Chapter 4: Rival/Kawan

Setelah itu William pun langsung berlari. Ia tak tahu kuda-kuda macam apa yang sedang Dany lakukan—dengan raut wajah yang sedikit kebingungan itu, yang bisa ia lakukan adalah menyerangnya untuk memastikan sesuatu.

Ketika lelaki berkaca mata itu memegangi kaca matanya, setitik sinar terlihat dari bagian sisinya. Kemudian melangkah mundur sambil mengepalkan tangan kanannya.

William yang merasa yakin dengan serangannya langsung melancarkan sebuah jab cepat. Anehnya, ia sama sekali tidak merasa memukul Dany walaupun terlihat dengan jelas bahwa ia berhasil mengenainya.

"Apa?! Uaghh!!"

Namun sebaliknya pemuda bermata biru itu lah yang terpukul mundur. Sebuah suara yang datar berhasil memecahkan perhatian William sendiri.

"Apakah kau pernah mendengar fake, Will?."

"Fake?"

"Sepertinya ini akan menarik," ucap Dany dengan seringai tipis.

Kini Dany melancarkan serangan balasan. Kecepatan lari yang di ikuti oleh gerakan zig-zag berhasil membuat William kebingungan mencari sosoknya yang asli.

Kemudian segaris bayangan melesat cepat dari bawah. Namun William berhasil menahannya, tapi serangan itu terus berlanjut dengan pukulan beruntun yang cepat.

Meskipun berhasil menghindari serangannya dengan lihai, Dany dengan cepat memecahkan momentum William dengan sebuah tendangan menukik ke bawah, dan sekaligus membuat sosok William bertekuk lutut.

Sorak para siswa mulai terdengar menggema. Ada yang kini sedang menyemangati mereka berdua, mengamati, meneriaki, menyoraki bahkan menyebut mereka yang aneh-aneh—lemah, tak berpotensi, dan sebagainya.

"Sepertinya gerakan Dany bertambah lincah."

Bu Sinta yang berdiri mengamati mereka berdua kini mengangguk pelan.

"Bagus, tampaknya anak itu mengalami peningkatan"

"Peningkatan yang tidak terlalu menonjol. Walau ia hanya memiliki kekuatan analisa."

Kini Pak Rudi lah yang menghela napas. Matanya yang sedikit rabun itu tertolong dengan adanya kaca mata yang ia pakai.

"Jangan kayak gitu Pak. Apa yang ia lihat bukanlah seperti apa yang kita lihat, tetapi yang lebih penasaran adalah kekuatan anak baru itu ... jika tidak adalah Wili, ya?"

"William, aduh. Tampaknya penyakitmu itu belum sembuh juga, baru saja tadi kamu sebutin"

"Maaf. Ingatan jangka pendek ini hanya bisa terobati jika sering bertemu ... lihat, sekarang bagian yang sedang rame-ramenya!"

"Hahh, sebaiknya penyakit itu segera sembuh."

Di saat mereka berdua sedang berbincang-bincang dari luar lapangan. Wlliam dan Dany masih terus bertarung. Dalam artian sebagai latihan penentu indikasi kekuatan, apakah berkat ini lelaki berkaca mata itu akan meningkat ataukah lawannya si pemuda berambut pirang?

Tidak ada yang mengetahui siapa yang kelak nanti akan menjadi pemenangnya. Tetapi, melihat kondisi William yang masih terdesak mungkin akan menimbulkan spekulasi bahwa Dany lah yang akan menjadi pemenangnya.

"Ada apa jagoan? Kau ingin segera mengakhiri pertarungan ini? Maka lawanlah aku! Jangan terus kabur!"

"Ini bukan kabur! Tapi taktik untuk menghindar"

"Bukankah itu sama saja?"

Bagaimanapun melihat pertandingan itu. William yang hampir sama sekali tidak memiliki pengalaman bertarung dengan sesama Exceed benar-benar kewalahan.

Ia sama sekali tidak mengetahui bakat serta kekuatan apa yang di miliki oleh Dany. Hanya saja satu hal yang diketahuinya adalah kemampuan refleksnya yang sangat cepat tanggap serta kelincahan dalam permainan serangan jarak dekat.

Ini benar-benar merepotkan, batin William.

"Kalau begitu rasakan ini ...."

Dengan gerakannya yang kini berubah kembali, Dany melancarkan tendangan lurus yang menghembuskan angin kencang. Saking cepatnya, William terhempas cukup jauh.

Dany yang berhasil mendapatkan momentumnya kembali langsung berlari cepat untuk mengirimkan sebuah tendangan lutut. Tetapi, William berhasil menahannya walaupun tubuhnya terdorong cukup jauh.

