Chapter 3: Permintaa Yang Tiba-Tiba
Bunyi langkah-langkah riang di pagi hari menggetarkan tanah seakan itu adalah sebuah permulaan dari masa-masa menyenangkan.
William kini berjalan santai dengan Shelly yang memegangi tangan kanannya, membuatnya ia harus bisa beradaptasi dengan cepat.
Apalagi setelah pernyataannya yang ia terima. Entah bagaimana semua itu bisa terjadi dalam waktu yang singkat. Bahkan bagi dirinya, Shelly adalah perempuan misterius.
Tiba-tiba dua makhluk khayal muncul di pundak kiri dan kanan William. Putih dan hitam. Mereka berdua pun langsung berbisik di telinga William dengan rayuan-rayuannya.
"Ayolah ... yang dewasa saja, lebih berisi lho. Enak untuk di pandang lagi, kau bukan pedofil, 'kan? Khakhakhakhaka"
Suaranya serak layaknya pria berumur yang sudah sekarat. Ia tersenyum kegirangan.
"Jangan dengarkan kata si hitam itu, William. Lebih baik yang muda saja, berpikirlah ... jika mengetahui dia lebih dewasa dari pada dirimu apa kata orang bahwa kau Gigolo! Kau kan tau ada slogan flat is justice ... hmmm, tapi dia berisi sayangnya."
Kali ini si putih yang berada di pundak kiri, ia melancarkan aksi protesnya terhadap si hitam. Karena mereka tidak sependapat muncul sebuah listrik permusuhan di antara mereka.
Saling bertengkar, beradu kekuatan, dan bahkan saling adu cerca. Namun dengan cepat William menghilangkan semua khayalan itu.
"Ada apa, Kak?"
Entah bagaimana ketika melihat William, ia merasa ada yang aneh. Berkat wajah cantik dan juga polosnya, ia seperti menghipnotis Kakak angkat barunya itu agar terbangun dari alam khayalnya.
"Err ... nggak apa-apa kok. Shelly, bolehkan aku bertanya?"
"Tentu saja boleh."
Mereka saling bergandengan tangan, bukan karena rasa cinta melainkan rasa kasih sayang—itulah yang Shelly pikirkan. Walaupun perbedaannya sangatlah tipis sekali. Suara kereta gantung selanjutnya terdengar pelan dari arah mereka berada.
Suara-suara itu terdengar semakin dekat dari arah belakang mereka.
"Sedikit sensitif?"
Shelly mengangguk.
"Berapa umurmu?"
"14 tahun."
William terperangah, batinnya belum siap menerima kenyataan yang cetar membahana itu. Sedangkan sang Adik hanya tertawa kecil dengan gaya seorang putri bangsawan.
"Aku serius, Kak. Dulu aku ngambil kelas akselerasi ... makannya umurku masih terpaut muda di bandingkan dengan Kakak"
"Dengan tubuh seperti itu?!"
"Yups."
Serangan luar biasa itu hanya berupa kata-kata, tetapi benar-benar membuat William kewalahan. Karena lidah lebih tajam dari pada pisau, kata-kata memang terkadang menyakitkan walaupun bukan berupa sindiran.
Bisa saja dari kenyataan yang sangat luar biasa kejamnya.
"Mengapa Kakak suka? Shelly gak masalah kok."
Ucapnya sambil kini mengapit lengan kanan William di antara dadanya yang cukup berisi. Wajahnya yang semula di landa oleh kenyataan kejam itu berubah menjadi merona karena merasakan kenikmatan sementara pada lengannya.
Walau sekilas, tetapi ia bisa melihat bagaimana kegembiraan Adiknya itu. Tersenyum lebar dengan beberapa senandung yang tampak dibuatnya untuk membuat suasana di sekitarnya menjadi lebih hangat.
"Hmm ... wahai Adik angkatku."
Dengan nada seperti orang bersahaja itu William memandangi wajah adiknya dengan tatapan serius namun tidak horor.
"Apa wahai Kakak angkat tersayangku?"
"Armband ini untuk penunjuk apa?"
Shelly tersenyum kecut, melepaskan genggaman tangannya. Ia langsung berputar di depan William dengan anggun. Kini mereka saling berhadapan. Sedangkan tangannya saling mengait di belakang tubuhnya.
"Sebagai penunjuk indikasi kekuatan"
"Indikasi kekuatan?"
