pertengkaran kemarin.

"Kau...."

"Kalian ini. Padahal kemarin sudah ditengahi oleh ketua OSIS sendiri, malah berantem lagi hari ini," keluh orang itu.

"Bukan kami. Mereka yang mulai, Kak!" tunjuk Light pada sekumpulan orang itu.

"Tanpa kau kasih tau pun aku juga udah tau."

Tiba-tiba sebuah pistol muncul di tangan kanan orang itu. Lekas ia mengarahkan senjata itu ke arah orang-orang di hadapannya. Dengan jari yang telah bersiap menarik pelatuk, ia memberikan tatapan tajam penuh tekanan.

"Kalian pergi, atau melawanku?"

Segera orang-orang itu pergi meninggalkan Ayu dan teman-temannya yang berusaha tetap tenang. Baru pertama kali Ayu melihat orang yang menggunakan senjata langsung di dunia ini. Ayu yakin lelaki itu cukup kuat dan hebat.

"Makasih banyak, Kak Silvy!"

"Aku nggak butuh ucapan terima kasih darimu. Dan berhenti memanggilku seperti itu!," ucap lelaki itu, bersamaan dengan menghilangnya pistol di tangan.

Lelaki itu maju mendekati mereka. Ia berdiri di hadapan Ash. Setelah bertatapan dengan Ash, ia mencoba melihat sosok di belakang Ash yang masih bersembunyi. Namun tubuh Ash yang tinggi membuat orang itu kesulitan melihat Michelle.

"Berhenti menyembunyikan Misha dariku, Ash Satan."

"Bukan aku. Michelle yang terus menyeretku," tunjuk Ash pada gadis di belakangnya.

Jadi Michelle bersembunyi bukan karena takut dengan kumpulan orang tadi, tetapi karena keberadaan lelaki itu.

"Misha, apa orang-orang tadi menyakitimu? Apa kau terluka?" tanya lelaki yang dipanggil Silvy itu. Wajahnya terlihat khawatir.

"Aku baik, kok."

"Berhenti bersembunyi, Misha. Aku ingin melihatmu pagi ini."

"Aku lagi sibuk. Lain kali saja."

Mendadak wajah khawatir itu berubah menjadi dingin dan tanpa ekspresi. Sebuah pistol kembali muncul di tangannya. Segera benda itu diarahkan pada wajah Ash.

"Te-tenang dulu, Kak Silver! Jangan main todong senjata. Jangan gegabah!" bujuk Liuxing.

"Diam. Kalian semua bahkan belum setengah tahun di Akademi Exentraise. Tidak usah sok kuat dan merasa spesial. Kalian belum ada apa-apanya."

Baik Ayu, Liuxing, dan Light tidak tahu harus berbuat apa. Orang yang sebelumnya menolong mereka sekarang malah menodongkan senjata.

"Haduh, masih pagi, lho. Tugas kita nanti malah nambah."

Bersamaan dengan dua kalimat itu terdengar, muncul sesosok perempuan pirang dengan potongan rambut undercut. Bentuk telinganya runcing, tanda bahwa ia bukan manusia. Di bagian lengan atasnya terdapat kain yang sama dengan milik Silver. Perempuan itu berdiri di belakang Silver dan menepuk pundak lelaki itu.

"Ini bukan urusanmu, Charlie."

"Urusanku jugalah. Aku sudah resmi menjadi bagian dari kelompok keamanan dan kedisiplinan. Dan sebagai rekanmu, aku harus mengingatkanmu untuk menunjukkan bagian dirimu yang keren. Bukan yang menakutkan."

Kedua orang itu lalu saling berpandangan. Satu dengan tatapan kesal, dan yang lainnya lagi dengan tatapan sinis. Perhatian keduanya kemudian berpindah pada Michelle yang telah menampakkan diri dari balik punggung Ash.

"Misha!" Silver seketika tersenyum lebar.

"Aku sudah memperlihatkan wajahku. Kak Silver bisa pergi sekarang kan? Bukannya Kak Silver sibuk?"

"Ah, kau benar. Aku sibuk sekarang. Kau sudah sarapan? Tidurmu nyenyak semalam?"

"Iya, iya. Aku baik-baik saja tadi malam. Dan sekarang aku dan teman-temanku ingin sarapan bersama."

"Mau kutemani?"

"Silver!" pekik Charlie yang jelas tidak senang mendengarnya.

"Nggak perlu. Selesaikan saja tugasmu."

Sementara Michelle dan Silver masih bercakap, Liuxing memanggil Charlie. Ketika perempuan itu mendekat, Liuxing langsung bertanya.

"Tumben sekali kelompok keamanan dan kedisiplinan pagi hari begini di area kafetaria. Bukannya kalian jam segini biasanya lebih aktif di sekitar area kelas?"

"Oh, soal itu, kemarin malam kami mendapat perintah dari Ketua OSIS untuk mengawasi semua sudut sekolah. Dia memerintahkan kami untuk memastikan tidak ada kasus atau hal lainnya yang termasuk dalam perundungan."