"Bisakah kau bermain pelan denganku? Tadi itu benar-benar gawat!"

"Kita sedang latih tanding, sedikit keras kenapa tidak? Bukankah itu wajar?"

Tersenyum tipis dengan kaca matanya yang sedikit terangkat. Dany kembali melontarkan gelombang angin dari tendangan kuat nan cepatnya.

Kali ini William dapat menghindarinya karena ia berguling ke depan. Sayangnya begitu ia kembali bangkit sebuah uppercut telah menyambutnya dengan hangat.

"Sial! Aghhh!"

Serangan itu berhasil melambungkannya sangat tinggi.

"Ini baru pemanasan. Cepat berdirilah!"

S-sepertinya ini tidak segampang itu, batin William.

Napasnya pun memberat dan sulit untuk bangkit. William berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya kembali meskipun luka di perut serta dagunya masih berdenyut-denyut.

Di sisi lain Dany hanya menatapinya dalam diam. Dari balik kaca mata itu terdapat mata dingin yang setiap saat menganalisa tindakan William selanjutnya.

Namun William terdiam dalam pemikirannya sendiri—mungkin baginya menggunakan kekuatan Exceed pada manusia bukan lah hal yang wajar. Karena seharusnya kekuatan sebesar itu digunakan untuk menumpas Z ketimbang melukai seseorang.

"Sebaiknya kau menyerah jika tidak ingin terluka—huh?!"

Namun sosoknya menghilang dalam sekejap dan kini berada di hadapan Dany. Dengan jempol yang telah siap untuk ia sentil kan. Wajah William pun mendongak.

"Baiklah ... aku ... mengerti."

Ketika suara klik kecil terdengar. Sebuah angin kejut berhasil menghantam perut Dany sekaligus menerbangkannya sangat jauh. Tetapi, ia berhasil menahannya di saat-saat terakhir dan berdiri sambil membungkuk tepat sebelum garis keluar.

"Hahaha ... sepertinya kejutanmu berhasil."

Tak lama setelah itu William kembali muncul di depannya sambil melancarkan tendangan menyamping, tepat sebelum mengenai lengan Dany yang sedang melindungi kepalanya, sebuah getaran berdebum keras hingga menghembuskan gelombang angin yang sangat dahsyat.

Semua orang yang menontonnya hanya dapat terdiam tidak percaya. Sedangkan Shelly memegangi dada sambil memperhatikan Kakaknya dalam takjub.

"Aku tahu ... orang yang mengalahkan Z di alun-alun dan rumah sakit itu adalah Kakak!"

Ketika semua debu telah menghilang dari lapangan itu, sosok Dany telah menghilang dan menyisakan William yang kini menoleh ke arah bangku pelatih.

Tepat di sana lawan tandingnya tengah terduduk dengan posisi kesatria. Meskipun tubuhnya berantakan, tetapi ia masih bertahan. Tawa kecil keluar dari mulutnya.

"Nah ... akhirnya kau menunjukkan taring aslimu juga, William!"

William hanya menatapinya dalam diam dengan mata yang kosong. Setelah itu mendongak ke langit-langit.

"Seandainya waktu bisa terulang kembali ... setidaknya biarkan aku meminta maaf."

Setelah itu ia pun menyentil udara di depannya dengan pelan. Ledakan angin pun tercipta, mengepul, membuat debu-debu menjadi pelindungnya. Tetapi anehnya sebuah suara sentakan terdengar cukup keras.

Sesosok bayang-bayang melesat keluar dari balik debu itu. Begitu semua debu terserap oleh sesuatu sehingga tampak William sedang berdiri dengan kepala menunduk.

Sosok bayangan itu ternyata adalah Dany yang tak sadarkan diri di luar lapangan. Bersandar pada tembok pelindung kaca.

Hanya dalam waktu sesingkat itu semua orang terdiam dalam kebingungan. Baik Pak Rudi, Bu Sinta maupun murid-murid yang kini tengah menonton dengan mata tak percaya.

Sosok Dany telah tumbang, menyisakan William yang sampai saat ini terdiam dalam teka-teki. Jika di lihat dari sudut pandang pengawas seperti Pak Rudi. Ia hanya dapat berdeham kemudian segera menyadarkan Bu Sinta.

"A-ahh .. ya. Pemenangnya adalah William Adi Pramesya!"

Lambat laun semua kembali normal dan teriakan antusias menggema hebat. Tetapi, lelaki berambut pirang yang telah di nobatkan sebagai pemenangnya ikut tumbang dengan tubuh yang jatuh ke belakang.