Tidak terasa waktu yang mereka habiskan, mulai dari atas stasiun gantung dekat akademi. Kini mereka berdua tengah berjalan di lobi sekolah yang sekiranya cukup luas dan juga megah.
Tepat sebelum pintu geser otomatis yang terbuat dari kaca bening. Shelly mengeluarkan sebuah kartu dari saku roknya, mengangkatnya lalu menunjukkannya ke arah sebuah benda kotak metalik sedang dengan tinggi kurang lebih sepinggulnya.
Kartu itu menunjukkan wajah murid Akademi Garuda—Shelly. Dengan informasi mengenai dirinya, tertera beberapa informasi dari mulai kelas, tingkat, jabatan dan juga hal-hal lainnya.
Sebuah sinar hijau tipis keluar dari alat itu untuk memeriksa kartu yang di keluarkannya dengan cepat. Setelah selesai pintu pun terbuka dan mereka masuk.
Kini keduanya telah berada di lorong yang menghubungkan lantai pertama dan juga sebuah lift yang menuju ke lantai kedua.
"Indikasi kekuatan itu ... artinya tingkat kekuatan Kakak, kalau udah tes kemampuan Exceed. Gambar yang ada di Armband itu akan berubah sendiri, contohnya saja aku ... lihat, daun hitam alias spade dengan bingkai sebuah rahang binatang buas."
William cukup mengerti dengan penjelasan sederhana itu, tetapi maksud dari bingkai rahang sendiri apa—pikirnya sambil memperhatikan Shelly.
Ia sama sekali tidak mengetahui apakah bingkai rahang itu sama seperti gambar spade di bahu lengan kirinya. Bahkan miliknya sendiri berupa permata merah A.K.A red diamond.
"Lalu maksudnya dari bingkai rahang binatang buas itu?"
"Hahaha ... rahang binatang buas ini adalah spesialisasi kekuatanku."
Shelly tersenyum hangat sambil menjawab pertanyaan William. Ia masih berjalan mundur sambil memandangi wajah kusut Kakaknya.
"Lalu spesialisasimu apa?"
Kali ini hanya diam tanpa kata, wajahnya seperti mengharuskan William untuk menebaknya sendiri.
"Jawab atau kamu mau kugelitiki?"
Dengan kesepuluh jari lincah dan juga cepatnya itu, dalam sekejap dapat membuat Shelly tertawa cekikikan dengan nada imut dan juga menggemaskannya.
"Ha ... hahahaha ... Ka-Kakak hentikan, b-baiklah aku menyerah"
"Nah gitu dong dari tadi."
Napasnya tersengal-sengal karena tidak kuat menahan gelitikkan William yang semakin menjadi, jika saja ia tidak menyerah mungkin saja ia akan terus tertawa hingga menitikkan air mata tak kuat.
Kedua pipinya kini mulai mengembung.
"Huuu ... Kakak main curang!"
"Ingin merasakannya lagi?"
"Ekkk ... nggak!"
Kini mereka berdua telah sampai di depan lift. Menekan tombol anak panah ke atas, setelah berada di dalamnya. Shelly menekan angka dua. Suara sebuah mesin terdengar menyala dan pintu pun kembali tertutup dengan pelan.
"Spesialisasiku adalah kekuatan, tapi aku harus menggunakan sebuah senjata untuk mengalirkannya. Sama seperti Exceed yang lain"
"Senjata?"
Mengapa harus menggunakan senjata untuk mengalirkan kekuatan Exceed?
Bukankah dengan mencobanya langsung tanpa sebuah perantara akan lebih mudah dan praktis? Batin William.
"Err ... memangnya kenapa kalau nggak pake perantara?"
"Bukankah Kakak mendengar beritanya sekitar satu setengah tahun yang lalu?"
Dengan wajah murungnya, Shelly kembali memaparkan kekejaman masa lalu yang membuatnya di hindari oleh banyak orang.
Sementara itu William mulai kembali mengingat tentang masa lalunya.
"Maksudmu lepas kendali?"
Shelly tersenyum kecut lalu memeluk William dengan lembut dari depan. Kedua tangannya melingkar di sepanjang pinggul dan ia pun mendongakkan wajahnya agar bisa menatap wajah sekaligus membuat hatinya menjadi tenang.
"Ya, karena jika para Exceed tidak menggunakan perantara. Mereka akan lepas kendali atau bahkan berubah menjadi Z itu sendiri."
