Chapter 5: Ancaman Tak Terduga
Kini keduanya tengah berada di dalam bus. Dengan William yang menggunakan hoodie abu berkaos putih serta celana jins hitam kebiruan pucat. Di sampingnya Shelly—Adik perempuan angkatnya yang menjadi perhatian sekitar menggunakan sebuah sweter rajutan cokelat manis hingga seleher. Setelan rok merah marun dan sepatu slop tampak serasi dengan kulitnya yang bersih. Perbedaan yang sangat mencolok bahkan di lihat dari mana pun, keduanya seperti memiliki tingkatan yang berbeda.
"Ngomong-ngomong kita mau ke mana?"
"Matahari, hehehehe"
"Maksudmu mall, kan? Bukan Matahari beneran?"
Menanggapi pertanyaan Kakaknya, Shelly pun mengangguk pelan.
Ketika busnya berhenti di halte pemberhentian selanjutnya. Segerombolan orang mulai saling berdesakan. Merasa tidak enak, William pun berdiri memberikan tempat duduknya untuk seorang nenek yang tampaknya kesulitan untuk berdiri.
Kini ia berdiri menghadap Shelly. Adiknya itu terus memperhatikan William dengan senang. Tetapi, ketika Kakaknya balik memerhatikan dirinya, ia pun menoleh ke kiri dengan pipi yang merona.
Tampak dari penglihatannya, seorang gadis kecil berambut pirang tengah kesulitan karena terimpit oleh dua orang bertubuh besar. Ia juga membawa seekor boneka beruang cokelat besar yang memeluk sebuah papan kebiruan.
"Maaf, tapi aku akan pindah ke sebelah sana. Kamu gak apa-apa kan kalau di tinggal sebentar?"
"Ya. Lagian aku bukan anak kecil, 'kan?"
"Tentang itu ... hmm, aku masih sedikit ragu."
Ketika mendengarnya, ia pun keberatan, dan mencubit lengan William. Hanya dapat tertawa kecil melihat kelakuan Adiknya itu, ia pun segera pindah menuju tempat sang gadis kecil.
Namun ia melihat sesuatu yang jarang sekali terjadi. Ada seorang pria gemuk di belakang gadis kecil itu. Ia sedang memainkan bagian bawah tubuhnya tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.
"Wah, wah."
William pun langsung melangkah, mencari celah di antara para penumpang untuk mendekati pria itu. Dengan sangat hati-hati ia mencoba meraihnya tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali.
Setelah ia berhasil mendekatinya, William pun mengeluarkan ponselnya kemudian mengulurkannya ke depan pria itu. Ketika ia berbisik tepat di samping telinganya, jempolnya bergerak sambil menekan salah satu aplikasi.
"Pak, tahu aplikasi ini nggak?"
"Siapa kamu?!—"
Tetapi William menghiraukannya dan segera memperlihatkan aplikasi itu dengan mata yang gelap.
"Ini aplikasi keluaran terbaru. Di sini bisa mengisi laporan mengenai kejahatan, udah begitu pos terdekat akan segera mendatangi kita untuk memintai keterangan, dan kesaksian lhoo"
"Huh?! Emangnya salah saya apa?!"
"Tangan bapak lagi megang apa?"
Wajahnya pun seketika memucat dan keringat dingin terlihat membasahi bagian leher. Dengan tubuhnya yang sedikit gemetar itu, William meneruskan penjelasannya dengan nada yang dingin.
"Bapak bisa memahaminya, 'kan?" bisik William dengan mulut yang menyungging.
Dengan satu kali anggukan pelan yang terlihat meragukan, pria itu pun menyisih.
"Sepertinya pekerjaanku selesai."
Ia pun bernapas lega, kemudian merendahkan tubuhnya untuk bisa sejajar dengan gadis kecil di hadapannya.
"Kamu nggak apa-apa, 'kan?"
Ketika wajah mereka saling bertemu, entah kenapa mata gadis kecil itu sedikit berbinar. Kemudian sebuah tulisan muncul dari papan yang ada di pelukan beruangnya. Uuu ... makasih kak.
"Huh?"
Tetapi William terkejut ketika melihat warna mata yang sama dengannya. Terlebih ia tidak berbicara melainkan menunjukkan sebuah portabel biru keputihan yang menampilkan kata-kata.
"Oh, ah ... maaf. Mau nggak pindah ke sana?"
Setelah ia mengangguk pelan dan memperlihatkan emoji senang pada portabelnya. Mereka pun pindah ke tempat Shelly. Walaupun kembali berdesakan, setidaknya tidak ada orang-orang aneh yang berusaha untuk melukai gadis itu.
