1
1
Awalnya aku ragu menceritakan masalahku. Tapi karena aku sudah berada di sini dan bertatap muka langsung dengannya, jadi kuceritakan saja permasalahan yang kuhadapi, meskipun hanya secara garis besarnya saja. Dimulai dari rencanaku mengumpulkan tabungan hingga jumlahnya lumayan banyak. Kemudian kesepakatanku dengan Steven mengenai patungan modal hingga operasional kafe.
Aku tidak perlu terlalu lama menjelaskan karena Rafa begitu mudah memahaminya.
Ia mendengarkan penjelasanku sambil sesekali mengangguk. Hingga ceritaku selesai, barulah ia berbicara.
"Kamu sudah lapor polisi?"
"Belum," gelengku. Aku memang belum mengambil tindakan hukum karena masih separuh berharap Steven masih beritikad baik mengembalikan semua uangku.
"Apa dia masih bisa dihubungi?"
"Nomornya sudah tidak aktif. Aku cari ke rumahnya, tapi ternyata rumahnya sudah dijual. Aku coba menghubungi teman-temannya, nggak ada yang tau di mana keberadaannya."
"Bagaimana dengan keluarganya?"
"Aku nggak tau apa dia punya keluarga di Jakarta. Tapi sejak kenal dia, aku taunya dia hanya sendirian di Jakarta. Katanya, dia punya keluarga di Bali dan di Surabaya. Tapi itu juga nggak jelas."
Rafa lagi-lagi mengangguk, tapi ia tidak bersuara.
"Jadi, sekarang...aku bener-bener jatuh miskin. Aku sampai harus pinjam uang sama teman untuk bayar cicilan apartemenku. Sedangkan untuk biaya hidup sehari-hari, ya gitu." Aku menarik napas berat, rasanya tidak lagi sanggup bercerita lebih panjang.
Kutatap Rafa yang kini nampak sedang merenung. Mungkin merenungi kenapa mantan pacarnya bisa sebodoh ini. Tapi aku yakin, ia terlalu sopan untuk menyinggungku.
Sewaktu memutuskan untuk menghubungi Rafa pun, aku pun masih belum yakin apakah langkah yang kuambil ini benar. Dia adalah mantan pacarku, hubungan di antara kami telah berakhir. Rasanya memalukan jika aku meminta pertolongannya.
Namun, aku berpegang pada pesan pentingnya padaku. Ia memintaku menghubunginya jika aku menghadapi masalah yang benar-benar tidak bisa kuatasi sendiri. Katanya lagi, aku tidak perlu memikirkan status hubungan kami. Karena meskipun hubungan asmara kami telah kandas, persahabatan kami harus tetap jalan.
My bad. Kami terpaksa memutuskan hubungan karena aku mengaku tidak bisa bersamanya lagi jika mamanya tidak bisa mengubah perlakuannya kepadaku. Ya, penyebab kami putus adalah orang ketiga, yaitu mamanya.
"Jadi, dia bawa uang yang seharusnya kalian gunakan untuk membangun usaha bersama?" tanya Rafa, sekadar memastikan.
"Iya. Total sekitar 200 juta. Tapi, sebenarnya yang mau dipakai usaha kafe hanya 100 juta. Yang 100 juta dia pinjam buat...beli mobil."
Aku mendengarnya menarik napas dan membuangnya dengan pasrah. Itu bukan jumlah yang sedikit.
"Kerjaan kamu sekarang, gimana?"
"Aku udah terlanjur resign. Karena...ada masalah dengan manajer." Aku menunduk memandangi kuku-kukuku yang sudah lama tidak merasakan manikur salon. "Jadi sekarang, aku nggak lagi kerja kantoran. Tapi aku masih freelance kok. Sama jual-jualin merchandise gitu. Lumayanlah kalau buat bayar listrik sama belanja bulanan."
"Merchandise Kpop?"
"Kamu masih ingat?" seruku dengan nada yang kelewat semangat.
"Sepuluh tahun mengenal kamu sama hobi kamu itu, gimana mungkin aku bisa lupa?"