William yang kala itu sedikit bersalah karena menanyakan masa lalu yang seharusnya telah terkunci rapat-rapat. Kini mulai mengusap rambut halus dan wanginya ke satu arah.
Rasa enak dan nyaman itu membuat kedua pipi Shelly merona dan juga keenakan. Sambil terus memeluk Kakak angkatnya, ia juga memikirkan sebuah pertanyaan mustahil pada dirinya sendiri.
Apakah dunia ini akan kembali damai jika harus menumpas semua Z itu? Batin Shelly.
Setelah beberapa saat pintu lift terbuka dan Shelly masih memeluk William dengan wajah polos tanpa rasa bersalahnya.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini terus?"
Ia hanya mengangguk pelan sambil memendamkan wajahnya ke Blazer William. Tetapi sebuah sentilan berhasil melepaskannya dengan cepat.
Ia pun langsung memegangi dahinya yang memerah kecil, sehingga terpaksa harus melepaskan kenikmatan sesaat yang selalu ia inginkan.
Sementara Kakak sendiri hanya bisa menyembunyikan tawa kecil di balik ketiak lengan kanannya.
"Kakak! Sakit tau!"
"Makannya jangan keterusan atau nggak ada sesuatu yang lebih menyakitkan daripada sentilan tadi."
Dengan senyum iblisnya, Shelly pun bergidik walau hanya sesaat.
"Hanya bercanda."
Mereka pun akhirnya keluar dan kembali berjalan menapaki lorong-lorong kelas. Di samping kiri terdapat empat kelas yang bisa mereka lihat dari tempat mereka saat ini. Sedangkan sisanya berada di samping kanan.
"Jangan kaget ya, Kak. Walaupun aku berumur 14 tahun tapi aku Ketua OSIS dan terlebih lagi aku baru kelas satu."
William hanya tersenyum hambar dengan alis yang terangkat alias di paksakan. Mengapa ia harus memberitahu itu untuk kedua kalinya, lagi pula ia sudah tahu tentang semua itu.
"Hmmm ... Kak? Ada yang salah?"
"Yang salah itu kamu, Shelly. Kalau gitu aku pergi ke kelas dulu"
"Ahhh, kok gitu sih! ... awas jangan salah belok, kelas Kakak yang paling ujung."
Dengan lambaian tangannya Shelly berbalik sambil tersenyum kecil, kemudian ia pun berjalan dengan riang di sepanjang lorong seberang. Keributan yang tidak bisa di cegah mulai pecah di bawah sana—tepatnya di lantai satu.
Mereka adalah murid-murid dari akademi ini, William menengokkan kepalanya, dan ia dapat melihat mereka seperti kumpulan semut petarung yang banyak jumlahnya.
Kakinya yang terhenti di tengah-tengah lorong kumpulan kelas kembali bergerak pelan.
Terangkat ke atas lalu mengentak lantai dengan pelan. Beberapa detik untuk sampai di kelas barunya itu, murid baru, dan juga kehidupan baru.
Selama ini ia hanya mengandalkan uang dari pekerjaan paruh waktunya yang terbilang tidak sebanding dengan kerja kerasnya.
Namun berkat bantuan seseorang yang tidak dikenalnya, tapi mengaku sebagai pamannya. Ia pun memberikan sebuah brosur dan juga tiket. Ketika William melihat itu ... ia senang sekali akhirnya dapat kembali untuk bersekolah.
Apalagi di salah satu akademi ternama di Benua Asia. Dan kini ia telah sampai di depan kelas, di geser pintu bercat biru pasi itu. Dengan pinggiran sebuah besi tipis khusus keperakan, beberapa baut, dan mur kecil menancap tepat di beberapa sela-selanya.
Tepat pada bagian atasnya adalah sebuah jendela persegi panjang cukup untuk melihat keadaan kondisi kelas maupun luar kelas. Setelah di geser pintu itu, William menarik napas pelan-pelan lalu menatapnya dengan tatapan nostalgia.
"Haaaa ... sudah lama sekali aku tidak ke tempat seperti ini, mengingatkanku saat SMP saja."
Kaki kanan melangkah terlebih dahulu dengan pasti, meninggalkan jejak masa lalu, dan beralih ke masa kini. Di mana ia bisa mendapatkan teman baru yang belum pasti akan berteman dengannya. Ia mulai menghitung jumlah bangku.
