Chapter 1: Sang Accel dan Kepingan Kekuatan

Suara deru kendaraan melintas terdengar sepanjang detik. Tak kala angin berhembus lembut melewati jendela bergorden kecil putih. Gorden itu pun sesekali melambai tertiup angin di sampingnya, tepat di atas sebuah meja kecil terdapat sebuah rangkaian Bunga Krisan berwarna merah muda cantik.

Orang-orang bilang bahwa bunga tersebut merupakan pesan tersirat untuk pasien. Dalam artian bunga itu memberikan kesan agar sang pasien cepat sembuh.

Seorang lelaki tengah terbaring di atas ranjang. Wajah polosnya seakan mengatakan ia tidak pernah merasakan bagaimana kejamnya suatu kenyataan.

Sebuah kantung infus darah terlihat menggantung. Berlabel kan darah B+ dan Sedikit demi sedikit mulai membantu mempercepat penyembuhan pemuda tersebut.

Wajah polosnya tampak tenang. Napasnya keluar secara teratur yang di bantu oleh alat penunjuk detak jantung selalu berbunyi tit setiap satu gelombang mikro bergerak melewati layar hitam bergaris hijau itu.

Ruangan yang cukup hening dan juga nyaman selagi kedua matanya belum terbuka. Setelah sebelumnya memucat, wajahnya tampak kembali normal.

Dengan pakaian hijau toska, terbuat dari kain lentur yang cocok di gunakan bagi para pasien. Selimut menutupi hampir setengah bagian tubuhnya yang cukup bersisi. Lalu kedua matanya mulai terbuka perlahan-lahan. Setelah semuanya jelas, kini lensa biru cerahnya lah yang mulai menjelajahi setiap koridor tempatnya berada.

Tidak lama kemudian ia menangkap sesosok perempuan yang kini tengah tersenyum ke arahnya. Menggunakan pita biru pada samping kiri rambutnya, matanya pun memancarkan pesona yang berbeda dan dapat memikat siapa pun.

Dengan pupil hitam dan iris cokelat sedikit gelap. Senyumnya yang tulus mulai kabur menjadi kebingungan. Raut wajahnya pun berubah ketika melihat pemuda yang terbaring itu menatapnya dengan penuh kecurigaan.

"Anu–"

"Kau seorang Exceed, ya?"

Tanyanya dengan tenang. Lalu matanya melirik seragam yang kini tengah dipakai oleh perempuan itu.

Sebuah kemeja putih dengan corak garis hitam yang memanjang dari kedua kerah hingga kancing paling bawah. Kemudian dasi biru gelap bergaris putih pada tengah-tengahnya.

Dengan Blazer yang merangkapnya berwarna hitam gelap dan memiliki garis putih di sepanjang jahitannya. Sedangkan pada bagian samping kiri dadanya terdapat sebuah lambang.

Lambang itu adalah maskot dari Akademi Garuda. Walaupun seekor Garuda, pada kenyataannya hanya sebuah sayap kanan dengan dua warna berbeda pada bulu-bulunya. Pada bagian atas, putih sempurna sedangkan bawahnya adalah abu-abu yang samar.

Arm Band tampak melingkari lengan kirinya. Berwarna biru dengan gambar spade hitam di tengah-tengahnya. Ia juga menggunakan rok hingga batas pahanya, cukup untuk memamerkan dua buah kaki indah yang putih dan bersih.

Namun sayangnya ia menggunakan over knee—kaus kaki hitam panjang hingga selutut, sehingga hanya sedikit saja bagian pahanya yang terlihat dan terakhir adalah sepasang sarung tangan putih terlihat menyelimuti kedua tangannya.

"Kok bisa tau?"

Seketika kepalanya miring ke kiri beberapa derajat dengan jari telunjuk yang menempel pada dua pelepah bibir merah muda. Suaranya hangat dan tampak bersahabat.

Hanya bisa menggenggam bahu lengan kirinya dengan tangan kanan. Walaupun tidak sigap karena ia kekurangan darah. Tetapi ia hanya memperlihatkan senyum kecil yang tidak dapat di tebak.

"Oh ... hahahaha."

Perempuan manis itu tertawa dengan nada yang cukup stagnan namun tidak di paksakan.

"Maaf, hanya saja jarang ada orang yang seperti kamu. Namaku adalah Shelly Anastasia, aku adalah ketua OSIS di Akademi Garuda yang akan kamu masuki—"

"William Adi Pramesya ... jangan tanyakan nama depannya, aku blasteran Indo-Inggris."