"Hehe iya juga ya?" Aku tertawa gugup sambil menggigit bibir. Aku teringat kalau tadi si pirang juga ada di apartemen ini.
Tapi kok dia nggak muncul-muncul ya? Apa dia menguping pembicaraan kami secara sembunyi-sembunyi?
"Cewek tadi mana?"
"Lagi beres-beres."
"Dia pacar kamu?" tanyaku.
Lalu aku menyadari jika aku telah menanyakan sebuah pertanyaan yang bersifat sangat pribadi. Aku juga pasti tidak akan suka jika ada orang lain yang bertanya tentang kehidupan pribadiku. Misalnya menanyakan kapan aku akan menikah?
"Eh, nggak usah dijawab. Maaf ya. Aku nanyanya nggak sopan?"
"Iya. Dia...,"
Pacar.
"Tunanganku."
APA???
TUNANGAN?
KOK BISA?
Apakah semudah itu melupakanku? Mencari wanita pengganti diriku, bahkan kini mereka telah bertunangan?
Mendadak kepalaku terasa pening.
Ngapain aku minta tolong sama tunangan orang?
***
Sejam kemudian, aku duduk di halte busway yang mengantarkanku kembali ke apartemen. Tidak ada agenda nongkrong di restoran mahal atau shopping di mall. Aku bahkan harus mengorek-ngorek tas selempang dan isi dompetku untuk membayar ongkos busway dan membeli teh botol dingin. Aku butuh lebih mendinginkan otakku, karena sewaktu di apartemen Rafa, aku menolak meminum minuman dingin yang disajikan tunangannya dan buru-buru pamit dengan alasan bertemu klien.
Klien apaan?
Rafa bahkan tidak berusaha mencegahku. Segera setelah aku berpamitan, ia malah menemaniku menuju pintu, meskipun dia sempat menggumam akan menghubungiku lain waktu. Ia bilang akan berusaha mencari jalan untuk membantuku, tapi aku tidak lagi menghiraukannya. Aku terlalu syok dengan pengakuannya.
Aku tahu aku memang tidak berhak cemburu.
Tapi, tapi bukan berarti dia harus secepat itu...bertunangan?
Dengan keadaan mentalku yang tidak stabil ditambah perutku yang lapar karena melewatkan sarapan demi menghemat pengeluaran, pertahananku jebol. Aku numpang menangis di basement apartemennya. Sampai-sampai bapak-bapak petugas parkir mengira aku habis diputusin.
Astaga, aku kenapa sih?
Sadarlah wahai Auristela. Kamu bukan siapa-siapa dia lagi.
Ternyata aku masih belum cukup kuat untuk menerima kenyataan.
Aku memang masih mencintai Rafa. Tidak salah jika aku selalu menganggapnya sebagai mantan terbaikku.
Tidak usah dibandingkan dengan Steven, si tapir gondok itu. Mereka jauh. Ibarat pangeran dan kodok. Bodohnya aku karena memilih pacar baru yang tidak lebih baik dari Rafa. Ibarat grafik Melon Chart untuk lagu yang sudah tidak trend lagi, yang kurvanya menukik tajam. Terjun bebas.
Seharusnya untuk bisa move on adalah mencari sosok yang lebih baik dari mantan. Bukan sebaliknya.
Kalau sampai iya, itu sama saja mengejek diri sendiri, bukan?
Ibaratnya, udah dapat yang sempurna, mengapa harus dilepaskan?
Aku menarik napas lebih dalam setelah berpindah duduk di dalam busway. Aku mengaduk-aduk tas untuk mengambil iphone dan air pod. Meskipun jatuh miskin, paling tidak aku masih memiliki iphone 10 kesayanganku. Bukan untuk pamer, tapi karena aku masih butuh alat komunikasi berbasis ios. Bukannya aku tidak suka android, hanya saja karena sejak dulu aku sudah terbiasa dengan iphone, jadi aku enggan beralih menjadi pengguna android. Aku bahkan masih menyimpan macbook air, kado ulangtahun ke 25 dari Rafa.