Setiap bangku hanya muat untuk satu orang, dengan total 30 bangku. Berarti kelas ini dapat menampung sekitar 30 atau kurang dari total jumlah itu sendiri. Walaupun ia belum tahu pasti di mana akan mendapatkan posisi tempat duduknya.
William tetap melangkah dengan pasti. Barisan pertama dekat jendela penghubung dalam kelas dengan luar kelas, jajaran ke empat dekat sebuah mading, dan juga tempat sampah plastik hijau yang cukup besar serta sebuah loker yang cukup kuat.
Tinggi dan juga terawat. Dengan santai dan juga nikmatnya—pantat William mulai jatuh pelan. Bagian terempuk sekaligus titik vital itu kini mendominasi bangku sedang dengan sebuah meja sambung yang cukup lebar.
Tempat untuk menempatkan bahu dan punggung untuk bersandar di buat melengkung agar di sesuaikan dengan bentuknya. Di timpa oleh busa yang cukup tebal, di jahit dengan bordiran yang rapi. Berwarna putih pucat.
Sedangkan bagian bawahnya sama. Untuk bagian meja adalah sebuah kaca yang cukup tebal, bening, dan juga bersih. Bagian sampingnya di tutupi oleh kayu jati tipis yang eksotis.
Sedangkan tepat pada bagian samping kanannya ada sebuah gantungan kecil yang di khususkan untuk menggantung tas sekolah.
Untungnya sebelum berpisah tadi William mengambil kantung karton yang di bawakan oleh Shelly. Dalamnya hanya terdapat beberapa buku kosong yang cukup tebal dengan sampul polos bening dan sebuah Tab beserta Pen mekanik.
Setelah berhasil mengeluarkan semua itu tiba-tiba saja sebuah kertas yang tidak terlalu besar jatuh, melayang pelan di antara kehampaan udara, dan akhirnya mendarat di samping kanan bangku miliknya.
Jika di lihat dari tempat jatuhnya berasal, kemungkinan terselip pada kover Tab. William pun menoleh pelan ketika mendengar suara pintu yang bergeser.
"Hmmm ... jadi ada murid baru?"
Suaranya khas sekali, dalam, dan juga tenang. Rambutnya hitam lurus, di ikat kecil ke belakang. Matanya sedikit sipit. Menggunakan kaca mata dan juga sebuah headphone yang menggantung di lehernya.
Kulitnya putih peach, lengan Blazernya di singkap hingga batas sikut. Memamerkan bagian bawah lengannya yang cukup bersisi. Tas kotak hitam-putih di panggul ke atas bahunya.
Lalu ia pun berjalan santai, menghampiri William. Tepat beberapa meter, ia pun berhenti, dan menatap langit-langit kelas dengan wajah suramnya. Terdengar helaan napas yang cukup panjang, lalu akhirnya ia mulai berjalan kembali.
Tidak di sangka-sangka rupanya tempat duduknya berada adalah tepat di depan William itu sendiri. Ia pun menyimpan tasnya di atas meja dengan kasar, mengodok saku kemeja putihnya lalu mengeluarkan sebuah alat yang mirip seperti pensil.
Di genggamnya alat itu, kemudian menempelkannya tepat di atas telinga kanannya. Dengan cepat alat itu langsung menyatu dengan kaca matanya. Menimbulkan beberapa bunyi yang aneh lalu muncul sebuah panel cahaya tepat di depan wajahnya.
Ia pun berbalik, kedua matanya kini menatap William tanpa rasa antusias. Tetapi ia kembali menghela napas kemudian mulai berbicara.
"Salam kenal anak baru, panggil saja Dany."
William tersenyum kecut lalu membalas sapaannya.
"William, panggil saja aku seperti itu ... Dany."
Mereka berdua kini saling menatap dengan kecurigaan tingkat maksimal. Namun di sela-sela itu sebuah suara berderap merayap di sepanjang lorong koridor. Mereka adalah murid-murid yang sedang menuju ke kelas ini.
Sekejap saja Dany membalikkan tubuhnya kembali lalu mulai menghadap panel bercahaya itu. Panel itu berwarna biru palet, beberapa kotak yang berada di atasnya seperti mirip pada keyboard komputer.
Ataukah memang sama?
Lalu pintu geser itu mulai terbuka, dari arah sana menghambur seluruh murid yang langsung memenuhi ruang kelas.