Para petugas medis pun dengan sigap langsung menyerbu lapangan untuk mengamankan dan membawa kedua murid menuju ke luar lapangan.

Perbincangan pun terjadi. Banyak spekulasi bahwa itu adalah murni karena kesalahan yang di buat Dany. Tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa itu adalah kekuatan Exceed William.

Tidak ada yang mengetahui kebenarannya karena kepulan debu menghalangi pemandangan mereka. Begitu pula kedua guru mereka.

"Bukan kah tadi itu mengejutkan, Pak!"

"S-saya tidak bisa memberikan jawaban pasti. Tapi apapun itu pastilah kekuatan yang luar biasa"

"Itu benar sekali. Kelihatannya murid angkatan tahun ini benar-benar sangat menarik. Kita lanjut ...."

Setelah itu dua nama lainnya muncul di layar atas sana. Pertarungan saat ini adalah dua orang perempuan yang memiliki kekuatan yang hampir sama.

Satu adalah pengguna elemen air dan satu lagi adalah pengguna es. Keduanya bertarung secara seimbang tanpa menggunakan kekuatan yang besar. Selain itu Shelly yang masih berada di bangku penonton mulai gelisah.

Raut wajah tenangnya tampak gundah ketika melihat William tidak sadarkan diri. Ia sangat mengkhawatirkannya—begitu banyak yang ia pikirkan hingga wajahnya sendiri tampak meragu.

Apakah Kakak hanya sekedar pingsan atau mungkin ada hal serius sehingga ia pingsan? Batin Shelly.

Yang ia khawatirkan adalah pengalaman Kakaknya yang belum pernah sama sekali bertarung dengan sesama Exceed, sehingga kekuatannya menjadi liar.

Sebelum Shelly pergi menyusulnya, tiba-tiba saja namanya terpanggil.

"Sebaiknya aku harus cepat. Aku ingin segera melihat Kakak."

Di sisi lain, kondisi William, dan Dany tampak tidak terlalu parah. Lelaki bermata biru hanya mengalami kekurangan darah sedangkan berkacamata tak sadarkan diri berkat benturan pada belakang kepalanya.

"A-ahh ... ini benar-benar menyedihkan. Inilah kenapa aku tidak suka menggunakan kekuatan ini, sama seperti lem biru. Lempar beli baru, darah baru di pakai harus beli lagi .. hahhh. Semoga ada minuman kaleng jus alpukat di sekitar sini."

Di saat William yang kini mulai tersadar, keluhannya itu terdengar oleh seorang perawat di sampingnya. Seorang lelaki yang tengah mengemut sebuah batang kayu tipis di mulutnya.

Rambutnya tampak tidak terlalu rapi, apalagi dengan janggut kecil yang tumbuh di sekitar dagu serta bawahnya.

"Ohh ... rupanya kamu udah bangun! Baguslah ... kalau gitu saya mau pergi beli minum dulu."

Nadanya yang santai itu hanya membuat William kebingungan. Tentunya ia menggunakan jas putih dan sebuah stetoskop tergantung di lehernya.

"Apa Anda seorang dokter?"

"Itu kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya penjaga ...."

Setelah ia beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan itu. Keheningan yang semula akan membuat William nyaman hancur secara tak terduga berkat suara sorak-sorai yang terdengar samar-samar.

"Hmm ... sepertinya aku tidak bisa tidur dengan nyenyak di sini."

Sambil membuang napasnya, tiba-tiba saja pintu terbuka. Sesosok perempuan berambut hitam langsung menghambur dan memegangi tangannya. Hanya dapat terhenyak dengan mulut yang sedikit terbuka, William pun berusaha menangkap apa yang baru saja ia lihat.

"S-Shelly?!"

"Syukurlah. Kukira Kakak masih pingsan!"

"Hei hei, pingsan? Itu bukanlah kata yang tepat untuk saat ini, Nona muda."

Shelly pun tertawa kecil. Rambutnya sedikit bergidik dan tatapan matanya yang semula berkaca-kaca kini kembali normal.

"Kenapa kamu di sini? Bukannya sekarang giliranmu?"

"Hmmm, kasih tau gak, ya?"

"Oh, kalau gitu aku tidur dulu"

"Ehhh?!"

Wajahnya yang mulai panik membuat William tersenyum tipis. Tepat di balik selimut yang mulai ia singkap, senyum usilnya tak kunjung surut.

"Tau sendiri Kakakmu lagi kurang enak badan. Mungkin lain kali aja"

"T-t-tapi! Ada yang mau aku kasih tau!"

"Hmm ... baiklah, kuberi sepuluh detik dari sekarang"

"S-sepuluh detik?!"