Jawabnya dengan nada yang lemas, tetapi cukup bertenaga. Kini keduanya saling bertatap, tetapi Shelly yang cukup kaget kini kembali tersadar.

"Ah ... jadi William. Aku tau sekarang waktu rehatmu karena Anemia. Tapi karena kamu berada di lokasi kejadian, aku ingin bertanya beberapa hal—"

William pun menyelesaikan pertanyaan Shelly dengan raut yang sama bingungnya.

"—'siapa yang mengalahkan Z itu, 'kan?"

Perempuan berambut hitam itu pun terhenyak tak dapat mengeluarkan suaranya. Tapi, pertanyaan seperti itu sudah jelas karena lelaki berambut pirang itu berada di tempat kejadian. Walau sebenarnya ia sendiri tidak menyadarinya sama sekali karena alasan tersesat.

"Melihat raut wajahmu, sepertinya tebakanku benar. Kalau gitu ... apakah urusanmu di sini sudah selesai?"

Shelly hanya terdiam dengan senyum misterius yang mengembang di wajahnya. Sedangkan laki-laki di depannya memandanginya dalam diam—seperti ada maksud lain dan firasatnya mengatakan bahwa ia akan terus ditanyai.

Namun sejujurnya sang Ketua OSIS itu hanya ingin berdiam diri di dekatnya tanpa ada maksud lain.

"Jangan menatapku seperti itu, William. Kau membuatku malu ... aku di sini hanya ingin beristirahat dari tugasku sebagai ketua. Itu membuat pundakku sakit"

"Hmmm ... aku ragu."

Setelah mendengarnya ia pun hanya dapat tersenyum malu tanpa bisa membantahnya. William tertawa kecil dengan tubuhnya yang sesekali gemetar karena tidak bisa menahan rasa gelinya.

"Setelah keluar dari sini, apakah aku langsung terdaftar di sana?"

"Ya."

Senyum kecil mengembang di wajahnya yang kini tampak begitu cantik karena terkena pantulan sinar matahari senja.

"Hmm, ternyata udah sore. William, semoga kamu betah di Akademi Garuda"

"Kuharap tidak ada pelajaran matematika"

"Heh? Emangnya kenapa? Kamu tidak suka matematika? William"

"Raporku selalu merah, hanya pada mata pelajaran itu."

Hanya senyum kecil yang bisa Shelly perlihatkan selagi ia melihat pemuda berambut pirang di depannya menjadi muram.

"Kalau ada waktu, aku mau kok mengajarimu"

"Ehhhh?! ... yang bener?"

"Bener kok, asalkan kamu mentratkirku roti lapis manis ... hehehe"

"Sangat mencurigakan ...."

Mereka berdua kembali tertawa karena selingan yang di lontarkan oleh William dalam keadaan yang tidak mendukung.

"Lagi pula mengapa juga bisa kamu ada di sini?"

"Karena tugas sesama murid ... mungkin?"

"Eh ... lho? Kok kamu juga gak tau sih"

"Bercanda ... itu karena aku ingin melakukannya sendiri, egois, 'kan?"

"Tergantung niat awalnya."

Wajah ceria sekaligus perkataan William membuatnya tampak bersyukur karena telah di pertemukan dengan dirinya. Karena jabatannya yang tinggi sebagai Ketua OSIS, ia terkadang di hindari oleh siswa-siswi yang lain.

"Kalau begitu aku pamit dulu."

Ia pun bangkit dari kursi kecilnya, berdiri tegap dengan senyum kecil sambil melambaikan tangannya. Ketika akan berbalik, kaus kakinya tak sengaja tersangkut, sehingga ia terjatuh dengan keadaan kepalanya yang mendarat terlebih dahulu.

Sedangkan bagian belakangnya—pantatnya terangkat dengan rok yang terbuka. Memperlihatkan celana dalam merah muda bergambar kepala panda yang kecil pada bagian tengahnya. William yang tak sengaja melihatnya hanya bisa memasang wajah datar.

Ia berhasil di kalahkan oleh serangan kejutan itu. Walaupun tak seberingas Z.

Wajahnya mulai sedikit memerah dengan suara alat pengukur tekanan detak jantung yang terus berbunyi. Ia pun mencoba untuk menenangkan diri.

Namun, tidak lama kemudian suaranya datar dan juga panjang. Shelly yang masih terjatuh sambil mengelus-ngelus dagu segera menghiraukan keadaannya dan langsung bangkit kembali seperti tidak terjadi apa-apa.