Lalu mereka pun tiba di tempat tujuan—tempat perbelanjaan terbesar di Kota Bandung, Matahari. Pada awalnya Shelly merasa ragu karena Kakaknya tiba-tiba saja membawa seorang gadis kecil bersamanya.
Namun setelah William menjelaskan apa yang terjadi, ia pun mengerti, dan paham mengapa sang Kakak membawa gadis kecil bersamanya.
Setelah itu ia pun mulai bertanya kepada gadis itu dengan santai. Mengapa ia bisa ada di dalam bus sendirian dan apakah ia bersama orang tuanya atau tidak.
Ia pun menggeleng pelan. Aku sedang menunggu seseorang. Jadi bisakah aku ikut bersama kalian?
Setelah menoleh untuk melihat Shelly, William pun dapat bernapas lega karena ia mengizinkannya.
"Ya ...."
Kini mereka mulai berjalan memasuki tempat perbelanjaan tersebut. Mereka lebih terlihat seperti satu keluarga bahagia. Dengan William sebagai Ayah dan Shelly sebagai Ibu serta gadis kecil itu sebagai putri mereka.
Pada awal mereka memasuki toko pakaian di sana. Mereka di kira sebagai keluarga bahagia. Tetapi ketika William ingin menyangkalnya, ia terhenti begitu merasakan lengan kanannya di apit oleh tubuh Shelly, dan hoodie-nya di pegang oleh gadis kecil itu.
Hahh, ini tidak seperti apa yang kalian ingin kan, batin William.
Lalu dengan pasrah ia pun membiarkan salah satu pegawai toko pakaian itu menganggap mereka sebagai satu keluarga.
"Ngomong-ngomong, aku belum tau namamu."
Gadis kecil itu pun mendongak sambil menyentuh dagunya dengan jari telunjuk. Begitu kah? Namaku Lucia.
"Sebelumnya maafkan aku karena tidak tahu tentang kondisimu. Jadi maaf, ya."
Kali ini giliran Shelly lah yang mulai berbicara. Wajahnya masih sedikit merona karena perkataan pegawai toko sebelumnya.
Nggak masalah kok, aku senang jika ada orang yang bisa akrab denganku. Setelah itu Lucia mulai berjalan menarik lengan sweter milik Shelly. Bisa bantu aku untuk memilihkan baju?
Senyum tipis manis itu mengembang di wajahnya, begitu ia ingin menoleh untuk meminta Izin, William hanya mengangguk pelan.
"Kalau gitu aku keluar dulu sebentar, mau beli makanan. Nanti ke sini lagi, keberatan?"
Tampaknya Shelly sendiri tidak keberatan. Mengetahui itu William pun segera keluar dari toko pakaian dengan napas yang lega.
"Akhirnya keluar juga. Lagian kenapa aku harus masuk ke toko pakaian wanita? Apalagi pakaian dalam? Hahh."
Sementara keduanya sedang mencari pakaian yang cocok untuk satu sama lain. William kini sedang memesan segelas besar jagung manis dan jus alpukat dari kedai makanan di lantai tiga.
Matanya sedikit tercekat ketika melihat sesosok lelaki yang ia kenal. Tetapi William menghiraukannya dan terus menikmati jagung manis. Akhirnya sosok lelaki itu mendekatinya dengan langkah kaki yang santai.
"Sepertinya dugaanku benar. Hahh ... apa yang sedang kau lakukan di sini, Will?"
"Dany ...."
Sontak ia pun menoleh untuk melihat Dany yang kini menatapnya dengan dingin. Mata dari balik kaca mata yang dikenakannya terlihat seperti mata yang berbeda. Serta adanya penekanan nada dalam kata terakhirnya membuat William sendiri ragu untuk melihat teman barunya itu.
"Dari tampangmu, aku nggak yakin kalau orang sepertimu mau pergi ke tempat seperti ini"
"Itu benar-benar menyakitkan. Emangnya tampangku tidak pantas ya ada di sini?"
"Bukan nggak pantas. Tapi, kurang pantas, makannya kalau mau berlaga masa bodo sebaiknya kamu cari cara yang lebih pantas"
"Ughh ...."
Suasana tempat perbelanjaan yang semakin siang kini bertambah ramai. Matahari Mall adalah sebuah bangunan yang di peruntukan untuk transaksi antara penjual dan pembeli.
Tidak hanya tempat perbelanjaan saja yang ada di dalam bangunan ini. Zona anak-anak, Game Center, Food Court, serta bioskop. Terdiri dari empat lantai yang di kategorikan berdasarkan barang-barang yang di jual.
Tempat ini sangat luas dan terkenal di kalangan remaja Bandung. Kini William sendiri berada di lantai tiga, lantai khusus kedai-kedai yang menjual makanan.