Setelah itu kembali hening, tetapi Shelly tak kunjung tenang. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri kemudian menyampaikan sesuatu secara cepat dan terdengar jelas.

"Apakah nanti sabtu Kakak kosong?!"

"Sabtu?"

Membalikkan tubuh hanya untuk melihat Adiknya, William mulai berpikir. Dengan mata yang mendalam—ia tahu bahwa sabtu adalah hari untuk beristirahat, tetapi mungkin tidak buruk juga jika mengambil ajakan Shelly.

Berpikir secara positif, mungkin akan ada sesuatu yang dapat membuatnya senang. Tetapi, itu semua belum lah pasti.

"Kayaknya memang kosong. Jadi mau ke mana?"

"Itu rahasia. Tunggu aku di halte depan Rumah Makan Sari Enak!"

"B-baiklah ...."

Setelah itu Shelly pun keluar dengan wajah yang sedikit merona. Senyumnya yang lebar tampak manis ketika kedua tangan yang ia kepal berada di dadanya.

"Masih ada dua hari lagi, kah ...."

Dengan gumamannya yang berujung pada tawa kecil. William pun kaget ketika tawa itu tiba-tiba saja terdengar. Tetapi yang paling membuatnya kaget adalah suara itu sendiri keluar dari mulut Dany.

"Dasar laki-laki beruntung. Bukan saja mendapatkan hati Ketos. Tapi juga di ajak kencan, betapa irinya"

"Iri? Yang benar saja ... darimu?"

"Bukan. Tapi fans club-nya. Kuharap batang hidungmu masih bertahan sampai minggu depan"

"Sepertinya saat ini aku dalam masalah. Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi?"

"Sejak pertandingan tadi dan kau sama sekali tidak menyadarinya! Sudahlah ... lagi pula itu bukan urusanku juga"

"Eh?!"

Sejenak pemuda berambut pirang itu terhenyak karena mendengar sesuatu yang sangat mengusiknya. Kini ia mengetahui bahwa ada orang yang mengagumi Adik angkatnya.

Namun bukan satu melainkan segerombolan. Itu sedikit membuatnya merinding hanya karena mendengarnya saja.

"Kuharap aku juga bisa bertahan, hahh."

Dalam helaan napasnya itu William mulai memikirkan hari-harinya ketika ia masih kecil. Terlihat dari gumamannya yang terus saja mengulangi kata-kata "Ayah" dan "Ibu".

***

Akhirnya hari yang di tunggu-tunggu oleh Shelly telah datang. Kini tepat di hadapannya terdapat sebuah cermin setinggi tubuhnya.

Berkat beragam pakaian menghambur ranjang serta kamarnya, kamar yang setidaknya di penuhi oleh Boneka Beruang dan beberapa bantal berbentuk cokelat batangan terlihat berantakan.

"Hmmm, apakah ini cocok? Tidak. Mungkin yang ini ...."

Tepat pukul tujuh pagi itu ia masih sibuk memikirkan dan memilih pakaian yang akan ia pakai. Sementara janji yang mereka buat seharusnya tidak lama lagi.

Bertemu di halte pada pukul delapan pagi. Tetapi hingga saat ini ia bahkan kebingungan untuk memilih baju yang akan dipakainya sendiri.

"Ahh. Gimana nih? Mungkin yang ini! Ya, aku tau baju ini pasti cocok dengan selera Kakak."

Mulutnya menyungging kecil ketika melihat pantulan dirinya berada di cermin. Lalu segera membawa sebuah tas gantel kecil dan akhirnya segera pergi dari kamarnya.

Sementara itu William telah sampai di halte sambil mendengarkan musik yang ia dengar dari earphone-nya. Suara bass bersama ketukan lagu terdengar cukup keras hingga seorang anak kecil di sampingnya penasaran.

Anak kecil itu menatapinya cukup lama hingga pemuda bermata biru itu sendiri yang menyadari bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Ia pun melepaskan earphone itu, kemudian menoleh untuk melihat sesuatu.

"Ah ... emm. Ada apa?" tanyanya sambil berjongkok.

"Kakak memutar lagunya keras sekali, ya?"

"Masa? Padahal ini standar."

Lalu tak lama kemudian seorang lelaki berlari cepat melewati mereka berdua. Tetapi sebelum itu William mendorong kakinya sedikit sehingga membuat lelaki itu terjatuh dengan cukup keras.

Wajahnya yang mendarat tepat di batuan pejalan kaki membuat anak kecil di sampingnya tertawa lebar.

"Paman kenapa? Kesandung, ya? Ahahahaha"

"Dasar bocah sialan!"