Setelah itu ia pun segera berbalik, mendapati William yang tak sadarkan diri. Ia pun mendadak panik dan berusaha menggoyangkannya. Tetapi, itu tidak berhasil.

Ketika ia ingin berteriak meminta bantuan, sang dokter ternyata telah berada di belakangnya lengkap bersama sang suster yang siap membantunya.

Melakukan pemeriksaan singkat, sang dokter pun memberikan senyum kelegaan kepada Shelly. Mengetahui itu ia pun menjadi tenang. Ia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, berterima kasih kepada sang dokter lalu pamit kembali.

Meteor yang menghantam bumi mengakibatkan kerusakan global dan perubahan iklim yang drastis. Berselang 40 tahun semenjak kejadian itu terjadi, manusia yang bertahan mulai melakukan perbaikan.

Perubahan yang dasar dengan berkembangnya teknologi menyebabkan bumi lebih cepat pulih. Bahkan kebutuhan alat-alat canggih tidak terbendung karena alasan-alasan yang sederhana.

Pepohonan pun kini menjadi langka, karena itulah flora yang masih tersisa dijaga ketat serta di awasi keberadaannya. Menjadikannya sebagai prioritas penting untuk mengembalikan bumi seperti sebelumnya.

Itu terjadi saat 30 tahun yang lalu. Kini semua kembali menjadi normal dan orang-orang melakukan aktivitasnya dengan tenang.

Matahari senja perlahan mulai tenggelam bersamaan dengan tirai gelap yang mulai terlihat. Cahaya-cahaya kecil bersinar samar di atas sana.

Semilir angin di malam itu sangatlah dingin sehingga William mulai menutupi tubuhnya dengan selimut. Tetapi, karena tidak bisa tidur ia pun mencoba untuk pergi keluar.

Setelah ia beranjak dari ranjang, tangan kanannya mulai memegangi sebuah alat beroda. Dengan tiang infus yang menggantung dan selalu siap untuk menyalurkan vitaminnya.

Perawat yang menjaganya pun telah pulang—itulah yang laki-laki pirang itu pikirkan saat ia mencoba menggeser pintu.

Berjalan di lorong rumah sakit, lantai dua. Berbagai suara berhasil ia tangkap, dari mulai deretan roda yang bergerak maju, alat-alat medis bahkan bagaimana suasana saat itu.

Segera memasuki lift dan menekan tombol berangka satu. William bersenandung dalam keadaan tenang. Setelah bunyi ting terdengar dan pintu terbuka. Ia pun keluar dan segera berjalan lurus menuju pintu keluar—atau lebih tepatnya pintu menuju taman samping rumah sakit.

Bersama dengan alat yang ia bawa, setiap langkah kakinya menjadi pelan dan terkadang gemetar. Hanya berbekal pakaian rawat inap dan sebuah syal merah marun. William akhirnya tiba di sana.

"Sebaiknya aku mencari tempat yang cocok, selagi malam ini bisa kunikmati secara bebas ...."

Di samping kanannya terdapat sebuah pohon yang cukup besar. Dengan dedaunan yang terkadang rontok akibat diterpa angin. Ia pun memutuskan untuk menjadikan pohon itu sebagai sandarannya.

Taman yang kini dilewatinya merupakan tempat persinggahan para pasien lansia. Di mana mereka menikmati waktunya dengan melihat betapa luasnya langit biru. Terkadang saling bersapa tegur dengan sesama pasien merupakan kegiatan mereka juga.

Apa yang dirasakan William setelah ia duduk dan bersandar pada pohon tersebut adalah sebuah ketenangan. Lalu sepintas gambaran melewati kepalanya, berpikir tentang kekuatan yang ia miliki saat ini merupakan sebuah kutukan sekaligus anugerah. Bukan keinginan maupun harapan.

Berkat kekuatannya itu pun semua menjadi berubah, orang tuanya yang telah pergi, dan tak akan pernah kembali. Semua teman-temannya saat itu pun satu-persatu menghilang.

Dengan mendapatkan kekuatan yang besar ia juga menderita akibat kehilangan orang-orang yang berharga bagi dirinya. Terlempar ke dalam zona waktu yang berbeda, bergerak lebih cepat dari pada orang seharusnya.

Walau umurnya bertambah namun fisiknya tetap seperti remaja pada umumnya. Dengan dunia yang berkeliling mengitari setiap jalur pemandangan yang ia lihat. Begitu cepat, cepat, cepat, bahkan tak terasa waktu telah berlalu selama 30 tahun.