Tuh kan. Kenapa sih jadi ingat dia lagi? Siapa suruh jadi mantan terlalu baik.
"Iphone asli, Mbak?" tanya seseorang yang duduk di sampingku. Cowok ABG, sepertinya.
"Iya, iphone 10," jawabku, meski dengan kening mengerut. Astaga anak jaman now akhlaknya gini ya sama orang baru? Tanya kabar kek. Ini malah nanya ponselnya ori apa tidak.
"Wah, mahal banget itu. Hape sultan."
Aku rasanya ingin tertawa. Belum tahu saja dia isi dompetku yang sudah kering ibarat bak mandi yang sudah dikuras.
Aku tersenyum masam lalu kembali memfokuskan pandanganku pada layar ponselku.
Tiba-tiba aku malah penasaran ponsel si ABG ini apa.
"Android ya?" tudingku ke arah ponsel yang sedang ia pegang.
"Iya, Mbak. Samsung J7 Prime. Itupun lungsuran dari abang saya. Pengennya bisa beli seperti hapenya Mbak, apa daya masih belum bisa kerja."
"Masih sekolah ya?"
"Iya. Udah kelas XII. Doain ya, Mbak. Saya lulus keterima di universitas bergengsi."
Anak ini random banget, asli. Baru ketemu juga udah minta didoakan lulus masuk universitas. Tapi nggak pa-pa deh. Memberi doa tidak ada ruginya, siapa tahu ketika aku mendoakan kebaikan kepada orang lain, aku pun akan dihampiri kebaikan.
Misalnya, rekeningnya langsung terisi 200 juta plus bunga 10%.
"Iya didoakan deh. Memangnya rencana mau kuliah di mana?"
Ia random, aku lebih random lagi karena malah sedang menanyainya tentang perguruan tinggi apa yang akan ia tuju.
"Di Oxford. Syukur-syukur bisa keterima di Stanford kaya Mbak Maudy Ayunda. Atau Harvard macam Cinta Laura."
Wih, tinggi sekali cita-citamu, Nak. Aku saja dulu bisa masuk Ekonomi UI juga rasanya seperti terbang ke langit ke delapan.
"Iya deh, didoain," ucapku, jadi agak minder mendengar tekadnya. Sementara ia memasang target setinggi langit, aku malah cukup puas bisa kuliah di dalam negeri. "Eh, tapi kan Maudy dulunya di Oxford juga kan?"
"Iya, Mbak," angguknya. Ia lalu menekuri ponselnya, mungkin sedang buka medsos.
Pembicaraan kami berakhir karena kami sibuk dengan ponsel masing-masing.
Ah, ada chat dari Rafa.
Rafa : La, besok sore kamu ada waktu?
Aku mengetikkan balasan.
Stela : Iya. Ada apa ya?
Rafa : Saya mau bicarain solusi ttg masalah kamu
Stela : Apa ga ngerepotin?
Rafa : kamu keberatan ga kalo saya telepon kamu?
Deg.
Stela : Aku lagi di busway
Rafa : Maaf ga bisa antar kamu pulang
Aku tersenyum dengan hati perih. Haduh, mas mantan yang baik hati. Masih sempatnya minta maaf, padahal jujur saja aku tidak membutuhkan permintaan maaf. Ia mau membantuku saja aku sudah senang. Kalau aku membiarkannya mengantarku pulang, itu ngelunjak namanya. Nggak enak sama tunangannya.
Stela : It's okay.
Rafa : Ok. Misscall aja kalau udh bisa ditelepon
Stela : Iya
Oke, sekarang aku mulai merasa semakin tidak enak. Bagaimana kalau tunangannya keberatan Rafa membantuku? Bagaimana kalau Rafa ternyata membutuhkan uang untuk biaya pernikahan mereka?
Apa nggak usah aja kali ya?
Stela : Makasih, Raf. Tapi aku udh dapat bantuan
Rafa : Kamu ga lagi bohongin aku kan?
Ih, kok dia bisa tahu?
Lantas, aku menonaktifkan ponselku dan berharap Rafa tidak menghubungiku lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top