"Perundungan?" ulang Liuxing, sembari melirik ke arah Ayu.

"Iya. Kami sejauh ini sudah mengumpulkan kertas-kertas yang berisi tentang kebencian dan ucapan kasar terhadap murid istimewa yang tidak bisa menggunakan sihir. Anggota lainnya juga sudah menegur banyak murid yang membicarakan kalian."

"Apa Ketua OSIS memang memberi kalian perintah seperti itu?" Kali ini Ayu yang bertanya.

"Iya. Memang dia. Mau tanya langsung Ketua OSIS?"

"Ti-tidak perlu."

Charlie tiba-tiba meletakkan tangannya ke bahu Ayu. Tiga tepukan diberikan di bahunya.

"Kamu kuat juga. Semangat, ya," ucap Charlie dengan senyum di bibir.

Setelah itu, Charlie dan Silver pun pergi meninggalkan mereka berlima. Ayu dan yang lainnya segera masuk ke area kafetaria yang mulai ramai. Mereka menempati salah satu menja kosong dan memesan menu masing-masing.

Ketika menunggu makanan tiba, mereka membicarakan kejadian tadi. Michelle menjelaskan bahwa ia dan Silver serta Charlie adalah teman masa kecil. Mereka sama-sama sering dititipkan pada Froun ketika masih anak-anak. Dulu juga Michelle dan Silver sangat dekat. Namun seiring pertumbuhan mereka, Silver semakin lekat dan protektif pada Michelle. Sehingga sangat sulit bagi Michelle untuk menghindari Silver.

Sifat protektif Silver membuat Michelle sulit mendapat teman. Hingga kini, teman Michelle yang berhasil tidak terganggu dengan keberadaan lelaki itu adalah Light. Sehingga Silver juga tidak menyukai Light. Bahkan menjadi semakin tidak suka ketika Light memanggilnya "Silvy".

Tiba-tiba terdengar suara decitan dan dengungan dari speaker. Setelah itu, suara ketukan ringan berkali-kali disertai suara seseorang yang terdengar sedang mengecek microphone.

"Selamat pagi semuanya! Maaf baru muncul pagi ini, hehe. Aku akhirnya kembali membawakan lagu-lagu baru di daftar putar terbaruku."

Ayu terdiam. Ia merasa pernah mendengar suara orang yang berbicara di speaker itu. Rasanya belum terlalu lama, tetapi Ayu tidak dapat mengingatnya.

"Karena aku ingin mengawali hari ini dengan gembira, aku akan menyanyikan beberapa lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Terima kasih atas rekomendasi kalian!"

Suara senar gitar yang sedang disetel terdengar. Bersamaan dengan itu, terdengar suara bergumam yang senada dengan bunyi gitar. Setelah beberapa saat, alunan gitar mulai menghasilkan melodi lagu. Disusul dengan suara nyanyian merdu.

"Ah, sudah lama aku nggak denger lagu ini," celetuk Michelle.

"Terakhir waktu kita masih di sekolah menengah kan? Pas kita baru banget jadi senior." Light ikut dalam pembicaraan.

Michelle mengangguk.

"Aku harus meminta lagu ini dari Kak Reore."

"Yang benar Reo," koreksi Liuxing.

"Biarin. Dia nggak keberatan tuh dipanggil begitu."

"Reo?" tanya Ayu kemudian. Ia merasa oernah mendengar nama itu.

"Iya. Reo Leonhard. Salah satu murid terbaik di akademi ini. Dia sering menyanyikan lagu di speaker untuk menghibur orang-orang," jelas Liuxing.

"Katanya dia sempat tidak bernyanyi selama berhari-hari karena suaranya sempat terganggu. Setelah sembuh, dia pergi mengumpulkan lagu rekomendasi dari seluruh murid," tambah Ash.

Oh, Ayu mulai ingat. Beberapa hari yang lalu ketika ia bolos, ia bertemu dengan Reo. Seorang laki-laki dengan telinga dan ekor singa. Rambutnya juga panjang dan lebar serta berantakan. Ayu masih ingat pernah membiarkan Reo merekam lagu Kopi Dangdut dari ponselnya.

"Berikutnya adalah lagu yang pasti belum pernah kalian dengar. Mungkin kaliam akan merasa aneh mendengarnya. Tapi aku cukup menyukai lagu ini. Kopi Dangdut!"

Kedua mata Ayu terbelalak. Melodi gitar mulai berubah. Lirik pun dinyanyikan. Sepanjang lagu itu dinyanyikan oleh Reo, Ayu merasa malu. Tidak menyangka salah satu lagu favoritnya diputar di speaker sekolah.

"Aku belum pernah dengar lagu ini sebelumnya," komentar Liuxing.

Michelle mengangguk. "Aku juga. Tapi lagunya lumayan enak kan? Kesannya kayak... gimana ya bilangnya?"

"Bikin mau gerak kan? Menari begitu," jawab Light sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

"Jangan menari di sini."

"Nggak lah. Aku tau malu juga, kok."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top