Kini ia pun melihat punggung tangan kirinya, terdapat sebuah lambang—sigil berbentuk prisma dengan bagian belakang yang menghilang. Di tengah-tengahnya pun seperti kobaran api berwarna abu.

Lalu perhatiannya teralihkan pada seorang perawat laki-laki yang bertugas. Melihat bagaimana ia kerepotan akan pasien lansia yang ia tuntun, William pun tersenyum kecil.

Hanya bisa menggumamkan sesuatu yang tak penting, matanya pun mulai menutup. Tetapi, sayang ... ia berhasil di temukan oleh seorang perawat lainnya. Mengapa ada perawat perempuan jika jam kerja mereka telah berakhir? Itulah yang dipikirkannya saat ini.

Tidak lama kemudian perawat itu pun menghampirinya.

"Apakah kau senang tinggal di dunia yang seperti sekarang?"

"Hmm?"

Terjebak dalam kebingungan, William sama sekali tak menduga bahwa perempuan itu menanyakan sesuatu yang cukup aneh. Ada suatu ungkapan yang cukup unik jika perempuan terbuat dari rempah-rempah namun tak tahu apa saja bahan-bahannya, pertanyaan itu bahkan membuat sang laki-laki berambut pirang memiringkan kepalanya.

Walaupun terlihat formal tetapi perawat itu menggunakan seragam lengkapnya. Dengan wajah oriental bermata hitam indah, rambut yang di ikalkannya ke belakang terlihat sangat cocok dengan penampilannya.

Saat ini bibirnya ingin bergerak, tetapi pemuda berambut pirang yang ia lihat sekarang berhasil mendahuluinya.

"Aku tidak terlalu mengerti apa yang kamu maksud, tapi ... jika pertanyaan itu menjurus kepadaku. Maka akan kujawab, ya. Bertahan hidup setelah kekacauan itu merupakan sebuah keajaiban."

Mendengar bagaimana ia menanggapi pertanyaannya yang tiba-tiba, sang perempuan pun mulai tersenyum kecil dengan pipi yang merona.

Tempatnya berada sekarang adalah di bawah pohon rindang dengan penerangan yang cukup sehingga ia bisa melihat bagaimana reaksi perawat yang sedari tadi menatapinya dalam diam.

"Emm ... bagaimana anda—"

"William."

Potongnya dengan cepat.

"Nama itu lebih singkat, atau kau bisa memanggilku dengan Will."

Perawat itu terdiam untuk sesaat, lalu akhirnya meneruskan kembali apa yang akan ia katakan.

"Baiklah Will—ehmm, maksudku William. Mengapa kau di sini?"

"Hanya mencari tempat refreshing ...."

Bagaimanapun ia melihat, perawat di depannya itu terlihat seperti kelelahan. Dengan napas yang naik-turun. Sesekali ia juga mengelap keningnya. Lalu mata William pun menyipit dan melihat tanda pengenal di seragamnya.

Yumi, itulah nama yang ia lihat.

"Apakah kau sedang mencariku dari tadi ... Yumi?"

"Ya! Kau tahu, aku capek terus mencarimu—tunggu sebentar, dari mana kau mengetahui namaku?"

Menghela napas sambil memegangi dadanya, William pun menggelengkan kepalanya pelan.

"Dari benda persegi panjang yang memperlihatkan nama seorang perawat ... dan satu lagi, jangan terlalu formal denganku."

Saat itu pun Yumi langsung merona karena malu, berusaha untuk menutupinya tetapi berkat teman barunya yang mendecakkan lidah beberapa kali. Akhirnya ia pun pasrah dan mengakui kelalaiannya.

"Baru kali ini aku denger ada perawat yang lupa sama atribut seragamnya."

Laki-laki berambut pirang itu pun kembali melihat langit malam. Merasakan setiap sensasi angin yang membelai lingkar leher serta rambutnya. Ia pun hampir tertidur jika saja Yumi tidak memanggil namanya lagi.

"Jangan tidur di sini! Nanti kamu bisa masuk angin!"

"Daripada tidur karena kebosanan, lebih baik tidur karena keenakan"

"K-ke-keenakan?!"

"Aku nggak ada maksud yang aneh-aneh lho ...."

Kini ia pun tersenyum dan matanya yang menatap langit kini teralihkan menuju Yumi.

"I-itu bukan maksudku!"