Termasuk dengan guru yang kini telah berada di depan sana, memegang sebuah pulpen mekanik keperakan dengan beberapa kotak kecil berwarna biru-hijau yang terus saja berkedip-kedip di sepanjang waktu.
Ia seorang lelaki, menggunakan sebuah jas rapi. Berdasi hitam dengan gaya rambut yang cukup acak-acakan. Matanya seperti orang yang baru saja habis di bangkitkan dari tidurnya. Bahkan kedua kantung matanya sedikit hitam.
Namun ekspresi wajahnya sangat segar dan tidak tampak lusuh. Celana panjang hitam dan juga sepasang sepatu pantofel hitam yang cukup mengilat bila terkena pantulan sinar matahari. Ia pun mulai berbicara dengan topik utama.
"Hmmm."
Suaranya berat walaupun hanya berdeham.
"Sepertinya kita mempunyai murid baru, kalau begitu langsung saja perkenalan, silakan berdiri di tempat. Sebutkan nama dan juga kota tempat tinggalmu."
William pun berdiri dengan wajah tenangnya, sementara di balik itu semua, Dany sedang mengotak-ngatik panel bercahaya biru remang-remang itu dalam mode hening.
"Namaku adalah William—"
Terjadi sebuah percakapan sedang di antara para perempuan yang sepertinya menaruh perhatian kepada William. Dengan nama, penampilan serta tubuh seperti itu, mereka kira bahwa ia berasal dari luar negeri walau pada kenyataannya salah.
"... 'William Adi Pramesya."
Dan setelah menyelesaikan nama panjangnya, para perempuan itu semakin menjadi-jadi. Pasalnya jarang sekali ada orang Indonesia berambut pirang kelam dengan pupil biru cerah dan iris hitam gelap.
"Sekarang aku tinggal di Bandung."
Dengan sedikit mengeluarkan serangan terakhir berupa penekanan pada kata 'Bandung' serta wajah yang ia buat polos itu. Kini berbagai mata perempuan mulai meliriknya dengan tajam, bahkan ia tidak tahu bahwa di antaranya ada yang sedang memerah.
Karena saat ini di atas mejanya terdapat sebuah buku dengan kover sesama lelaki yang sedikit membuatnya terusik setelah melihat reaksi sekelilingnya. Lalu guru itu kembali mempersilakan William untuk duduk kembali.
"Mungkin ini akan sedikit mengejutkanmu, nak. Karena kamu murid baru ... seperti biasa di hari ini kita akan mengadakan latih tanding antara sesama Exceed di kelas ini."
Awalnya William cukup terkejut dengan pernyataan gurunya itu, tetapi ia mulai mengingat kembali apa yang di katakan oleh Shelly.
Bahwa jika mengukur indikasi kekuatan akan di adakan semacam tes untuk melakukannya. Jadi sebaiknya apa yang harus dilakukan oleh William selanjutnya hanya perlu mengikuti tes itu dengan benar.
Akhirnya mereka pun keluar kelas, tidak hanya kelas William saja yang keluar untuk mengikuti tes ini. Bahkan hampir seluruh kelas satu. Mereka yang memiliki indikasi kekuatan yang lebih besar akan di kategorikan ke dalam Striker.
Sedangkan mereka yang tidak memenuhi kriteria akan di kategorikan sebagai Suporter. Tugas mereka adalah mendukung Striker yang sedang menjalankan tugasnya.
Setelah sampai di halaman belakang yang bukan main luasnya. Hampir berbagai fasilitas tersedia, seperti lapangan olah raga, bisbol, bola basket, dan lapangan tenis. Dengan penempatan yang sangat strategis.
Kini mereka tiba tepat pada sebuah gedung dengan tulisan GSG, terpampang di atas gedung itu. Cukup mengilat berwarna hijau tua. Pintu pun di buka oleh dua orang guru.
"B-baiklah sekarang saya akan mengarahkan kalian untuk memasuki gedung ini."
Kelas William lah yang pertama kali memijakkan kaki di dalamnya. Sebuah lapang yang di lingkari oleh tembok kaca tipis bening. Selain itu juga terdapat rumput sintetis hijau.
Bangku-bangku di buat mengelok, serta memutari lapangan, dengan ketinggian yang tepat. Penyangga gedung yang terbuat dari beton terlihat menyatu dengan alasnya yang kokoh.