Namun apa yang menjadi perhatian William adalah sebuah tas yang berada di dalam genggamannya. Tas itu memiliki aksesori yang terlihat cukup mewah. Sebuah pin kupu-kupu perak menempel pada bagian tengahnya.

Terlebih dengan adanya sebuah perhiasan yang terlihat keluar dari penutup tas. Lalu mata pemuda itu pun memicing, kecurigaannya yang selama ini ia anggap hanya sebatas prasangka itu ternyata benar.

"Sebaiknya Anda mencari tempat yang cocok dengan keahlian seperti ini. Mungkin misalnya di pos petugas sebelah sana ...."

Dengan nada santainya itu, ia pun menunjuk pos di seberang jalan. Bangunan kotak dengan cat belang biru-putih persegi panjang. Dua orang berseragam lengkap mulai menghampiri mereka.

"Kembalikan tas saya!"

Tanpa di duga sedikit pun, seorang wanita yang mengenakan seragam kantoran tiba-tiba saja berlari ke arah mereka.

"Wahhh ... ternyata paman ini seorang perampok, ya"

"Tch! Jika kau tidak menggangguku, mungkin aku berhasil kabur. Sialan kau! Matilah!"

Sesaat perampok itu mencoba untuk menusukkan pisau sakunya. William terlebih dahulu menarik anak kecil di dekatnya dengan cepat. Setelah itu menendangnya dengan kencang.

Perampok itu pun langsung terkapar dengan telak. Sementara tas curian itu berhasil di amankan olehnya.

"Lebih baik menyerahkan diri daripada di amuk masa."

Sambil menghela napas, ia pun mulai mengunci lengan perampok itu cukup keras. Sementara anak kecil yang ia selamatkan tampak senang dan anehnya tidak gelisah maupun panik.

Tidak lama kemudian kedua petugas yang menghampiri mereka telah sampai dan langsung menanyakan berbagai hal. Selang beberapa detik giliran wanita yang tadi berteriak yang kini sampai di sana.

Kedua petugas itu menanyakan beberapa hal seputar lelaki yang kini sedang terkapar di kunci oleh William. Setelah semua keterangan berhasil mereka catat, perampok itu pun di bawa oleh mereka berdua.

Sementara wanita yang berhasil mendapatkan kembali barangnya berterima kasih kepada William. Anak kecil di sampingnya malah tersenyum ceria seakan ia tidak takut sama sekali.

"Hmm, Ibumu di mana? Atau Ayah?"

"Mereka lagi di luar negeri!" jawabnya dengan raut wajah ceria nan merona.

"Kamu anak kecil yang aneh. Sebaiknya cepat pulang."

Sejenak mata William berkedip dan melihat sosok anak kecil di depannya dengan wajah yang merengut. Tetapi semua itu buram dan kembali teralihkan oleh perkataannya yang riang.

"Bukankah Kakak sedang menunggu seseorang?"

"Ah, ya—tunggu jangan mengalihkan pembicaraan—"

"Kak William!"

"Eh? Shelly?"

Lalu begitu perhatiannya teralihkan, anak kecil itu telah menghilang. William hanya bisa terdiam dalam kebingungan sementara Adiknya itu mulai mendekat.

"Aneh ... "

"Huuu, aku nggak aneh!"

Shelly pun mencondongkan tubuhnya sambil menyoraki William dengan wajah yang kesal.

"Kamu? Bukan, maksudku anak yang tadi"

"Anak? Aku nggak ngeliat orang lain selain Kakak kok!"

"Eh? Masa?"

"Iya. Aku nggak bohong."

Dengan mulutnya yang terbuka sedikit itu, William perlahan merendahkan tubuhnya. Kemudian melakukan peregangan lengan.

"Arhhh, mungkin cuman halusinasi karena masih ngantuk"

"Kok tiba-tiba olah raga?"

"Anggap aja pelemas otot. Biar gak ngantuk lagi."

Namun sebuah senyum ragu terlihat di wajah Shelly dan begitu Kakaknya itu bertanya. Ia hanya terdiam dalam gestur anggun.

"Gimana?"

"Sama aja kok. Mau biasa atau seperti ini, kamu tetap manis."

Setelah mendengar itu wajahnya pun memerah padam dengan malu-malu. Sayangnya ketika ia ingin meresapi perkataan Kakaknya, tiba-tiba saja lengannya di tarik oleh William.

"Mau sampai kapan kamu bengong terus? Busnya udah datang"

"Ah, ya. Tunggu aku, Kak!"

Akhirnya mereka berdua pun masuk ke dalam bus dengan warna biru. Bertuliskan Trans Bandung dengan gambar sebuah produk minuman penambah energi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top