"Yang jelas aku bosan terus di kamar mulu. Seenggaknya aku bisa menikmatinya sebelum keluar dari rumah sakit ini!"

Yumi pun terhenyak sesaat. Setelah itu ia pun ikut duduk di sebelah William.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa fasih, padahal namamu, 'kan—"

"Aku seorang blasteran. Bukankah kamu juga sama?"

Sejenak perempuan bermata indah itu berpikir. Pantas saja William dapat berbicara begitu fasihnya. Ternyata ia juga sama seperti dirinya.

"Jawabanmu kurang tepat ... hehehe"

"Anggap saja benar. Lalu, kamu ngapain di sini?"

"Sebagai permintaan maaf aku mau duduk bareng di sini"

"Begitu? Ya, sudahlah. Lagi pula bentar lagi juga di panggil ke kamar."

Selagi alat infus itu terus menyuplai vitamin ke dalam tubuhnya. William mengeluarkan sebuah bungkus permen dari saku celananya.

"Mau?"

Ketika melihat bungkus itu, mata Yumi berkilauan. Ia pun langsung mengangguk pelan.

"Kalau gitu jangan kasih tau perawat lain kalau aku ada di sini"

"Eh?"

Mulutnya menyungging dengan licik, lalu William pun memberikan salah satunya kepada Yumi.

"Ini pertukaran, bukankah itu impas?"

"T-t-tapi ... "

"Aku memberimu permen, sebagai gantinya kamu merahasiakannya dari perawat lain"

"Uhhh"

"Hahahaha ...."

Yumi yang terlihat murung itu pun mulai tertawa kecil. Selagi pemuda di sampingnya mengunyah permen. Dengan santai ia menyimpuhkan kakinya.

"Kenapa kamu bisa punya permen? Bukannya gak boleh, ya?"

"Itu rahasia. Gimana enak, 'kan?"

"Dasar!"

William hanya tersenyum menanggapinya, mencoba untuk bersandar dengan rileks. Berkat beberapa daun yang berguguran akibat tertiup angin, rambut Yumi pun tersibak, dan ketika pemuda di sampingnya itu melihat,wajahnya sedikit merona dan mulai menggaruk pipinya.

"Kau mengingatkanku dengan seseorang ... "

"E-eh, kenapa tiba-tiba jadi ke situ?"

"Entahlah, hanya saja aku nggak tau kalau dia masih mengingatku atau nggak."

Menghela napasnya, William pun mencoba untuk bangkit lalu berbalik. Menyentuh pohon yang ada di depannya, kemudian mulai menunduk.

"Aku sama sekali nggak tau udah berapa lama bisa ngerasain momen kayak gini"

"Will ...."

Namun semua kenangan yang ingin pemuda itu ingat menjadi kabur karena sebuah ledakan yang tiba-tiba muncul. Seekor Z mengamuk tanpa sebab dan kemunculannya tidak dapat di prediksi.

Saat ini makhluk itu sedang menyedot energi listrik yang berada tepat di samping rumah sakit. Posisi keduanya cukup dekat, tetapi dengan cepat William segera memberitahu Yumi untuk segera mengevakuasikan semua pasien di luar gedung.

Z sendiri merupakan manifestasi yang muncul akibat Insiden Metea. Keluar dari retakan dimensi yang sama sekali tak menentu waktunya. Terkadang keberadaan mereka cukup sulit untuk di deteksi.

Biasanya makhluk sebesar itu akan muncul di tempat-tempat tak biasa. Tetapi sering kali muncul di tempat yang memiliki energi pembangun; garda listrik, kincir angin pembangkit listrik, lampu atau tempat berkumpulnya panel surya seperti di perbukitan.

Saat ini sudah ada tiga tipe Z yang teridentifikasi. Dengan ciri khusus yang melekat pada tubuh mereka; Eater, Shooter, dan Destroyer.

Namun ketika Yumi ingin segera membantu para pasien yang berada di luar gedung. Sebuah guncangan serta ledakan yang menghancurkan tembok di samping mereka membuatnya terhempas jauh.

Untungnya William segera menangkapnya dan membawa Yumi ke tempat yang lebih aman. Darah turun dari atas dahinya, melihat itu ia pun terdiam. Lengannya gemetar dan tubuhnya hampir terjatuh jika saja ia tak sadar.

"Kenapa aku mengingatnya lagi."

Sambil menggigiti bawah pelepah bibirnya, William langsung mencabut infusi darah pada lengannya. Berlari dan menyandarkan Yumi pada tembok di dekat pintu masuk.