Palang-palang besi silinder dan kotak menyatu, di buat untuk menahan atap yang cukup megah dan juga lebar.
Bahkan ada sebuah papan hologram hitam dengan dua buah kotak kosong. Tergantung tepat di atas sebuah ruangan pengawas dekat pintu keluar samping kanan ketika William masuk.
Papan itu berbentuk persegi panjang. Lalu sisa lainnya muncul dari berbagai pintu masuk dan akhirnya memenuhi seisi bangunan.
Tidak terkecuali para guru, mereka mengawasi jalannya latih tanding ini. Sepertinya tempat pengawas hanya di masuki oleh kepala sekolah dan juga petinggi-petinggi lainnya.
Guru kelas William pun memasuki lapangan—mungkin lebih mirip seperti arena. Ia memegang sebuah papan platinum biru dengan pinggiran putih yang menyala. Tepat di permukaannya terdapat catatan-catatan dan juga nama-nama murid kelas satu.
"Hmmm ... apa kalian bisa mendengarkan suara ini dengan jelas?"
Suaranya terdengar dari pengeras suara mikro yang terpasang di langit-langit gedung. Sedangkan orang yang berbicara itu menggunakan sebuah mik kecil yang menempel di lingkar telinganya, memanjang dari bagian dalam hingga ke dekat bibir.
Seorang perempuan bergaya modis berambut hitam kini sedang memeriksa sekitarnya. Ia juga menggunakan jaket olah raga berwarna hijau tua dengan garis bordiran putih. Dari bahu kiri-kanan hingga ke pergelangan tangan.
Sedangkan bawahannya menggunakan celana rangkap spat hitam. Pantatnya pun hampir tercetak secara jelas. Kulit putih kecokelatannya terlihat di betis serta tulang keringnya. Lalu pada bagian paling bawahnya adalah sepatu olah raga putih.
"Seperti biasa, saya akan membacakan urutan latih tanding ini dengan acak. Salam kenal, saya adalah guru olah raga sekaligus pelatih judo dan juga silat, panggil saja Bu Sinta."
Kedua matanya itu tampak sangat percaya diri sekali, seperti tidak pernah merasakan apa itu sebuah kekalahan. Berwarna hitam gelap agak kecokelatan, bibir yang tipis merah muda. Alis sedikit lebat dan santai.
"Di sebelah saya adalah Pak Rudi, jika kalian ingin mengajukan pertanyaan kalian bisa angkat tangan."
Setelah itu terjadi keheningan hingga akhirnya Bu Sinta memegang sebuah papan platinum biru. Tangan kanannya menempel pada papan itu, mirip seperti papan dada.
Lalu dengan jari telunjuknya ia memilah-milah serta memilih beberapa orang yang akan maju hari ini untuk latih tanding.
Dan akhirnya setelah selesai ...
"Baiklah, kali ini adalah ...."
Muncul sebuah panel hologram biru pasi di atas lapangan rumput hijau sintetis itu. Wajahnya sangat tidak asing bagi William. Itu adalah ....
"Dany?!"
Orang yang akan maju ke dalam lapangan itu adalah Dany, teman pertama atau mungkin bukan bagi William. Sikapnya cukup dingin tapi sepertinya dia orang yang baik berhubung mau memberitahukan namanya.
William kembali menelaah panel hologram itu. Di sana ada beberapa status serta informasi minim tentangnya. Dari mulai nama, kelas hingga tempat lahir, dan yang terakhir adalah indikasi kekuatannya.
"Club merah, kah?"
Indikasi kekuatannya lebih tinggi dari pada William yang sekarang permata merah. Berbeda satu tingkatan tetapi cukup untuk membuat William membuka mulutnya dalam diam. Lalu tepat di samping panel hologram itu adalah ....
"Dany Lee dari kelas 1-H dan juga William Adi Pramesya dari kelas 1-H, silakan masuk ke dalam lapangan."
Ughhh ... aku? Batin William.
Setelah selesai memberitahukan siapa yang akan masuk ke dalam lapangan itu, dua orang berdiri dengan pelan. Keduanya saling menjaga jarak. Hanya terpisah oleh lima bangku dari samping kanan.
Pak Rudi berjalan menyisih ke samping lapangan di dampingi oleh Bu Sinta yang tampak sangat bersemangat sekali. Sementara itu ia sendiri menampakkan wajah yang kelelahan walaupun staminanya terisi penuh di pagi hari ini.