"Setidaknya pelan-pelan dong"
"Hmm, mungkin ini kebiasaan. Jadi, maaf. Kayaknya nggak bisa"
"Hahh. Kamu tau, tadi itu benar-benar menyakitkan. Jadi apa urusanmu di sini, headphone man?"
Sejenak wajah Dany mengerut, tetapi ia kembali biasa dengan tatapan yang sedikit menusuk.
"Jadi itu panggilanku, huh. Rutinitasku setiap minggu, tetapi memanggilku seperti itu tampaknya mau sok akrab, ya?"
"Jangan samakan aku denganmu. Wajarlah membalas sesuatu yang menyakitkan seperti tadi. Rutinitas?"
"Mencari katalog terbaru dari salah satu developer pengembang PC dan barang-barang yang serupa dengan itu. Ada masalah?"
"Hehh, jadi gitu ya."
Sambil menghela napasnya, ia pun ikut duduk di samping William. Setelah pemuda berambut pirang itu menghabiskan jagung manis, ia pun langsung menyeruput Jus Alpukat, dan menghalaunya dari penglihatan lelaki di sampingnya.
"Lagian siapa yang mau minta jus milikmu?"
"Mungkin dan bisa saja, 'kan?"
Dany hanya bisa menghela napasnya sambil menggelengkan kepala.
"Hahh. Tentang latih tanding waktu itu ... "
"Penasaran?"
Namun ia terdiam ketika mendengarnya dari William, kemudian menoleh untuk memastikan bahwa perkataannya.
"Aku tau ini sebenarnya sedikit aneh untuk menanyakan sesuatu tentang kekuatan orang lain. Tetapi ada yang aneh dengan kekuatanmu."
Suara seruputan Jus Alpukat terdengar cukup keras, begitu William melihatnya. Ternyata jus itu telah habis dan wajahnya menunjukkan kekecewaan.
"Yahh, udah habis"
"Sepertinya percuma saja menanyakan ini, huh?"
"Pertukaran yang setara"
"Huh?"
Sambil melihat William dengan wajah kebingungannya, Dany pun mencoba untuk mengoreksinya, sayangnya ia didahului oleh perkataan pemuda di sampingnya itu.
"Pertukaran yang setara, aku mengorbankan sesuatu, dan kekuatanku keluar. Bukankah itu lebih mudah untuk di mengerti. Iya kan, headphone man?"
"Maksudmu kau mengorbankan sesuatu?"
"Yahh, kurang lebih kayak gitu lah"
"Mengapa kamu menjawab pertanyaanku semudah itu?"
William tahu bahwa sebenarnya memberitahu atau menukar informasi untuk mengetahui kekuatan milik Exceed lain adalah hal yang tabu di Akademi Garuda. Meskipun begitu ia menganggapnya sebagai yang sepele.
Terlepas dari peraturan seperti itu, ia hanya mengabaikannya, dan terus berbincang-bincang dengan Dany seperti tidak ada masalah sama sekali.
Selain membicarakan hal seputar akademi, mereka juga tampak bercanda dengan perkataan sarkas yang sama-sama di peruntukan untuk menyerang lawan bicaranya.
Walau itu hanya sebuah candaan yang sederhana, tetapi makna dari balik setiap perkataan mereka terkadang berbeda dari apa yang mereka katakan sendiri.
"Kayaknya aku gak perlu bersikap baik lagi, huh."
William yang tampaknya kesal mulai mencoba untuk menenangkan dirinya. Itu semua karena banyaknya orang yang sedang berlalu lalang di sekitar mereka. Terus memperhatikan keduanya seperti ada perkelahian.
"Bukankah kamu yang memulainya, Pirang?"
"P-Pirang?! Sudah lah, ini tidak akan pernah selesai. Jadi, apa maumu?"
"Sederhana, aku hanya ingin menghibur diriku sendiri"
"Apa?!—"
Tiba-tiba saja langit-langit Mall meledak dan menghamburkan berbagai pecahan kaca. Sontak teriakan serta kepanikan terlihat di mana-mana. Sementara itu mereka berdua langsung mewaspadai sekitarnya.
"Kita bereskan ini lain kali, headphone man!"
"Tak masalah denganku, pirang ...."
William pun langsung melihat ke arah ledakan itu terjadi. Tetapi perhatiannya teralihkan oleh sekumpulan orang-orang yang mulai turun dan membanjiri tempatnya berada.
Melihat bagaimana lantai tiga dekat dengan langit-langit serta tempat itu memiliki lahan luas yang di peruntukan untuk makan. Sehingga memudahkan mereka yang tiba-tiba saja turun dari langit-langit.
Menggunakan sebuah tali tambang. Berseragam hitam dan beret oranye, dengan cepat mereka langsung mengamankan tempat sekitarnya.
"Berhenti atau kalian akan mati!"