Beberapa pasien dan perawat yang melihatnya segera membawa perempuan bersurai hitam itu masuk ke dalam.

"W-William ... kamu mau ke mana?"

Dengan nada paraunya, ia pun bertanya. Tetapi, laki-laki yang kini berdiri menghadap Z di depannya hanya mengangkat tangan kiri dan memamerkan punggungnya.

"Aku memang belum terbiasa dan ini sangat merepotkan. Tetapi aku memiliki ini ... jangan khawatir, beristirahatlah."

Dan tidak lama kemudian dua buah helikopter terdengar tidak jauh dari sana. Sirene akan kedatangan Z berbunyi melengking, bergema dan membuat orang-orang langsung pergi ke selter perlindungan terdekat.

Kini helikopter itu segera menyerang Z dengan agresif. Beberapa orang turun dari atas sana dan mulai mengamankan sekitarnya.

"Bagi lelaki yang berada di dekat pohon, cepat pergi menuju ke dalam gedung. Kami akan segera mengamankan tempat ini!"

Terdengar lantang dari pengeras suara benda dengan baling-baling itu. Tetapi William tidak bergerak sama sekali. Lalu beberapa pasukan Exceed mulai melewatinya dengan tergesa-gesa.

"Hey! Kau ... cepat pergi dari tempat ini. Kami tidak bisa menjamin keselamatanmu jika berada terlalu dekat dengan kami!"

Setelah itu salah satu dari mereka mengeluarkan lapisan tipis yang mulai menutupi se-isi gedung rumah sakit. Tipe kekuatan pelindung dan dua orang lainnya segera menerjang Z di depan sana.

Api terlihat berkobar cukup ganas dengan puing-puing bangunan serta letupan listrik yang tak rela lepas dari sarangnya. Beberapa saat kemudian uap panas mengepul dan menerbangkan beberapa pagar listrik ke arah tempat William berada.

Namun berkat pelindung, pagar itu pun langsung hancur terurai. Menjadi serpihan kecil.

"Jangan terlalu dekat dengan kami! Cepatlah pergi ke dalam!"

Sayangnya laki-laki itu menghiraukannya lalu melangkah maju. Beberapa orang yang melihatnya dari balik jendela gedung mulai meneriakinya agar menjauh.

Meskipun wajahnya memucat, kakinya terus melangkah. Ketika ia memperlihatkan punggung telapak tangan kirinya. Kedua Exceed yang melihatnya langsung tercekat.

"K-kau juga?!"

Mulutnya menyungging kecil, angin ria berhasil mengacak-ngacak rambutnya. Lalu dalam satu tarikan napas. Ia pun bergerak cepat layaknya teleportasi kecil.

Sementara dua benda melayang di atasnya terus menghujani Z dengan misil beruntun, sayangnya semua itu langsung hancur begitu beberapa plasma kecil keluar dari pori-pori Z.

Begitu makhluk besar itu ingin menembakkan serentetan plasma besar dari mulutnya. Kehadiran William berhasil menjeda semua itu, lalu lengannya pun terangkat dengan niat menghancurkan sosok di depannya.

Namun untuk kedua kalinya ia menghilang kembali dan telah berada tepat di belakangnya dengan kedua jari yang bersiap untuk menembakkan sebuah gelombang suara.

Dari balik awan gelap yang menutupi sosoknya, kedua mata biru indahnya bercahaya. Terlihat begitu kesepian dan penuh kegelapan.

"Saatnya pemburu menjadi yang di buru," ucapnya halus sambil menjentikkan jari.

Lalu sebuah letupan gelombang layaknya ledakan kuat melejit dan akhirnya meluas hingga menghancurkan Z itu dalam beberapa detik..

"Selamat tinggal ...."

Sementara pasukan yang melihatnya tak bisa berbuat apa-apa.

"Sialnya aku masih dalam keadaan yang buruk. Hahh ... Anemiaku kambuh lagi ...."

Dan William pun tumbang ke belakang dengan wajah yang memucat. Dua orang di belakangnya segera berlari dan membawanya ke dalam gedung untuk di obati.

"Ini baru pertama kalinya kita melihat kekuatan seperti itu ... "

"Hmm, apakah kau tertarik dengannya?"

"Tidak, hanya saja angkatan tahun sekarang memiliki berbagai potensi yang mengejutkan"

"Hahaha, aku setuju denganmu."

Percakapan singkat dari alat transmisi itu berakhir dengan tawa tak terduga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top