William dan Dany pun saling menengok satu sama lain, saat itu lah ada beberapa orang yang membicarakan mereka diam-diam.
Berbisik, menulis di papan hologram atau pun memberikan isyarat. Mereka menghiraukan itu semua, lalu akhirnya berjalan menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca.
Setelah mereka berada di dalam, Bu Sinta menjelaskan tentang tata cara latih tanding ini.
"Ingat ... siapa yang menyerah, pingsan ataupun tersisih keluar lapangan dia lah yang kalah."
William mengangguk pelan sedangkan Dany menggaruk belakang lehernya dengan pelan lalu mengangguk.
"Kalau begitu sudah di putuskan."
Bu Sinta telah menyelesaikan penjelasannya. Sekarang William dan juga Dany mengambil jarak, berjalan ke sisi yang berbeda.
"Aku tak menyangka akan langsung berlatih denganmu, Will."
Dany memperbaiki kaca matanya yang miring lalu ia juga mengecek beberapa barang yang ada di saku Blazer dan celananya. Setelah selesai ia mengepak-ngepak belakang Blazernya.
"Seharusnya aku yang berkata seperti itu, Dany."
Sementara William melepaskan blazernya lalu mengikatkan kedua lengannya ke pinggulnya. Dasi hitam dan juga kemeja lengan pendeknya terlihat sekarang, bersih, dan rapi. Ia tidak peduli apakah pakaiannya menjadi kotor atau tidak.
Lalu tiba-tiba sebuah benda melayang di udara, benda itu menarik perhatian William untuk sesaat. Ketika ia mendongakkan wajahnya, ia dapat melihat dengan jelas bahwa itu adalah kalung kesayangannya. Ia pikir bahwa benda itu telah hilang.
Dengan cepat ia pun menangkapnya dengan sempurna, kemudian menggunakannya. Ia pun memalingkan wajahnya sementara waktu, lalu mendapati Shelly sedang melambai-lambaikan tangannya dengan pelan sambil tersenyum kecil.
Terlihat jelas ia bersemangat karena melihat Kakaknya akan bertanding. Sedangkan William sendiri tersenyum kecut, cukup khawatir dengan aura hitam yang berada di belakangnya.
Mereka adalah para murid laki-laki yang tampak menyukainya.
"Ha-haha ... haha"
"Heee ... rupanya kau akrab juga dengan Ketua OSIS, Will"
"Tidak seperti apa yang kau pikirkan, Dany ... lagi pula, Will?"
"Ahhh ... hanya panggilan akrab jangan terlalu di pikirkan. Tetapi aku kaget kau bisa akrab dengan salah satu Exceedlord sang Clumsy Monster."
Suaranya seperti orang malas tapi jika di perhatikan lagi itu hanya logatnya sendiri. William mengerti akan hal itu setelah berbicara dengannya beberapa saat yang waktu—tepatnya saat di kelas, walaupun hanya sesaat.
"Exceedlord? Clumsy Monster?"
"Wah, wah ... bahkan kau tidak mengetahuinya. Kau pasti akan mengerti setelah melihat kelakuannya suatu saat nanti."
Aku sudah pernah kok, Batin William.
"Kau tidak usah memberitahuku tentang hal itu, sekarang kita akan memulai latih tanding ... jadi fokuslah, Dany."
Dany tersenyum kecut, kuda-kudanya sudah mulai terlihat.
William bingung dengan kuda-kuda yang di lakukan olehnya. Tetapi ia sepertinya serius dengan hal itu. Batas yang ia miliki mungkin tidak akan terlalu lama, jika di bandingkan saat menggunakan kekuatannya.
Ia tidak boleh memperlihatkannya kepada Shelly. Itu akan membuatnya kerepotan, jika kekuatannya memiliki efek samping yang sangat serius.
William menundukkan wajahnya sambil memegangi kalungnya. Setelah itu ia pun mengepalkan kedua tangannya, mengangkatnya ke arah Dany.
Dany tersenyum lebar dan kini ekspresi wajahnya berubah 180 derajat, dari seorang pemalas menjadi seseorang yang berbeda dan cukup meresahkan William. Lalu sebuah suara terdengar dengan nada elektro.
BATTLE ... GO-ON
"Kalau begitu mari kita mulai latih tanding ini, William Adi Pramesya melawan Dany Lee."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top