Nadanya yang tegas itu terdengar kencang bersamaan dengan sebuah letusan pistol di tangan kanannya.
Setelah itu mereka mulai menyebar layaknya semut. Melihat adanya dua orang pemuda yang sama sekali tidak ketakutan. Salah satu dari mereka memperingati William dan Dany dengan garang.
Selain itu juga dengan sedikit paksaan, mereka ingin menundukkan keduanya. Tetapi dengan cepat Dany melakukan perlawanan balik dengan memutarkan tubuhnya.
Ketika posisinya berada di belakang pria berseragam itu, sebuah tendangan melayang meroboh kan keseimbangan kakinya hingga terjatuh keras.
"Kalau ngomong bisa pelan gak?"
Dingin tetapi juga mengandung sedikit serangan balik. Perkataan Dany menjadi perhatian pasukan itu dalam sekejap. Tetapi, setelah itu mereka semua tak sadarkan diri ketika menerima serangan William yang sangat cepat layaknya kecepatan suara.
Sementara itu William sendiri terlihat kelelahan dengan wajah berkeringat
"Hei, kmu baik-baik aja, 'kan?"
"Hmm? Menurutmu?"
"Terlihat sangat sehat," ucap Dany dengan seringai kecil.
William hanya dapat menggeram kesal karena mendengarnya. Setelah itu mereka segera pergi menuju lantai dua. Ia juga teringat Shelly dan Lucia yang sedang membeli pakaian.
Seingatnya tempat itu berada di lantai dua. Ketika mereka berdua ingin menuruni eskalator. Tiba-tiba saja sekumpulan orang-orang itu muncul kembali dengan membawa beberapa senjata api.
"Jangan bergerak! Atau nyawamu melayang!"
Wajah yang garang lengkap dengan armanen militer itu membuat Dany tampak geram sambil menggigiti giginya sendiri.
"Kalian datang terus, mau apa?! Cari pamor?! Aghhh ... pamerannya mau selesai lagi! Sialan!"
"Whuoaa, jadi seperti ini, ya? Seorang headphone man kalau ngamuk?"
"Will, sebaiknya kamu menyingkir dari sini sebelum wajahmu ikut babak belur"
"Eh?! Kau bercanda, 'kan?"
Akan kuhajar kalian semua, batin Dany.
Sayangnya keraguan itu sirna ketika melihat Dany melepaskan kaca matanya. Bahkan urat-uratnya pun terlihat menonjol, begitu juga dengan tatapan sinis nan tajamnya begitu mencekam.
"Kayaknya nggak, ya?"
Setelah itu William segera berlari menuruni eskalator dengan cepat. Meninggalkan Dany dalam mode amukannya. Kepalanya menoleh ketika mendengar sebuah jeritan yang keras dari arahnya berlari.
Kuharap itu bukanlah mereka berdua, batin William.
Lalu dengan sedikit menambahkan tekanan pada kakinya, kecepatan larinya meningkat dengan drastis.
Begitu ia sampai di tempat jeritan itu terdengar. Shelly sedang melindungi Lucia dan beberapa perempuan lainnya di luar toko pakaian. Melihat wajahnya yang tampak kesulitan dan sedikit kotor. Mata William pun menyipit dan langsung melesat cepat ke sana.
Seorang lelaki berparas maskulin dan memiliki ukuran tubuh yang terbilang besar berhasil di tangkap oleh matanya. Dalam sekejap itu ia langsung berhenti tepat di depannya dengan posisi tubuh yang merendah.
Kemudian sebuah uppercut berat berhasil dilancarkan dalam serangan kejutan itu. Suara letupan angin terdengar begitu juga dengan benturan yang kuat.
"K-Kakak?!"
Lucia yang berada di balik Shelly pun menunjukkan dirinya sambil memperlihatkan portabel dengan emoji beruang kaget. Kak Will?!
"Jangan sentuh mereka, sampah!"
"Wah wah, tampaknya ada mangsa baru lagi. Setidaknya kamu enak untuk disantap."
Namun lelaki berambut pirang yang kini terlihat gagah di hadapan Adik serta teman barunya itu hanya bisa memiringkan kepalanya.
"Kamu laki-laki, 'kan? ...."
Itu semua karena lawan yang akan ia hadapi benar-benar membuatnya bergidik sesaat. Tentu dengan ukuran tubuhnya seperti itu bisa membuat siapa pun keliru. Tetapi apa yang membedakannya dengan yang lain adalah wajahnya.
Ia menggunakan riasan dan terlihat cukup banyak sekali bedak yang ia gunakan. Bibirnya yang merah muda, maskara tebal, blush pada pipinya, serta sarung tangan yang ia gunakan berwarna merah muda.
"Mari kita mulai, bocah manis," ucapnya genit sambil mengedipkan mata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top